Diperbarui tanggal 14/05/2023

Teknik Konseling Desensitisasi Sistematis

kategori Bimbingan dan Konseling / tanggal diterbitkan 14 Mei 2023 / dikunjungi: 2.45rb kali

Pendahuluan

Menurut Sutja (2016:195) merupakan suatu teknik konseling untuk melatih klien agar tidak terlalu sensitif terhadap kondisi emosi diri maupun kondisi sosial tertentu, dan dikatakan sistematis bahwa latihan ini diberikan secara bertahap dan mendapatkan petunjuk setelah klien memperoleh konseling. Teknik konseling desensitisasi sistematis didasarkan pada prinsip dasar bahwa kecemasan dan ketakutan dapat dikurangi melalui pengalaman bertahap dan terkontrol terhadap stimulus yang menimbulkan kecemasan tersebut. Dalam konteks ini, stimulus yang menimbulkan ketakutan disebut sebagai stimulus yang takut atau objek takut. Prinsip utama dari desensitisasi sistematis adalah bahwa individu secara bertahap terpapar pada stimulus takut, dimulai dari yang paling tidak menakutkan hingga yang paling menakutkan, dengan tujuan untuk mengurangi respons kecemasan yang berlebihan.

Dalam desensitisasi sistematis, klien secara bertahap terpapar pada stimulus yang menimbulkan ketakutan, dimulai dari yang paling tidak menakutkan hingga yang paling menakutkan. Proses ini dilakukan dengan menggunakan teknik relaksasi untuk membantu klien mengurangi kecemasan yang muncul selama eksposur terhadap stimulus tersebut. Langkah pertama dalam teknik desensitisasi sistematis adalah pembentukan hierarki kecemasan. Konselor dan klien bekerja sama untuk membuat daftar stimulus yang menimbulkan ketakutan atau fobia yang dialami oleh klien. Daftar ini kemudian diurutkan dari stimulus yang paling tidak menakutkan hingga yang paling menakutkan. Hierarki ini membantu dalam perencanaan proses desensitisasi, di mana klien akan terpapar pada stimulus takut secara bertahap.

Sebelum klien terpapar pada stimulus yang menimbulkan ketakutan, konselor mengajarkan teknik relaksasi kepada klien. Teknik-teknik relaksasi ini meliputi teknik pernapasan dalam, meditasi, atau relaksasi otot progresif. Tujuannya adalah untuk membantu klien meredakan kecemasan dan ketegangan fisik yang mungkin muncul selama proses desensitisasi. Setelah klien belajar teknik relaksasi, konselor akan memulai proses desensitisasi. Terdapat dua pendekatan yang umum digunakan: imajinasi dan pengalaman nyata. Dalam imajinasi, klien membayangkan dirinya terpapar pada stimulus yang menimbulkan ketakutan. Dalam pengalaman nyata, klien secara fisik terpapar pada stimulus yang menimbulkan ketakutan dalam lingkungan yang aman dan terkontrol.

Proses desensitisasi dilakukan secara bertahap, dimulai dengan stimulus yang paling tidak menakutkan dalam hierarki kecemasan. Klien akan terpapar pada stimulus tersebut secara berulang sambil menggunakan teknik relaksasi yang telah dipelajari. Setelah klien merasa nyaman dengan stimulus tersebut, konselor akan melanjutkan ke stimulus yang lebih menakutkan dalam hierarki kecemasan. Melalui pengalaman yang berulang dan terkontrol terhadap stimulus yang menimbulkan ketakutan, klien secara bertahap mengalami penurunan respons kecemasan yang berlebihan. Tujuan akhir dari desensitisasi sistematis adalah mengurangi atau menghilangkan ketakutan dan fobia yang dialami oleh individu sehingga mereka dapat menghadapi stimulus yang sebelumnya menakutkan dengan lebih efektif.

Salah satu ahli yang sangat berperan dalam pengembangan teknik ini adalah Joseph Wolpe, seorang psikiater dan psikolog asal Afrika Selatan. Wolpe dikenal sebagai salah satu pendiri terapi perilaku dan salah satu pengembang utama teknik desensitisasi sistematis. Joseph Wolpe memperkenalkan konsep desensitisasi sistematis pada tahun 1950-an sebagai alternatif untuk terapi elektrosok atau "terapi syok" yang pada saat itu digunakan untuk mengobati gangguan kecemasan. Dia mengembangkan teknik ini berdasarkan teori pembelajaran dan konsep pembelajaran perilaku, termasuk konsep penghambatan pemusatan (reciprocal inhibition).

Kontribusi lain dalam pengembangan teknik desensitisasi sistematis datang dari ahli lain seperti B.F. Skinner, Ivan Pavlov, dan Mary Cover Jones. Mereka berkontribusi dalam memahami prinsip pembelajaran dan merancang pendekatan sistematis untuk mengurangi ketakutan dan kecemasan. Seiring waktu, teknik desensitisasi sistematis terus berkembang dan disesuaikan oleh banyak ahli dan praktisi dalam bidang konseling dan terapi. Beberapa variasi teknik ini juga telah dikembangkan, termasuk desensitisasi berbasis virtual reality (VR), di mana individu terpapar pada stimulus yang menakutkan melalui simulasi komputer.

Tujuan Teknik Desensitisasi Sistematis

Tujuan dari teknik desensitisasi sistematis adalah untuk peningkatan relaksasi yang digunakan untuk mengatasi permasalahan berat, seperti stres, frustasi, kecemasan atau kekecewaan mendalam. Beberapa tujuan secara spesifik dari teknik ini antara lain:

  1. Mengurangi kecemasan yang berlebihan: Teknik desensitisasi sistematis bertujuan untuk mengurangi respons kecemasan yang berlebihan terhadap stimulus yang menimbulkan ketakutan. Dengan mengalami paparan bertahap pada stimulus tersebut, individu dapat mempelajari bahwa respons kecemasan yang mereka alami tidak selalu sesuai dengan tingkat ancaman yang sebenarnya.
  2. Mengatasi fobia dan ketakutan yang membatasi: Tujuan teknik desensitisasi sistematis adalah membantu individu mengatasi fobia dan ketakutan yang membatasi kehidupan mereka. Melalui pengalaman bertahap dan terkontrol, individu dapat memperluas batasan mereka dan menghadapi situasi atau objek yang sebelumnya menimbulkan ketakutan.
    Meningkatkan koping dan kualitas hidup: Dengan mengatasi ketakutan dan fobia, individu dapat mengembangkan keterampilan koping yang lebih efektif dan meningkatkan kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Mereka dapat merasa lebih percaya diri, lebih mandiri, dan lebih mampu menghadapi tantangan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri: Melalui proses desensitisasi sistematis, individu dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang sumber-sumber ketakutan mereka, faktor-faktor yang memengaruhinya, dan bagaimana mereka meresponsnya. Hal ini dapat membantu individu dalam proses introspeksi dan pertumbuhan pribadi.
  4. Mencegah kekambuhan: Teknik desensitisasi sistematis dapat membantu individu untuk mengatasi ketakutan dan fobia secara berkelanjutan, sehingga mencegah kemungkinan kekambuhan di masa depan. Dengan memperoleh keterampilan dan strategi yang diperlukan, individu dapat menghadapi stimulus yang menimbulkan ketakutan dengan lebih baik dan mengelola respons kecemasan yang muncul.

Langkah-Langkah Penerapan Teknik Desensitisasi Sistematis

Langkah-langkah penerapan Teknik Desensitisasi Sistematis meliputi:

  1. Identifikasi stimulus takut. Identifikasi stimulus yang menimbulkan ketakutan atau fobia pada klien. Stimulus ini dapat berupa objek, situasi, atau kejadian tertentu yang secara konsisten menimbulkan respons kecemasan yang berlebihan.
  2. Pembentukan hierarki kecemasan. Bersama dengan klien, buatlah daftar stimulus takut dalam urutan tingkat kecemasan. Mulailah dari stimulus yang paling tidak menakutkan hingga yang paling menakutkan. Hierarki ini akan digunakan sebagai panduan untuk proses desensitisasi.
  3. Teknik relaksasi. Ajarkan klien teknik relaksasi yang efektif, seperti teknik pernapasan dalam, relaksasi otot progresif, atau meditasi. Klien harus mampu mengendalikan kecemasan dan ketegangan fisik saat mereka terpapar pada stimulus takut.
  4. Eksposur bertahap. Mulai dengan stimulus yang paling tidak menakutkan dalam hierarki kecemasan. Ajak klien untuk membayangkan atau menghadapi stimulus tersebut dalam imajinasi. Selama proses ini, klien harus menggunakan teknik relaksasi yang telah dipelajari untuk mengelola kecemasan yang muncul.
  5. Pendesensitisasi. Konselor dan klien bekerja sama untuk mengulang paparan terkontrol terhadap stimulus takut yang ada dalam hierarki kecemasan. Klien perlahan-lahan terpapar pada stimulus yang semakin menakutkan, sambil terus menerapkan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan.
  6. Repetisi dan perluasan. Ulangi proses desensitisasi untuk setiap tingkatan stimulus dalam hierarki kecemasan. Setiap kali klien merasa nyaman dan respons kecemasan menurun, mereka dapat maju ke tingkatan stimulus yang lebih menakutkan. Teruslah melibatkan klien dalam paparan bertahap hingga mereka merasa lebih tenang dan terbiasa dengan stimulus yang semula menakutkan.
  7. Transfer pembelajaran. Bantu klien untuk mengaplikasikan pembelajaran dan keterampilan yang diperoleh dalam desensitisasi sistematis ke dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dorong mereka untuk menghadapi situasi yang melibatkan stimulus takut dengan lebih percaya diri dan efektif.

Selama seluruh proses, penting bagi konselor untuk memberikan dukungan, pemahaman, dan bimbingan kepada klien. Proses desensitisasi sistematis dapat memakan waktu, dan klien mungkin menghadapi tantangan dan kecemasan yang berfluktuasi. Oleh karena itu, konselor harus menjaga komunikasi terbuka dengan klien dan terus mendukung mereka dalam mengatasi ketakutan dan fobia mereka.

Menurut Akmal Sutja (2016: 75) dalam penerapan teknik desensitisasi, dilakukan sebagai berikut:

  1. Menjelaskan apa dan mengapa teknik desensitisasi diberikan pada klien, dengan maksud agar klien yakin teknik ini dapat mengurangi stres dan rasa takutnya.
  2. Melakukan latihan penenangan agar klien benar-benar dalam kondisi rileks, dengan uji sensitif seperti membayangkan panas dan dingin.
  3. Konselor menganalisis kejadian-kejadian yang bersangkut paut dengan keadaan yang menjadikan klien terlalu sensitif terhadap sesuatu, kemudian konselor melakukan hal-hal sebagai berikut:
    1. Konselor membantu menulis beberapa macam kalimat berkenaan dengan rasa takut klien pada sesuatu dalam bentuk daftar.
    2. Menyusun dan melengkapi daftar tersebut bersama klien.
    3. Membantu klien dalam mengurutkan jenjang daftar masalah yang paling kurang ditakuti sampai kepada masalah yang sangat ditakuti.
  4. Menyelenggarakan desensitisasi sistematis dengan cara sebagai berikut
    1. Klien diminta menyusun daftar perilaku yang mengganggunya dari yang ringan sampai ke yang berat.
    2. Klien disuruh duduk dengan rileks.
    3. Klien diminta untuk memejamkan mata, menaruh tangan dipaha dengan keadaan tenang, membayangkan panas dan dingin pada masing-masing tangan sebgai uji sensitif, sampai benar-benar rileks dan klien siap untuk memulai tahapan selanjutnya.
    4. Klien diminta untuk menggerakkan mulut, hidung, dan, tangan apabila tidak bisa melawan rasa takut yang dialami.
    5. Klien diminta untuk menukar rasa takut atau penolakannya dengan perasaan lawannya.
    6. Klien mengikuti instruksi-instruksi yang diberikan oleh Konselor dimana konselor memberikan instruksi isayarat kepada klien untuk menggerakkan mulut, hidung atau tangan ketika klien tidak bisa melawan rasa takut yang ia rasakan.
    7. Ketika rasa takut mulai menghinggapi klien secepat itu pula klien diminta untuk disensitisasi, menghilangkan atau melawan rasa takut tersebut sampai berani.
    8. Konselor memberikan stimulus dengan kata-kata yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi klien.
    9. Apabila berhasil maka klien diminta untuk desensitisasi ke masalah selanjutnya sampai selesai,
  5. Melakukan evaluasi, untuk mengetahui apakah klien benar-benar sudah dapat mengikuti latihan untuk urut jenjang.
  6. Tindak lanjut yang dilakukan dengan cara mengulang kembali urut jenjang sama bila klien masih takut atau dapat melanjutkan keurutan jenjang berikutnya.