Diperbarui tanggal 22/06/2021

Pentingnya Pendidikan bagi Manusia

author/editor: Edi Elisa / kategori Wawasan Kependidikan / tanggal diterbitkan 22 Juni 2021 / dikunjungi: 6.36rb kali

Pendidikan adalah proses mengubah sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan. Jadi dalam hal ini pendidikan adalah proses atau perbuatan mendidik. Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

  1. Manusia sebagai Makhluk yang Belum Selesai

    Manusia disebut “Homo Sapiens”, artinya makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan. Salah satu insting manusia adalah selalu cenderung ingin mengetahui segala sesuatu di sekelilingnya yang belum diketahuinya. Berawal dari rasa ingin tahu maka timbullah ilmu pengetahuan.

    Dalam hidupnya manusia digerakkan sebagian oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu, dan sebagian lagi oleh tanggung jawab sosial dalam masyarakat. Manusia bukan hanya mempunyai kemampuan-kemampuan, tetapi juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan, dan juga tidak hanya mempunyai sifat-sifat yang baik, namun juga mempunyai sifat-sifat yang kurang baik.

    Manusia tidak mampu menciptakan dirinya sendiri, beradanya manusia di dunia bukan pula sebagai hasil evolusi tanpa Pencipta sebagaimana diyakini penganut Evolusionisme, melainkan sebagai ciptaan Tuhan. Berkenaan dengan ini, coba Anda simak pertanyaan berikut dan jawablah berdasarkan pengalaman hidup Anda sendiri: setelah diciptakan Tuhan dan setelah kelahirannya di dunia, "apakah manusia sudah selesai menjadi manusia"?

    Mari kita bandingkan antara manusia dengan benda-benda. Sama halnya dengan manusia, benda-benda juga adalah ciptaan Tuhan. Namun demikian, benda-benda berbeda dengan manusia, antara lain dalam hal cara beradanya. Benda-benda hanya terletak begitu saja di dunia, tidak aktif mengadakan "dirinya", dan tidak memiliki hubungan dengan keberadaannya. Contohnya, sebatang kayu yang tergeletak diambil manusia, lalu dijadikan kursi. Kayu tentu tidak aktif mengadakan "diri"nya untuk menjadi kursi, melainkan dibuat menjadi kursi oleh manusia; dan kita tidak dapat mengatakan bahwa kursi bertanggung jawab atas fakta bahwa ia adalah kursi. Oleh sebab itu, dalam istilah Martin Heidegger benda-benda di sebut sebagai "yang berada", dan bahwa benda-benda itu hanya "vorhanden", artinya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu; benda-benda baru berarti sebagai sesuatu, misalnya sebagai kursi jika dihubungkan dengan manusia yang membuatnya, yang memeliharanya atau menggunakannya. Sebaliknya manusia, ia bereksistensi di dunia. Artinya, manusia secara aktif "mengadakan" dirinya, tetapi bukan dalam arti menciptakan dirinya sebagaimana Tuhan menciptakan manusia, melainkan manusia harus bertanggung jawab atas keberadaan dirinya, ia harus bertanggung jawab menjadi apa atau menjadi siapa nantinya. Bereksistensi berarti merencanakan, berbuat, dan menjadi sehingga setiap saat manusia dapat menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. Dalam kalimat lain dapat dinyatakan bahwa manusia bersifat terbuka, manusia adalah makhluk yang belum selesai "mengadakan" dirinya. Manusia berada dalam perjalanan hidup, perkembangan, dan pengembangan diri. la adalah manusia, tetapi sekaligus "belum selesai" mewujudkan diri sebagai manusia

  2. Tugas dan Tujuan Manusia adalah Menjadi Manusia

    Sejak kelahirannya manusia memang adalah manusia, tetapi ia tidak secara otomatis menjadi manusia dalam arti dapat memenuhi berbagai aspek hakikat manusia. Sebagai individu atau pribadi, manusia bersifat otonom, ia bebas menentukan pilihannya ingin menjadi apa atau menjadi siapa di masa depannya. Demikian halnya, benarkah bahwa mewujudkan berbagai aspek hakikat manusia (atau menjadi manusia) adalah tugas setiap orang? Jika setiap orang bebas menentukan pilihannya, bukankah berarti ia bebas pula menentukan untuk tidak menjadi manusia? Memang tiap orang bebas menentukan pilihannya untuk menjadi apa atau menjadi siapa nantinya di masa depan, tetapi sejalan dengan konsep yang telah diuraikan terdahulu bahwa bereksistensi berarti berupaya secara aktif dan secara bertanggung jawab untuk mengadakan diri sebagai manusia.

    Andaikan seseorang menentukan pilihan dan berupaya untuk tidak menjadi manusia atau tidak mewujudkan aspek-aspek hakikatnya sebagai manusia maka berarti yang bersangkutan menurunkan martabat kemanusiaannya. Dalam konteks inilah manusia menjadi kurang atau tidak manusiawi, kurang atau tidak bertanggung jawab atas keberadaan dirinya sebagai manusia. Ia menurunkan martabatnya dari tingkat human ke tingkat yang lebih rendah, mungkin ke tingkat hewan, tumbuhan, atau bahkan ke tingkat benda. Sebagai pribadi setiap orang memang otonom, ia bebas menentukan pilihannya, tetapi bahwa bebas itu selalu berarti terikat pada nilai-nilai tertentu yang menjadi pilihannya dan dengan kebebasannya itulah seseorang pribadi wajib bertanggung jawab serta akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, tiada makna lain bahwa berada sebagai manusia adalah mengemban tugas dan mempunyai tujuan untuk menjadi manusia, atau bertugas mewujudkan berbagai aspek hakikat manusia. Karl Jaspers menyatakannya dalam kalimat: "to be a man is to become a man", ada sebagai manusia adalah menjadi manusia (Fuad Hasan, 1973). Implikasinya jika seseorang tidak selalu berupaya untuk menjadi manusia maka ia tidaklah berada sebagai manusia.

    Berbagai aspek hakikat manusia pada dasarnya adalah potensi yang harus diwujudkan setiap orang. Oleh sebab itu, berbagai aspek hakikat manusia merupakan sosok manusia ideal, merupakan gambaran manusia yang dicita-citakan atau yang menjadi tujuan. Sosok manusia ideal tersebut belum terwujud melainkan harus diupayakan untuk diwujudkan.

  3. Perkembangan Manusia Bersifat Terbuka

    Manusia dilahirkan ke dunia dengan mengemban suatu keharusan untukmenjadi manusia, ia diciptakan dalam susunan yang terbaik, dan dibekali berbagai potensi untuk dapat menjadi manusia. Namun demikian, dalam kenyataan hidupnya, perkembangan manusia bersifat terbuka atau mengandung berbagai kemungkinan. Manusia berkembang sesuai kodrat dan martabat kemanusiaannya atau mampu menjadi manusia, sebaliknya mungkin pula ia berkembang ke arah yang kurang sesuai atau bahkan tidak sesuai dengan kodrat dan martabat kemanusiaannya.

    Gehlen seorang pemikir Jerman mengemukakan hasil studi perbandingannya tentang perkembangan struktur dan fungsi tubuh manusia dengan binatang. la sampai pada kesimpulan yang sama dengan Teori Retardasi dari Bolk, yaitu bahwa pada saat kelahirannya taraf perkembangan manusia tidak lebih maju dari hewan, tetapi kurang maju daripada hewan yang paling dekat dengan dia (primat) sekalipun. Manusia lahir prematur dan tidak mengenal spesialisasi seperti hewan. "Ia adalah makhluk yang ditandai kekurangan" (C.A. Van Peursen, 1982). Contoh sebagai berikut: kerbau lahir sebagai anak kerbau, selanjutnya ia hidup sesuai kodrat dan martabat kekerbauannya (mengkerbau atau menjadi kerbau). Sebaliknya manusia, ia lahir sebagai anak manusia, tetapi dalam kelanjutan hidupnya memanusia atau menjadi manusia adalah suatu kemungkinan, mungkin ia memanusia, tetapi mungkin pula kurang atau bahkan tidak memanusia. Jika dibandingkan dengan hewan, manusia sepertinya dilahirkan terlalu dini. Sebelum ia disiapkan dengan spesialisasi tertentu dan sebelum ia mampu menolong dirinya sendiri, ia sudah dilahirkan. Akibatnya sebagi berikut.

    1. Berbeda dengan hewan, kelanjutan hidup manusia menunjukkan keragaman. Ragam dalam hal kesehatannya, dalam dimensi kehidupan individualitasnya, sosialitasnya, keberbudayaannya, kesusilaannya, dan keberagamaannya.

    2. Saat dilahirkannya, manusia belum mempunyai spesialisasi tertentu maka spesialisasinya itu harus diperoleh setelah ia lahir dalam perkembangan menuju kedewasaannya.

    Anne Rollet mengemukakan bahwa sampai tahun 1976 para etnolog telah mencatat kira-kira 60 anak-anak buas di seluruh dunia. Tidak diketahui bagaimana awalnya anak-anak tersebut hidup dan dipelihara oleh binatang yang hidup bersama atau dipelihara oleh kijang, kera, ada pula yang hidup dengan serigala. Anak-anak tersebut tidak berperilaku bagaimana layaknya manusia. Tidak berpakaian, agresif untuk menyerang dan menggigit, tidak dapat tertawa, ada yang tidak dapat berjalan tegak, tidak berbahasa sebagaimana manusia.

    Salah satu kasus serupa dikemukakan M.I. Soelaeman (1988), ia mengemukakan suatu peristiwa yang dikenal dengan peristiwa manusia serigala:

    Seorang pemburu menemukan di tengah-tengah hutan belantara dua orang anak sekitar enam dan tujuh tahun, ketika anak itu melihat pemburu, mereka lari di atas kaki dan tangannya sambil mengeluarkan suara seperti meraung-raung. Mereka masuk gua, mencari perlindungan pada seekor  serigala. Tapi akhirnya kedua anak itu berhasil ditangkap dan kemudian dibawa ke kota dan dijadikan bahan studi para ahli. Setelah melalui kesukaran, kedua anak itu dapat dididik kembali seperti biasa.

    Dari peristiwa di atas, kita dapat memahami bahwa kemampuan berjalan tegak di atas dua kaki, kemampuan berbicara, dan kemampuan berperilaku lainnya yang lazim dilakukan manusia yang berkebudayaan, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya. Demikian halnya dengan kesadaran akan tujuan hidupnya, kemampuan untuk hidup sesuai individualitas, sosialitasnya, tidak dibawa manusia sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh manusia melalui belajar, melalui bantuan berupa pengajaran, bimbingan, latihan, dan kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dalam istilah pendidikan. Jika sejak kelahirannya perkembangan dan pengembangan hidup manusia diserahkan kepada dirinya masing-masing tanpa dididik oleh orang lain, kemungkinannya ia hanya akan hidup berdasarkan dorongan instingnya saja.

    Sampai di sini dapat dipahami bahwa manusia belum selesai menjadi manusia, ia dibebani keharusan untuk menjadi manusia, tetapi ia tidak dengan sendirinya menjadi manusia, adapun untuk menjadi manusia ia memerlukan pendidikan atau harus dididik. "Man can become man through education only", demikian pernyataan Immanuel Kant dalam teori pendidikannya (Henderson, 1959). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil studi M. J. Langeveld, bahkan sehubungan dengan kodrat manusia, seperti dikemukakan Langeveld memberikan identitas kepada manusia dengan sebutan Animal Educandum (M.J. Langeveld, 1980).