Diperbarui tanggal 14/05/2023

Disleksia

kategori Belajar dan Pembelajaran / tanggal diterbitkan 14 Mei 2023 / dikunjungi: 814 kali

Pengertian Disleksia

Kata disleksia berasal dari bahasa Yunani yaitu dyslexia, “dys” berarti kesukaran dan “lexis” berarti berbahasa, yang berarti kesukaran dalam berbahasa. Secara sederhana disleksia merupakan gangguan dalam kemampuan berbahasa terutama membaca sehingga anak yang mengalami disleksia memiliki kesulitan tersendiri saat membaca sebuah kalimat, seperti kesulitan dalam memahami huruf terutama huruf yang terbalik seperti “b” menjadi “d”. Disleksia merupakan salah satu masalah tersering yang terjadi pada anak dan orang dewasa. Angka kejadian di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah. Disleksia adalah salah satu dari beberapa kesulitan dalam proses belajar yang terjadi di sekolah. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar mengalami disleksia. Angka kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu berkisar 2:1 sampai 5:1. (Supena & Dewi, 2020).

Untuk lebih jelasnya banyak ahli yang mengemukakan pengertian dari disleksia diantaranya, Purwandari dalam Supena & Dewi, (2020) disleksia menunjuk kepada anak yang tidak lancar dalam membaca, sekalipun pengelihatan, pendengaran, intelegensinya normal dan keterampilan bahasanya sesuai. Disleksia adalah kesulitan dalam belajar yang dialami pada seseorang yang disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antar lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis. Hal ini ditandai dengan kemampuan membaca anak yang dibawah standar dilihat dari segi usia, pendidikan dan tingkat intelegensi. Anak yang mengalami disleksia memerlukan cara tersendiri dalam hal belajar membaca sehingga diperlukan pemahaman lebih dalam untuk anak disleksia.

Sejalan dengan pendapat Lyon dalam Saadah,V.N., & Hidayah,N. dalam Hidayat, (2019) disleksia didefinisikan sebagai kesulitan dalam memecahkan simbol atau kode, termasuk proses fonologi atau pengucapan. Raharjo dalam Mardhiyah, Nurhasanah, & Fajriani, (2019) menjelaskan bahwa disleksia ditandai dengan adanya kesulitan dalam pengenalan huruf, pengenalan kata dan bunyi atau pengucapan.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan kesulitan membaca atau disleksia adalah gangguan kesulitan belajar membaca dimana penderitanya sulit memahami huruf, mengeja setiap kalimat, dan sulit membedakan huruf yang terbalik sehingga anak yang mengalami disleksia akan merasa tertinggal dengan teman-temannya saat pembelajaran berlangsung.

Penyebab Kesulitan Membaca (Disleksia)

Anak yang mengalami kesulitan membaca (Dyslexia) adalah anak yang memiliki gangguang belajar yang mungkin bisa terjadi karena bawaan lahir (keturunan) atau faktor yang disebabkan dari luar. Dalam beberapa kasus, anak-anak penderita diseleksia memiliki kemampuan dan kepintaran lebih tinggi dibandingkan anak-anak normal lainnya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan membaca. Anak Disleksia sering salah dalam pengucapan saat membaca, sering mengurangi atau melebihkan kata ketika membaca, sering terbalik juga dalam hal membaca.
Disleksia muncul dari mulai tingkat yang medium hingga berat dan tidak ada dua orang yang memiliki tingkatan yang persis sama antara satu sama lain. Walaupun belum dapat diketahui benar–benar apa persis penyebabnya, namun para peneliti menemukan bahwa penyebab disleksia adalah faktor neurobiologis dan faktor genetika.

Hamalik dalam Fyanda et al., (2019) menyatakan ada 4 penyebab dari anak yang mengalami kesulitan belajar, diantaranya adalah:

  1. Fakor dari dalam diri anak itu sendiri yang mungkin tidak menyukai akan pembelajaran atau guru yang mengajar.
  2. Faktor keluarga yaitu anak yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis atau broken home.
  3. Faktor Sekolah yaitu terletak pada guru yang mungkin kurang menarik dalam menyajikan pelajaran, atau mungkin dalam hal bacaan atau materi yang kurang menarik.
  4. Faktor Lingkungan yaitu anak yang terlalu sibuk dengan baik sehingga tidak terlalu memikirkan pelajaran.

Sejalan dengan pendapat diatas, Sidiarto dalam Setiyani, (2020) menunjukan bahwa penyebab anak mengalami keterlambatan atau kesulitan perkembangan membaca adalah:

  1. Anak yang lahir prematur dengan berat lahir rendah dapat mengalami kerusakan otak sehingga mengalami kesulitan belajar atau gangguan pemusatan perhatian.
  2. Anak dengan kelainan fisik seperti gangguan penglihatan, gangguan pendengaran akan mengalami kesulitan belajar membaca.
  3. Anak kurang memahami perintah karena lingkungan yang menggunakan beberapa bahasa (bi- atau multingual).
  4. Anak yang sering pindah sekolah.
  5. Anak yang sering absen karena sakit atau ada masalah dalam keluarga.
  6. Anak yang pandai dan berbakat yang tidak tertarik dengan pembelajaran bahasa sehingga kurang konsentrasi.

Gejala-gejala Kesulitan Membaca (Disleksia)

Gejala disleksia terkadang dianggap sebagai suatu hal yang biasa karena terjadi pada anak yang memang masih dalam masa perkembangan dengan segala keunikannya. Gejala disleksia terlihat unik yang terkadang membuat orang tua menyepelekan sesuatu yang sebenarnya di luar normal yang terjadi pada anaknya. Menurut Surayya & Mubarok dalam Rahmawati, et al., (2022) siswa yang memiliki gejala disleksia dari segi penampilan dan IQ normal, tetapi mereka memerlukan stimulus yang berbeda dengan siswa yang tidak bergejala disleksia, hal ini terjadi karena siswa yang bergejala disleksia memiliki gangguan pada syaraf batang otak yang menyerang syaraf yang berhubungan dengan kemampuan membaca.

Gejala dari kesulitan belajar ini termasuk dalam kemampuan belajar siswa yang berada di bawah kemampuan seharusnya, dengan mempertimbangkan tingkat intelegensi, usia dan pendidikannya. Dislekisa ini mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu. (Utami, 2020).

Jadi dapat disimpulkan bahwa gejala disleksia dapat terjadi pada siswa normal tapi memiliki syaraf otak yang terganggu, sehingga disleksia akan menghambat siswa untuk belajar.

Ciri-ciri Disleksia

Secara fisik siswa yang mengalami disleksia terlihat normal, namun ketika sudah berhadapan dengan hal kebahasaan akan terlihat perbedaannya. Berikut ini beberapa pemaparan mengenai ciri – ciri dari disleksia. Beberapa ciri – ciri anak yang menderita disleksia menurut Fanu dalam Hidayat, (2019) sebagai berikut:

  1. Membaca dengan sangat lamban dan merasa tidak puas dengan apa yang di ucapkan.
  2. Menggunakan jarinya untuk mengikuti pandangan matanya yang beranjak dari satu teks ke teks berikutnya.
  3. Melewatkan beberapa suku kata, kalimat atau bahkan baris-baris dalam teks.
  4. Menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat yang tidak ada dalam teks yang dibaca.
  5. Salah melafalkan kata-kata dengan kata lainnya, sekalipun kata yang diganti tidak memiliki arti yang penting dalam teks yang dibaca.
  6. Membuat kata-kata sendiri yang tidak memiliki arti.
  7. Mengabaikan tanda-tanda baca.

Salah satu teori Fanu dalam Windasari, et al., (2022) yang menjelaskan yang dilihat dari aspek membaca, ciri-ciri disleksia sebagai berikut:

  1. Menambahkan atau mengurangi kata dengan membuat kata-kata sendiri yang tidak memiliki arti.
  2. Sulit mengingat kata yang sudah dikenal sebelumnya.

Menurut Kalijaga, (2022) Disleksia dalam usia sekolah dasar memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Sulit membaca dan mengeja.
  2. Sering tertukar huruf dan angka.
  3. Sulit mengingat alfabet atau mempelajari tabel.
  4. Sulit mengerti tulisan yang ia baca.
  5. Lambat dalam menulis.
  6. Sulit konsentrasi.
  7. Susah membedakan kanan dan kiri, atau urutan.
  8. Percaya diri yang rendah.
  9. Masih tetap kesulitan dalam berpakaian.

Dapat disimpulkan bahwa jika pada ciri-ciri seperti yang disebutkan sebelumnya, maka siswa tersebut kemungkinan besar menderita disleksia, tapi tidak semua penyandang disleksia memiliki ciri-ciri yang sama. Siswa yang mengalami disleksia akan mengalami kesulitan dalam membaca yaitu dengan terbata-bata, sulit membedakan huruf, dan tingkat pemahaman isi bacaan yang rendah.

Masalah Siswa Disleksia

Masalah yang di alami siswa disleksia di lingkungan sekolah biasanya karena adanya perbedaan antara siswa disleksia dengan siswa normal lainnya dalam belajar. Kekurangan pada siswa disleksia menjadikan siswa disleksia mengalami hambatan-hambatan dalam proses belajar di sekolah, sehingga hal tersebut mempengaruhi perkembangan belajarnya. Disleksia memerlukan penanganan khusus, terkait dengan keluarga, lingkungan sekolah, komunitas, serta intervensi dari pemerintah. (Jesslin & Kurniawati dalam Rosmawati & Juni Samodra, 2021). Disleksia ini disebabkan oleh kondisi biologis dan faktor perilaku. Siswa yang mengalami disleksia perlu diberi perhatian khusus agar membantu kemampuannya dalam kegiatan belajar di sekolah.

Peran Guru dalam Mengatasi Disleksia

Dalam dunia pendidikan maupun pengajaran, guru tidak hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran kepada siswanya. Namun, guru juga harus memberikan bimbingan latihan bagi siswa. Menjadi seorang guru terutama guru Sekolah Dasar merupakan profesi yang tidak hanya di tuntut kreatifitasnya saja tetapi juga ketekunan dan kesabaran dalam menghadapi sifat anak didiknya yang memiliki karakter yang berbeda-beda.

Peran guru sangat penting dalam proses pembelajaran. Menurut Usman dalam Utami, (2020) peran guru yaitu terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu yang berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa dalam mencapai tujuannya. Guru berharap supaya yang siswa yang diajarnya berhasil dalam belajarnya, sehingga mereka memperoleh hasil belajar yang memuaskan. Tetapi, berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan tergantung bagaimana guru berperan terhadap proses belajar siswa. Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa selain berperan dalam proses belajar mengajar, guru juga sangat berperan penting dalam mencapai tujuan belajar dengan mendidik dan membimbing peserta didik.

Menurut Rusman dalam Fyanda et al., (2019) seorang guru mempunyai 3 tugas pokok yang harus dilakukan dan dimiliki oleh setiap guru, diantaranya adalah:

  1. Tugas Profesi, merupakan tugas yang harus dilakukan dalam proses pendidikan, pengajaran, dan pelatihan.
  2. Tugas dalam bidang kemanusiaan, yaitu pengajar harus bisa menjadikan diriya sebagai orang tua kedua di sekolah.
  3. Tugas dalam bidang kemasyarakatan, tugas pengajar sebagai warga negara yang baik turut mengemban dan melaksanakan apa yang telah digarisan oleh bangsa dan Negara.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa guru sebagai pendidik harus bisa bekerja dengan professional untuk merealisasikan kemampuan yang dimilikinya serta memiliki keikhlasan dalam lingkungan belajar sekaligus sebagai fasilitator saat pembelajaran berlangsung. Menurut Arfandi & Samsudin, (2021) Seorang guru tidak hanya menjalankan tugas dan fungsinya sebagai orang yang ahli ilmu pengetahuan akan tetapi seorang guru juga bisa berfungsi sebagai berikut:

  1. Guru sebagai pendidik
    Tugas dan peran guru sebagai pendidik dalam kegiatan belajar mengajar mempunya tanggung jawab, mengontrol segala aktivitas yang dilakukan siswa dengan memberi pengarahan melaui bimbingan dan motivasi.
  2. Guru sebagai pengajar
    Sebagai pengajar, guru bertugas membina perkembangan pengetahuan sikap dan keterampilan dalam belajar seperti menciptakan kondusifitas di kelas, menciptakan kepercayaan kepada pserta didik, merespon dengan baik, memberikan penguatan, mendengarkan, menyediakan media pembelajarna, menggunakan metode pembelajaran yang bervariatif.
  3. Guru sebagai pembimbing
    Guru sebagai pembimbing perjalanan, maka seorang guru harus memiliki empat kompetensi dalam melakukan perannya sebagai pembimbing dengan mempunyai target yang ingin di capai dengan melakukan pengawasan dalam pembelajaran. Oleh karena itu, akan menciptakan pembelajaran yang aktif, efeisen dan mnyenangkan dengan berbagai media dan metode yang bervariasi kemudian dapat di beri evaluasi melalui penilaian dari hasil belajar.
  4. Guru sebagai pemimpin
    Guru sebagai pemimpin dalam pendidikan adalah sebuah proses yang terjadi antara guru terhadap siswa untuk mencapai tujuan pendidikan secara bersamaan. Dengan adanya guru sebagai pemimpin di kelas diharapkan mampu memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan peserta didik dalam kegiatan belajar- mengajar dengan ditandai adanya prestasi hasil belajar peserta didik.
  5. Guru sebagai model dan teladan
    Peran guru sebagai teladan bagi siswa penting diperhatikan oleh guru di dalam segala aktivitasnya baik dalam gaya bicara, rutinitas bekerja, pakaian yang digunakan, interaksi dengan kemanusia, gaya hidup dan cara mengambil keputusan.
  6. Guru sebagai administrator
    Selain membuat rencana Pelaksnaan Pembelajaran (RPP) guru juga dituntut untuk membuat dan mencatat hasil belajar siswa karena itu merupakan komponen penting yang harus terdokumentasi oleh guru sebagai bukti bahwa guru tresebut sudah melaksankan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar.
  7. Guru sebagai evaluator
    Peran guru dalam memberikan evaluasi terhadap aspek pembelajaran meruapakan salah satu instrumen untuk mengetahui sejauh mana dalam kegiatan belajar mengajar siswa berhasil dalam belajar dalam memahami materi yang diajarkan oleh guru.
  8. Guru sebagai fasilitator
    Dalam hal ini, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar mengajar, misalnya menciptakan suasana belajar yang sesuai dengan perkembangan siswa sehingga interaksi belajar mengajar siswa akan berlangsung secara efektif.

Upaya Guru bagi Siswa Disleksia

Di Indonesia melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 002/U/1986 telah dirintis pengembangan sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif yang melayani penuntasan wajib belajar bagi siswa yang berkebutuhan khusus. Ormrod dalam Windasari et al., (2022) menyatakan guru juga dapat membantu memperbaiki dan mengatasi kesulitan belajar disleksia dengan berbicara dan komunikasi dengan siswa.

Ada beberapa cara/metode yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:

  1. Mendorong komunikasi lisan secara teratur, seperti berdiskusi mengenai apa yang ingin dikerjakan siswa.
  2. Memberikan penjelasan ulang (klarifikasi) ketika suatu pesan yang siswa sampaikan tidak jelas, seperti menceritakan kepada siswa hal yang sedang dilakukan.
  3. Mempertimbangkan tingkat keterampilan siswa ketika menugaskan siswa mempelajari materi-materi tertentu.

Banyak strategi dan upaya yang dilakukan guru dalam menangani siswa disleksia. Menurut Safarina & Susanti, (2018) upaya guru untuk siswa disleksia sebagai berikut:

  1. Menggunakan media belajar, hal ini karena dalam usaha mengatasi masalah siswa disleksia guru sebaiknya memberikan media belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
  2. Meningkatkan semangat siswa disleksia untuk menghafal, dengan memberikan semangat diharapkan dapat meningkatkan motivasi bagi siswa yang belum bisa mengeja maupun membaca.
  3. Meningkatkan rasa percaya diri, dalam keadaan siswa yang bermasalah mengenali huruf akan menjadikan siswa memiliki rasa percaya diri yang rendah, hal itu juga dapat menyebabkan masalah dalam kegiatan belajarnya dan bisa membuat siswa menjadi terisolir dari teman-teman di kelasnya.
  4. Tidak menghakimi siswa.
  5. Menjadi pendamping saat belajar.

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya guru untuk siswa disleksia yaitu:

  1. Guru menjadi penanggung jawab bagi siswa disleksia di kelas maupun lingkungan sekolah.
  2. Guru kelas membuat media belajar agar tidak monoton dan menarik bagi siswa disleksia.
  3. Guru sebagai pendidik juga untuk membimbing, mengarahkan, serta membantu menyelesaikan masalah belajar siswa disleksia.