Diperbarui tanggal 16/Des/2022

Teori Penilaian Aset

kategori Ekonomi dan Keuangan / tanggal diterbitkan 16 Desember 2022 / dikunjungi: 0.95rb kali

Teori penilaian aset terdiri dari:

Capital Assets Pricing Model (CAPM)

Capital Assets Pricing Model (CAPM) adalah bentuk standar dari general equilibrium relationship bagi return saham yang dikembangkan secara terpisah oleh Sharpe (1964), Lintner (1965), dan Mossin (1969). CAPM merupakan teori penilaian risiko dan return saham yang didasarkan pada koeefisien beta (indeks risiko yang tidak dapat didiversifikasi). CAPM merupakan model untuk menentukan harga suatu aset pada kondisi equilibrium. Dalam keadaan equilibrium, tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemodal untuk suatu saham akan dipengaruhi oleh risiko saham tersebut. Dalam hal ini risiko yang diperhitungkan adalah risiko sistematis yang diwakili oleh beta, karena risiko yang tidak sistematik bisa dihilangkan dengan cara diversifikasi.

Sejak diperkenalkan pertama kali, CAPM dan beta terus diperdebatkan baik secara konseptual maupun empiris. Meskipun bukti-bukti empiris awal mendukung validitas CAPM namun kesimpulan tersebut tidak bertahan lama karena CAPM mendapat kritik dari dua sisi, yaitu sisi konseptual dan sisi empiris. Pada sisi konseptual, CAPM memerlukan estimasi tingkat bunga bebas risiko (risk-free rate of interest), estimasi return pasar (expected market return), dan estimasi beta untuk setiap aset. Menurut Brealey dan Myers (1991) sulit menentukan nilai yang "benar" dari ketiga variabel tersebut karena nilai yang sebenarnya tidak dapat diobservasi. Roll (1977) mengkritik bahwa CAPM tidak bisa diuji karena adanya persyaratan portofolio pasar, sebelumnya Ross (1976) menawarkan konsep lain yang dikenal dengan Arbitrage Pricing Theory (APT) yang tidak terlalu terikat dengan persyaratan portofolio pasar.

Pada sisi empiris, Banz (1981) menemukan anomali pasar bahwa ukuran perusahaan juga mempengaruhi return walaupun sudah mengontrol risiko sistematik. Sedangkan Basu (1977) menemukan bahwa perusahaan dengan tingkat price earning ratio (PER) yang rendah cenderung memiliki return portofolio lebih besar dari perusahaan dengan tingkat PER tinggi. Meskipun banyak kontroversi,
CAPM telah banyak mempengaruhi cara pandang akademisi dan praktisi. CAPM merupakan model yang paling populer dan banyak digunakan untuk mengestimasi biaya modal saham.

Fama dan French (1992, 1993, 1996) mengkritik kemampuan beta dalam menjelaskan variasi return ekuitas antar perusahaan (cross-sectional variation in equity return). Mereka menyimpulkan bahwa beta bukan merupakan ukuran risiko yang tepat. Roll dan Ross (1994) mengatakan bahwa beta is dead, or if not dead is at least fatally ill karena beta tidak dapat menjelaskan return sekuritas. Berbeda dengan peneliti-peneliti yang meragukan konsep CAPM dan beta, Black (1993) mengkritik bahwa hasil penelitian Fama dan French merupakan "data mining." Kothari, Shanken, dan Sloan (1995) serta Kandel dan Stambaugh (1995) berargumen bahwa beta masih dapat digunakan jika estimasi menggunakan data tahunan bukan data bulanan atau harian. Dengan perspektif lain, Black (1993) berpendapat bahwa hal yang diperlukan dalam mendefinisi ukuran risiko sistematik atau beta adalah model pasar. Keberadaan model pasar tersebut independen atau tidak terikat pada CAPM. Dengan demikian, meskipun CAPM benar-benar sulit dibuktikan secara empiris, beta tetap berada. Oleh karena itu, beta telah digunakan sejak dulu sampai sekarang dan akan terus digunakan di masa mendatang.

Hal yang paling utama dari CAPM ini adalah pernyataan mengenai hubungan antara expected risk premium dari individual assets dan systematic risk-nya. Treynor, Sharpe dan Lintner pada sekitar tahun 1960-an memformulasikan CAPM dengan rumus sebagai berikut:

Ri - Rf = (Rm - Rf) x bi ............................................... (1a)
Ri = Rf + (Rm - Rf) x bi ............................................... (1b)

Formulasi di atas mengatakan bahwa tingkat pengembalian yang diharapkan dari suatu saham (Ri) sama dengan tingkat return bebas risiko (Rf) ditambah dengan premi risiko [(Rm-Rf) x bi]. Semakin besar risiko saham (b), semakin tinggi risiko yang diharapkan dari saham tersebut dan dengan demikian semakin tinggi pula tingkat return yang diharapkan.

Untuk mengestimasi besarnya koefisien beta, digunakan market model dengan persamaan sebagai berikut:

Ri = αi +βiRm + ei

Keterangan:

Ri = return sekuritas i
Rm = return indeks pasar
αi = intersep
βi = slope
εi = random residual error

Sejak pertama diperkenalkan sampai saat ini, pengujian CAPM terus dilakukan dan memberikan hasil yang tidak mendukung. Ketidaksesuaian ini menurut Miller dan Scholes (1972) dikarenakan adanya penggunaan market model, yaitu hasil pada return bebas risiko yang berfluktuasi dan berkorelasi dengan return market sehingga terjadi bias dalam penaksiran. Hal lain yang tidak mendukung model CAPM adalah adanya beta yang merupakan satu  satunya faktor yang menerangkan return sekuritas berisiko. Dalam model CAPM, beta merupakan pengukuran risiko sistematis dari sekuritas terhadap risiko pasar.

Permasalahannya adalah dalam mengestimasi beta pada pasar modal yang kecil, beta yang diestimasi kemungkinan menjadi bias karena terjadi infrequent trading dimana beberapa sekuritas tidak mengalami perdagangan untuk beberapa waktu (Dimson, 1979). Asumsi yang digunakan CAPM adalah:

  1. Semua investor mempunyai cakrawala waktu satu periode;
  2. Semua investor melakukan pengambilan keputusan investasi berdasarkan pertimbangan antara nilai return ekspektasi dan deviasi standar return dari portofolionya;
  3. Semua investor mempunyai harapan yang seragam (homogeneous expectation) terhadap faktor input yang digunakan untuk keputusan portofolio;
  4. Semua investor dapat meminjamkan sejumlah dananya (lending) atau meminjam (borrowing) sejumlah dana dengan jumlah yang tidak terbatas pada tingkat suku bunga bebas risiko;
  5. Penjualan pendek (short sale) diijinkan;
  6. Semua aktiva dapat dipecah menjadi bagian yang lebih kecil dengan tidak terbatas;
  7. Semua aktiva dapat dipasarkan secara likuid sempurna;
  8. Tidak ada biaya transaksi;
  9. Tidak terjadi inflasi;
  10. Tidak ada pajak pendapatan pribadi, sehingga investor mempunyai pilihan yang sama untuk mendapatkan capital gain atau dividen;
  11. Investor adalah penerima harga (price takers);
  12. Pasar modal dalam posisi ekuilibrium.

Arbitrage Pricing Theory (APT)

Arbitrage Pricing Theory (APT) diperkenalkan oleh Ross (1976) yang mengungkapkan bahwa APT didasarkan pada pemikiran yang menyatakan bahwa dua kesempatan investasi yang memiliki karakteristik yang sama tidaklah bisa dijual dengan harga yang berbeda. Lebih lanjut teori ini mengasumsikan bahwa tingkat return tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam perekonomian dan dalam industri. Korelasi diantara tingkat return dua sekuritas terjadi karena sekuritas-sekuritas tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama (Husnan, 2004). Sedangkan Copeland (1979) menyatakan bahwa paling sedikit ada tiga atau empat faktor yang mempengaruhi perkembangan harga dari surat-surat berharga. Hal ini menunjukkan bahwa APT mendorong adanya pengembangan penelitian berdasarkan variabel atau faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perubahan sebuah sekuritas. Faktor-faktor itu dapat dilihat dari kinerja fundamental perusahaan, kinerja saham di pasar, atau keadaan pasar dan perekonomian.

Konsep yang digunakan dalam Arbitrage Pricing Theory (APT) adalah hukum satu harga (the law of the one price). Apabila aktiva yang berkarakteristik sama tersebut dengan harga yang berbeda, maka akan terdapat kesempatan untuk melakukan arbitrage dengan membeli aktiva yang berharga murah dan pada saat yang sama menjualnya dengan harga yang lebih tinggi sehingga memperoleh laba tanpa risiko (Husnan, 2003).

Model Tiga Faktor (Three Factor Models)

Bukti empiris membantah prediksi model CAPM dari Sharpe (1964), Lintner (1965) dan Black (1972) yang menyatakan bahwa tingkat expected return secara lintas sektor adalah linier didalam beta. Penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa penyimpangan risiko trade-off dan tingkat pengembalian CAPM memiliki hubungan dengan variabel ukuran perusahaan (Banz, 1981), earning yield (Basu, 1977 dan 1983), leverage (Bhandari, 1988) dan rasio nilai buku perusahaan terhadap nilai pasarnya (Stattman, 1980; Rosenberg et al. 1985). Model ini diperkenalkan oleh Eugene F. Fama dan Kenneth R. French pada tahun 1992.

Dalam perkembangan selanjutnya, Fama dan French memperluas model CAPM dengan menambahkan faktor firm size dan book to market ratio (B/M) selain faktor risiko pasar dalam CAPM. Model ini mempertimbangkan fakta bahwa nilai dan saham perusahaan kecil dapat mengungguli pasar secara teratur (Aaker dan Jacobson, 1994). Dengan memasukkan dua faktor tambahan diyakini dapat menjelaskan kecenderungan keunggulan pasar sehingga menjadi alat yang baik untuk mengevaluasi kinerja manajer keuangan. Secara umum, telah ditemukan suatu hubungan positif antara tingkat return dengan earning yield, arus kas yield dengan rasio B/M, serta hubungan negatif antara tingkat pengembalian saham dan ukuran perusahaan. Secara khusus, Basu (1977, 1983), Banz (1981), Reinganum (1981), Lakonishok dan Shapiro (1986), Kato dan Shallheim (1985) dan Ritter (2003), melakukan studi empiris mengenai pengaruh earning yield dan ukuran perusahan terhadap return.

Fama dan French mengembangkan CAPM dalam three factor model untuk mengakumulasi bukti empiris bahwa CAPM kurang baik digunakan dalam menganalisis hubungan risiko dengan return. Mereka menambahkan dua faktor risiko, yaitu size dan value (book to market ratio) atau book equity to market equity (BE/ME). Untuk size dan value memiliki hubungan signifikan dengan return. Fama dan French menegaskan bahwa model ini mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan CAPM. Bukti tentang proksi perusahaan dan B/M untuk sensitivitas faktor risiko dalam tingkat pengembalian adalah konsisten dengan rational-pricing untuk peran ukuran perusahaan dalam tingkat pengembalian rata-rata. Ukuran perusahaan dapat menjadi proksi untuk risiko kelalaian dan B/M dapat menjadi indikator pada prospek relatif perusahaan.

Menurut Cochrane (1996 dan 2001) asset pricing model yang menggunakan return portofolio sebagai suatu faktor mungkin dapat menjelaskan return aset secara memadai tetapi tidak mampu menjelaskan faktor tersebut secara parsial, karena model ini tetap meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab mengenai return berdasarkan faktor tersebut. Fama dan French (1993) menyajikan beberapa tes yang menyatakan bahwa rasio BE/ME dan ukuran perusahaan adalah proksi untuk loading perusahaan atas faktor risiko yang memiliki harga tertentu. Tes pertama, mereka menunjukkan bahwa harga saham yang memiliki rasio B/M tinggi dan ukuran perusahaan kecil cenderung bergerak ke atas dan ke bawah secara bersamaan dengan cara suggestive dari suatu faktor risiko yang umum. Tes kedua, mereka menemukan bahwa faktor loading biaya nol portofolio berdasarkan ukuran (SMB) dan rasio book to market (HML) bersama dengan suatu nilai tertimbang portofolio pasar (MKT) menjelaskan kelebihan return pada suatu kumpulan portofolio book to market dan size. Dengan kata lain, mereka membantah adanya hubungan antara karakteristik ini (size, rasio B/M) dan tingkat pengembalian meningkat, sebab karakteristik tersebut adalah proksi untuk faktor yang tidak bisa didiversifikasi.

Model Tiga Faktor Fama and French dibentuk dengan dilatarbelakangi untuk menguji CAPM. Penelitian tersebut diawali oleh penelitian sebelumnya yang menemukan adanya faktor selain beta yang dapat mempengaruhi return saham. Gagasan Fama dan French (1993) adalah market, size, dan rasio BE/ME harus dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi stock return selain beta. Hal ini bila diformulasikan dalam sebuah persamaan:

Rit – Rft = ai + ßi (Rmt – Rft) + si SMBt + hi HMLt + eit

Keterangan:
Rit = return saham
Rft = return tingkat bebas risiko
Rmt = return portofolio pasar
SMBt = small minus big: perbedaan setiap bulan rata-rata return pada tiga portofolio saham kecil (S/L, S/M, S/H) dengan rata-rata return pada tiga portofolio saham besar (B/L, B/M, B/H).
HMLt = high book to market minus low book to market merupakan perbedaan setiap bulan rata-rata pada dua portofolio yang BE/ME-nya tinggi (S/H dan B/H) dan rata-rata return pada dua portofolio yang BE/MEnya rendah (S/L dan B/L).

Ajili (2002) mencoba menguji Model Tiga Faktor Fama dan French (market, size dan BE/ME) dengan model CAPM di Paris Stock Exchange selama periode Juli 1976 hingga Juni 2001. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Model Tiga Faktor Fama dan French lebih baik dalam menjelaskan return saham dibandingkan CAPM. Menurut Fama dan French (1992, 1993) ukuran perusahaan dan rasio B/M memainkan peran dominan dalam menjelaskan perbedaan return yang diharapkan secara cross-sectional untuk perusahaan non-financial. Namun, Barber dan Lyon (1997) menyatakan bahwa hubungan ukuran perusahaan, rasio B/M, dan return saham sama untuk perusahaan keuangan dan non-keuangan. Mereka mengusulkan model alternatif yang memasukkan terlepas dari faktor pasar, faktor berhubungan dengan B/M.

Model Empat Faktor (Four Factor Model)

Model empat faktor diperkenalkan oleh Carhart (1993, 1997) yang memasukkan model tiga faktor Fama dan French ditambah faktor momentum PR1YR (Winner Minus Loser atau Up Medium Down) yang menangkap anomali momentum. Carhart (1997) mencatat bahwa model empat faktor dapat menjelaskan variasi return portofolio berdasarkan return masa lalu dan konsisten dengan model pasar ekuilibrium dengan empat faktor risiko. Carhart mengatakan dengan menambahkan faktor keempat yaitu momentum akan mengurangi error pricing dari return portofolio. Faktor risiko yang dipertimbangkan pada Carhart Four Factor model yaitu: risiko pasar, ukuran perusahaan SMB (Small Minus Big), book to market HML (High Minus Low), dan menambahkan faktor momentum PR1YR
(Winner Minus Losser atau Up Medium Down). Keempat faktor yang dimaksud dalam model penilaian aset tersebut antara lain:

  1. Beta (Market Risk)
    Beta (β) merupakan pengukur risiko sistematis dari suatu saham atau portofolio relatif terhadap risiko pasar. Beta berfungsi sebagai pengukur volatilitas return saham atau portofolio terhadap return pasar. Volatilitas merupakan fluktuasi return suatu saham atau portofolio dalam suatu periode tertentu, jika secara statistik fluktuasi tersebut mengikuti fluktuasi dari return-return pasar,
    maka dikatakan beta dari sekuritas tersebut bernilai satu (Jogiyanto, 2007). Beta dapat dihitung dengan menggunakan teknik regresi. Teknik regresi digunakan untuk mengestimasi beta suatu sekuritas dapat dilakukan dengan menggunakan return sekuritas sebagai variabel dependen dan return pasar sebagai variabel independen. Jika beta sifatnya stabil, semakin lama periode observasi yang digunakan dalam persamaan regresi semakin baik hasil dari beta (karena kesalahan pengukuran semakin lebih kecil). Akan tetapi bila periode observasi terlalu lama, anggapan beta konstan dan stabil kurang tepat, karena sebenarnya beta berubah dari waktu ke waktu (Jogiyanto, 2007).

    Mengetahui beta suatu sekuritas merupakan hal penting untuk menganalisis sekuritas tersebut. Beta suatu sekuritas menunjukkan risiko sistematisnya yang tidak dapat dihilangkan dengan diversifikasi. Mengetahui beta masing-masing sekuritas juga berguna untuk pertimbangan memasukkan sekuritas tersebut ke dalam portofolio yang akan dibentuk. Untuk mengestimasi besarnya koefisien beta, digunakan market model dengan persamaan dapat dituliskan sebagai berikut:

    Rit = αi +βiRmt + ei

    Model ini berasumsi bahwa return saham berkorelasi dengan perubahan return pasar, dan untuk mengukur korelasi tersebut bisa dilakukan dengan menghubungkan return saham individual (Rit) dengan return indeks pasar (Rmt). Risiko sistematis sebagai bagian dari risiko pasar sangat tergantung pada investor dalam mendefinisikan kondisi pasar dan ini berpengaruh dalam perubahan harga saham yang umumnya dikaitkan dengan perubahan dalam pengharapan investor terhadap prospek perusahaan.
  2. Size Premium
    Penelitian empiris tentang bagaimana size memiliki efek terhadap pembentukan portofolio dilakukan Banz (1981). Banz memperlihatkan adanya kecenderungan saham perusahaan kecil yang mempunyai return lebih tinggi dibandingkan saham perusahaan besar. Banz menemukan adanya abnormal return yang diperoleh investor ketika memiliki saham perusahaan kecil, selama 1936 – 1977. Reinganum (1981) menemukan abnormal return pada saham perusahaan kecil. Tetapi hasil penelitian tersebut banyak mendapatkan kritik terutama mengenai penggunaan CAPM dalam menentukan besarnya return yang diharapkan. CAPM dianggap tidak tepat untuk menghitung abnormal return, karena model ini terlalu bergantung kepada beta. Padahal seperti kebanyakan kritik terhadap CAPM, variabel beta dianggap banyak kelemahannya, karena dihitung dengan menggunakan data historis, serta adanya perbedaan beta yang signifikan antara perusahaan kecil dengan perusahaan besar (Tandelilin, 2001).

    Chan, Chen, dan Hsieh (1985) dalam Tandelilin (2001), mencoba menggunakan model APT, dan menemukan adanya perbedaan return antara portofolio perusahaan besar dan portofolio perusahaan kecil sebesar 1,5% per tahun. Perusahaan kecil umumnya mempunyai beta yang relatif lebih rendah sehingga estimasi return yang diharapkan dengan menggunakan CAPM juga menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, perbedaan return yang diharapkan dengan return aktual cenderung positif.

    Dari penjelasan tersebut, variabel ukuran perusahaan dalam model penetapan harga aset adalah excess return saham, yaitu selisih return portofolio saham yang memiliki ukuran kapitalisasi pasar kecil dengan portofolio saham yang memiliki kapitalisasi pasar besar, sehingga variabel ukuran perusahaan dapat disesuaikan dengan Small Minus Big (SMB).
  3. Value Premium
    Fama dan French (1991), Lakonishok, Shleifer dan Vishny (1993), serta Chan, Hamao dan Lakonishok (1991) melakukan penelitian nilai book to market equity dengan return saham. Mereka menemukan ada perbedaan return saham yang mempunyai book to market equity yang tinggi dibandingkan dengan yang rendah. Penelitian Lakonishok, Shleifer dan Vishny juga menemukan adanya perbedaan sebesar 7,8% per tahun. Menurut mereka saham yang mempunyai book to market equity tinggi cenderung mempunyai tingkat return lebih besar dibandingkan saham
    yang mempunyai book to market equity rendah.

    Rasio book to market merupakan salah satu faktor distress-risk (Fama dan French, 1992). Rasio tersebut didapat dengan membandingkan nilai buku perusahaan dengan nilai pasar saham. Rasio book to market yang kecil menggambarkan nilai buku perusahaan lebih rendah dari nilai pasar saham. Hal ini menunjukkan bahwa pihak manajemen perusahaan tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan.

    Apabila book to market equity dijadikan proksi dari risiko, maka perusahaan yang memiliki nilai book to market equity besar (perusahaan cenderung mengalami distress-financial) menghadapi risiko yang lebih besar dibandingkan perusahaan dengan book to market equity yang rendah. Bertambah besarnya risiko yang ditanggung, maka investor mengisyaratkan return yang lebih besar. Faktor distressrisk dimasukkan kedalam persamaan model penetapan harga aset menjadi high minus low (HML). Ini dilakukan untuk menunjukkan adanya selisih tingkat pengembalian portofolio emiten yang memiliki rasio book to market tinggi terhadap portofolio emiten yang memiliki rasio book to market yang rendah.
  4. Momentum Effect
    Strategi investasi momentum merupakan salah satu dari strategi saham aktif yang dapat digunakan investor dan manajer investasi untuk meningkatkan kinerja saham. Strategi ini dilakukan dengan cara membeli saham yang sebelumnya memiliki kinerja baik dan menjual saham yang sebelumnya memiliki kinerja buruk (Sharpe, et al., 1995). Dalam strategi ini investor akan mencari
    momentum atau waktu yang tepat, pada saat perubahan harga yang terjadi bisa memberikan keuntungan bagi investor melalui tindakan menjual atau membeli saham. Berbagai teknik untuk menemukan momentum yang tepat dalam saham dapat dilakukan.

    Data yang telah terjadi (ex-post data) digunakan untuk mencari pola pergerakan saham dan mencari hubungan sebab akibat antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Investor momentum berusaha untuk membeli saham yang harganya baru saja naik secara berarti atas dasar kepercayaan bahwa harga saham tersebut terus akan naik sesuai dengan pergeseran ke atas dari kurva permintaan. Sebaliknya saham yang harganya turun secara berarti akan dijual dengan kepercayaan bahwa kurva permintaan mereka telah bergeser ke bawah. Analisis faktor-faktor fundamental yang berpengaruh terhadap kinerja saham merupakan teknik kuantitatif yang lebih kompleks untuk menentukan waktu yang paling tepat untuk membeli atau menjual saham. Jika faktor-faktor itu bisa diidentifikasi, maka investor akan mampu meramalkan kinerja saham mereka di masa mendatang. Investor akan menginvestasikan dana yang dimilikinya pada saham tertentu apabila perubahan faktor-faktor tersebut akan meningkatkan kinerja saham yang diharapkan. Demikian pula sebaliknya, jika diperkirakan perubahan faktor-faktor itu akan menurunkan kinerja saham, maka investor akan memindahkan investasinya dari saham ke alternatif investasi lainnya.

    Sehubungan dengan pembentukan saham berdasarkan strategi investasi momentum, Sharpe, et al. (1995) mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut:
    1. Identifikasi saham-saham yang terdaftar di pasar modal.
    2. Menentukan peringkat berdasarkan besarnya return untuk periode yang baru saja berakhir, yang disebut sebagai periode formasi saham.
    3. Masukkan saham-saham yang memiliki rata-rata return tinggi ke dalam kelompok saham winner dan saham-saham yang memiliki rata-rata return rendah ke dalam kelompok saham loser.
    4. Menentukan return saham saham winner dan loser untuk periode yang akan dimulai, yang disebut periode pengujian saham.
    5. Ulangi analisis dari permulaan, mulai dari langkah pertama tetapi bergerak maju satu demi satu. Hentikan setelah dilakukan pengulangan beberapa kali.
    6. Tentukan rata-rata abnormal return atas saham winner dan saham loser.

Jika strategi investasi momentum bekerja dengan baik, maka saham pemenang (winner) seharusnya menghasilkan rata-rata abnormal return yang positif dan saham pecundang (loser) memiliki rata-rata abnormal return yang negatif. Perbedaan antara abnormal return saham tersebut seharusnya positif secara signifikan. Momentum yang memberikan return positif mengimplikasikan bahwa saham yang memiliki kinerja di atas rata-rata saham pada periode sebelumnya akan melebihi kinerja rata-rata saham pada periode berikutnya.

Hipotesis Pasar Efisien dan Model Penetapan Harga Modal Aset (CAPM) dianggap tidak mampu secara maksimal menangkap perilaku momentum yang tak terduga dari harga saham. Para pendukung teori keuangan klasik pun kembali berpendapat bahwa anomali ini tidak lebih dari penyimpangan langka dari dalil pasar efisien, namun momentum telah terbukti eksis selama beberapa dekade.

Keberadaan momentum ini akan mengindikasikan perilaku investasi rasional (atau sesuatu yang paling tidak rasional dari perspektif teori keuangan tradisional), yang akhirnya membawa ke pertanyaan selanjutnya, yaitu apakah keberadaan strategi momentum telah menjadi argumen yang kuat untuk pengembangan teori keuangan perilaku yang dapat menggambarkan dan menganalisis anomali yang terjadi. Dalam konteks investasi saham, strategi investasi momentum lebih sesuai dengan horison investasi investor. Kebanyakan investor memiliki horison investasi yang lebih pendek daripada yang diperlukan bagi penerapan strategi investasi kontrarian untuk menghasilkan return yang dapat diterima. Investor akan membeli saham yang memiliki kecenderungan harga yang tinggi, yakni saham yang sebelumnya memiliki kinerja baik (winner stock) dan menjual saham yang sebelumnya memiliki kinerja buruk (loser stock).

Secara empiris, penelitian-penelitian tentang strategi investasi momentum telah banyak berfokus pada investasi beli dan jual dalam berbagai kombinasi desil, dengan bobot equal atas saham dalam posisi beli dan jual. Pembobotan secara equal ini digunakan karena perubahan return sebagai akibat dari strategi pendanaan lebih mudah untuk diinterpretasikan. Dimungkinkan juga untuk berfokus pada saham yang mendanai diri sendiri (self financing) dengan bobot momentumnya diukur dengan fungsi linier (misalnya return masa lalu). Buktibukti empiris mengenai strategi investasi momentum telah banyak di dokumentasikan di Amerika Serikat.

Penelitian tentang strategi momentum mula-mula diperkenalkan oleh Jegadesh dan Titman (1993). Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa pembelian saham pemenang (winners) pada periode yang lalu dan menjual saham pecundang (losers) pada periode yang lalu memperoleh abnormal return yang signifikan. Abnormal return sendiri disebabkan perubahan harga saham yang sangat drastis. Oleh sebab, itu Carhart pada tahun 1997 memperkenalkan suatu model yaitu Model Empat Faktor (Four Factor Model) yang menambahkan variabel momentum pada model Fama dan French.

Jegadesh dan Titman (1993) mendeskripsikan strategi momentum, yakni perilaku investor yang melakukan pembelian saham dengan kinerja baik di masa lalu (winners) dan melakukan penjualan saham dengan kinerja buruk di masa lalu (losers). Mereka menemukan bahwa selama 3 sampai 12 bulan periode kepemilikan saham (holding period) perusahaan yang memiliki return yang tinggi di masa lalu secara terus menerus mengungguli perusahaan yang memiliki return yang rendah di masa lalu selama periode waktu yang sama, hal ini dinamakan dengan momentum harga saham (momentum of stock prices).

Strategi momentum dibagi ke dalam periode pembentukan dan periode kepemilikan. Periode pembentukan adalah periode saham diperingkatkan dari yang tertinggi ke terendah berdasarkan tingkat pengembaliannya. Intuisi di balik strategi ini adalah bahwa saham-saham yang memiliki kinerja yang baik di masa lalu akan terus tampil baik di masa depan dan karena itu investor harus berinvestasi dalam saham yang dimaksud tersebut. Sebaliknya, saham yang tampil buruk di masa lalu akan terus berkinerja buruk di masa depan dan oleh karenanya investor jangan berinvestasi di saham yang dimaksud atau mengambil posisi short di saham-saham berkinerja buruk ini dan mengeksploitasi ekspektasi penurunan dalam harganya. Periode kepemilikan adalah periode investor memegang saham momentumnya. Periode pembentukan dan masa kepemilikan dapat bervariasi dalam panjangnya durasi tetapi yang dimaksud periode momentum secara umum
adalah perihal periode pembentukan dan masa kepemilikan jangka menengah (3-12 bulan).

Jegadeesh dan Titman (1993) memperoleh bukti dari strategi yang menghasilkan keuntungan positif yang signifikan berdasarkan harga saham historis pasar AS, sambil menerapkan periode holding dari 3-12 bulan. Jegadeesh dan Titman (1993) tidak memperlakukan tingkat pengembalian yang positif ini terhadap perbedaan dalam faktor risiko sistematis antara pemenang dan pecundang masa lalu atau reaksi tertunda saham untuk faktor umum, melainkan menunjukkan bahwa momentum harga terjadi karena reaksi harga yang tertunda untuk informasi spesifik perusahaan. Informasi lain adalah tingkat pengembalian positif yang dihasilkan oleh strategi momentum menguap untuk tahun berikutnya setelah masa kepemilikan.

Data yang digunakan dalam studi empiris didasarkan pada data harga pada saham Amerika selama 24 tahun (yang tercatat di NYSE dan bursa AMEX). Pemeringkatan saham dilakukan menjadi 10 desil saham atas dasar tingkat pengembalian sebelumnya sebagai periode pembentukan saham. saham desil teratas didenominasikan sebagai saham “pemenang (winner)” dan saham desil terbawah didenominasi sebagai saham “pecundang (loser)”. Keseluruhan strategi saham terdiri dalam membeli saham “pemenang (winner)” dan menjual saham “pecundang (loser)” setiap kali masa kepemilikan berakhir.

Jegadeesh dan Titman (1993) mengimplementasikan strategi pembobotan tertimbang yang sama sehingga saham masing-masing diwakili dalam jumlah nilai pasar yang sama dalam sampel total saham sepanjang masa. Enam belas strategi yang berbeda diikuti dengan mengkombinasikan periode pembentukan dan kepemilikan (3 bulan, 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan), tetapi sebagian besar
fokusnya didasarkan pada strategi memilih saham berdasarkan tingkat pengembalian masa lalu 6 bulan dan masa kepemilikan 6 bulan, yang terbukti menghasilkan laba sekitar 1 persen per bulan (strategi yang paling menguntungkan terdiri dari periode pembentukan 12 bulan dan periode holding 3 bulan yang menghasilkan tingkat pengembalian bulanan 1,49%).