Diperbarui tanggal 15/06/2022

Kecerdasan Emosional

kategori Belajar dan Pembelajaran / tanggal diterbitkan 29 Desember 2021 / dikunjungi: 2.06rb kali

Pengertian Kecerdasan Emosional

Daniel Goleman (dalam Aunurrahman, 2014:86) menjelaskan. Pertama, kecerdasan emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah”. Pada saat-saat tertentu yang diperlukan mungkin bukan “sikap ramah” melainkan, mungkin sikap tegas yang barangkali memang tidak menyenakan. Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa “memanjakan perasaan”, malainkan mengolah perasaan-perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerjasama dengan lancar menuju sasaran bersama. Tingkat kecerdasan emosi tidak terikat dengan faktor genetis, tidak juga hanya dapat berkembang pada masa kanak-kanak. Tidak seperti IQ yang berubah hanya sedikit setelah melewati usia remaja, kecerdasan emosi lebih banyak diperoleh melalui belajar dari pengalaman sendiri, sehingga kecakapan-kecakapan kita dalam hal ini dapat terus tumbuh.

Menurut Salovey dan Mayer (dalam Aunurrahman, 2014:87) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunalan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”. Pendapat keduanya memberikan isyarat bahwa EQ bukanlah lawan dari keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun empirik. Keterampilan kecerdasan emosi bekerja secara sinergi dengan keterampilan kognitif, orang-orang yang berprestasi tinggi memiliki keduanya. Makin kompleks pekerjaan, makin penting kecerdasan emosi. Emosi yang lepas kendali dapat membuat orang pandai menjadi bodoh. Tanpa kecerdasan emosi, orang tidak akan mampu menggunakan kemmapuan kognitif mereka sesuai dengan potensi maksimun (Uno, 2012:69).

Cooper dan Sawaf (dalam Uno, 2012:69-70) menegaskan bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan-kecerdasan lain sebetulnya saling menyempurnakan dan saling melengkapi. Emosi menyulut kreativitas, kolaborasi, inisiatif, dan transformasi, sedangkan penalaran logis berfungsi mengatasi dorongan yang keliru dan menyelaraskan tujuan dengan proses, dan teknologi dengan sentuhan manusiawi. Seseorang yang memiliki IQ saja belum cukup, yang ideal IQ yang dibarengi dengan EQ yang seimbang. Pemahaman ini didukung oleh pendapat Goleman yang dikutip oleh Patton, bahwa para ahli psikologi sepakat kalau IQ hanya mendukung sekitar 20 persen faktor yang menentukan keberhasilan, sedangkan 80 persen sisanya berasal dari faktor lain termasuk kecerdasan emosional (Uno, 2012:70). Goleman (dalam Uno, 2012:73-75) menjelaskan pendapat Salovey yang menempatkan kecerdasan pribadi Gardner sebagai dasar dalam mendefinisikan kecerdasan emosional yang dicetuskannya. Dalam hal ini, Salovey memperluas kemampuan kecerdasan emosional menjadi lima wilayah utama, yaitu sebagai berikut:

  1. Mengenali emosi diri. Intinya adalah kesadaran diri, yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Ini merupakan dasar Kecerdasan emosional. Kesadaran diri adalah perhatian terus-menerus terhadap keadaan batin seseorang. Dalam kesadaran refleksi diri ini, pikiran mengamati dan menggali pengalaman, termasuk emosi. Sementara, menurut John Mayer, kesadaran diri berarti waspada, baik terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena memiliki perasaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.
  2. Mengelola emosi. Yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas. Kecakapan in bergantung pula pada Kesadaran diri. Mengelola emosi berhubungan dengan kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan Kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan emosional dasar. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
  3. Memotivasi diri sendiri. Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Begitu juga dengan kendali emosional diri, menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati merupakan landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Kemudian, mampu menyesuaikan diri dalam “flow” memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
  4. Mengenali emosi orang lain. Yaitu empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, yang merupakan “keterampilan bergaul” dasar. Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan dalam arena kehidupan. Menurut teori Titchener, empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.
  5. Membina hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola orang lain. Dalam hal ini keterampilan dan ketidakterampilan sosial, serta keterampilan-keterampilan tertentu yang berkaitan adalah termasuk di dalamnya. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. Keterampilan sosial adalah unsur untuk menajamkan kemampuan antarpribadi, unsur pembentuk daya tarik, keberhasilan sosial, bahkan karisma. Orang-orang yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu memimpin dan mengorganisasi, dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia. Mereka adalah pemimpin-pemimpin alamiah, orang yang mampu menyuarakan perasaan kolektif serta merumuskannya dengan jelas sebagai panduan kelompok untuk meraih sasaran. Mereka adalah jenis orang yang disukai oleh sekitarnya karena secara emosional mereka menyenangkan, mereka membuat orang lain merasa tenteram. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain. Mereka adalah bintang-bintang pergaulan.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan betapa pentingnya kecerdasan emosional dikembangkan pada diri siswa (peserta didik), dimana mereka begitu cerdas disekolah, begitu cemerlang prestasi akademiknya, namun bila tidak dapat mengolah emosinya, seperti mudah marah, mudah putus asa atau angkuh dan sombong, maka prestasi tersebut tidak akan banyak bermanfaat untuk dirinya.

Ciri-ciri dan Karakteristik Kecerdasaan Emosional

Goleman (dalam Uno, 2012:86-87) mengelompokkan kecerdasan emosional terbagi menjadi 2 wilayah, yaitu pada pengaturan diri sendiri dan mengatur hubungan dengan orang lain. Adapun dua wilayah kerangka dasar kecerdasan emosional, yaitu:

  1. Kompetensi pribadi (Personal Competence), yaitu bagaimana mengatur diri sendiri yang terdiri dari:
    1. Kesadaran diri (Self Awareness), yaitu kemampuan untuk mengenal perasaan diri sendiri. Indikatornya: kesadaran emosi, penilaian diri dan percaya diri.
    2. Kemampuan mengatur diri sendiri (Self Regulation/Self Management), yaitu kemampuan mengatur perasaannya. Indikatornya: kendali diri, sifat dapat dipercaya, kewaspadaan, adaptabilitas, dan inovasi.
    3. Motivasi (Motivating), yaitu kecenderungan untuk menfasilitasi diri sendiri untuk mencapai tujuan walaupun mengalami kegagalan dan kesulitan. Indkatornya: tingkat dorongan prestasi, komitmen, inisiatif, dan optimisme.
  2. Kompetensi sosial (Social Competency), yaitu kemampuan mengatur hubungan dengan orang lain, yang terdiri dari:
    1. Empati, yaitu kesadaran untuk memberikan perasaan/perhatian, kebutuhan atau kepedulian kepada orang lain. Indikatornya: memahami orang lain, oerientasi pelayanan, mengembangkan orang lain, dan mengatasi keberagaman.
    2. Keterampilan sosial, yaitu mengatur emosi dengan orang lain, keterampilan sosial seperti kepemimpinan, kerja tim, kerjasama dan negosiasi. Indikatornya: pengaruh dan komunikasi, kepemimpinan dan katalisator perubahan, manajemen konflik dan pengikat jaringan, serta kemampuan tim, kolaborasi dan kooperasi.

Adapun Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosional dapat dilihat pada tabel berikut:

Aspek Indikator
Kesadaran Diri
  1. Kesadaran Emosi
  2. Penilaian Diri
  3. Percaya Diri
Pengaturan Diri
  1. Kendali Diri
  2. Sifat Dapat Dipercaya
  3. Kewaspadaan
  4. Adaptabilitas
  5. Inovasi
Motivasi
  1. Dorongan Prestasi
  2. Komitmen
  3. Inisiatif
  4. Optimisme
Empati
  1. Memahami Orang Lain
  2. Orientasi Pelayanan
  3. Mengembangkan Orang Lain
  4. Mengatasi Keberagaman
Keterampilan Sosial
  1. Pengaruh dan Komunikasi
  2. Kepemimpinan dan Katalisator Perubahan
  3. Manajemen Konflik dan Pengikat Jaringan
  4. Kemampuan Tim, Kolaborasi dan Kooperasi
 

Daftar Pustaka

Aunurrahman. 2014. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Daud, Mesti. 2010. Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Vol. 1 No. 2 ISSN 2087-3581.

Delfila, Muslimin. 2013. Hubungan Kecerdasan Emosional Dengan Hasil Belajar IPA Siswa SMP Negeri 1 Palu. Jurnal Jurusan Pendidikan dan Keguruan. Universitas Tadulako Sulawesi Tengah. Vol. 2 No. 2 ISSN 2338-3240.

Djaali, 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Goleman, Daniel. 2017. Emotional Intelligence. Jakarta: PT. Gramedia.

Nuridawani, Munzir. 2015. Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa Madrasah Tsanawiyah Melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTR). Jurnal Didaktik Matematika. ISSN 2355-4185.

Siregar, Syofian. 2015. Statistik Parametrik untuk Penenlitian Kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara. Syah,

Muhibbin. 2014. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: PT. Tarsito.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suryabrata, Sumardi. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Uno, B Hamzah. 2012. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Wahab, Rohmalina. 2015. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada