Diperbarui tanggal 2/03/2023

Prejudice atau Prasangka Buruk

kategori Bimbingan dan Konseling / tanggal diterbitkan 2 Maret 2023 / dikunjungi: 2.49rb kali

Pengertian Prejudice (Prasangka Buruk).

Allport dalam Liliweri (2005:199), menyatakan bahwa prejudice berasal dari kata Prejudicium yang berarti pernyataan atau kesimpulan yang dangkal terhadap seseorang atau kelompok lain. Prejudice atau prasangka ini dikenalkan oleh seorang Psikolog Universitas Harvard yang bernama Goldon Allport. Beliau menuangkan dalam bentuk buku yang berjudul the nature of prejudice in 1954. Dalam kehidupan prasangka sering kali terjadi. Prasangka memilliki nama lain yakni prejudice. Prasangka adalah sikap negatif yang muncul terhadap individu atau kelompok lain. Hal ini sama dengan pendapat Allport dalam Liliweri (2005:199) memaparkan bahwa prasangka adalah sikap negatif yang muncul berupa suatu sikap membandingkan kelompok nya dengan kelompok lain. Taylor, dkk dalam femita (2017:2) memaparkan bahwa prasangka adalah evaluasi terhadap suatu individu atau kelompok lain berdasarkan pada keanggotaan dalam suatu kelompok.

Secara negatif prasangka dapat mempengaruhi baik kondisi fisik, emosional pencapaian, dan kesuksesan yang menjadi korban atau sasaran dari prasangka. Selain itu prasangka juga didasari atas suka atau ketidaksukaan terhadap individu atau kelompok yang bukan menjadi bagian dari kelompoknya. Selain itu prasangka juga terjadi karena penilaian pendahuluan atau prejudgment. Verauli (2009:49) memaparkan bahwa prasangka adalah sebuah asumsi yang berguna untuk sebuah antisipasi. Namun, selain itu prasangka bisa menjadi kategori yang berlebihan ketika asumsi tersebut menjadi bias dan menyimpang. Prasangka ini didasari dengan pengalaman yang dijadikan sebagai bahan penilaian mengenai sesuatu yang akan terjadi.
Kurniawan (2009:14) mengungkapkan bahwa prasangka adalah sesuatu hal yang buruk dan harus dijauhi. Suatu bentuk permusuhan bisa timbul akibat dari adanya sebuah prasangka. Dimana hal ini tersebut merupakan sesuatu yang melintas didalam sebuah hati tanpa adanya sebuah bukti, dan hal semacam ini bukanlah hal yang bermanfaat dan tidak dapat di pertanggung jawab kan.

Owen Putra (2015:86) menyatakan bahwa prasangka buruk merupakan penyakit hati seperti iri hati, dengki, hasad, ghibah, yang kerapkali terbesit di relung hati dan dipikiran dan seringkali diremehkan oleh manusia. Adapun bentuk dari implikasi prasangka berupa mencari cari aib/kekurangan orang lain.

Sebab Terjadinya Prejudice

Bimo dalam Hapsyah (2019:166) memaparkan terdapat dua faktor penyebab terjadinya prejudice diantaranya:

  1. Kategori atau penggolongan
    Kategori atau penggolongan merupakan salah satu penyebab seseorang berprasangka hal ini disebabkan timbulnya rasa rendah diri. Sebagai contoh ketika adanya penggolongan seperti seseorang yang badan tinggi dan rendah maka akan muncul perselisihan didalam diri seseorang yang merujuk kepada prasangka sosial.
  2. In group vs Out grup
    Terbentuknya kelompok kelompok sosial yang menyebabkan terjadinya klasifikasi in group dan out grup. seseorang yang membentuk in group akan menganggap rendah seseorang yang bukan merupakan bagian didalam in group. seseorang yang terikat dalam kelompok tertentu akan menganggap kelompoknya lah yang yang paling unggul dan menganggap rendah kelompok lain.

Johnson dalam Liliweri (2005:203) menyebutkan empat penyebab seseorang berprasangka antaralain:

  1. Gambaran perbedaan antar kelompok
  2. Nilai yang dimiliki kelompok mayoritas menguasai kelompok minoritas
  3. Stereotip
  4. Timbulnya rasa superior dalam kelompok yang menyebabkan kelompok lain merasa menjadi inferior

Agustian (2019:119) memaparkan terdapat empat unsur penyebab terjadinya prejudice atau prasangka, diantaraya:

  1. Frustasi pribadi
  2. Ketidakpastian diluar dirinya
  3. Ancaman terhadap harga diri seseorang
  4. Kompetisi

Bentuk Bentuk Prejudice

Berikut berupa bentuk prejudice yang dikutip oleh Liliweri (2005:207) antara lain sebagai berikut:

  1. Stereotip
    Stereotip adalah suatu penilaian yang dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain berdasarkan persepsi. Stereotip sendiri dapat berupa penilaian positif ataupun negatif. Liliweri (2005:207) menyatakan bahwa stereotip adalah suatu tindakan mengkategorikan seseorang atau kelompok berdasarkan kategori ras, jenis kelamin, dan kebangsaan. Selain itu stereotip juga menunjukan perbedaan mengenai siapa kami dan siapa mereka. Dimana kami menunjukan superioritas didalam in group sedangkan mereka menunjukan out grop atau bukan bagian dari in group.
  2. Jarak sosial
    Jarak sosial adalah suatu hubungan yang didalamnya terdapat unsur perasaan ataupun emosi tertentu. Deaux dalam Liliweri (2005:213) bahwa jarak sosial adalah suatu bentuk wujud penerimaan individu atau kelompok terhadap seseorang yang bukan termasuk bagian dalam kehidupannya.

Faktor Penyebab Prejudice (Prasangka Buruk)

Abdillah (2014:43) Menyebutan terdapat beberapa faktor penyebab seseorang berprasangka buruk, antara lain:

  1. Tidak mau bertanya terlebih dahulu mengapa begini dan begitu
    Kita cenderung memvonis seseorang dengan cepat tanpa menanyakan alasan seseorang melakukan hal tersebut.
  2. Kurang data akurat
    Data yang tidak akurat mampu menimbulkan asumsi asumsi yang menimbulkan prasangka.
  3. Kebiasaan berpikir buruk
    Prasangka yang dilakukan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama akan menjadikan sebuah kebiasaan buruk.
  4. Kredibilitas objek yang diragukan
    Seseorang yang berprasangka buruk kebanyakan didasari dengan kredibiltas yang kurang akurat dan diragukan.
  5. Faktor lingkungan
    Faktor lingkungan sangatlah mempengaruhi karena manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia saling membutuhkan dan ketergantungan satu sama lain. Lingkungan yang dimaksud merupakan lingkungan keluarga, masyarakat, belajar, sekolah, kerja, komunitas dan lain sebagainya.
  6. Keyakinan yang salah
    Keyakinan yang salah menghasilkan buruk sangka. Hal ini disebabkan pola pikir merupakan bagian keyakinan dari hati seseorang.
  7. Kepentingan politik
    Dalam sebuah konteks politik tak ada mengenal istilah kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi yang berhubungan dengan kekuasaan yang menjadi faktor pemicu timbulnya sebuah prasanka.
  8. Estimasi pertahanan diri
    Estimasi pertahanan diri yang dilandasi dengan prasangka buruk akan menjadi sangat berbahaya, hal ini disebabkan akan munculnya stereotype negatif yang menyamakan pandangan atas suatu objek totalitas.
  9. Ilmu yang pas-pasan
    Keterbatasan ilmu yang dimiliki seseorang bisa menimbulkan pemicu seperti prasangka. Seperti pepatah yang berbunyi “ilmu seperti jendela dunia” dengan kata lain semakin tinggi atau rendahnya ilmu yang dimiliki manusia maka akan menentukan seseorang dalam memandang, menyimpulkan dan menyikapi peristiwa.
  10. Pengalaman
    Munculnya kejadian yang sama dengan pengalaman buruk yang dialami seseorang mampu membuat seseorang lebih mudah dalam berprasangka.
  11. Trauma
    Pengalaman hidup seseorang terhadap alam semesta banyak dipengaruhi oleh trauma mikro. Trauma merupakan kejadian yang menimbulkan shock didalam hati seseorang dan biasanya dalam waktu yang relatif lama.
  12. Arogansi
    Segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik, sama halnya dengan percaya diri yang berlebihan. Hal ini menimbulkan sikap arogan yang melihat orang lain hanya dari fisik semata dan menganggap dirinya lebih baik dari pada orang lain.
  13. Cerminan diri
    Tak lepas dari kemungkinan, prasangka buruk merupakan salah satu dari cerminan diri seseorang.

Teori Prejudice (Prasangka Buruk)

Baron dan byerne dalam Hapsyah (2019:167) memaparkan beberapa alasan seseorang memiliki prasangka diantaranya:

Teori Konflik realistik

Teori ini menggambarkan pada kompetisi antar kelompok. Dimana hal ini menyebabkan terjadinya sebuah pemikiran yang menganggap kelompoknya lebih baik dari pada kelompok lain. Baron, byerne dalam Heru (2012:122) memaparkan bahwa teori konflik kelompok menganggap seseorang individu atau kelompok yang bukan bagian darinya adalah salah. Hal ini didasari adanya persaingan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya dengan memperebutkan komoditas atau kesempatan berharga. Teori Konflik Realistik atau Realistic Conflict Theory mengemukakan bahwa kompetisi antar kelompok dapat menyebabkan konflik, ketidakpercayaan, dan prasangka antar kelompok. Teori ini menjelaskan bahwa ketika sumber daya yang terbatas, seperti uang, kekuasaan, atau pengaruh, menjadi semakin sulit didapat, maka kelompok-kelompok yang bersaing untuk sumber daya tersebut akan saling berhadapan.

Dalam konteks ini, kelompok-kelompok yang bersaing dapat memandang diri mereka sebagai kelompok yang lebih baik atau lebih unggul daripada kelompok lain, dan ini dapat memperkuat prasangka antar kelompok. Terkadang, prasangka antar kelompok dapat menjadi sangat kuat sehingga individu bahkan bersedia menggunakan kekerasan atau tindakan ekstrem untuk mempertahankan kelompok mereka.

Teori Konflik Realistik menekankan pentingnya sumber daya yang terbatas dalam menyebabkan konflik antar kelompok, dan pentingnya peran institusi dan kebijakan publik dalam mencegah konflik dan mempromosikan kerjasama antar kelompok. Dalam praktiknya, teori ini dapat membantu kita memahami mengapa konflik terjadi antar kelompok dan cara-cara untuk mengurangi konflik tersebut. Misalnya, meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kerjasama antar kelompok dan mempromosikan perspektif inklusif yang mengakui keberagaman kelompok dapat membantu mengurangi prasangka antar kelompok dan mempromosikan kerjasama yang lebih baik.

Teori belajar sosial

Baron dalam Fauzan (2012:122) menyatakan bahwa prasangka tidak lain adalah dari sebuah proses pembelajaran dari lingkungan dan sosialnya. Sama hal nya dengan eksperimen yang dilakukan oleh Albert Bandura mengenai Bobo Doll yang menunjukkan anak–anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Dalam teori belajar sosial proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain merupakan model tindakan dalam belajar. Teori Belajar Sosial atau Social Learning Theory mengemukakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengalaman belajarnya dan lingkungan sosial di sekitarnya. Salah satu aspek utama teori ini adalah pengaruh dari model atau contoh yang diobservasi oleh individu dalam lingkungannya.

Menurut teori belajar sosial, individu dapat belajar melalui empat proses: observasi, penguatan, motivasi, dan pemrosesan informasi. Proses observasi dan peniruan perilaku dan sikap orang lain adalah aspek yang sangat penting dari teori belajar sosial. Individu dapat mengamati perilaku orang lain dan memperoleh informasi tentang kapan dan di mana perilaku tersebut harus ditampilkan, serta dampak dari perilaku tersebut.

Selain itu, teori belajar sosial juga menekankan pentingnya pengaruh lingkungan sosial dalam membentuk perilaku individu. Misalnya, orang tua, teman, guru, dan media dapat menjadi model perilaku yang kuat dan memengaruhi perilaku individu. Teori belajar sosial memiliki banyak aplikasi dalam konteks sosial, termasuk dalam pendidikan, psikologi klinis, dan penelitian tentang perilaku manusia. Teori ini juga dapat membantu dalam mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengubah perilaku individu dan mendorong perubahan sosial.

Teori kognisi sosial

Pendekatan ini lebih tertuju kepada bagaimana pemahaman terhadap individu yang berprasangka terhadap dunia luar disekitar mereka dan orang orang yang ada didalamnya. Hal ini ditandai dengan bagaimana seseorang berfikir mengenai individu lain. Teori kognisi sosial fokus pada bagaimana individu memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi sosial dalam interaksi dengan orang lain. Teori ini menekankan bahwa pengalaman sosial dan lingkungan sosial membentuk pola pikir individu dan cara mereka berinteraksi dengan orang lain.

Dalam konteks prasangka atau stereotip, teori kognisi sosial menjelaskan bagaimana individu membentuk persepsi dan evaluasi terhadap kelompok lain. Misalnya, individu yang memiliki prasangka terhadap kelompok tertentu mungkin memproses informasi yang mendukung prasangka mereka dan mengabaikan informasi yang bertentangan dengan prasangka tersebut. Selain itu, individu dengan prasangka cenderung mencari konfirmasi prasangka mereka dalam interaksi sosial, dan mungkin memperkuat prasangka mereka melalui interaksi sosial yang negatif dengan anggota kelompok tersebut.

Teori kognisi sosial juga menekankan pentingnya peran sosial dalam membentuk pola pikir dan perilaku individu. Hal ini mencakup peran kelompok sosial, norma sosial, dan ekspektasi sosial dalam membentuk persepsi individu tentang diri mereka sendiri dan orang lain. Dalam praktiknya, teori kognisi sosial dapat membantu kita memahami bagaimana prasangka dan stereotip terbentuk, serta cara-cara untuk mengurangi prasangka dan meningkatkan kesadaran tentang peran sosial dalam interaksi sosial.

Teori kategori sosial

Teori ini menyatakan bahwa individu membagi kehidupan sosial menjadi dua kelompok diantaranya kelompok kita dan kelompok mereka. Teori Kategori Sosial dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner pada tahun 1979. Teori ini menyatakan bahwa individu cenderung mengelompokkan diri mereka dalam kategori sosial tertentu, seperti jenis kelamin, usia, etnis, agama, profesi, atau bahkan tim olahraga yang didukungnya.

Menurut teori ini, individu akan mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok-kelompok tersebut dan memberikan nilai positif pada kelompoknya sendiri dan nilai negatif pada kelompok lain. Hal ini dapat mengarah pada diskriminasi atau stereotip. Teori Kategori Sosial memiliki aplikasi penting dalam pemahaman tentang konflik sosial, diskriminasi, dan stereotip. Dengan memahami bagaimana individu membentuk identitas sosial dan persepsi terhadap kelompok lain, kita dapat mencari cara untuk mengurangi konflik dan meningkatkan toleransi di antara kelompok-kelompok tersebut.

Teori norma kelompok

Sherif dalam Hapsyah (2019:168) memaparkan bahwa prasangka timbul dikarenakan adanya suatu aturan didalam suatu kelompok. Individu yang patuh akan aturan tersebut akan mengarahkan individu tersebut dalam sebuah prasangka. Teori norma kelompok adalah teori yang menjelaskan bagaimana norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku di dalam kelompok dapat mempengaruhi perilaku individu dalam kelompok tersebut. Menurut teori ini, individu cenderung mengikuti norma-norma yang berlaku di dalam kelompok untuk merasa diterima dan diakui oleh anggota kelompok lainnya.

Salah satu contoh penerapan teori norma kelompok adalah eksperimen Asch yang dilakukan oleh Solomon Asch pada tahun 1951. Eksperimen ini melibatkan sekelompok orang yang diminta untuk memilih garis terpanjang dari beberapa garis yang ditampilkan di depan mereka. Meskipun garis yang terpanjang jelas-jelas terlihat, namun dalam beberapa kasus, anggota kelompok yang lain memilih garis yang lebih pendek.

Hasil dari eksperimen Asch menunjukkan bahwa kebanyakan orang cenderung mengikuti norma kelompok, bahkan jika norma tersebut tidak sesuai dengan kenyataan atau logika. Hal ini menunjukkan bahwa norma kelompok dapat mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku individu dalam kelompok tersebut. Namun, teori norma kelompok juga mengakui bahwa individu tidak selalu mengikuti norma kelompok secara membabi buta. Beberapa faktor, seperti kepercayaan diri, pengaruh sosial, dan kebutuhan untuk mempertahankan citra diri dapat mempengaruhi perilaku individu dalam kelompok tersebut.

Dampak Prejudice (Prasangka Buruk)

Abdilah (2014:65) mengatakan terdapat dampak dari sebuah prasangka buruk antaralain:

  1. Membuat orang tidak suka
    Prasangka buruk mampu membuat seseorang menjauh karena tidak suka. Adanya pemikiran yang muncul mengenai asumsi yang selalu dianggap negatif oleh orang lain.
  2. Membuat energi jadi lemah
    Prasangka buruk itu identik dengan pesimisme. Keluarnya kata kata yang terucap membuat energi seseorang yang mengucap menjadi lemah.
  3. Fisik dan jiwa melemah
    Tak jauh berbeda dari penjelasan sebelumnya, sedikit sekali orang yang berprasangka memiliki keadaan baik.
  4. Diskriminasi “Besar-Kecil”
    Diskriminasi kebanyakkan dilakukan oleh orang orang besar atau orang yang memiliki kuasa pada orang orang kecil.

Indikator prejudice (prasangka buruk)

O’Sears et al dalam Mizan (2019:24) memaparkan bahwa terdapat indikator dari prejudice diantaranya sebagai berikut:

Kognisi

Yaitu sebuah persepsi, pandangan, pendapat atau keyakinan negatif yang dimiliki individu terhadap individu atau kelompok lain yang bukan menjadi anggota dari dirinya. Hal ini timbul karena individu tersebut menganggap bahwa dirinya atau kelompoknya lebih baik dari orang atau kelompok lain. Hal ini bisa dilihat dari adanya perbedaan status, kelompok, suku agama, bahasa dan kesenjangan dibidang ekonomi. Hapsyah (2019:165) memaparkan bahwa aspek kognitif merupakan tindakan yang berhubungan dengan pikiran. Didalam aspek kognitif terdapat persepsi, belief, dan harapan individu terhadap berbagai kelompok sosial. Hal ini merujuk kepada suatu perbuatan, fikiran yang dianggap benar. Sebagai contoh ketika kelompok A beranggapan bahwa kelompok B lebih sombong karena unggul dalam belajar. Keyakinan inilah yang mendasari kelompok A memiliki pemikiran negatif terhadap kelompok B.

Afeksi

Yaitu sebuah perasaan yang muncul dalam diri individu atau kelompok yang mana perasaan tersebut berupa perasaan suka atau tidak suka terhadap kelompok lain. Prasangka dalam komponen ini adalah suatu penilaian yang diberikan terhadap target yang diprasangkainya berdasarkan keanggotaan dalam kelompok. Hapsyah (2019:165) memaparkan bahwa aspek afeksi merujuk kepada emosionalitas terhadap objek, baik menyenangkan maupun menyebalkan. Aspek ini berwujud seperti perasaan diantaranya ketakutan, kedengkian, dan sifat antipati yang ditunjukan kepada objek.

Konasi

Yaitu berupa tindakan dan perilaku yang berujung pada suatu penerimaan atau penolakan seseorang atau kelompok berdasarkan keanggotaan. Hapsyah (2019:166) memaparkan bahwa aspek konasi merupakan suatu tindakan dalam berbuat baik tindakan positif maupun negatif. Sikap positif merupakan suatu tindakan yang bersifat membangun, dan menolong sedangkan tindakan negatif merupakan tindakan yang bersifat menghindari bahkan merusak.