Diperbarui tanggal 20/07/2022

Teori Belajar Behaviorisme

kategori Belajar dan Pembelajaran / tanggal diterbitkan 20 Juli 2022 / dikunjungi: 6.33rb kali

Pengertian Behaviorisme

Behaviorisme merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih kepada sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental seperti kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Hal ini dapat dimaklumi karena behaviorisme berkembang melalui suatu penelitian yang melibatkan binatang seperti burung merpati, kucing, tikus, dan anjing sebagai objek. Peristiwa belajar semata-mata dilakukan dengan melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Para ahli behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus (S) dengan respon (R). Menurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah adanya input berupa stimulus dan output berupa respon.

Menurut (Nahar, 2016) Teori belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu adanya perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Hasil belajar diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap lingkungan belajar, baik yang internal maupun eksternal. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan untuk merubah perilaku.Teori belajar behavioristik dalam pembelajaran merupakan upaya membentuk tingkah laku yang diinginkan. Pembelajaran behavioristik sering disebut juga dengan pembelajaran stimulus respons.

Tingkah laku peserta didik merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan dan segenap tingkah laku merupakan hasil belajar.

A. Connectionism (S-R Bond) menurut Edward Lee Thorndike

Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain merupakan hubungan stimulus (perangsang) dan juga respon (jawaban, tanggapan, aksi), diistilahkan S-R Bond. Belajar adalah pembentukan S-R sebanyak-banyaknya. Siapa yang menguasai hubungan S-R sebanyak-banyaknya merekalah orang yang sukses dalam belajar. Pembentukan hubungan S-R dilakukan melalui latihan dan ulang-ulangan, dengan prinsip trial and error, coba dan salah.

B. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Hukum belajar yang dihasilkan dari penyelidikannya adalah law of contiguity atau hukum gabungan. Gabungan stimulus-stimulus yang disertai gesekan dengan gerakan, pada waktu timbul kembali akan cenderung diikuti gerakan yang sama. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara. Oleh karena itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan antara (S) dan (R) bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie, berbeda dengan ahli yang lain melihat faktor punishment, hukuman, memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengasosiasi stimulus-respon secara tepat. Peserta didik harus dibimbing melakukan apa-apa yang perlu dipelajari, jangan mengabaikan peserta didik.

C. Classical Conditioning oleh Ivan Pavlov

Paradigma kondisioning klasik merupakan karya besar Ivan P. Pavlov (1849-1936), ilmuan Rusia yang mengembangkan teori perilaku melalui percobaan tentang anjing dan air liurnya. Proses yang ditemukan oleh Pavlov, karena perangsang yang asli dan netral atau rangsangan biasanya secara berulang-ulang dipasangkan dengan unsur penguat yang menyebabkan suatu reaksi. Perangsang netral disebut perangsang bersyarat atau terkondisionir, yang disingkat dengan CS (conditioned stimulus). Penguatnya adalah perangsang tidak bersyarat atau US (unconditioned stimulus). Reaksi alami atau reaksi yang tidak dipelajari disebut reaksi bersyarat atau CR (conditioned response). Pavlov mengaplikasikan istilah-istilah tersebut sebagai suatu penguat.Maksudnya setiap agen seperti makanan, yang mengurangi sebagaian dari suatu kebutuhan. Dengan demikian dari mulut anjing akan keluar air liur (UR) sebagai reaksi terhadap makanan (US). Apabila suatu rangsangan netral, seperti sebuah bel atau genta (CS) dibunyikan bersamaan dengan waktu penyajian maka peristiwa ini akan memunculkan air liur (CR).

Melalui paradigma kondisioning klasiknya, Pavlov memperlihatkan anjing dapat dilatih mengeluarkan air liur bukan terhadap rangsang semula (makanan), melainkan terhadap rangsang bunyi. Hal ini terjadi pada waktu memperlihatkan makanan kepada anjing sebagai rangsang yang menimbulkan air liur, dilanjutkan dengan membunyikan lonceng atau bel berkali-kali, akhirnya anjing akan mengeluarkan air liur apabila mendengar bunyi lonceng atau bel, walaupun makanan tidak diperlihatkan atau diberikan.

Disini terlihat bahwa rangsang makanan telah berpindah ke rangsang bunyi untuk memperlihatkan jawaban yang sama, yakni pengeluaran air liur. Paradigma kondioning klasik ini menjadi paradigma bermacam- macam pembentukan tingkah laku yang merupakan rangkaian dari satu kepada yang lain. Kondisoning klasik ini berhubungan pula dengan susunan syaraf tak sadar serta otot-ototnya. Dengan demikian emosional merupakan sesuatu yang terbentuk melalui kondisioning klasik. Perasaan orang belajar bersifat pasif karena untuk mengadakan respon perlu adanya suatu stimulus tertentu, sedangkan mengenai penguat menurut pavlov bahwa stimulus yang tidak terkontrol (unconditioned stimulus) mempunyai hubungan dengan penguatan. Stimulus itu yang menyebabkan adanya pengulangan tingkah laku dan berfungsi sebagai penguat (Nahar, 2016).

D. Operant Conditioning Menurut B. F Skinner

Teori ini dilandasi oleh adanya penguatan (reinforcement). Bedanya dengan teori pengondisian klasik dari Pavlov,kalau pada teori Pavlov yang diberi kondisi adalah stimulus (S) nya, maka pada operant conditioning yang diberi kondisi adalah respon (R) nya. Misalnya, karena seorang anak belajar dengan giat maka dia mampu menjawab banyak atau semua pertanyaan dalam ulangan atau ujian. Guru kemudian memberikan penghargaan (sebagai penguatan terhadap respon) kepada anak tersebut dengan nilai tinggi, pujian atau hadiah.

Sebagai seorang behavioris, kemunculan Skinner merupakan yang paling akhir, tetapi karena konsep Skinner lebih unggul daripada tokoh sebelumnya dialah yang dianggap sebagai pengembang teori behaviorisme. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana dan lebih komrehensif. Objek penelitian, yaitu seekor tikus dan burung merpati.

Berbeda dengan pendapat Guthrie, Skinner tidak sependapat dengan konsep hukuman sebagai alat pembelajaran, anatar lain karena

  1. pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku amat bersifat sementara,
  2. dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi menjadi bagian dari jiwa si terhukum, bila hukuman berlangsung lama,
  3. hukuman bahkan mendorong si terhukum untuk mencari cara lain, walau salah, agar ia terbebas dari hukuman.

Skinner lebih percaya kepada penguatan negatif (negative reinforcement). Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Bedanya, jika hukuman harus diberikan sebagai stimulus agar respon yang timbul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif sebagai stimulus harus dikurangi agar respon yang sama menjadi lebih kuat. Lawan penguat negatife, yaitu penguat positif (positive reinforcement).

E. Teori Behavioristik menurut Clark Hull

Clark Hull adalah seorang behavioris yang mata terpengaruh oleh teori revolusi Charles Darwin. Bagi Hull, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup (struggle for existence). Oleh sebab itu, kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hamper selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yng akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam (Suyono, 2014). Teori behaviorisme merupakan salah satu faktor penting yang digunakan dalam pengembangan produk elektronik lembar kerja peserta didik (e-LKPD). Dimana produk e-LKPD yang digunakan sebagai stimulus, sehingga dalam merancang e-LKPD, harus mampu menghasilkan respon yang kuat dengan meningkatnya minat, motivasi dan keaktifan belajar peserta didik.