Diperbarui tanggal 12/Okt/2022

Higher Order Thinking Skills

kategori Belajar dan Pembelajaran / tanggal diterbitkan 12 Oktober 2022 / dikunjungi: 2.61rb kali

Pengertian Higher Order Thinking Skills

Higher Order Thinking Skills (HOTS) atau Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa. Brookhart (2010) menyatakan bahwa Higher Order Thinking Skills (HOTS) dipahami sebagai kemampuan siswa untuk dapat menghubungkan pembelajaran dengan elemen lain di luar yang guru ajarkan untuk diasosiasikan dengannya. Sementara itu, menurut King dkk (2012) mendefinisikan Higher Order Thinking Skills (HOTS) sebagai keterampilan berpikir kritis, berpikir logis, reflektif, metakognitif, dan kreatif. Dengan demikian, Higher Order Thinking Skills (HOTS) atau Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi adalah kemampuan siswa menghubungkan pembelajaran dengan elemen di luar yang diajarkan oleh guru, dimana kemampuan ini termasuk dalam kemampuan berpikir kritis, berpikir logis, reflektif, metakognitif, dan kreatif.

Higher Order Thinking Skills (HOTS) adalah salah satu cara yang digunakan untuk mendidik siswa mengembangkan kemampuan berpikir mereka. Siswa dikatakan mampu berpikir jika dapat mengaplikasikan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan yang dimiliki ke dalam konteks situasi yang baru. Melatih dan membiasakan siswa berinteraksi di dalam masyarakat tidak hanya sekedar melibatkan siswa dalam kompleksitas permasalahan di masyarakat. Tetapi lebih dari itu, siswa harus mampu mengambil peran yang positif sekecil apapun itu sesuai dengan tingkat perkembangan psikologinya, yang menjadi persoalan adalah kompleksnya situasi dan permasalahan yang berada di masyarakat. Dari situasi tersebut, siswa harus mampu mengolah informasi, membuat generalisasi, menyelesaikan masalah meskipun sederhana, mengambil kesimpulan data, menerangkan hubungan sebab akibat, serta mengaitkan konsep dasar ilmu pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari maupun terhadap permasalahan di lingkungan masyarakat. Di sini, peran sekolah membekali siswa dengan kemampuan berpikir, yaitu kemampuan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS).

Menurut Thomas dan Thorne (dalam Nugroho 2018: 16), Higher Order Thinking Skills (HOTS) merupakan cara berpikir yang lebih tinggi daripada sekedar menghafalkan fakta, mengemukakan fakta, atau menerapkan peraturan, rumus, dan prosedur. Higher Order Thinking Skills (HOTS) mengharuskan siswa untuk melakukan sesuatu berdasarkan fakta. Membuat keterkaitan antar fakta, mengategorikannya, memanipulasinya, menempatkannya pada konteks atau cara baru, dan mampu menerapkannya untuk mencari solusi baru terhadap suatu permasalahan. Hal ini sejalan dengan pendapat Onosko dan Newman (dalam Nugroho 2018: 16) yang menyatakan bahwa Higher Order Thinking Skills (HOTS) didefinisikan sebagai potensi penggunaan pikiran untuk menghadapi tantangan baru.

Higher Order Thinking Skills (HOTS) merupakan bagian dari ranah kognitif yang terdapat dalam Taksonomi Bloom yang bertujuan untuk mengasah keterampilan mental seputar pengetahuan. Ranah kognitif versi Bloom ini kemudian direvisi oleh Lorin Anderson, David Karthwohl, dkk. pada tahun 2011. Urutannya berubah menjadi enam, yaitu: (1) mengingat (remembering), (2) memahami (understanding), (3) mengaplikasikan (applying), (4) menganalisis (analyzing), (5) mengevaluasi (evaluating), dan (6) mencipta (creating).

Tingkatan 1 sampai 3 termasuk kemampuan berpikir tingkat rendah atau Lower Order Thinking Skills (LOTS), sedangkan tingkatan 4 sampai 6 termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS). Susan Brookhat mengkategorikan tiga proses kognitif paling atas pada Taksonomi Bloom, yaitu menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi sebagai proses berpikir tingkat tinggi. Susan menjelaskan tiga proses kognitif tingkat tinggi tersebut sebagai berikut.

  1. Menganalisis
    Mengurai informasi ke dalam bagian-bagian dan menentukan atau menjelaskan bagaimana bagian-bagian tersebut terkait. Soal mengukur analisis ketika peserta harus menyimpulkan berdasarkan analisis dari bagian-bagian teks atau stimulus.
    Contoh: menemukan atau menentukan ide-ide pokok, argumen, asumsi dari suatu teks yang tidak disampaikan secara eksplisit; menentukan atau menyusun bukti yang mendukung dan tidak mendukung untuk suatu deskripsi kasus; menentukan pandangan penulis esai dari sudut pandang tertentu
  2. Mengevaluasi
    Mengevaluasi sesuai dengan tujuan; membuat pertimbangan/ judgement berdasarkan standar atau kriteria.
    Contoh: menentukan metode yang memberikan solusi yang paling tepat untuk masalah yang disajikan; menentukan ketepatan kesimpulan peneliti berdasar data yang disajikan.
  3. Mengkreasi
    Menyatukan unsur-unsur untuk membentuk suatu kesatuan; menata ulang unsur-unsur untuk membentuk pola atau stuktur yang baru.
    Contoh: merencanakan karya tulis ilmiah berdasarkan topik yang diberikan; menyusun desain eksperimen; menyusun hipotesis untuk menerangkan fenomena yang tampak; menyusun akhir cerita

Direktorat Pembinaan SMA (2019: 9) menerangkan bahwa soal-soal HOTS pada umumnya mengukur kemampuan pada ranah menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6). Kata kerja operasional (KKO) yang ada pada pengelompokkan Taksonomi Bloom menggambarkan proses berpikir, bukan hanya kata kerja pada soal. Ketiga kemampuan berpikir tingkat tinggi ini (menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta) penting dalam menyelesaikan masalah, transfer pembelajaran, dan kreativitas. Pemilihan KKO untuk merumuskan indikator soal HOTS, hendaknya tidak terjebak pada pengelompokkan KKO. Sebagai contoh kata kerja ‘menentukan’ pada Taksonomi Bloom ada pada level C2 dan C3. Dalam konteks penulisan soal-soal HOTS, kata kerja ‘menentukan’ bisa jadi ada pada level C5 (mengevaluasi) apabila soal tersebut untuk menentukan keputusan didahului dengan proses berpikir menganalisis informasi yang disajikan pada stimulus lalu siswa diminta menentukan keputusan yang terbaik. Bahkan kata kerja ‘menentukan’ bisa digolongkan C6 (mencipta) bila pertanyaan menuntut kemampuan menyusun strategi pemecahan masalah baru. Jadi, ranah kata kerja operasional (KKO) sangat dipengaruhi oleh proses berpikir apa yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan.

Brookhart (2010) secara praktis menggunakan tiga istilah dalam mendefinisikan keterampilan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS), yaitu sebagai berikut.

  1. HOTS sebagai proses transfer, dalam konteks pembelajaran adalah melahirkan belajar bermakna (meaningfull learning). Meaningfull learning adalah kemampuan siswa dalam menerapkan apa yang telah dipelajari ke dalam situasi baru tanpa arahan atau petunjuk orang lain (guru).
  2. HOTS sebagai berpikir kritis, dalam konteks pembelajaran adalah membentuk siswa yang mampu untuk berpikir logis (masuk akal), reflektif, dan mengambil keputusan secara mandiri.
  3. HOTS sebagai penyelesaian masalah, menjadikan siswa mampu menyelesaikan permasalahan riil dalam kehidupan nyata, yang umumnya bersifat unik sehingga prosedur penyelesaiannya juga bersifat khas dan tidak rutin.

Prinsip Penyusunan Instrumen Penilaian HOTS

Puspendik (2019: 6-7) menjelaskan bahwa berdasarkan kategori kognitif tingkat tinggi di atas, maka prinsip penyusunan instrumen penilaian keterampilan tingkat tinggi terbagi menjadi tiga prinsip, yaitu sebagai berikut.

  1. Menggunakan stimulus
    Stimulus dapat berupa teks, gambar, skenario, tabel, grafik, wacana, dialog, video, atau masalah. Stimulus berfungsi sebagai media bagi peserta didik untuk berpikir. Tanpa adanya stimulus, soal cenderung menanyakan atau menilai ingatan. Stimulus yang digunakan hendaknya yang positif, dalam arti tidak menimbulkan efek negatif misalnya menyudutkan kelompok tertentu, atau
    memberikan penguatan untuk perilaku negatif. Bila memungkinkan stimulus yang digunakan hendaknya edukatif, memberi wawasan, pesan moral dan inspirasi kepada peserta. Sebagai contoh, teks atau grafik yang menunjukkan besarnya jumlah makanan tersisa dari suatu restoran atau dari suatu pesta dapat memberikan wawasan dan pesan kepada peserta tentang penghamburan makanan yang seharusnya tidak terjadi.
  2. Menggunakan konteks yang baru
    Konteks yang baru yang dimaksud adalah konteks soal secara keseluruhan, dapat berupa materi atau rumusan soal. Agar dapat berfungsi sebagai alat yang mengukur berpikir tingkat tinggi, soal hendaknya tidak dapat dijawab hanya dengan mengandalkan ingatan. Bila suatu konteks soal sudah familiar karena sudah dibahas di kelas atau merupakan pengetahuan umum, dalam menjawab peserta didik tidak lagi berpikir tetapi hanya mengingat. Sebagai contoh, soal yang meminta peserta didik untuk mengkritisi karya penulis A berdasarkan aspek atau sudut pandang tertentu merupakan soal yang tampaknya mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi. Namun karena di kelas atau di buku pelajaran hal tersebut telah kerap dibahas maka sebenarnya untuk dapat menjawab soal tersebut, peserta didik tidak perlu berpikir kritis, melainkan cukup mengingat. Soal dengan konteks yang baru dan belum pernah dibahas sebelumnya, menuntut peserta didik tidak hanya menjawab dengan mengingat tetapi menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi karena mengkritisi karya tersebut.
  3. Membedakan tingkat kesulitan dan kompleksitas proses berpikir
    Tingkat kesulitan dan proses berpikir merupakan dua hal yang berbeda. Soal yang mengukur ingatan dapat mudah dan dapat juga sulit, demikian pula soal yang mengukur berpikir tingkat tinggi juga dapat mudah dan dapat sulit, tergantung pada kompleksitas pertanyaan atau tugas. Sebagai contoh, soal berpikir tingkat tinggi yang mudah, yaitu: Mengapa Sari meminjamkan buku kepada Dini meskipun dia mengetahui bahwa Dini lah yang menyebabkan dia celaka? Sedangkan soal berpikir tingkat tinggi yang sulit, yaitu: Bagaimana keputusan yang akan diambil oleh Sinta? Apa yang mendasari keputusannya? Tunjukkan bagian teks yang mendukung hal tersebut!

Berdasarkan prinsip penyusunan instrumen penilaian di atas, maka contoh soal berpikir tingkat tinggi adalah, sebagai berikut:

Cermati teks berikut!
Kuman penyakit sangat mudah ditularkan melalui tangan. Pada saat makan, kuman dapat dengan cepat masuk ke dalam tubuh yang bisa menimbulkan penyakit. Tangan terkadang terlihat bersih secara kasat mata, tetapi tetap mengandung kuman. Sabun dapat membersihkan kotoran dan membunuh kuman. Tanpa sabun, kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan. Berikut langkah Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS):

  1. Basahi seluruh tangan dengan air bersih mengalir;
  2. Gosok sabun ke telapak, punggung tangan, dan sela jari;
  3. Bersihkan bagian bawah kuku-kuku;
  4. Bilas tangan dengan air bersih mengalir;
  5. Keringkan tangan dengan handuk/tisu atau keringkan dengan diangin-anginkan.

Pertanyaan:
Sebuah sekolah mengadakan program mencuci tangan dengan menyediakan air yang disediakan dalam baskom, satu handuk kecil, dan sabun di depan tiap kelas. Apakah program tersebut efektif bagi kesehatan peserta didik? Berikan alasanmu dengan mengaitkan isi teks!

Contoh soal di atas termasuk dalam kategori Higher Order Thinking Skills (HOTS) karena jawaban tidak terdapat secara eksplisit ditemukan pada teks sehingga peserta didik harus menafsirkan isi teks tersebut terlebih dahulu. Penilaian Higher Order Thinking Skills (HOTS) tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran Higher Order Thinking Skills (HOTS). Tugas guru bukan hanya melakukan penilaian Higher Order Thinking Skills (HOTS), melainkan juga harus mampu melaksanakan pembelajaran yang dapat melatih siswa untuk memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS). Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan proses berpikir tingkat tinggi yang lebih efektif. Prinsip umum untuk menilai berpikir tingkat tinggi sebagai berikut.

  1. Menentukan secara tepat dan jelas apa yang akan dinilai.
  2. Merencanakan tugas atau butir soal yang menuntut siswa untuk menunjukkan pengetahuan atau keterampilan yang mereka miliki.
  3. Menentukan langkah apa yang akan diambil sebagai bukti peningkatan pengetahuan dan kecakapan siswa yang telah ditunjukan dalam proses.

Penilaian berpikir tingkat tinggi meliputi 3 prinsip:

  1. Menyajikan stimulus bagi siswa untuk dipikirkan, biasanya dalam bentuk pengantar teks, visual, skenario, wacana, atau masalah (kasus).
  2. Menggunakan permasalahan baru bagi siswa, belum dibahas di kelas, dan bukan pertanyaan hanya untuk proses mengingat.
  3. Membedakan antara tingkat kesulitan soal (mudah, sedang, atau sulit) dan level kognitif (berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi).

Conklin (dalam Nugroho, 2018: 62-63) menegaskan bahwa pembelajaran Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang dilakukan secara tepat akan membuat siswa antusias, memiliki motivasi, tidak mudah menyerah, dan merasa membutuhkan pembelajaran. Akhirnya, siswa akan mampu menjadi pembelajar yang aktif. Pembelajaran aktif memang sebuah kerja keras, tetapi harus bersifat menyenangkan. Nugroho (2018: 64) menyatakan bahwa ada banyak penelitian yang membuktikan bahwa pembelajaran dengan Higher Order Thinking Skills (HOTS) bisa memberikan manfaat baik bagi siswa. Ada tiga hal yang bisa dirasakan manfaatnya, yaitu meningkatkan prestasi, motivasi, dan sikap positif siswa.

Karakteristik Soal HOTS

Soal-soal HOTS sangat direkomendasikan untuk digunakan pada berbagai bentuk penilaian kelas. Sebagai referensi guru dalam menyusun soal-soal HOTS ditingkat pendidikan, berikut ini Widana (2017:3) menguraikan tentang karakteristik soal-soal HOTS, antara lain.

  1. Mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi
    The Australian Council for Educational Research (ACER) menyatakan bahwa kemampuan berpikir tinggi merupakan proses: menganalisis, merefleksi, memberikan pendapat, menerapkan konsep pada situasi berbeda, menyusun, dan menciptakan. Kemampuan berpikir tinggi bukanlah kemampuan untuk mengingat, mengetahui, atau mengulang. Dengan demikian jawaban soal-soal HOTS tidak tersurat secara eksplisit dalam stimulus. Kemampuan berpikir tingkat tinggi termasuk kemampuan untuk memecahkan masalah, keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, kemampuan berargumen, dan kemampuan mengambil keputusan. Kemampuan berpikir tinggi merupakan salah satu kompetensi penting dalam dunia modern, sehingga wajib dimiliki oleh setiap peserta didik. Kreativitas menyelesaikan permasalahan dalam HOTS, terdiri atas:
    1. kemampuan menyelasaikan permasalahan yang tidak familiar;
    2. kemampuan mengevaluasi strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda;
    3. menemukan model-model penyelesaian baru yang berbeda dengan cara sebelumnya.
    Tingkat kesukaran butir soal tidak sama dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sebagai contoh, untuk mengetahui arti sebuah kata yang tidak umum mungkin memiliki tingkat kesukaran yang sangat tinggi, tetapi kemampuan untuk menjawab permasalahan tersebut tidak termasuk higher order thinking skills. Dengan demikian, soal-soal HOTS belum tentu soal-soal yang memiliki tingkat kesukaran yang tinggi. Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dilatih dalam proses pembelajaran di kelas. Oleh karena itu agar peserta didik memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, maka proses pembelajarannya juga memberikan ruang kepada peserta didik untuk memecahkan konsep pengetahuan berbasis aktivitas. Aktivitas dalam pembelajaran dapat mendorong peserta didik untuk membangun kreativitas dan berpikir kritis.
  2. Berbasis permasalahan kontekstual
    Soal-soal HOTS merupakan asesmen yang berbasis situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari, di mana peserta didik diharapkan dapat menerapkan konsep-konsep pembelajaran di kelas untuk menyelasaikan masalah. Permasalahan kontekstual yang dihadapi masyarakat dunia saat ini terkait dengan lingkungan hidup, kesehatan, kebumian, dan ruang angkasa, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam pengertian tersebut termasuk pula bagaimana keterampilan peserta didik untuk menghubungkan (relate), menginterpretasikan (interprete), menerapkan (apply) dan mengintegrasikan (integrate) ilmu pengetahuan dalam pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan permasalahan dalam konteks nyata.

    Direktorat Pembinaan SMA (2019: 11) menguraikan lima karakteristik asesmen kontekstual yang disingkat menjadi REACT, yaitu sebagai berikut.
    1. Relating, asesmen terkait langsung dengan konteks pengalaman kehidupan nyata.
    2. Experiencing, asesmen yang ditekankan kepada penggalian (exploration), penemuan (discovery), dan penciptaan (creation).
    3. Appliying, asesmen yang menuntut kemampuan peserta didik untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di dalam kelas untuk menyelesaikan masalah- masalah nyata.
    4. Communicating, asesmen yang menuntut kemampuan peserta didik untuk mampu mengomunikasikan kesimpulan model pada kesimpulan konteks masalah.
    5. Transfering, asesmen yang menuntuk kemampuan peserta didik untuk mentransformasikan konsep-konsep pengetahuan dalam kelas ke dalam situasi atau konteks baru.
  3. Tidak rutin dan mengusung kebaruan
    Salah satu tujuan penyusunan soal-soal HOTS adalah untuk membangun kreativitas siswa dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kontekstual. Sikap kreatif erat dengan konsep inovatif yang menghadirkan keterbaharuan. Soal-soal HOTS tidak dapat diujikan berulang-ulang pada peserta tes yang sama. Apabila suatu soal HOTS diujikan berulang-ulang pada peserta tes yang sama, maka proses berpikir kritis siswa menjadi menghafal dan mengingat. Soal-soal tersebut tidak lagi dapat mendorong peserta tes untuk kreatif menemukan solusi baru.
    Soal-soal yang tidak rutin dapat dikembangkan dari KD-KD tertentu dengan memvariasikan stimulus yang bersumber dari berbagai topik. Pokok pertanyaannya tetap mengacu pada kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan tuntutan pada KD. Bentuk-bentuk soal dapat divariasikan sesuai dengan tujuan tes. Untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) akan lebih baik jika menggunakan soal bentuk uraian. Soal bentuk uraian mudah dilihat tahapan-tahapan berpikir yang dilakukan siswa, kemampuan mentransfer konsep ke situasi baru, kreativitas membangun argumen dan penalaran, serta hal-hal lainyang berkenaan dengan pengukuran keterampilan berpikir tingkat tinggi.