Metakognisi
Pengertian Metakognisi
Metakognisi terdiri dari dua kata yaitu “meta” dan “kognisi”. Kata meta berasal dari yunani yang berarti “tentang”. Istilah metakognisi diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976. Istilah metakognisi dikenal dalam perkembangan psikologi dibidang pendidikan (metacognition) yang pada intinya menggali pemikiran orang berpikir “thinking about thinking” (Husamah, 2013). Wellman dalam Rery (2015) menyatakan bahwa metakognisi adalah suatu bentuk kognisi, proses berpikir urutan kedua atau lebih tinggi yang melibatkan kontrol aktif atas proses kognitif. Hal ini dapat hanya didefinisikan sebagai berpikir tentang berpikir atau kognisi seseorang tentang kognisi. Metakognisi sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses imunisasi meliputi tingkat berpikir yang lebih tinggi, melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Sedangkan Sternberg (2008) menjelaskan metakognisi merupakan kemampuan untuk memikirkan tentang dan mengontrol proses-proes berpikir kita sendiri dan cara-cara untuk meningkatkan kemampuan berpikir kita.
Metakognisi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976 dan menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya. Hal ini berakibat bahwa metakognisi tidak selalu sama di dalam berbagai macam bidang penelitian psikologi, dan juga tidak dapat diterapkan pada satu bidang psikologi saja. Namun demikian, pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para peneliti bidang psikologi, pada umumnya memberikan penekanan pada kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri (Gredler, 2013).
Berdasarkan beberapa pengertian metakognisi diatas disimpulkan bahwa metakognisi adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya. Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah. Secara ringkas metakognitif dapat diistilahkan sebagai “thingking about thingking”.
Menurut Flavell dan Brown dalam (Veenman,dkk,2006:3) mengungkapkan “metacognition was orginally referred to as the knowledge about and regulation of one’s cognitive activities in learning processes”. Maksudnya metakognisi semula menunjukkan pada pengetahuan tentang kognitif dan pengaturan aktivitas kognitif dalam proses pembelajaran Papaleontiou dan Louca (2008:1) menjelaskan: "Metacognition is a concept that has been used to refer to a variety of epistemalogical processes. “metacognition” essentially means cognition about cognition: that is, it refers to second order cognitions: thoughts about thoughts, knowledge about knowledge or reflection about actions. So if cognition involves perceiving, understanding, remembering, and so forth, then
metacognition involves thinking about one’s own perceiving, understanding, remembering, etc."
Maksudnya metakognisi adalah sebuah konsep yang telah digunakan untuk semacam bagian dari asal ilmu proses. Metakognisi pada dasarnya berarti kognisi tentang kognisi: hal ini mengacu pada kognisi urutan kedua: berfikir tentang berfikir, pengetahuan tentang pengetahuan atau refleksi tentang tindakan. Jadi jika kognisi melibatkan mengamati, memahami, mengingat dan sebagainya. Maka metakognisi melibatkan berfikir tentang seseorang mempersepsi sendiri, pemahaman, mengingat, dan lain-lain. Maichenbaum, Burland, gruson & Cameron (Yamin, 2013:29) mengemukakan bahwa metacognition sebagai “kesadaran orang akan mesin pengetahuan sendiri dan bagaimana mesin itu bekerja”. Sedangkan menurut Borich dalam (Yamin, 2013:29) menyebutkan bahwa metacognition adalah merupakan strategi pengarahan diri sendiri. Menurut Margaret W. Matlin (Desmita, 2013:137) metakognisi adalah “knowledge and awareness about cognitive processes-or our thoughtsn about thinking”. Maksudnya pengetahuan dan kesadaran tentang prosesb kognitif/berfikir tentang pemikiran.
Menurut Ormord (2008), pengetahuan metakognisi merupakan keyakinan seseorang mengenai proses-proses kognitifnya, serta usaha sadarnya untuk terlibat dalam proses berprilaku dan berpikir sehingga meningkatkan proses belajar dan memori. Keyakinan yang demikian merupakan aspek dari metakognisi. Secara sederhana pengertian ini dapat berarti kesadaran seseorang tentang “berpikir mengenai berpikir”.
Flavell (1979) membedakan kognisi dalam 2 (dua) karakteristik yaitu, pengetahuan yang kognisi (knowledge of cognition) dan regulasi dari kognisi seseorang (self regulation) sebagai berikut.
- Pengetahuan tentang kognisi memasukkan pengetahuan terhadap tugas, strategi dan variabel yang dimiliki seseorang, yaitu pengetahuan metakognisi termasuk pengetahuan tentang keterampilan dari perbedaan tugas-tugas, (pengetahuan strategi alternatif strategi belajar yang diguanakan) dan pengetahuan kemampuan yang dimiliki seseorang dan yang lainnya.
- Regulasi kognisi meliputi memonitor dan mengontrol aktivitas belajar seseorang secara komprehensif. Faktor-faktor aktivitas metakognisi antaa lain, prediksi hasil, perencanaan strategi, monitoring aktivitas selama belajar dan evaluasi dari efektifitas regulasi (Scraw & Moshman, 1995).
Menurut Preisseisen dalam Yamin (2013) metakognisi terdiri atas empat keterampilan yakni, problem solving, decision making, critical thinking, dan creative thinking.
- Problem solving (pemecahan masalah) merupakan kemampuan individu dalam memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan yang paling efektif. Untuk menjadi problem solver yang handal dibutuhkan jam terbang yang tinggi, dan disini perlu penguasaan metode keilmuan sebagai pisau bedah terhadap masalah yang dihadapi.
- Desicion making (pengambilan keputusan) merupakan kemampuan individu untuk memilih suatu keputusan yang terbaik dari berbagai pilihan yang ada. Keputusan yang diambil tentunya berdasar pengalaman atau informasi, pertimbangana etika dan tata nilai, dan disertai alasan-alasan rasional. Kemampuan dalam desicion making dapat menggambarkan tingkat kematangan dan kebijakan seseorang.
- Critical thinking (Berpikir kritis) merupakan kemampuan individu untuk berpikir kritis dalam menanggapi suatu konsep, pendapat, dan kebijakan. Berpikir kritis tentunya mendasarkan pada logika rasional, dan mampu membaca kesenjangan antara konsep dengan realitas, antara das solen dan das sein atau menganalisis dengan berdasarkan pada sesuatu yang sifatnya given dari tuhan.
- Creative thinking (Berpikir kreatif) merupakan kemampuan suatu individu untuk berpikir kreatif atau mencipta dan memodifikasi sesuatu yang baru dengan berdasarkan pada konsep-konsep, hukum-hukum, logika, dan intuisi yang dimiliki.
Keempat keterampilan tersebut merupakan satu-kesatuan yang terintegrasi, artinya pada saat seseorang memecahkan masalah maka dengan sendirinya individu tersebut telah melakukan tindakan pengambian kesimpulan berdasarkan nalar kritisnya dan kreasi dengan dirinya.
Komponen Metakognisi
Pada umumnya, teori-teori tentang kemampuan metakognitif mendapat inspirasi dari penelitian J.H Flavel mengenai pengetahuan metakognitif dan penelitian A.L. Brown mengenai metakognitif atau pengontrolan pengaturan diri selama pemecahan masalah. Akan tetapi, kalau dilihat lebih jauh ke belakang, ternyata riset-riset tentang metakognisi memiliki akar sejarah yang panjang dalam bidang psikologi, terutama yang memfokuskan perhatiannya pada perkembangan kognitif, memori, pemrosesan eksekutif, dan strategi belajar (Desmita, 2016).
Desoete dalam Rudi Aswadi, dkk (2018) menyatakan ada empat komponen keterampilan metakognisi, yaitu:
- Orientasi atau kemampuan prediksi berkaitan dengan aktivitas seseorang melakukan pekerjaan secara lambat, bila permasalahan (tugas) itu mudah atau sudah dikenal.
- Kemampuan perencanaan mengacu pada kegiatan berpikir awal seseorang tentang bagaimana, kapan dan mengapa melakukan tindakan guna mencapai tujuan melalui serangkaian tujuan khusus menuju pada tujuan utama permasalahan.
- Kemampuan monitoring mengacu pada kegiatan pengawasan seseorang terhadap strategi kognitif yang digunakannya selama proses pemecahan masalah guna mengenali masalah dan memodifikasi rencana.
- Kemampuan evaluasi yang didefinisikan sebagai verbalisasi mundur yang dilakukannya setelah kejadian berlangsung, dimana seseorang melihat kembali strategi yang telah ia gunakan dan apakah strategi tersebut mengarahkannya pada hasil yang diinginkan atau tidak.
NCREL (North Central Regional Education Laboratory) dalam Yamin (2013) mengemukakan secara umum tentang metakognisi, bahwa metakognisi memuat tiga komponen dasar yaitu: (1) mengembangkan rencana tindakan (2) mengatur atau memonitoring rencana tindakan (3) mengevaluasi rencana tindakan.
Sebelum peserta didik mengembangkan rencana tindakan perlu menanyakan kepada dirinya sendiri tentang hal-hal berikut:
- Pengetahuan awal apa yang membantu dalam memecahkan tugas ini?
- Petunjuk apa yang digunakan dalam berpikir?
- Apa yang pertama saya lakukan?
- Mengapa saya membaca pilihan (bagian) ini?
- Berapa lama saya mengerjakan tugas ini secara lengkap?
Selama peserta didik merencanakan tindakan perlu mengatur/memonitoring dengan menanyakan pada dirinya sendiri tentang hal berikut:
- Bagaimana saya melakukannya?
- Apakah saya berada pada jalur yang benar?
- Bagaimana saya meneruskannya?
- Informasi penting apa yang perlu diingat?
- Apakah saya perlu pindah pada petunjuk lain?
- Apakah saya mengatur langkah–langkah bergantung pada kesulitan?
- Apa yang perlu dilakukan jika saya tidak mengerti?
Setelah peserta didik selesai melaksanakan rencana tugas, peserta didik akan melakukan evaluasi yaitu:
- Seberapa baik saya melakukannya?
- Apakah saya memerlukan pemikiran khusus yang lebih banyak atau yang lebih sedikit dari yang saya pikirkan?
- Apakah saya dapat mengerjakan dengan cara yang berbeda?
- Apakah saya perlu kembali pada tugas itu untuk mengisi kekurangan pada ingatan saya?
Keterampilan Metakognisi
Dalam menyelesaikan suatu masalah, siswa perlu diajarkan langkah-langkah penyelesaian masalah untuk melatih keterampilan berfikir sehingga diperoleh berbagai kemungkinan penyelesaian pada masalah (soal) tersebut. Jacob dan Paris dalam (Sophianingtyas dan Sugiarto, 2013:21) menyatakan bahwa langkah-langkah yang digunakan siswa dalam memecahkan masalah meliputi perencanaan, pemantauan dan evaluasi.
Selain penggunaan langkah-langkah penyelesaian masalah, penggunaan keterampilan metakognisi akan membantu siswa dalam mengatasi kesalah atau kekurangan yang biasanya sering dilakukan oleh siswa sebab metakognisi berperan sebagai pengatur dan pengontrol proses-proses kognitif dalam belajar dan berfikir sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan lebih efektif dan efisien.Woolfolk (Yamin, 2013:30) megemukakan bahwa perencanaan dalam keterampilan metakognisi meliputi keputusan tentang banyak waktu yang dibutuhkan, strategi yang akan digunakan, cara memulai, sumber dana, aturan yang akan diikuti untuk suatu tugas. Woolfolk menjelaskan bahwa memonitor adalah kesadaran yang terus menerus untuk melihat proses berpikir dengan mengemukakan bagaimana cara saya mengerjakannya?,adakah saya memahami setiapistilah dalam tugas ini?, memahami secara keseluruhan, apakah saya bekerja terlalu cepat?, apakah saya sudah cukup belajar, apakah saya bertanya sesuai dengan topik?, seterusnya Woolfolk mengemukakan bahwa memonitoring meliputi cara melakukan pemahaman, kecepatan dan kecukupan belajar, evaluasi meliputi membuat kesimpulan proses dan hasil belajar.
Brown (Anggo, 2011:31) mengemukakan keterampilan metakognisi yang esensial bagi setiap pemecah masalah yang efisien meliputi keterampilan dalam: (1) perencanaan (planning), meliputi pengaduan hasil, dan penjadwalan strategi, (2) pemantauan (monitoring), meliputi pengujian, perevisian, dan penjadwalan ulang strategi yang dilakukan, dan (3) pemeriksaan (checking), meliputievaluasi hasil daripelaksanaan suatu strategi berdasarkan kriteria efisiensi dan efektivitas. Dembo (Yamin, 2010:34) menjelaskan bahwa pelajar yang memiliki keterampilan metakognisi yang baik akan lebih efektif untuk memilih dan menghindari ceramah atau informasi-informasi yang penting dari pada pelajar yang tidak memiliki keterampilan tersebut. Seterusnya North Centra Regional Educational Laboratory (NCREL) mengemukakan keterampilan metakognisi terdiri dari: (1) mengembangkan suatu perencanaan tindakan. (2) mengadakan monitoring, dan (3) mengevaluasi perencanaan.
Livingstone dan Suzana dalam (Widadah, dkk 2013:31) menyatakan bahwa keterampilan metakognisi dalam pembelajaran merupakan menanamkan kesadarean bagaimana merancang keterampilan perencanaan diri (self-planning), keterampilan pemantauan diri (self-monitoring), serta keterampilan mengntrol tentang yang mereka ketahui (srlf-evaluation). Menurut Brown (Okoro, 2011:73) menjelasakan bahwa keterampilan metakognisi terdiri dari: (1) Membuat prediksi untuk menilai tugas yang sulit (prediction toasswss task dificulty), (2) Merencanakan (planning) yaitu sesuatu yang harus dilakukan untuk menyelesaikan tugas, (3) Memonitoring (monitoring) yaitu sesuatu yang mengetahui pencapaian tujuan, (4) Mengevaluasi (evaluation) yaitu diperlukan untuk memahami kesulitan dan hambatan dari masalah.
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa keterampilan metakognisi adalah keterampilan yang dimiliki oleh siswa dalam menyadari, mengatur/mengontrol dan mengevaluasi proses dan hasil berpikirnya dalam penyelesaian masalah yang meliputi keterampilan dalam merencanakan (planning), memonitor (monitoring), dan mengevaluasi (evaluation).
Indikator-indikator Metakognisi
Dengan pemahaman tentang metakognisi tersebut dapat diketahui bahwa metakognisi memiliki komponen yaitu perencanaan, pemantauan, dan penilaian atau evaluasi. Berikut indikator-indikator dalam metakognisi:
Indikator Perencanaan
- Dapat menyatakan apa yang diketahui dalam soal
- Dapat menyatakan apa yang ditanyakan dalam soal
- Mampu memahami informasi – informasi penting dalam soal
- Mampu memahami masalah yang diajukan
Indikator Pemantauan
- Dapat menunjukkan informasi yang dipantau
- Dapat memahami informasi yang dipantau
- Dapat menerapkan konsep yang benar
- Dapat menerapkan konsep yang sama dalam masalah lain
Indikator Penilaian
- Menuliskan jawaban akhir
- Yakin dengan jawaban akhirnya
- Mampu menjelaskan jawaban akhir
Pengetahuan Metakognisi
Pengetahuan metakognisi meliputi usaha monitoring dan refleksi atas pikiran-pikiran saat ini (Desmita, 2016). Yamin (2013) menjelaskan bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tingkat tinggi yang digunakan untuk memonitor dan mengatur proses-proses pengetahuan seperti penalaran, pemahaman mengatasi masalah, belajar dan sebagainya.
Bruning dkk dalam Yamin (2013) membagikan metakognisi pada tiga macam pengetahuan, yaitu:
- Pengetahuan deklarasi (declarative knowledge), adalah pengetahuan yang dapat dideklarasikan, melalui kata-kata dan sistem-sistem simbol dengan segala jenisnya (braille, bahasa isyarat, tari, atau notasi musik, simbol matematika, dan sebagainya). Dengan demikian pengetahuan deklaratif merupakan aktivitas dalam mengintegrasikan ide-ide baru dengan pengetahuan yang sudah ada dan mengkonstruksikan sebuah pemahaman.
- Pengetahuan prosedural (procedural knowledge), merupakan pengetahuan yang menyajikan urutan-urutan dan langkah-langkah dalam merangkai dan mengerjakan sesuatu pekerjaan, seperti mendemostrasikan penyambungan kabel pada stop kontak listrik, yang dimulai melepas baut, membuka ujung kabel, menyambungnya dengan kontak, dan seterusnya.
- Pengetahuan kondisional (conditional knowledge), merupakan pengetahuan gabungan pengetahuan deklaratif dan prosedural, seseorang dapat menerapkan pengetahuan prosedural tatkala menyelesaikan soal matematika, dan menerapkan pengetahuan deklaratif tatkala harus ditunjukkan dengan kata atau isyarat lainnya.
Aktivitas Metakognisi
Menurut Wilson dan Clarke (Magiera, 2011:287) mendifinisikan kesadaran metakognisi sebagai pengenalan pemecahan masalah dimana kesadaran bekerja selama proses pemecahan masalah, strategi pemecahan masalah yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, dan hubungan antara pengetahuan seseorang dan konten danpengetahuan khusus yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang diberikan. Mereka mendefinisikan evaluasi metakognisi sebagai keputusan pemecah masalah untuk memantapkan pikirannya, pembatasan pikiran seseorang tentang situasi asalah, pembatasan strategi seseorang dalam pemecahan masalah, dan kualitas hasil pemecahan masalah. Akhirnya, Wilson dan Klarke mendefinisikan regulasi metakognisi sabagai pemecah masalah menggunakan sumber kognitif untuk merencanakan, menentukan tujuan, mengurutkan tindakan, atau memilih tindakan baru. Ditambahkan oleh Safitri dan Saleh (20115:474) aspek pemantauan juga terlihat saat siswa menggaris bawahi hasil yang diperoleh.
Tiga aspek kerangka tersebut (kesadaran, regulasi, dan evaluasi) telah digunakan secara luas pada pustaka pendidikan matematika. Contohnya, kesadaran telah diteliti dalam hal refleksi siswa atas situasi masalah mereka secara menyeluruh dan asumsi masalah dan pertimbangan siswa mengenai hubungan antara pengetahuan mereka dan apa yang dibutuhkan pada situasi masalah. Evaluasi telah dideskripsikan dan meneliti mengenai refleksi eksplisit pemecah masalah pada apa yang mereka lakukan selama proses pemecahan masalah, peranan evaluasi dalam menentukan strategi pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan evaluasi sistematik, rencana alternatif, dan strategi solusi. Regulasi telah dijelaskan dalam bentuk fleksibilitas siswa dalam memilih sebuah rencana solusi, memilih strategi, dan implementasi rencana yang telah dikembangkan, rencana lokak dan global., dan hubungan antara kemampuansiswa untuk mengatur pengetahuan dan performa matematika mereka.
Aspek aktivitas metakognisi yang telah dijelaskan pada pustaka pendidikan matematika adalah perluasan dimana pemecah masalah secara eksplisit dan sadar menggunakan strategi metakognisi yang berlawanan secara alami yang hampir tidak sadar atas aktivitas metakognisi selama sesi pemecahan masalah yang produktif. Stillman dan Galbraith (Magiera, 2011:488) menyarankan yang terakhir. Contohnya, sepasang siswa yang sedang memecahkan masalah matematika sering mengorganisasikan informasi yang diberikan menjadi representasi dan refleksi yang berguna, ditampilkan untuk memperkenalkan kehunaan strategi. Tetapi dalam pelajarannya, siswa tidak menyadari bagaimana strategi dipilih atau rencana diformulasikan. Pertanyaan muncul apakah strategi tersebut dipertimbangkan secara eksplisit dan diseleksi oleh pemecah masalah yang baik, atau apakah mereka menggunakannya dengan tepat sebagaimana dinyatakan pada hasil dari Stillman dan Gailbraith.
Jenis perilaku metakognisi yang diajarkan bervariasi, dan pembelajaran menggunakan strategi metakognisi sering dikombinasikan dengan pembelajaran menggunakan strategi pemecahan masalah seperti yang dijelaskan oleh Polya. Contohnya, intervensi oleh Mevarech dan Kramarski dan oleh Kramarski et all. (Magiera, 2011:288) menekankan masalah yang komprehensif (strategi pemecahan masalah) berhubungan denagn materi sebelumnya (kesadaran metakognitif), pemilihan strategi (regulasi metakognisi), dan evaluasi metakognisi. Kapa (Magiera, 2011:488) menghubungkan intervensi metakognisi menggunakan komputer untuk memecahkan berbagai masalah yang ditekankan pada identifikasi masalah (kesadaran metakognisi), representasi masalah (strategi pemecahan masalah), rencana solusi (regulasi metakognisi), strategi pelaksanaan (strategi pemecahan masalah), dan evaluasi metakognisi. Pada beberapa cara, kedua tipe strategi (pemecahan masalah dan metakognisi), walaupun biasanya terpisah pada pustaka, mungkin lebih dikenal.
Pada saat menyusun rencana penyelesaian masalah terdapat aktivitas matekognisi yaitu:
- menyadari pentingnya memikirkan langkah-langkah penyelesaian masalah dengan memikirkan hubungan antar dua ynag diketahui,
- memonitoring rencana penyelesaian masalah dengan cara mengungkapkan kembali langkah-langkah penyelesaian masalah,
- mengevaluasi kembali rencana penyelesaian masalah.
Pada saat melaksanakan rencana penyelesaian masalah terdapat aktivitas metakognisi yaitu:
- menyadari pentingnya memikirkan pelaksanaan rencana penyelesaian masalah,memonitoring pelaksanaan rencana langkah-langkah penyelesaian,
- mengevaluasi pelaksanaan rencana langkah-langkah penyelesaian.
Aktivitas metakognis pada langkah memeriksakembali yaitu:
- menyadari pentingnya memikirkan memeriksa kembali penyelesaian dengan cara mengecek kebenaran penyelesaian,
- memonitoring dengan mengecek kebenaran hasil penyeesaian yang diperoleh,
- mengaluasi dengan memeriksa kebenaran hasil penyelesaian.
Kelebihan dan Kekurangan Metakognisi
1. Kelebihan
Adapun kelebihan metakognisi adalah sebagai berikut:
- Dapat merubah siswa pasif menjadi siswa aktif dalam proses pembelajaran,
- Siswa lebih mudah memahami materi dan bebas mengeluarkan pendapat,
- Menambah wawasan guru dengan menggunakan berbagai macam metode pembelajaran,
- Adanya praktik langsung membuat siswa mudah memahami materi , dan
- Merangsang siswa untuk berpikir kritis terhadap suatu permasalahan.
2. Kekurangan
Adapun kekurangan dari metakognisi yaitu:
- Guru butuh kesiapan dalam proses pembelajaran,
- Manajemen waktu,
- Kondisi dan situasi tempat pelaksanaan harus kondusif,
- Tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya motivasi siswa.
Daftar Pustaka
- Anita., dan Woolfolk. 2004. Educational Psychology. Boston : Pearson Educational
- Kolencik, P.L. & Hillwig, S.A. 2011. Encouraging Metacognition Supporting Learners Through Metacognitive Teaching Strategies. New York : Peter Lang.