Diperbarui tanggal 13/09/2022

Adversity Quotient

kategori Belajar dan Pembelajaran / tanggal diterbitkan 30 April 2022 / dikunjungi: 12.12rb kali

Pengertian Adversity Quotient (AQ)

Adversity quotient (AQ) adalah suatu teori yang dicetuskan oleh Paul G.Stoltz, Ph.D, seorang President of PEAK Learning Incorporated yang meraih gelar doktor dalam bidang komunikasi dan pengembangan organisasi. Stoltz juga telah menjadi konsultan dan pemimpin dalam bidang pemikiran untuk berbagai macam organisasi di seluruh dunia. Konsep IQ (intelligence quotient) telah lama dianggap sebagai penentu kesuksesan, namun ternyata beberapa orang dengan IQ tinggi tidak sedikit yang mengalami kegagalan. Setelah konsep IQ terkenal, Daniel Goleman memperkenalkan konsep baru mengenai kecerdasan, yaitu EQ atau emotional quotient (Mulyana dan Huda, 2018).

Menurut Stoltz (2000) adversity quotient adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan mencapai tujuan.AQ mengungkap seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan yang dialaminya. AQ juga mengungkap bagaimana kemampuan seseorang untuk mengatasi kesulitan tersebut. AQ memprediksi siapa yang mampu dan siapa yang tidak mampu dalam mengatasi kesulitan. Adversity quotient (AQ) merupakan suatu bentuk kecerdasan yang melatarbelakangi kesuksesan seseorang dalam menghadapi sebuah tantangan disaat terjadi kesulitan atau kegagalan. Penelitian tentang adversity quotient ini berawal dari keberagaman dunia kerja yang terlalu kompleks dengan persaingan yang cukup tinggi sehingga banyak individu merasa stress menghadapinya. Individu yang mengalami hal tersebut dikarenakan kendali diri, asal usul dan pengakuan diri, jangkauan serta daya tahan yang kurang kuat dalam menghadapi kesulitan dan permasalahan yang dirasa cukup sulit dalam hidupnya. Biasanya berakhir dengan kegagalan sehingga menjadi individu yang dirasa cukup sulit dalam hidupnya. Biasanya berakhir dengan kegagalan sehingga menjadi individu yang tidak kreatif dan produktif (Tarma,dkk, 2009).

Stoltz membagi manusia menjadi tiga kategori yaitu quitters, campers dan climbers. The Quitter merupakan sekelompok orang yang melarikan diri dari tantangan. The Camper diibaratkan sebagai kelompok yang sedang dalam perjalanan naik gunung namun berhenti di tengah jalan. Climbers merupakan sekelompok orang yang selalu menghadapi tantangan. Terdapat lima komponen Adversity Quotient yang sering disebut dengan CO2RE. Control(C) merupakan kendali. C mengungkap sejauh mana seseorang dapat mengendalikan dan merasakan suatu kejadian yang sulit. Origin and Ownership (O2) adalah bagaimana seseorang memandang suatu masalah dengan mencari sebab dan penyelesaian atas masalah tersebut. Reach (R) mengukur seberapa jauh suatu kesulitan akan menjangkau pada aspek aspek kehidupan seseorang. Endurance (E) berarti daya tahan merupakan suatu ukuran dari daya tahan dengan meninjau seberapa lama kesulitan akan bertahan dalam hidupnya. Delapan faktor yang mempengaruhi Adversity Quotient yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil resiko, perbaikan, ketekunan dan belajar (Suprihatin dan Azaria, 2017).

Gaya hidup Adversity Quotient tinggi, sedang rendah sudah dapat dibedakan, para kelompok Adversity Quotient tinggi atau climbers akan menjalani hidupnya dengan lengkap, mereka benar–benar memahami tujuan untuk apa mereka hidup, dan apapun yang mereka kerjakan sudah tergambar jelas dalam benaknya mereka akan melengkapi kebutuhan fisiologis, melengkapu kebutuhan arasa aman, kebutuhan ikut memiliki dan berkasih sayang, memiliki penghargaan untuk hidupnya, mengaktualisasikan diri. Mereka akan berfikir apa yang saat ini dilakukan akan membawa kemajuan-kemajuan di masa yang akan datang. Climbers akan menyambut dengan hangat segala bentuk tantangan yang hadir dalam dirinya, mereka yakin akan kemampuan yang mereka miliki walaupun akan banyak komentar negativ yang datang bahwa jalannya tidak mungkin untuk ditempuh.

Kelompok Adversity Quotient sedang atau campers akan menjalani hidupnya dengan tidak lengkap karena mereka akan lelah mendaki sehingga mereka berkata “ini sudah cukup baik untuk dijalani” tanpa berfikir harga apa yan mereka bayar. Campers akan dapat memenuhi kebutuhan fisiologisnya, merasa aman, ikut memiliki dan berkasih sayang, serta melengkapi kebutuhan penghargaan, namun campers tidak melengkapi kebutuhan aktualisasi dirinya. Mereka bertahan dengan apa yang sudah mereka miliki, mereka akan puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri.

Kelompok Adversity Quotient rendah atau Quitters sering menjadi sinis, murung, dan mati perasaannya, mereka akan jadi mudah marah, dan frustasi, dengan mudah menyalahkan orang lain dan juga membenci orang-orang yang terus mendaki dalam level kehidupan, quitters hanya memenuhi kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman.

Menurut Stoltz (2000), aspek-aspek adversity quotient terdiri atas empat yaitu:

  1. Control (Kendali), kemampuan seseorang mengendalikan perasaan terhadap permasalahan yang dihadapi. Pada situasi ini individu diharapkan mampu merasakan kesulitan yang terjadi, serta mengambil seluruh tantangan secara lebih berani dan optimal.
  2. Origin dan Ownership, origin sendiri berkaitan dengan rasa bersalah. Individu yang memiliki adversity quotient yang rendah, cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa buruk yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa individu tersebut menempatkan dirinya sebagai satu-satunya penyebab atau asal-usul dari kesulitan yang dialami.
  3. Reach (jangkauan), aspek ini mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian lain dari kehidupan individu.
  4. Endurance (ketahanan), ketepatan dan kecepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Semakin tinggi adversity quotient seseorang pada tahap ini akan memandang kesuksesan sebagai sesuatu yang bertahan lama

Dimensi- dimensi Adversity Quotient

Adversity Quotient Stoltz (2000) dibagi menjadi empat dimensi yaitu:

  1. Kendali/ Control (C)
    Kendali berkaitan dengan seberapa besar orang merasa mampu mengendalikan kesulitan – kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana individu merasakan bahwa kendali itu ikut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Semakin besar kendali yang dimiliki semakin besar kemungkinan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam niat serta ulet dalam mencari penyelesaian. Demikian sebaliknya, jika semakin rendah kendali, akibatnya seseoran menjadi tidak berdaya menhadapi kesulitan dan mudah menyerah.
  2. Daya tahan / endurance (E)
    Dimensi ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama atau tidaknya kesulitan akan berlansung. Daya tahan dapat menimbulkan penilaian tentang situasi yang baik atau buruk. Seseorang yang memunyai daya tahan yang tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam
    mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi. Semakin tinggi daya tahan yang dimiliki oleh individu, maka semakin besar kemunkinan seseorang dalam memandang kesuksesan sebagai sesuatu hal yang bersifat sementara dan oran mempunyai Adversity Quotientyang rendah akan menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang bersifat abadi, dan sulit untuk diperbaiki.
  3. Jangkauan / reach (R)
    Jangkauan merupakan bagian dari adversity quotient yang mempertanyakan sajauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari individu. Reach juga berarti sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian –bagian lain dari kehidupan seseorang. Reach atau jangkauan menunjukkan kemampuan dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan tekanan. Semakin tinggi jangkauan seseorang, semakin besar kemungkinannya dalam merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif dalam menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, maka seseorang akan lebih berdaya dan perasaan putus asa atau kurang mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan yan ada, sehingga ketika memiliki masalah di satu bidang dia tidak harus merasa mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu tersebut.
  4. Kepemilikan / origin and ownership (O2)
    Kepemilikan atau dalam istilah lain disebut denan asal-usul dan pengakuan akan mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seorang idividu menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai penyebab asal-usul kesulitan. Orang yang skor origin (asal-usulnya) rendah akan cendrung berfikir bahwa semua kesulitan atau permasalahan yang datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau kebodohan dirinya sendiri serta membuat perasaan dan pikiran merusak semangatnya. (Stoltz 2000)

Adversity quotient juga memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Siswa menghadapi banyak situasi atau tantangan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Untuk mengatasi atau menghadapi masalah ini, diperlukan adversity quotient. Seseorang yang memiliki kapasitas untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan dapat dengan mudah mencapai tujuan hidupnya. Seseorang harus memiliki kemampuan untuk merespons situasi kesulitan tertentu dengan cara yang bersahabat. Kemampuan ini sangat penting bagi guru siswa untuk memecahkan masalah mereka sehari-hari. (Parvathy and Praseeda 2014).

Kemampuan dalam mengatasi masalah dan memecahkan masalah telah mendapat perhatian luas. Stoltz memberikan arti mengatasi masalah dan menyelesaikan masalah adalah daya tahan, ketekunan dan kemampuan untuk melalui kesulitan tanpa melepaskan diri dan juga menawarkan elemen yang mampu mengatasi masalah dan memecahkan masalah memiliki empat dimensi yang disebut CO2RE yang menunjukkan tentang tingkat AQ dari orang. Ini akan mengarah pada pengembangan individu secara tepat. (Boonsamuan and Nobaew 2016).

Faktor Pembentuk Adversity Quotient

Faktor-faktor pembentuk adversity quotient adalah sebagai berikut (Stoltz, 2000):

  1. Daya saing. Adversity quotient yang rendah dikarenakan tidak adanya daya saing ketika menghadapi kesulitan, sehingga kehilangan kemampuan untuk menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi.
  2. Produktivitas. Penelitian yang dilakukan di sejumlah perusahaan menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kinerja karyawan dengan respon yang diberikan terhadap kesulitan. Artinya respon konstruktif yang diberikan seseorang terhadap kesulitan akan membantu meningkatkan kinerja lebih baik, dan sebaliknya respon yang destruktif mempunyai kinerja yang rendah.
  3. Motivasi. Seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat mampu menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan kesulitan dengan menggunakan segenap kemampuan.
  4. Mengambil risiko. Seseorang yang mempunyai adversity quotient tinggi lebih berani mengambil risiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang dengan adversity quotient tinggi merespon kesulitan secara lebih konstruktif.
  5. Perbaikan. Seseorang dengan adversity quotient yang tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah konkret, yaitu dengan melakukan perbaikan dalam berbagai aspek agar kesulitan tersebut tidak menjangkau bidang-bidang yang lain.
  6. Ketekunan. Seseorang yang merespon kesulitan dengan baik akan senantiasa bertahan.
  7. Belajar. Seseorang yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan dengan seseorang yang memiliki pola pesimistis.

Cara Menumbuhkan Adversity Quotient

Menurut Stoltz, cara menumbuhkan dan mengembangkan Adversity Quotient dapat dilakukan dengan istilah LEAD (Listened, Explored, Analized, Do) yaitu dijelaskan sebagai berikut:

  1. Listened (dengar)
    Mendengarkan respon terhadap kesulitan merupakan langkah yang penting dalam mengubah AQ individu. Individu berusaha menyadari dan menemukan jika terjadi kesulitan, kemudian menanyakan pada diri sendiri apakah itu respon AQ yang tinggi atau rendah, serta menyadari dimensi AQ mana yang paling tinggi.
  2. Explored (gali)
    Pada tahap ini, individu didorong untuk menjajaki asal-usul atau mencari penyebab dari masalah. Setelah itu menemukan mana yang merupakan kesalahannya, lalu mengeksplorasi alternatif tindakan yang tepat.
  3. Analized (analis)
    Pada tahap ini, individu diharapkan mampu penganalisis bukti apa yang menyebabkan individu tidak dapat mengendalikan masalah, bukti bahwa kesulitan itu harus menjangkau wilayah lain dalam kehidupan, serta bukti mengapa kesulitan itu harus berlangsung lebih lama dari semestinya. Fakta fakta ini perlu dianalisis untuk menemukan beberapa faktor yang mendukung AQ individu.
  4. Do (lakukan)
    Terakhir, individu diharapkan dapat mengambil tindakan nyata setelah melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Sebelumnya diharapkan individu dapat mendapatkan informasi tambahan guna melakukan pengendalian situasi yang sulit, kemudian membatasi jangkauan keberlangsungan masalah saat kesulitan itu terjadi.