Diperbarui tanggal 17/06/2021

Teori Pendidikan Klasik

Wawasan Kependidikan

kategori Wawasan Kependidikan / tanggal diterbitkan 17 Juni 2021 / dikunjungi: 15.40rb kali

Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, yang memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada prosesnya. Isi pendidikan atau bahan pengajaran diambil dari sari ilmu pengetahuan yang telah ditemukan dan dikembangkan oleh para ahli di bidangnya dan disusun secara logis dan sistematis. Misalnya teori fisika, biologi, matematika, bahasa, sejarah dan sebagainya.

Teori-teori yang terdapat dalam ilmu pendidikan dilahirkan oleh 4 aliran yang berbeda, yaitu:

  1. Teori Pendidikan Empirisme
    Aliran Empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi ekternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari di dapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Tokoh perintis pandangan ini adalah seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir kedua bagaikan kertas putih yang bersih.

    Aliran empirisme dipandang berat sebelah, sebab hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak menentukan. Pada hal kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena bakat, meskipun lingkungan disekitarnya tidak mendukung.

    Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri berupa kecerdasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang ada dalam dirinya. Meskipun demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-pendapat yang memandang manusia sebagai mahluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, contohnya melalui modifikasi tingkah lakunya.

  2. Teori Pendidikan Nativisme
    Aliran Nativisme bertolak dari Leibnitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak lahir.
    Pada hakekatnya aliran nativisme bersumber dari leibnitzian tradition yang menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak, oleh karena itu faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetik dari kedua orang tua. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak itu sendiri. Perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Artinya bahwa, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri. Istilah nativisme dari asal kata natie yang artinya adalah terlahir. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Pembawan tidak dapat dirubah dari kekuatan luar.

    Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtua. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.

    Meskipun dalam kenyataan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak. Terdapat suatu pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas yakni dalam diri individu terdapat suatu “inti” pribadi (G. Leibnitz: Monad) yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang menempatkan manusia sebagai mahluk yang mempunyai kemauan bebas.

    Meskipun pandangan ini mengakui pentingnya belajar, namun pengalaman dalam belajar itu ataupun penerimaan dan persepsi seseorang banyak ditentukan oleh kemampuan memberi makna kepada apa yang dialaminya itu. Dengan kata lain, pengalaman belajar ditentukan oleh “internal frame of reference” yang dimilikinya.

  3. Teori Pendidikan Konvergensi
    Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan perkembangan bakat tersebut. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang dalam dirinya tidak terdapat bakat yang diperlukan dalam mengembangkan bakat tersebut. Sebagai contoh, hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata adalah juga hasil konvergensi.

    Pada anak manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungan, anak belajar berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena itu tiap anak manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya, misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Iggris, dan sebagainya. Kemampuan dua orang anak (yang tinggal dalam satu lingkungan yang sama) untuk mempelajari bahasa mungkin tidak sama. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaaan situasi lingkungan, biarpun lingkungan kedua orang anak tersebut bahasa yang sama. Oleh karena itu Stren berpendapat bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan lingkungannya, seakan-akan dua garis menuju satu titik pertemuan.