Diperbarui tanggal 6/09/2022

Prinsip Perancangan Kurikulum Merdeka

kategori Telaah Kurikulum / tanggal diterbitkan 1 September 2022 / dikunjungi: 7.11rb kali

Prinsip perancangan (design principles) kurikulum perlu ditetapkan sebagai pegangan dalam proses perancangan kurikulum. Prinsip ini digunakan untuk mengambil keputusan terkait dua hal, yaitu rancangan/desain kurikulum yang akan dipilih dan proses kerja atau metode perancangan kurikulum. Dengan demikian, baik hasil (rancangan kurikulum) maupun prosesnya perlu memenuhi prinsip- prinsip perancangan Kurikulum Merdeka. Prinsip-prinsip ini dikembangkan berdasarkan visi pendidikan Indonesia, teori dan hasil penelitian terkait perancangan kurikulum, serta  berbagai praktik baik yang diperoleh melalui kajian literatur dan diskusi terpumpun bersama pakar kurikulum. 

OECD (2020a) melakukan kajian terhadap proses perubahan rancangan (redesigning) kurikulum di beberapa negara dan mensintesiskan prinsip-prinsip perancangan kurikulum yang dinilai efektif dan mendorong proses yang sistematis dan akuntabel. OECD membagi prinsip-prinsip tersebut ke dalam empat kelompok sesuai ruang lingkup dimana prinsip-prinsip tersebut perlu diaplikasikan: (1) terkait dengan perancangan kurikulum atau  standar capaian dalam setiap disiplin ilmu, ada tiga prinsip yang perlu diperhatikan yaitu: fokus, keajegan, dan koherensi; (2) dalam merancang kurikulum yang berlaku untuk seluruh disiplin ilmu, prinsip yang perlu dipenuhi adalah kemampuan untuk transfer kompetensi, interdisipliner, dan pilihan; (3) dalam merancang kebijakan kurikulum di level yang lebih makro prinsip yang dipegang adalah keaslian atau otentisitas, fleksibilitas, dan keselarasan; dan (4) terkait dengan proses kerja perancangan kurikulum, prinsip yang perlu dipegang adalah pelibatan (engagement), keberdayaan atau kemerdekaan siswa, dan keberdayaan atau kemerdekaan guru.

Prinsip-prinsip tersebut merupakan salah satu rujukan dalam menentukan prinsip-prinsip yang digunakan sepanjang perancangan Kurikulum Merdeka. Namun demikian, landasan utama perancangan Kurikulum Merdeka adalah filosofi Merdeka Belajar yang juga melandasi kebijakan-kebijakan pendidikan lainnya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Rencana Strategis Kementerian pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024 (Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020). Permendikbud tersebut mengindikasikan bahwa Merdeka Belajar mendorong perubahan paradigma, termasuk paradigma terkait kurikulum dan pembelajaran. 

Perubahan paradigma yang dituju antara lain menguatkan kemerdekaan guru sebagai pemegang kendali dalam proses pembelajaran, melepaskan kontrol standar-standar yang terlalu mengikat dan menuntut proses pembelajaran yang homogen di seluruh satuan pendidikan di Indonesia, dan menguatkan student agency, yaitu hak dan kemampuan peserta didik untuk menentukan proses pembelajarannya melalui penetapan tujuan belajarnya, merefleksikan kemampuannya, serta mengambil langkah secara proaktif dan bertanggung jawab untuk kesuksesan dirinya. 

Dalam mendukung upaya ini, “kurikulum yang terbentuk oleh Kebijakan Merdeka Belajar akan berkarakteristik fleksibel, berdasarkan kompetensi, berfokus pada pengembangan karakter dan keterampilan lunak (soft skills), dan akomodatif terhadap kebutuhan dunia” (Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020, p.55). 

Filosofi Merdeka Belajar yang dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara juga  menjadi landasan penting dalam merumuskan prinsip perancangan kurikulum. Menurut Dewantara, kemerdekaan merupakan tujuan pendidikan sekaligus sebagai prinsip yang melandasi strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Kemerdekaan sebagai tujuan belajar, menurut Dewantara, dicapai melalui pengembangan budi pekerti, sebagaimana yang ditulisnya (2013; p.25): 

Budi pekerti, watak atau karakter, itulah bersatunya gerak fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga.... Dengan adanya ‘budi pekerti’ itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya. 

Tujuan tersebut memadukan kemampuan kognitif (pikiran), kecerdasan sosial-emosional (perasaan), kemauan untuk belajar, bersikap, dan mengambil tindakan (disposisi atau afektif) untuk melakukan perubahan. Budi Pekerti mengarah pada pengembangan kemampuan untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat (lifelong learning) yang memiliki kemampuan untuk mengatur diri menentukan arah belajar mereka. Visi Ki Hajar Dewantara semakin relevan dan semakin mendesak untuk dicapai oleh generasi muda Indonesia saat ini. Untuk menghasilkan kurikulum yang sejalan dengan Tujuan Pendidikan Nasional dan visi pendidikan  para pendiri bangsa, maka prinsip yang menjadi pegangan dalam proses perancangan kurikulum adalah sebagai berikut: 

  1. Sederhana, mudah dipahami dan diimplementasikan
  2. Fokus pada kompetensi dan karakter semua peserta didik
  3. Fleksibel
  4. Selaras
  5. Bergotong royong
  6. Memperhatikan hasil kajian dan umpan balik 

1. Sederhana, mudah dipahami dan diimplementasikan 

Prinsip kerja perancangan kurikulum yang pertama adalah sederhana. Maksudnya, rancangan kurikulum perlu mudah dipahami dan diimplementasikan. Rancangan kurikulum ataupun inovasi pendidikan lainnya menjadi lebih sederhana bagi pendidik apabila perubahannya tidak terlalu jauh daripada yang sebelumnya. Namun apabila perubahannya cukup besar, dapat disederhanakan dengan cara memberikan dukungan implementasi yang bertahap agar tingkat kesulitannya tidak terlalu besar untuk pendidik (Fullan, 2007; OECD 2020a). 

Berikut adalah poin-poin utama yang diperhatikan dengan merujuk pada prinsip ini: 

  1. Melanjutkan kebijakan dan praktik baik yang telah diatur sebelumnya.
    Perubahan sedapat mungkin hanya ditujukan untuk hal-hal yang sememangnya dinilai perlu diubah. Artinya, perubahan tidak dilakukan sekadar untuk membedakan dari rancangan sebelumnya (misalnya atas alasan memberikan warna 
    baru semata). Dengan demikian, beberapa aspek dalam Kurikulum Merdeka sebenarnya merupakan kelanjutan saja dari Kurikulum 2013 atau bahkan kurikulum yang sebelumnya. 

    Sebagai contoh, upaya untuk menguatkan pengembangan kompetensi dan karakter telah dimulai bahkan sejak awal tahun 2000an, dengan adanya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tujuan dari Kurikulum Merdeka tidak berubah, namun strateginya dikuatkan lagi, diantaranya melalui pengintegrasian model pembelajaran melalui projek ke dalam struktur kurikulum. Dengan masuknya pembelajaran projek dalam struktur kurikulum, kegiatan  yang berorientasi pada kompetensi umum (general competencies, transversal skills) dan pengembangan karakter ditempatkan sebagai bagian dari proses pembelajaran yang wajib dilakukan seluruh peserta didik. 

    Kebijakan lain yang telah diinisiasi oleh kurikulum-kurikulum sebelumnya pun diteruskan dan dikuatkan dalam Kurikulum Merdeka. Diantaranya adalah penguatan literasi dasar di PAUD dan SD kelas awal. Kebijakan ini diteruskan, dan beberapa masalah pembelajaran literasi dini (early literacy) dicoba untuk diatasi melalui penguatan kegiatan bermain-belajar berbasis buku bacaan anak. Selain itu kebijakan yang dikuatkan terus adalah penguatan literasi teknologi, literasi finansial, kesadaran kondisi lingkungan, penguatan pembelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasi di jenjang SMA, serta penguatan pelajaran Bahasa Inggris di jenjang SD. 

    Dalam kajianya tentang implementasi kurikulum baru di beberapa negara berkembang di Asia dan Afrika, Rogan (2003) menyatakan bahwa inovasi baru yang diperkenalkan sebaiknya tidak terlalu jauh dari kebijakan  yang ada saat ini, masih berada dalam apa yang disebut Rogan sebagai “zone of feasible innovation” atau zona di mana suatu inovasi masih memungkinkan untuk diterapkan. Perubahan yang tidak drastis akan membantu memudahkan proses implementasi atau proses belajar guru. Prinsip ini juga membantu perancang untuk mengidentifikasi lebih jeli tentang apa yang sebenarnya memang perlu diubah, sebelum menawarkan ide-ide baru dalam perancangan kurikulum. 

  2. Rancangan yang logis dan jelas 
    Rancangan yang logis dan jelas juga merupakan hal yang penting untuk memastikan bahwa rancangan kurikulum cukup sederhana untuk dipahami dengan mudah terutama oleh pemangku kepentingan yang utama, yaitu guru. Fullan (2007) menyatakan bahwa kejelasan (clarity), kompleksitas (complexity), dan kepraktisan (practicality) suatu inovasi merupakan bagian dari faktor yang menentukan keberhasilan perubahan pendidikan. Menurutnya, meskipun guru sudah memahami adanya masalah yang perlu diatasi melalui 
    perubahan kebijakan, kadang penolakan terhadap kebijakan tersebut terjadi karena guru tidak memahami arah perubahannya atau menganggapnya terlalu sulit untuk diimplementasikan dalam konteks mereka. Oleh karena itu, konteks dan situasi di mana kurikulum tersebut akan diimplementasikan adalah informasi yang sangat berharga bagi perancang kurikulum. 
  3. Beragam dukungan dan bantuan untuk mengimplementasikan kurikulum
    perlu disediakan, terutama ketika perubahan kurikulum cukup kompleks. Sebagai contoh, kurikulum operasional yang digunakan satuan pendidikan dikuatkan kembali dalam Kurikulum Merdeka. Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga menekankan pentingnya pengembangan kurikulum yang lebih konkrit dan operasional di setiap satuan pendidikan. Namun demikian, kebijakan tersebut kemudian digantikan oleh Kurikulum 2013 berdasarkan evaluasi bahwa banyak sekolah di Indonesia kesulitan dalam mengembangkan kurikulum yang otentik (Kemendikbud, 2019). Hal ini cukup disayangkan mengingat untuk negara besar dan beragam seperti Indonesia, kurikulum operasional yang cenderung seragam untuk semua satuan pendidikan tidak sesuai. Bahkan di banyak negara yang lebih kecil seperti Finlandia dan negara-negara eropa lainnya pun arah kebijakannya adalah desentralisasi pengembangan kurikulum (OECD, 2020b; UNESCO, 2017a). 

    Oleh karena itu, ketika kurikulum operasional ini kembali dikuatkan dalam Kurikulum Merdeka, Pemerintah perlu memberikan bantuan kepada satuan pendidikan agar mereka dapat mengembangkannya. Bantuan ini dapat diberikan dengan memberikan beberapa contoh-contoh produk kurikulum operasional dan memberikan ruang kepada seluruh sekolah untuk berbagi contoh kurikulum yang mereka kembangkan untuk menjadi inspirasi kepada sekolah lainnya, di samping memberikan pelatihan dan pendampingan. Langkah ini lebih jauh daripada sekadar memberikan panduan atau pedoman yang masih abstrak dan tidak cukup sederhana untuk dipahami oleh pendidik. 

    Dengan demikian, prinsip perubahan yang sederhana ini bukan berarti kurikulum yang dirancang harus seminimal mungkin perbedaannya dengan kurikulum yang lalu. Apabila hasil kajian menunjukkan bahwa perubahan besar perlu dilakukan, yang perlu disiapkan adalah bantuan dan dukungan bagi pendidik dan satuan pendidikan untuk dapat mengimplementasikannya dengan lebih mudah dan efektif. 

    Prinsip sederhana ini sangat penting dan melandasi banyak keputusan tentang rancangan kurikulum. Namun demikian, perancang kurikulum tidak dapat hanya berbasis pada prinsip kesederhanaan perubahan yang cenderung menarik keputusan ke arah yang lebih konservatif (mempertahankan cara lama). Pertimbangan lain yang juga penting diantaranya adalah kesesuaian rancangan dengan tujuan utama pembelajaran yaitu untuk mengembangkan kompetensi dan karakter yang termuat dalam profil Pelajar Pancasila. 

2. Fokus pada kompetensi dan karakter semua peserta didik 

Sejalan dengan prinsip sederhana di mana kebijakan dan praktik baik dilanjutkan, Kurikulum Merdeka juga melanjutkan cita-cita kurikulum-kurikulum sebelumnya untuk berfokus pada pengembangan kompetensi dan karakter. Istilah “fokus” memiliki makna memusatkan perhatian pada materi pelajaran atau konten yang lebih sedikit jumlahnya agar pembelajaran dapat lebih mendalam dan lebih berkualitas (OECD, 2020a). Prinsip ini menjadi penting karena di banyak negara berkembang masalah pembelajaran umumnya terjadi karena kurikulum yang terlalu ambisius, yaitu kurikulum yang padat akan materi-materi pelajaran sehingga harus diajarkan dengan cepat (“too much, too fast”). Kajian yang dilakukan Pritchett dan Beatty (2015) menunjukkan bahwa di beberapa negara berkembang seperti Indonesia, materi pelajaran  yang begitu padat membuat guru terus bergerak cepat menyelesaikan bab demi bab, konsep demi konsep, tanpa memperhitungkan kemampuan siswa memahami konsep yang telah dipelajarinya. Menurut temuan mereka, hal ini bukan karena guru tidak menghiraukan kemampuan anak dalam belajar, tetapi karena mereka dituntut untuk menuntaskan materi ajar. 

  1. Mengurangi materi atau konten kurikulum 
    Pengurangan materi atau konten kurikulum merupakan arah reformasi kurikulum di banyak negara. Faktor pendorongnya sama, yaitu padatnya kurikulum yang berdampak pada rendahnya kompetensi dan kesejahteraan diri (wellbeing) peserta didik (OECD, 2020b). Alasan utama terjadinya kurikulum yang semakin lama semakin padat adalah tuntutan terhadap kurikulum untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan tantangan yang semakin kompleks. Seringkali isu-isu kontemporer seperti perkembangan teknologi digital, pemanasan global dan kerusakan lingkungan, kekerasan antar kelompok sosial, dan isu-isu lainnya direspon dengan cara menambah bab dalam buku teks, target capaian dalam standar, bahkan menambah mata pelajaran. Akibatnya kurikulum semakin padat dan guru justru mengalami kesulitan untuk menerapkan pembelajaran yang lebih sesuai untuk menguatkan dan mengembangkan kompetensi. 

    Dengan mempelajari masalah kepadatan kurikulum di berbagai konteks, perancangan kurikulum dilakukan dengan prinsip fokus pada kompetensi dan karakter tanpa menambah beban materi pelajaran ataupun waktu belajar peserta didik. Strategi yang dipilih adalah dengan menyesuaikan struktur kurikulum. Dalam Kurikulum Merdeka, struktur kurikulum dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu pembelajaran intrakurikuler yang biasanya berbasis mata pelajaran dan pembelajaran melalui projek yang ditujukan untuk mencapai kompetensi umum yang telah dirumuskan dalam profil pelajar Pancasila. Metode ini juga sejalan dengan strategi di berbagai negara yang mengembangkan unit-unit pembelajaran interdisipliner, merestrukturisasi konten sehingga beban belajar peserta didik tidak membesar secara signifikan (OECD, 2020a). 

  2. Pembelajaran berpusat pada peserta didik
    Pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik hakikatnya dimulai sejak perancangan kurikulum, bukan sekadar pedagogi yang dirancang oleh guru setelah kurikulum ditetapkan. Menurut Pritchett dan Beatty (2015), menempatkan peserta didik di pusat- nya pembelajaran (center of learning) berarti mengajarkan konsep dan/atau keterampilan sesuai dengan kemampuan mereka saat itu alih-alih mengajarkan suatu materi hanya karena mengikuti urutan yang dianjurkan dalam buku teks tanpa mempertimbangkan apakah mayoritas peserta didik sebenarnya siap untuk mempelajari materi tersebut. Dengan rancangan kurikulum yang demikian, kurikulum berpotensi untuk mendorong pembelajaran yang membangun kemampuan setiap individu peserta didik untuk memiliki agency atau kuasa/kendali dalam pembelajarannya, bukan menjadi “konsumen” informasi. Untuk menjadi kompeten, peserta didik perlu memiliki kesempatan untuk belajar mengatur dirinya dalam proses belajar (Sahlberg, 2000). 

  3.  

    Semua peserta didik perlu mencapai kompetensi minimum

    Kurikulum yang terlalu padat dan diajarkan dengan terburu-buru mengakibatkan guru hanya memperhatikan kemampuan sebagian kecil peserta didiknya yang lebih berprestasi (Pritchett & Beatty, 2015). Akibatnya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam penelitian Pritchett dan Beatty di India tersebut, anak-anak yang mengalami kesulitan belajar akan semakin tertinggal. Data mereka menunjukkan bahwa anak-anak yang tertinggal ini kebanyakan dari keluarga miskin, sehingga kurikulum yang padat menjadi salah satu faktor yang menjelaskan kesenjangan kualitas hasil belajar antar siswa di sekolah yang sama. 

    Pengurangan kepadatan kurikulum dapat mengurangi kesenjangan kualitas belajar. Hal ini ditunjukkan juga dalam kajian yang dilakukan INOVASI dan Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud Ristek (2021) bahwa Kurikulum 2013 yang dikurangi capaiannya (Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar), yang juga dikenal sebagai kurikulum darurat, membantu siswa SD memitigasi ketertinggalan pembelajaran (learning loss). Efek positif dari kurikulum darurat ini lebih nyata untuk anak-anak dari keluarga dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah. Maka dengan pengurangan konten, setiap peserta didik memiliki kesempatan lebih besar untuk mencapai standar kompetensi minimum sehingga kurikulum pun menjadi lebih berkeadilan (equitable) untuk seluruh anak Indonesia. 

  4. Penguatan literasi dan numerasi 

    Penguatan literasi dan numerasi terutama di jenjang pendidikan dasar menjadi salah satu perhatian dalam perancangan kurikulum yang berfokus pada kompetensi. Selaras dengan konsep literasi dan numerasi yang digunakan dalam kebijakan Asesmen Kompetensi Nasional (AKM), literasi didefinisikan sebagai kemampuan peserta didik dalam memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks untuk menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga Indonesia dan warga dunia agar dapat berkontribusi secara produktif di masyarakat. Sementara itu numerasi didefinisikan sebagai kemampuan peserta didik dalam berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan sehari-hari pada berbagai jenis konteks yang relevan untuk individu sebagai warga negara Indonesia dan dunia (REF).  

    Merujuk pada definisi tersebut, literasi dan numerasi merupakan kemampuan yang dipelajari dalam berbagai mata pelajaran, tidak hanya Bahasa Indonesia (untuk literasi) dan Matematika (untuk numerasi). Lebih dari itu, literasi juga harus dimulai sejak pendidikan anak usia dini. Kurikulum Merdeka untuk PAUD diarahkan untuk menguatkan literasi dini (early literacy) dan numerasi dini. Kegiatan bermain-belajar yang dianjurkan dimulai dengan guru membaca nyaring (read aloud) buku bacaan anak, kemudian diikuti dengan berbagai aktivitas yang mengembangkan kemampuan literasi dasar. Aktivitas ini beragam sesuai dengan kesiapan guru/pendidik, mulai dari kegiatan tanya jawab atau diskusi yang menstimulasi kemampuan bernalar kritis dan kreatif, sampai kegiatan yang lebih panjang lainnya seperti bermain peran, membuat berbagai karya, serta kegiatan bermain belajar lainnya. Kegiatan seperti ini dapat mendukung perkembangan anak agar siap bersekolah (school-ready) dan membangun rasa gemar membaca dan berliterasi (Trealease, 2019).  

     

3. Fleksibel 

Fleksibilitas berkaitan dengan otonomi dan kemerdekaan guru dan peserta didik dalam mengendalikan proses pembelajaran. Prinsip fleksibel ini sesuai dengan amanat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Pasal 37, dinyatakan bahwa Kemendikbudristek hanya menetapkan kerangka dasar kurikulum dan struktur kurikulum, sementara satuan pendidikan memiliki wewenang untuk mengembangkan kurikulum.Kurikulum yang fleksibel akan memberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan dan pendidik untuk mengadaptasi, menambah kekayaan materi pelajaran, serta menyelaraskan kurikulum dengan karakteristik peserta didik, visi misi satuan pendidikan, serta budaya dan kearifan lokal. Keleluasaan seperti ini dibutuhkan agar kurikulum yang dipelajari peserta didik senantiasa relevan dengan dinamika lingkungan, isu-isu kontemporer, serta kebutuhan belajar peserta didik. 

Di berbagai negara, fleksibilitas menjadi arah reformasi kebijakan kurikulum saat ini. Tujuannya terutama untuk menjadikan kurikulum lebih relevan dan siap merespon dinamika lingkungan dan beragam perubahan serta untuk memberikan ruang untuk pembelajaran sesuai dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa (OECD, 2020a). Di beberapa negara, fleksibilitas bahkan menjadi tujuan utama dilakukannya perubahan kurikulum. Di Inggris, strategi utama untuk membuat kurikulum lebih fleksibel adalah dengan mengubah aturan-aturan yang spesifik dan mengikat, menjadi panduan-panduan yang sifatnya hanya menganjurkan, bukan mewajibkan sekolah atau guru untuk mengikuti arahan. Dengan demikian, kurikulum yang sentralistik satu ukuran untuk semua (one-size- fits-all) mulai ditinggalkan (UNESCO, 2017). 

Strategi serupa diterapkan dalam perancangan Kurikulum Merdeka. Petunjuk teknis mulai digantikan dengan panduan yang lebih fokus pada prinsip-prinsip implementasi yang tidak terlalu teknis. Panduan juga dirancang sedemikian rupa agar tidak mengarahkan guru untuk mengikuti satu cara yang disampaikan oleh Pemerintah Pusat. Selain panduan, beragam contoh-contoh produk berkaitan dengan pembelajaran juga disediakan. Misalnya contoh silabus, rencana pembelajaran harian, projek penguatan profil pelajar Pancasila, dsb.; dengan tujuan untuk membantu guru dalam implementasi. Contoh-contoh tersebut tidak harus diikuti namun dapat digunakan sebagai inspirasi untuk guru mengembangkan sendiri sesuai dengan konteks mereka. Contoh-contoh yang diberikan juga lebih dari satu sehingga tidak memberikan kesan bahwa satuan pendidikan dan guru di seluruh Indonesia perlu mengikuti satu contoh tersebut. Dengan demikian, fleksibilitas kurikulum akan semakin terlihat jelas bagi satuan pendidikan dan guru. 

Disediakannya panduan dan contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa kurikulum yang fleksibel bukan berarti membiarkan satuan pendidikan dan guru untuk mencari jalan keluar sendiri dalam pengembangan kurikulum operasional di tingkat satuan pendidikan. Sebaliknya, paradigmanya berubah dari pemerintah memberikan arahan atau petunjuk teknis menjadi pemerintah memberikan bantuan dan dukungan berupa panduan dan contoh-contoh. Strategi ini dilakukan untuk memberikan fleksibilitas namun juga memberikan bantuan dan dukungan kepada satuan pendidikan dan guru yang belum cukup mampu untuk mengembangkan kurikulumnya sendiri. 

Fleksibilitas juga menjadi prinsip dalam implementasi kurikulum. Menyadari keberagaman satuan pendidikan di Indonesia, implementasi kurikulum tidak akan dipaksakan dan berlaku sama untuk semua sekolah. Tingkat kesiapan satuan pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum berbeda- beda, dan masing-masing membutuhkan dukungan termasuk waktu yang berbeda untuk menyiapkan diri dalam menggunakan kurikulum ini. Oleh karena itu implementasi dirancang sebagai suatu tahapan belajar. Pemerintah merancang tahapan-tahapan implementasi yang dapat digunakan satuan pendidikan sebagai acuan bagaimana mereka akan mulai mengimplementasikan kurikulum secara bertahap sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. 

4. Selaras 

Keselarasan (alignment) berkaitan dengan tiga hal (OECD, 2020a): 1) keselarasan antara kurikulum, proses belajar (pedagogi), dan asesmen; 2) keselarasan antara kurikulum dan sistem tata kelola dan kompetensi guru; serta 3) keselarasan dengan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pembelajaran individu sejak usia dini hingga perguruan tinggi. Tiga hal ini menjadikan rancangan kurikulum perlu dipandang secara sistemik dan melibatkan lintas unit dalam sistem birokrasi pemerintah dalam proses kerjanya. 

Kurikulum merupakan poros dari banyak kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, dalam merancang suatu perubahan kurikulum, implikasi terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan lainnya perlu diperhatikan. Sebagai contoh, perubahan struktur kurikulum di SMA/MA membutuhkan adanya keselarasan dengan peraturan tentang beban kerja guru. Hal ini kemudian berujung pula pada sistem pendataan dalam Dapodik. Demikian pula ketika pelajaran Bahasa Inggris mulai dianjurkan untuk jenjang SD, strategi penyiapan gurunya membutuhkan perubahan kebijakan terkait linieritas guru serta kompetensi guru. 

Contoh lain keselarasan yang dilakukan adalah komparasi antara Capaian Pembelajaran dengan kerangka asesmen literasi dan numerasi dalam Asesmen Nasional. Selaras dengan kebutuhan untuk menguatkan literasi, kebijakan Kurikulum Merdeka menekankan pentingnya pembelajaran berbasis literasi di seluruh mata pelajaran, tidak hanya Bahasa 
Indonesia. Hal ini karena literasi tidak sekadar kemampuan membaca dan menulis apalagi melek huruf, tetapi sebagai kemampuan kognitif untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi, mencipta/berkreasi, dan mengkomunikasikan informasi melalui media cetak maupun digital di konteks dunia yang semakin terkoneksi, sehingga informasi semakin cepat dan mudah diakses (UNESCO, 2017b). Oleh karena, itu semua mata pelajaran berperan dalam mengembangkan kemampuan literasi. 

5. Bergotong royong 

Prinsip bergotong royong ini terutama
terkait dengan proses perancangan dan pengembangan kurikulum. Perancangan kurikulum adalah proses yang kompleks, bukan semata-mata proses ilmiah melainkan juga politik (Ornstein dan Hunkins, 2018). Oleh karena itu, perancangan kurikulum tidak saja berbasis pada data ilmiah tetapi juga perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk guru dan peserta didik. Hal ini penting dilakukan untuk mendapatkan persetujuan dan dukungan dari berbagai pihak (OECD, 2020a). 

Perancangan Kurikulum Merdeka beserta perangkat ajarnya dilakukan dengan melibatkan puluhan institusi termasuk Kementerian Agama, universitas, sekolah, dan lembaga pendidikan lainnya. Sejak awal perancangan kurikulum dilakukan di akhir tahun 2019, beberapa akademisi LPTK dan universitas dilibatkan untuk melakukan refleksi terhadap Kurikulum 2013 dan merumuskan ide-ide perubahan kurikulum agar dapat lebih fleksibel, fokus pada kompetensi dan karakter, serta sejalan dengan perubahan dunia yang begitu dinamis. Selanjutnya, dalam proses perancangan kurikulum mulai dari kerangka dasar dan  struktur kurikulum, Capaian Pembelajaran, sampai dengan pengembangan berbagai perangkat ajar, berbagai pihak dilibatkan. Pakar yang dilibatkan dalam perancangan kurikulum ini adalah kombinasi dari akademisi dan praktisi termasuk guru. 

Sepanjang proses perancangan kurikulum yang telah berlangsung lebih dari 2 tahun, rangkaian diskusi kelompok terpumpun (DKT atau focused group discussion atau FGD) dilakukan beberapa kali dengan pemangku kepentingan yang berbeda-beda. Tujuan dari serial DKT ini adalah untuk mendapatkan umpan balik dan ide-ide baru untuk meningkatkan kualitas rancangan dan implementasi kurikulum. 

Tidak hanya di tingkat pusat, pengembangan kurikulum operasional di tingkat satuan pendidikan juga dianjurkan untuk melibatkan orangtua, peserta didik, dan masyarakat. Selain itu, pelibatan siswa dan masyarakat juga sangat dianjurkan dalam pembelajaran berbasis projek untuk menguatkan profil pelajar Pancasila  yang menjadi bagian dari struktur kurikulum (dijelaskan lebih terperinci pada bagian terpisah dalam bab ini). 

6. Memperhatikan hasil kajian dan umpan balik

Salah satu komitmen penting dalam perancangan kurikulum adalah keajegan serta kesahihan keputusan yang dibuat dalam berbagai aspek. Ini artinya kurikulum perlu dirancang dengan berbasis pada data yang sahih sehingga dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hasil penelitian kontemporer di berbagai konteks global memberikan inspirasi  tentang kebijakan dan praktik yang dapat diadaptasi untuk konteks Indonesia. 

Data atau hasil kajian tidak hanya dibutuhkan sebagai referensi dalam proses perancangan kurikulum di awal, namun juga ketika kurikulum tersebut mulai diimplementasikan dalam konteks yang lebih riil. Kurikulum ini diujicobakan secara terbatas dalam Program Sekolah Penggerak (PSP) dan SMK Pusat Keunggulan (SMK PK) mulai Tahun Ajaran 2021/2022. Umpan balik tentang rancangan kurikulum ini diperoleh melalui mekanisme monitoring dan evaluasi PSP dan SMK PK. Monitoring dan evaluasi kurikulum pada Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu evaluasi dokumen kurikulum yang fokus pada produk kurikulum dan evaluasi implementasi yang lebih fokus pada bagaimana kurikulum diterapkan di satuan pendidikan. 

Evaluasi dokumen kurikulum berfungsi untuk memperoleh umpan balik tentang keterbacaan, kebermanfaatan dan keterpakaian dokumen-dokumen kurikulum. Evaluasi ini dilaksanakan melalui telaah dokumen oleh berbagai unsur seperti guru dan kepala sekolah dari Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan serta pakar-pakar melalui diskusi kelompok terpumpun (DKT). Hasil dari evaluasi ini digunakan untuk pertimbangan pada revisi dokumen-dokumen terkait, yaitu Capaian Pembelajaran, buku teks, bahan ajar, contoh alur tujuan pembelajaran, serta panduan- panduan dan contoh-contoh dokumen lainnya. Revisi berbasis data ini dilakukan guna meningkatkan mutu dari Kurikulum Merdeka. 

Evaluasi implementasi kurikulum berfungsi untuk memperoleh informasi tentang implementasi berbagai intervensi PSP dan SMK PK serta potensi masalah sebelum menimbulkan dampak lebih lanjut. Evaluasi implementasi dilaksanakan melalui wawancara terstruktur melalui telepon secara rutin dengan sampel acak guru dan kepala sekolah yang mewakili populasi Sekolah Penggerak dan penelitian kualitatif melalui etnografi. Hasil evaluasi implementasi ini kemudian menjadi bahan pertimbangan untuk perumusan kebijakan kedepannya, dan salah satunya adalah kebijakan terkait Kurikulum Merdeka. 

Beberapa umpan balik yang diperoleh tentang kurikulum antara lain tentang kurikulum operasional sekolah di mana beberapa sekolah kebingungan dalam melakukan analisis karakteristik satuan pendidikan dan memanfaatkan hasil analisis tersebut sebagai dasar menyusun organisasi pembelajaran. 

Hal ini menjadi masukan penting untuk peningkatan kualitas panduan perancangan kurikulum operasional sekolah. Begitu juga umpan balik terkait pembelajaran sesuai dengan tahap capaian peserta didik. Beberapa satuan pendidikan telah mencoba melakukan asesmen diagnostik namun kebingungan dalam memanfaatkan hasil asesmen tersebut dalam menjalankan pembelajaran yang terdiferensiasi. Selain itu, sebagian besar guru juga masih menganggap projek penguatan profil pelajar Pancasila terkait dengan mata pelajaran. Hal ini perlu ditindaklanjuti dengan penjelasan yang lebih sederhana dan konsisten untuk menjelaskan posisi projek penguatan profil pelajar Pancasila dalam struktur kurikulum dan bagaimana penilaian hasil belajarnya dilakukan. 

Monitoring dan evaluasi kurikulum tidak terbatas pada tahun pertama saja. Untuk itu telah disiapkan rencana monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan. Adapun fokus monitoring dan evaluasi untuk tiap tahun adalah sebagai berikut: (1) tahun 2021 - 2022, monitoring dan evaluasi pada kualitas materi kurikulum, (2) tahun 2022 - 2023, monitoring pada perubahan perilaku guru dalam pembelajaran, dan (3) tahun 2023 - 2024, monitoring pada dampak kurikulum terhadap hasil belajar siswa. Selanjutnya untuk tahun- tahun berikutnya monitoring dilaksanakan guna memutakhirkan muatan pelajaran. Hasil monitoring pada tahun 2024 juga menjadi dasar pertimbangan untuk kebijakan implementasi kurikulum di Indonesia. Demikian prinsip-prinsip yang dipegang sepanjang perancangan kurikulum dan uji coba dilakukan. 

Sumber: Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran. (2022). Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia