Diperbarui tanggal 22/06/2021

Pendidikan Indonesia Ditinjau dari Aspek Budaya

kategori Wawasan Kependidikan / tanggal diterbitkan 22 Juni 2021 / dikunjungi: 3.56rb kali

Menurut Suryosubroto pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Di Indonesia, tujuan pendidikan dilandaskan pada filsafat hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Filsafat Pancasila inilah yang menjadi pedoman pokok dalam pendidikan, melalui usaha-usaha pendidikan, dalam keluarga, masyarakat, sekolah dan perguruan tinggi. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003:

Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Pendidikan Berorientasi Multikultural

Selama ini semangat monokultur banyak mewarnai kebijakan pendidikan di Indonesia. Manajemen sekolah, kurikulum, desain pembelajaran, model evaluasi dan berbagai upaya pengembangan sarana dan prasarana dilakukan atas dasar prinsip monokultur. Seluruh pengelolaan input, proses dan output pendidikan lebih mengacu kepada nilai-nilai budaya dominan di sekotar sekolah itu sendiri.

Pendidikan monokultur bukan saja telah menyebabkan terjadinya proses peminggiran budaya non-dominan, tetapi juga menumbuhkan sensitivitas terhadap perbedaan. Sementara di sisi lain, perkembangan masyarakat semakin mengarah kepada keranekaragaman budaya, latar belakang sosial, pilihan politik, status ekonomi, bahasa maupun etnisitas. Cara orang melihat, merasakan, memahami serta mendefinisikan fenomena kehidupan lebih ditentukan oleh asal-usul sosial budaya. Karena asal-usul sosial budaya mereka itu sangat beragam, maka cara melihat, merasakan, memahami serta mendefinisikan fenomena pun juga beranekargam. Hal ini menciptakan perspektif dalam pemahaman dan pemecahan masalah yang beranekaragam pula. Dalam perspektif kehidupan seperti ini, tugas pendidikan untuk memfasilitasi peserta didik dalam melihat, merasakan, memahami serta mendefinisikan fenimena kehidupan akan dapat dilakukan dengan baik apabila dikembangkan dalam perspektif kesadaran yang menghargai perbedaan atau pluralisme budaya.

Dalam penyelenggaraan pendidikan multikultural, maka kepemimpinan kurikulum (curriculum leadership) menjadi pemegang kunci. Keberhasilan pendidikan multikultural tergantung bagaimana kurikulum di sekolah akan dikemas. Pendidikan multikultural haruslah dikemas sedemikian rupa sehingga pandangan atau perspektif pluralisme, demokrasi, penghargaan atas perbedaan dapat diterjemahkan sebagai nilai, pandangan dunia, sikap dan perilaku secara teoritik maupun praktis. Jadi dalam kurikulum pendidikan multikultural, tidak bisa lagi menjadikan nilai dan tradisi budaya dominan menguasai praktek pembelajaran di sekolah.

Perbaikan dunia pendidikan merupakan bagian terpenting bagi upaya mengangkat martabat bangsa. Perbaikan pendidikan dengan mendudukkan pendidikan sebagaimana fungsinya, yakni membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat secara operasional adalah mendudukkan sekolah sebagai agen multikulturalisme. Hanley menegaskan bahwa pendidikan harus memberi sumbangan dalam menumbuhkan kesadaran akan pluralism budaya. Menurut Hidayat prinsip yang harus dipahami guru untuk mengarahkan sekolah dengan kultur yang berorientasi multikultural, sebagai berikut.

  1. Setiap Anak adalah Istimewa
    Guru harus memandang setiap peserta didik adalah unik, istimewa, dan terlahir dengan bakat yang berbeda-beda. Anak harus dipahami, diterima apa adanya, dicintai, dan difasilitasi agar masing-masing tumbuh secara optimal sesuai bakat dan minatnya.
  2. Pendekatan “Multi-Intelligence”
    Sekolah yang ideal adalah sekolah yang mendukung multi-intelligences peserta didiknya. Setiap peserta didik hendaknya dipahami secara individual mengingat masing-masing individu memiliki kekuatan dan kelemahan intelegensia yang berbeda.
  3. “Active Learning”
    Peserta didik sebagai subjek dalam pembelajaran dikondisikan untuk aktif dan bebas dalam mengemukakan berbagai pikiran dan imajinasinya. Sebagai fasilitator dan pendidik, guru senantiasa memberikan rambu-rambu, motivasi dan koreksi dengan semangat edukasi dan apresiasi. Jika peserta didik terlatih bersikap asertif dan komunikatif, maka proses dialog antarsesama teman akan tumbuh tanpa harus bersikap agresif dan menyakiti yang lain. Sikap demikian penting untuk mendampingi pertumbuhan pribadi siswa, sehingga pluralisme pemahaman, gagasan dan pilihan hidup akan dilihat sebagai sesuatu yang wajar, bahkan sebuah dinamika yang indah.
  4. Universalitas Agama
    Isu perbedaan agama sangat sensitive, sementara perkembangan sosial justru semakin mengarah kepada pluralitas pemeluk agama. Dengan dasar tersebut,maka keragaman agama hendaknya didekati dengan dua cara. Pertama, agama diposisikan sebagai fenomena sosial dan budaya yang perlu diketahui peserta didik. Kedua, diperkenalkan terlebih dahulu nilai-nilai universalitas agama, bahwa semua agama pasti memiliki kesamaan dalam ajaran moral. Di balik keragaman tradisi dan symbol-simbol khas, semua agama mengajarkan pemeluknya untuk cinta damai, menolong sesama dan menjunjung tinggi moralitas.
  5. Semangat Kemanusiaan dan Keindonesiaan
    Untuk menjaga identitas diri tanpa harus bersikap eksklusif, sejak dini peserta didik hendaknya diperkenankan dan dibiasakan memahami dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan serta cinta bangsa. Apa yang disebut core values atau living values yang berakar pada ajaran agama dan warisan luhur bangsa dijadikan bagian dari kultur sekolah.