Diperbarui tanggal 21/06/2021

Pendidikan Multikultural

author/editor: Edi Elisa / kategori Wawasan Kependidikan / tanggal diterbitkan 21 Juni 2021 / dikunjungi: 2.20rb kali

Akhir-akhir ini wacana atau diskusi tentang masyarakat meultikultural banyak dilakukan oleh para pakar Pendidikan dan kebudayaan. Dan pembicaraan tentang multicultural semakin menarik bila dikaitkan dengan kemajemukan bangsa Indonesia. Kemajemukan dalam hal ini dapat berartikan sebagai keajemukan dalam beragama, social dan budaya. Harus diakui bahwa, multi kulturalisme kebangsaan Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh segenap warga masyarakat Indonesia. Belum dipahamina konsep tentang multikulturalisme ini sering menyebabkan terjadinya salah pengertian ang kadang-kadang cenderung memicu konfik di masyarakat.

Multikulturalisme berasal dari dua kata: Multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Pengertian multikultur secara luas dapat mencakup pengalaman yang membentuk persepsi umum terhadap Usia, Gender, agama, status social ekonomi, jenis identitas budaya, Bahasa,ras,dsb. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutama dutunjukkan terhadap golongan social askriptip yaitu suku bangsa, ras, gender, dan umur.

Haviland mengatakan bahwa multikultural dapat diartikan sebagai pluralitas kebudayaan dan agama. Memelihara pluralitas akan tercapai kehidupan yang ramah dan menciptakan kedamaian. Pluralitas kebudayaan adalah interaksi sosial dan politik antara orang-orang yang berbeda cara hidup dan berpikirnya dalam suatu masyarakat. Secara ideal, pluralisme kebudayaan multikulturalisme berarti penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka, rasialisme, tribalisme, dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada.

Sikap saling menerima, menghargai nilai-nilai, keyakinan, budaya, cara pandang yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk berharap orang lain menjadi seperti dirinya (Ruslan Ibrahim, 2008). Sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan, dididikkan, dibudayakan agar menginternalisasi/terhayati dan ditindakkan pada generasi muda penerus bangsa. Dengan pendidikan dan pembudayaan, sikap penghargaan terhadap perbedaan direncanakan dengan baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan dilatihkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga setelah dewasa mereka sudah punya sikap dan perilaku tersebut. Fay (1998) mengatakan dalam dunia multikultural harus mementingkan adanya bermacam perbedaan antara yang satu dengan yang lain dan adanya interaksi sosial di antara mereka. Oleh sebab itu para multikulturalis memfokuskan pada pemahaman dan hidup bersama dalam konteks sosial budaya yang berbeda.

Banks (2001) berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengkaji dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Banks mendefinisikan pendidikan multikultural adalah ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan, yang tujuan utamanya adalah merubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria dan wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan budaya (kultur) yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi.

Melalui pendidikan multikultural sejak dini diharapkan anak mampu menerima dan memahami perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan usage (cara-cara), folkways (kebiasaan), mores (tata kelakukan), customs (adat istiadat) seseorang. Dengan pendidikan multikultural seseorang sejak dini mampu menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama tanpa memandang status, kelas sosial, golongan, gender, etnis, agama maupun kemampuan akademik.

Melalui pendidikan multikultural inilah sebenarnya nilai-nilai ditransformasikan dari generasi ke generasi. Kemudian pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki. Memiliki sikap positif terhadap perbedaan (SARA) sehingga mampu membawa individu-individu ke dalam komunitas dan membawa komunitas ke dalam masyarakat dunia yang lebih luas. Membentuk kerangka dasar untuk menciptakan organisasi sosial yang harus menyadari bahwa semua adalah bagian dari suprastuktur. Satu sama lain saling berkaitan dan harus selalu bekerja sama berdasarkan prinsip gotong-royong dan kekeluargaan. Inilah yang disebut sebagai karakter bangsa, prinsip gotong-royong dan kekeluargaan sebagai sebuah identitas nasional. Pada akhirnya, output yang dihasilkan oleh pendidikan model ini diharapkan akan mampu memberikan kekuatan dalam memulai dan membangun sebuah bangsa yang bersumber pada sejarah sebagai sumber pembelajaran, kebudayaan sebagai, nilai dan penerapan iptek dalam menghadapi tantangan masa depan.

Pendidikan diharapkan mampu mentransformasikan peserta didik dari belum dewasa mejadi dewasa. Ciri manusia dewasa adalah manusia yang memiliki karakter. Karena itu setiap orang dewasa memiliki karakter sebagaimana dirinya sendiri. Pendidikan karenanya mendorong seseorang menjadi diri sendiri. Wuryanano menyatakan bahwa karakter dapat dibentuk melalui tahapan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan.

Karakter merupakan nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum atau konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Jika dikaitkan dengan pendidikan, pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Dalam rumusan lain dapat didefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku atau karakter kepada warga belajar yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Definisi tersebut mengamanatkan bahwa dengan segala perbedaan bangsa Indonesia, pendidikan di Indonesia bertujuan menjadikan warga belajar memiliki empat karakter pokok: manusia beragama, manusia sebagai pribadi, manusia sosial, dan manusia sebagai warga bangsa.

Berdasarkan empat karakter pokok tersebut dalam praktik pendidikan di Indonesia, lembaga pendidikan diharapkan mengembangkan pembiasaan berpikir dan bertindak dengan berfokus delapan belas nilai kehidupan. Penanaman nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membentuk karakter peserta didik. Kedelapan belas karakter tersebut adalah sebagai berikut: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai pembentuk karakter yang harus dikembangkan di setiap lembaga pendidikan tersebut pada dasarnya merupakan pembentuk karakter insan kamil secara universal. Di tengah keragaman bangsa-bangsa di dunia, manusia Indonesia haruslah memiliki karakter keindonesiaan. Inilah sebagai penanda bangsa Indonesia yang memiliki identitas diri yang berbeda dengan bangsa lain.

Karakter keindonesiaan melalui penanaman nilai kebangsaan dapat dilakukan dengan penanaman sikap kepada peserta didik dalam bentuk penanaman kesadaran nasional. Sebagai bangsa yang memiliki sejarah panjang, bentuk-bentuk kesadaran nasionalis Indonesia berupa: kesadaran kebanggaan sebagai bangsa, kemandiriaan dan keberanian sebagai bangsa, kesadaran kehormatan sebagai bangsa, kesadaran melawan penjajahan, kesadaran berkorban demi bangsa, kesadaran nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan menuju kebangsaan. Sejalan dengan konsep karakter keindonesiaan di atas, Pendidikan multikultural diharapkan dapat mempersiapkan anak didik secara aktfi sebagai warga negara yang secara etnik, kultural, dan agama beragam, menjadi manusia-manusia yang menghargai perbedaan, bangga terhadap diri sendiri, lingkungan, dan realitas yang majemuk.

Pendidikan multikultural juga memiliki kaitan yang signifikan dalam perkembangan dunia global. Keragaman bangsa-bangsa di dunia menuntut warga dunia mengenal perbedaan agama, kepercayaan, ideologi, etnik, ras, warna kulit, gender, seks, kebudayaan, dan kepentingan.

Strategi pendidikan multikultural selanjutnya perlu dijabarkan dalam implikasi di sekolah. Dari para ahli maka pendidikan multikultural dapat diimplikasikan dalam dunia pendidikan sebagai berikut:

  1. Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah.
  2. Menghargai keragaman bahasa di sekolah.
  3. Membangun sikap sensitif gender di sekolah.
  4. Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial.
  5. Membangun sikap antideskriminasi etnis.
  6. Menghargai perbedaan kemampuan.
  7. Menghargai perbedaan umur.

Rohidi menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan multikultural sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan karakter generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah. Pendekatan multikulturalisme erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu wawasan dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan, maupun perilaku harian yang mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi positif, dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat penting sebagai motor pendidikan dengan pendekatan multikulural.