Diperbarui tanggal 20/06/2021

Asas-Asas Pendidikan Nasional

author/editor: Edi Elisa / kategori Wawasan Kependidikan / tanggal diterbitkan 20 Juni 2021 / dikunjungi: 52.89rb kali

Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusus di Indonesia, terdapat beberapa asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan nasional. Asas-asas tersebut bersumber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah perkembangan Pendidikan di Indonesia. Diantara asas tersebut, ada tiga asas yang diuraikan secara mendetail, yaitu; Asas Tut Wuri Handayani, Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan Asas Kemandirian dalam belajar. Ketiga asas itu dianggap sangat relevan dengan upaya pembinaan dan pengembangan pendidikan nasional, baik masa kini maupun masa datang. Oleh karena itu, setiap tenaga kependidikan harus memahami dengan tepat ketiga asas tersebut agar dapat menerapkannya dengan semestinya dalam penyeleenggaraan pendidikan sehari-hari.

1. Asas Tut Wuri Handayani

Tirtaraharja dan La Sulo (Kadir dan dkk, 2012: 112) menyatakan asas tut wuri handayani pada awalnya merupakan salah satu dari “Asas 1922”, yakni tujuh buah asas dari Perguruan Nasional Taman Siswa yang didirikan pada 3 Juli 1922. Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari sistem pamong dan perguruan asas itu. Asas ataupun semboyan tut wuri handayani yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara mendapat tanggapan positif dari Drs. R. M. P

Sastrokartono dengan menambah dua semboyan untuk melengkapinya, yakni Ing Ngarso Sung Tulada dan Ing Madya Mangun Karsa. Ketiganya semboyan tersebut telah menjadi satu kesatuan asas, yakni:

  1. Ing ngarsa sung tulada (jika di depan, menjadi contoh)
  2. Ing madya mangun karsa (jika ditengah-tengah, membangkitkan kehendak, hasrat atau motivasi), dan
  3. Tut wuri handayani (Jika dibelakang, mengikuti dengan awas).

Asas tut wuri handayani merupakan konseptualisasi konsep tujuh Asas Perguruan Nasional Taman Siswa yang lahir pada tanggal 3 Juli 1922 yang merupakan asas perjuangan untuk menghadapi Pemerintah Kolonial Belanda. Ketujuh asas tersebut secara singkat disebut “Asas 1992” adalah sebagai berikut:

  1. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat persatuan dalam peri kehidupan umum.
  2. Bahwa pengajaran harus member pengetahuan yang berfaedah, yang lahir dan batin dapat memerdekan diri.
  3. Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
  4. Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
  5. Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya lahir maupun batin hendaklah diusahakan dengan kekuatan sendiri, dan menolak bantuan apa pun dari siapa pun yang mengikat baik berupa ikatan lahir maupu ikatan batin.
  6. Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan.
  7. Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keihklasan lahir dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan prbadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak.

Asas ini pulalah yang mendorong Taman Siswa untuk mengganti sistem pendidikan cara lama yang menggunakan perintah, paksaan dan hukuman sistem khas Taman Siswa yang didasarkan pada perkembangan kodrati. Dari asas ini pulalah lahir “Sistem Among” dimana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang sengan semboyan tut wuri handayani, yaitu tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan anak didik untuk berjalan sendiri dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Jadi, “Sistem Among” adalah cara pendidikan yang dipakai dalam sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan kodrat-idradatnya pada siswa dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

2. Asas Belajar Sepanjang Hayat

Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain dari pendidikan seumur hidup (life long education). Dalam latar pendidikan seumur hidup, prosese pembelajaran di sekolah seyogianya mengemban tugas sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peseta didik dengan efisien dan efektif dan serentak dengan meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai basis dan belajar sepanjang hayat. Ditinjau dari pendidikan sekolah, masalahnya adalah bagaimana mernacang dan mengimplementasikan suatu program belajar-mengajar sehingga mendorong terwujudnya belajar sepanjang hayat. Dengan kata lain, terbentuk manusia dan masyarakat yang mau dan mampu terus menerus belajar. Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan dimplementasi dengan memerhatikan dua dimensi sebagai berikut (Kadir, dkk. 2012:14)

  1. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi: keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta didik, termasuk relevansi bahan ajar dengan masa depan dan pengintegrasian maslaah kehidupan nyata ke dalam kurikulum. Kurikulum dan perubahan sosial kebudayaan, kurikulum seyogianya memungkinkan antisipasi terhadap perubahan sosial kebudayaan. The forecasting curriculum, yakni perancangan kurikulum berdasarkan suatu pronosis, baik tentang perilaku peserta didik pada saat menamatkan sekolahnya, pada saat ia hidup dalam sistem yang telah berubah di masa depan. Keterpaduan bahan ajar dan pengorganisasiaan yang sedang dipelajari dengan penguasaan kerangka dasar untuk memperoleh keterpaduan ide bidang studi. Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang dirinya sendiri maupun bidang sosial/pekerjaan, agar kelak dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama membangun masyarakatnya. Pengintegrasian dengan pengalaman yang telah dimiliki peserta didik, yakni pengalaman di keluarga untuk pendidikan dasar dan demikian seterusnya. Untuk mempertahankan motivasi belajar secara permanen, peserta didik harus melihat kemanfaatan yang akan didapatnya dengan tetap mengikuti pendidikan itu, seperti kesempatan yang terbuka baginya, mobilitas pekerjaan, pengembangan kepribadiannya, dan sebagainya.
  2. Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah, yakni keterkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah, yaitu: kurikulum sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah; kehidupan di luar sekolah menjadi objek refleksi teoretis di dalam bahan ajaran di sekolah, sehingga peserta didik lebih memahami persoalan pokok yang terdapat di luar sekolah dijadikan tempat empiris, sehingga kegiatan belajar mengajar terjadi di dalam dan di luar sekolah. Melibatkan orangtua dan masyarakat dalam proses belajar mengajar terjadi dalam kegiatan belajar mengajar, baik sebagai narasumber dalam kegiatan belajar di sekolah maupun dalam kegiatan belajar di luar sekolah.

Perancangan dan implementasi kurikulum yang memerhatikan kedua dimensi itu akan mendekatkan peserta didik dengan sumbe belajar yang ada disekitarnya. Kemampuan dan kemauan menggunakan sumber belajar yang tersedia itu memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Dan masyarakatnya yang memiliki semangat belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society).

3. Asas Kemandirian dalam Belajar

Asas tut wuri handayani maupun belajar sepanjang hayat secara langsung berkaitan dengan asas kemandirian dalam belajar. Asas tut wuri handayani pada prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuan peserta didik untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar. Asas belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar.

Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru, dalam peran utama sebagai fasilitator dan motivator di samping peran-peran lain seperti informator, organisator, dan sebagainya. Sebagai fasilitator, guru diharapkan menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar, sehingga memudahkan peserta didik untuk berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Di sisi lain sebagai motivator, mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar.

Pengembangan kemandirian dalam belajar seyogianya dimulai dalam kegiatan intrakurikuler selanjutnya dalam kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dalam bentuk kegiatan terstruktur dan mandiri.