Diperbarui tanggal 1/09/2022

Evaluasi Terhadap Kurikulum 2013

kategori Telaah Kurikulum / tanggal diterbitkan 31 Agustus 2022 / dikunjungi: 6.65rb kali

Berdasarkan buku kajian akademik untuk pemulihan pembelajaran yang diterbitkan oleh Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dapat diketahui bahwa hasil evaluasi terhadap kurikulum 2013 sebagai berikut:

1. Dibutuhkan Kurikulum yang Sederhana

Dari hasil evaluasi yang dilaksanakan Kementerian dan Kebudayaan di beberapa daerah di tanah air, ditemukan bahwa beban pelajaran yang harus siswa tanggung terlalu banyak (Puskurbuk, 2019). Lebih lanjut, hasil paparan evaluasi pengimplementasian Kurikulum 2013 menemukan bahwa adanya kekeliruan pemahaman guru tentang konsep mastery learning. Kebanyakan guru masih beranggapan bahwa mastery learning adalah menuntaskan seluruh materi pembelajaran, sehingga malah mengesampingkan pemahaman siswa; sementara yang diharapkan Kurikulum 2013 adalah ketuntasan pemahaman siswa (Balitbang Kemdikbud, 2019). Akibatnya, peserta didik dan orang tua mengeluhkan beban pelajaran yang begitu berat. Terutama di saat ujian, siswa SD harus memahami pelajaran IPS, IPA, Matematika untuk satu ujian saja (Maharani, 2014). Demikian pula pada peserta didik PAUD yang meskipun pada K-13 tidak menjadikan kemampuan baca tulis sebagai syarat kelulusan, ternyata ketika masuk pada jenjang SD, siswa secara alamiah harus dapat membaca karena isi dari materi SD sudah cukup tinggi. Bukan hanya itu, beban pelajaran bagi siswa dapat dilihat secara kasat mata, sebagai contoh banyaknya buku pelajaran yang harus dibawa oleh siswa (terutama siswa SD) setiap harinya (Telaumbanua, 2014). Di SMK beban belajar siswa bertambah dari 46 jam menjadi 50 jam belajar dalam seminggu (Djaelani, Pratiknto, & Setiawan, 2019) sehingga alih-alih satuan pendidikan fokus pada penyaluran pada dunia usaha dan industri, SMK malah terjebak pada pemenuhan kurikulum.

Kurikulum di banyak negara, menurut kajian Pritchett dan Beatty (2015), dirancang terlalu ambisius, berorientasi pada standar yang tinggi, namun tidak cukup memberikan kesempatan kepada siswa untuk benar-benar memahami materi yang diajarkan. Pritchett dan Beatty menggunakan data PISA sebagai landasan untuk berargumen bahwa tingginya proporsi siswa Indonesia serta negara berkembang lainnya yang tidak dapat mencapai standar minimum menunjukkan bahwa masalah kurikulum ini bukan masalah yang dihadapi sebagian kecil siswa, tetapi masalah mayoritas siswa.

Oleh karena itu, perubahan yang perlu dilakukan adalah perubahan sistemik, bukan hanya intervensi di sekolah atau wilayah tertentu saja. Peserta didik diharapkan untuk dapat mempelajari materi-materi yang esensial sehingga dapat mengejar ketertinggalan akibat penutupan sekolah dan pembelajaran online. Untuk mengejar learning loss, kualitas pembelajaran lebih diutamakan ketimbang kuantitasnya.

2. Dibutuhkan Kurikulum yang Mudah diimplementasikan 

Kajian Puskurbuk (2019) menemukan pada umumnya, guru di Indonesia masih terkonsentrasi pada penyiapan dokumen yang bersifat administratif. Bahkan, pada penelitian kualitatif pada satu sekolah di Magelang, Khurotulaeni (2019) menemukan bahwa kebanyakan guru tidak termotivasi untuk membuat RPP, karena bagi mereka aksi di kelas lebih penting daripada pembuatan naskah berlembar-lembar yang rumit dan komplek. Horn dan Banerjee (2009) mengkritisi praktek guru di negara berkembang yang terkesan  mengejar pemenuhan kebutuhan administrasi pengajaran dan mengesampingkan pengajaran siswa yang sebenarnya membutuhkan persiapan yang lebih tinggi. 

RPP menurut Astuti, Haryanto, dan Prihatni (2018) adalah rencana kegiatan pembelajaran untuk satu pertemuan atau lebih yang dikembangkan dari silabus sebagai panduan untuk mencapai kompetensi dasar (KD). Lebih lanjut, Astuti, Haryanto, dan Prihatni (2018) menekankan bahwa guru harus membuat RPP secara menarik, inspiratif, dan menyenangkan sehingga menimbulkan tantangan dan kreativitas siswa. Namun sayangnya, guru belum berhasil membuat RPP yang menarik dan inspiratif seperti yang diharapkan karena bagian-bagian RPP yang terlalu kompleks, sehingga menguras tenaga guru untuk hanya terfokus pada urusan administrasi RPP (Ahmad, 2014, Krissandi & Rusmawan, 2015).  Untuk mengejar ketertinggalan akibat pandemi, guru dan satuan pendidikan tidak boleh dibebani dengan administrasi yang memberatkan. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya agar guru dan satuan pendidikan dapat lebih leluasa dalam mengajar secara efektif dan inovatif. 

3. Dibutuhkan Kurikulum 2013 yang Decentralized dan Fleksibel 

Kurikulum diharapkan dapat memberikan kebebasan bagi sekolah untuk dapat menyesuaikan tujuan pembelajaran terhadap kebutuhan di sekitar tempat siswa belajar (Okoth, 2016 dalam Poedjiastuti, et al., 2018). Namun, K-13 tidak memberikan 

keleluasaan sekolah untuk mengadaptasi pola keberagaman tujuan dan hasil akhir dari pembelajaran. Hal ini dikarenakan pemerintah telah memberikan paket komplit silabus yang telah selesai untuk guru adopsi di sekolah. 

Menurut Ornstein dan Hunkins di Poedjiastuti (2018) salah satu alasan mengapa guru merasa keberatan dalam menerapkan perubahan pendekatan, metodologi, dan cara evaluasi siswa salah satunya dikarenakan guru tidak merasa memiliki kurikulum tersebut. Kurikulum 2013 tidak memberikan fleksibilitas kepada guru untuk mengembangkan kreativitas 

dan inovasi. Hal ini dikarenakan kurikulum mewajibkan guru untuk menyusun administrasi kelengkapan mengajar yang sangat kompleks. Demikian pula pada kasus guru SMK, adanya silabus yang terpusat mengurangi kreatifitas guru untuk memilih pendekatan pembelajaran yang lebih kreatif, bermakna, dan kontekstual (Djaelani, Pratikno, & Setiawan, 2019). 

Bukan hanya itu, implementasi K-13 yang memberikan paket komplit dengan silabus dalam perjalanannya mendapatkan kritik dari banyak pihak (Sakhiya, 2013 dalam Ahmad, 2014). Hal ini dikarenakan tidak semua sekolah dapat menerapkan silabus yang sama antara satu dengan yang lain. Mungkin pada satu sekolah, dapat menerapkan silabus yang dibuat oleh pemerintah, namun belum tentu bagi sekolah lain. Karena konteks sekolah di desa tidak sama dengan konteks sekolah di kota. Demikian pula konteks sekolah swasta tidak akan sama dengan sekolah negeri. Ahmad (2014) mengibaratkan pembuatan silabus oleh pemerintah seperti membuat satu pakaian dengan satu ukuran yang sama (one size fits all), tentu tidak akan bisa dipakai oleh semua orang. Oleh karenanya, penyederhanaan kurikulum diharapkan memberikan fleksibilitas kepada sekolah untuk dapat mengembangkan silabus dari kerangka kurikulum yang telah ditetapkan. Pemerintah boleh saja untuk kemudian membuat beberapa contoh silabus rujukan sebagai bahan referensi guru, namun bukan untuk sebagai penyeragaman silabus. Fleksibilitas pembuatan silabus tentunya lebih memberikan penghormatan kepada guru, karena selama ini kebijakan silabus terpusat mendapatkan kritik seolah pemerintah tidak mempercayai guru dalam pembuatan silabus (Ahmad, 2014). Dari paparan di atas dalam mengadaptasi situasi pandemi, K-13 dirasa kurang mampu memberikan fleksibilitas kepada guru dan satuan pendidikan untuk menyesuaikan dengan kondisi pembelajaran pada dan pasca pandemi. 

Kurikulum hendaknya juga dapat mengakomodasi kompetensi lulusan pada pendidikan khusus untuk setiap jenjangnya. Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak dapat disamakan dengan peserta didik pada umumnya. Mengingat kekhasan peserta didik yang berkebutuhan khusus, maka kurikukulum harus dapat secara fleksibel menyesuaikan dengan tingkat ketercapaian peserta didik. Dalam artian tingkat ketercapaian pada peserta didik umum tidak dapat disamakan dengan tingkat ketercapaian peserta didik berkebutuhan khusus. Salah satu contoh misalnya pada standar kelulusan perlu penambahan frasa disesuaikan dengan tingkat ketercapaian pada masing-masing peserta didik. 

Salah satu kata kunci pada kurikulum alternatif nantinya adalah fleksibilitas. Ki Hadjar Dewantara (1928) menekankan bahwa manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang  lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Lebih lanjut, KHD berpendapat bahwa maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai bagian dari persatuan rakyat (Ki Hadjar Dewantara, 1928). 

Dalam pidatonya pada kongres PPPKI ke-1 di Surabaya pada tanggal 31 Agustus 1928 KHD menegaskan bahwa pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya secara lahir, dan memerdekakan hidupnya secara batin. Tentu dengan memberikan kurikulum yang dapat disesuaikan dengan kekhasan tingkat satuan pendidikan dan peserta didik, akan memberikan kemerdekaan bagi tiap-tiap satuan pendidikan dengan segala keragamannya. 

Jika diibaratkan dengan filosofi petani dan pendidik versi Ki Hajar Dewantara (KHD), tugas seorang guru adalah ibarat menanam jagung. Jagung hanya akan dapat tumbuh dengan selalu memperbaiki tingkat kesuburan tanah, memelihara tanaman, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur yang mengganggu hidup tanaman dan lain sebagainya (KI Hadjar Dewantara, 2009). Tentu tingkat pertumbuhan jagung akan berbeda dari tiap-tiap kekhasan tanah. Karena tanah yang berada di dataran tinggi akan berbeda dengan kontur tanah di dataran rendah. Tentu petani lebih mengetahui bagaimana merawat jagung yang disesuaikan dengan kondisi kekhasan  tanah dan lingkungannya. Begitu juga guru pada tingkat satuan pendidikan, mereka lebih mengetahui kekhasan peserta didik dan satuan pendidikannya. 

Berkaca pada hasil implementasi kurikulum pada masa Pandemi COVID-19, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat kelemahan yang menjadi fokus evaluasi pada Kurikulum 2013, antara lain kompetensi yang ditetapkan dalam Kurikulum 2013 terlalu luas, sehingga sulit dipahami dan diimplementasikan oleh guru. Selain itu, kurikulum yang dirumuskan secara nasional sulit disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan satuan pendidikan, daerah, dan peserta didik, karena materi wajib yang sudah sangat padat dan struktur yang detail dan mengunci. Sehingga tidak memberikan keleluasaan kepada guru dan satuan pendidikan untuk menyesuaikan dengan kekhasan daerahnya. 

Di samping itu, berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilaksanakan terhadap Kurikulum 2013,  terdapat beberapa hambatan lain yang belum terakomodasi oleh implementasi kurikulum darurat, antara lain: (1) Pengaturan jam belajar menggunakan satuan minggu (per minggu) tidak memberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan untuk mengatur pelaksanaan mata pelajaran dan menyusun kalender pendidikan; (2) Pendekatan tematik ( jenjang PAUD dan SD) dan mata pelajaran (jenjang SMP, SMA, SMK, Diktara, dan Diksus) merupakan satu-satunya pendekatan dalam Kurikulum 2013 tanpa ada pilihan pendekatan lain; (3) Mata pelajaran informatika bersifat pilihan, padahal kompetensi teknologi merupakan salah satu kompetensi penting yang perlu dimiliki oleh peserta didik pada abad 21; dan (4) Struktur kurikulum pada jenjang SMA kurang memberikan keleluasaan bagi siswa untuk memilih selain peminatan  IPA, IPS, atau Bahasa. Gengsi peminatan juga dipersepsi hierarkis dan tidak adil bagi yang berminat IPS dan Bahasa. 

Sumber: Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran. (2022). Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia