Diperbarui tanggal 13/01/2023

Bank Perkreditan Rakyat

kategori Ekonomi dan Keuangan / tanggal diterbitkan 13 Januari 2023 / dikunjungi: 2.33rb kali

Pengertian Bank Perkreditan Rakya (BPR)

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang bank perkreditan rakyat (BPR) sebagaimana telah diubah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20/POJK.03/2014 selanjutnya disebut POJK tentang BPR. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan dimana BPR memiliki zona dengan modal minimum, yaitu:

  1. Zona 1 dengan modal disetor minimum Rp. 14.000.000.000,- (empat belas milyar rupiah) yang terdiri dari 14 (empat belas) wilayah.
  2. Zona 2 dengan modal disetor minimum Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah) yang terdiri dari 103 (seratus tiga) wilayah
  3. Zona 3 dengan modal disetor minimu Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) yang terdiri dari 58 (lima puluh delapan) wilayah
  4. Zona 4 dengan modal disetor minimum Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) yang terdiri dari 332 (tiga ratus tiga puluh dua) wilayah.

Pembagian dalam zona dengan modal disetor ini merupakan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat. Didalam POJK ini BPR wajib menyediakan modal minimum yang dihitung dengan menggunakan rasio KPMM paling rendah sebesar 12% (dua belas perseratus) dari Aaset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Selain itu BPR wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 8% (delapan perseratus) dari Aset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Untuk melaksanakan kegiatan operasional bank BPR diperlukan legalitas berupa bentuk hukum pendirian bank BPR. Pendirian bank BPR telah diatur pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat pada pasal 2 didirikan dalam bentuk hukum BPR, dapat berupa:

  1. Perseroan Terbatas;
  2. Koperasi, atau
  3. Perusahaan Daerah.

Pendirian bank BPR tersebut hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian pada pasal 4, bank BPR hanya didirikan dan dimiliki oleh:

  1. Warga Negara Indonesia,
  2. Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, dan/atau
  3. Pemerintah Daerah

Dalam melaksanakan kegiatan usaha, bank BPR selalu mengikuti aturan yang terdapat pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dengan Nomor 12/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor Bank Perkreidtan Rakyat berdasarkan Modal Inti dimana pada Pasal 1 bahwa Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahannya secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998. Modal Inti yang dimaksud pada pasal (1) tersebut dilanjutkan dengan pasal (3) dimana Modal Inti dikelompokkan menjadi 3 BPRKU, yaitu:

  1. BPRKU 1 adalah BPR dengan Modal Inti kurang dari Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah);
  2. BPRKU 2 adalah BPR dengan Modal Inti paling sedikit Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah) sampai dengan kurang dari Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah); dan
  3. BPRKU 3 adalah BPR dengan Modal Inti paling sedikit Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah).

Selanjutnya sebagai pedoman kegiatan usaha bank BPR diatur pada pasal (4), yaitu:

  1. Penghimpunan dana dalam bentuk:
    1. Simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan / atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
    2. Pinjaman yang diterima;
  2. Penyaluran dana;
  3. Penempatan dana dalam bentuk:
    1. Giro, deposito berjangka, sertifikat deposito dan / atau tabungan pada bank umum dan bank umum syariah
    2. Deposito berjangka, dan / atau tabungan pada BPR dan bank pembiayaan rakyat syariah,
    3. Sertifikat Bank Indonesia;
  4. Kegiatan usaha penukaran valuta asing
  5. Kegiatan lainnya untuk mendukung kegiatan usaha BPR dalam bentuk:
    1. Kegiatan sebagai penyelenggara dan agen layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif (Laku Pandai)
    2. Penyediaan layanan Electronic Banking
    3. Layanan pembayaran gaji bagi nasabah BPR;
    4. Kegiatan kerjasama dalam rangka transfer dana yang terbatas pada penerimaan atas pengiriman uang dari luar negeri;
    5. Kegiatan sebagai penerbit Kartu ATM,
    6. Kegiatan sebagai penerbit Kartu Debet,
    7. Kegiatan sebagai penerbit Uang Electronik dan kegiatan pemasaran Uang Electronik dari penerbit lain;
    8. Pemindahan dana baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah melalui rekening BPR di bank umum;
    9. Kegiatan kerjasama dengan perusahaan asuransi untuk mereferensikan produk asuransi kepada nasabah yang terkait dengan produk BPR; dan
    10. Menerima titipan dana dalam rangka pelayanan jasa pembayaran tagihan seperti pembayaran tagihan listrik, telepon, air, dan pajak.

Apabila bank BPR dalam kegiatan usahanya mengalami kemajuan serta mengembangkan dengan membuka kantor cabang, maka bank BPR dapat melakukan pembukaan kantor cabang, sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, pasal (11), yaitu:

  1. BPR wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pembukaan cabang,
  2. Mekanisme pemberian izin pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan Otoritas Jasa Keuangan Mengenai BPR.

Bank BPR dalam menjalankan kegiatan usahanya harus mengacu pada prinsip kehati-hatian sesuai dengan penerapan kebijakan tata kelola dan manajemen resiko yang diatur pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2015 tentang penerapan tata kelola bagi Bank Perkreditan Rakyat. Tata kelola yang dimaksudkan adalah tata kelola BPR yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (indepedency), dan kewajaran (fairness).

Untuk melaksanakan tata kelola tersebut, maka pelaksanaannya terdapat pada POJK Nomor 4/POJK.03/2015, pasal (2) ayat (2) bahwa bank BPR paling sedikit diwujudkan dalam bentuk:

  1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi;
  2. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris;
  3. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas atau fungsi komite;
  4. Penanganan benturan kepentingan;
  5. Penerapan fungsi kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern;
  6. Penerapan manajemen resiko, termasuk sistem pengendalian intern;
  7. Batas maksimum pemberian kredit;
  8. Rencanca bisnis BPR;
  9. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan.

Implementasi dari Pelaksanaan tata kelola dimaksudkan berdasarkan pada Modal Inti BPR yang terdapat pada pasal (4), berbunyi:

  1. BPR yang memiliki modal inti paling sedikit Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Direksi.
  2. BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.

Dengan adanya anggota direksi tersebut, diharapkan bank BPR dapar melaksanakann tata kelola sesuai dengan tugas dan tanggungjawab Direksi. Tanggung jawab direksi telah diatur dalam pasal berikutnya, yaitu pasal (10) berbunyi:

  1. Direksi bertanggungjawab penuh atas pelaksanaan kepengurusan BPR.
  2. Direksi wajib mengelola BPR sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar BPR dan peraturan perundangundangan.

Selain itu, untuk meningkatkan penerapan tata kelola bank BPR yang baik, maka ada aspek transparansi yang mewajibkan anggota direksi mengungkapkan hubungan dengan pihak anggota Direksi, Dewan Pengawas dan Pemegang Saham.

Pengungkapan hubungan ini sesuai dengan pasal (22), berbunyi:

  1. Kepemilikan sahamnya pada BPR yang bersangkutan dan perusahaan lain;
  2. Hubungan keuangan dan / atau hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan atau pemegang saham BPR.

Artinya bahwa seorang Ddireksi wajib mengungkapkan semua hubungan yang terdapat dengan pihak-pihak yang terkait yang bertujuan untuk mengurangi konflik kepentingan sehingga penerapan tata kelola BPR berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip kehati-hatian. Selanjutnya Implementasi prinsip-prinsip keterbukaan (transparancy) tersebut juga menyangkut transparansi kondisi keuangan BPR yang terkait dengan kinerja BPR yang terkait dengan adanya informasi keuangan dan informasi lainnya kepada publik secara terbuka, akurat dan benar. Informasi keuangan tersebut berupa laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan publikasi BPR yang berlaku sepenuhnya disusun berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Hal ini diperjelas pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat.

Dalam laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan publikasi pada pasal (1) ayat (2), (3) dan (4) berbunyi:

  1. Laporan tahunan adalah laporan lengkap mengenai kinerja suatu BPR dalam kurun waktu satu tahun berisi laporan keuangan tahunan dan informasi umum;
  2. Laporan keuangan tahunan adalah laporan keuangan akhir tahun BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku; dan
  3. Laporan keuangan publikasi adalah laporan keuangan BPR yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dan dipublikasikan setiap triwulan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.

Untuk membuat laporan keuangan tahunan tersebut, bank BPR dilihat berdasarkan total aset sesuai dengan pasal (4 ayat (1), (2) dan (3) berbunyi:

  1. Bagi BPR yang mempunyai total aset Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) atau lebih, laporan keuangan tahunan yang disampaikan dalam laporan tahunan wajib diaudit oleh Akuntan Publi;
  2. Bagi BPR yang mempunyai total aset kurang dari Rp, 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) laporan keuangan tahunan yang disampaikan dalam laporan tahunan adalah laporan keuangan yang telah dipertanggungjawabkan oleh Direksi atau Pengurus kepada Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota.
  3. Dalam hal laporan keuangan tahunan BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaudit oleh akuntan publik, maka laporan keuangan tahunan yang disampaikan adalah laporan keuangan tahunan yang diaudit.

Untuk laporan tahunan yang diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan april tahun berikutnya, sedangkan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (2) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Februari tahun berikutnya. Untuk laporan publikasi, bank BPR wajib mengumumkan laporan keuangan secara triwulan untuk posisi pelaporan akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember sesuai dengan bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Untuk lebih detail tentang laporan publikasi tertuang pada pasal 8 ayat (1) dan (2) berbunyi:

  1. Laporan keuangan publikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) diumumkan pada surat kabar lokal atau ditempelkan pada papan pengumuman di kantor BPR yang bersangkutan
  2. Pengumuman laporan keuangan publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat:
    1. (satu) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan keuangan posisi akhir bulan Maret, Juni dan September;
    2. 2 (dua) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan keuangan posisi akhir bulan Desember yang tidak diaudit oleh Akuntan Publik;
    3. 4 (empat) bulan setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan keuangan posisi akhir bulan Desember yang diaudit oleh Akuntan Publik

Bisnis BPR

Secara umum bisnis merupakan suatu kegiatan/aktivitas yang memproduksi barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan.Bank dalam menjalankan usahanya harus memiliki orientasi pada profit/keuntungan agar tetap survive (bertahan) terhadap banknya, artinya bahwa bisnis bank merupakan faktor utama bagi keberlanjutan operasional bank. Begitu pula bisnis BPR, yang menunjukkan adanya efektivitas dan efisiensi dalam rangka mencapai tujuannya, yaitu mencapai profit yang maksimal. Bisnis bank biasanya direpresentasikan dengan melihat kinerja keuangan bank yang dikaitkan dengan efektif dan efisien, dimana efektif didasarkan pada kemampuan manajemen untuk memilih tujuan yang tepat atau suatu alat yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan efisiensi dapat diartikan sebagai ratio (perbandingan) antara input dan output, yaitu dengan input tertentu akan memperoleh output yang optimal.

Untuk mengembangkan Bisnis BPR diperlukan strategi bisnis dan kebijakan yang paling sedikit memuat visi dan misi BPR, arah kebijakan BPR, kebijakan tata kelola dan manajemen risiko BPR, analisis posisi BPR dalam persaingan usaha berdasarkan aset dan/atau lokasi, strategi penyaluran kredit kepada debitur menurut jenis usaha yang mencakup usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah, serta strategi pengembangan bisnis. Berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 52 /SEOJK.03/2016 Tentang Rencana Bisnis Bank Perkreditan Rakyat, sebagai
berikut:

  1. Visi dan Misi BPR
    Visi adalah tujuan yang ingin dicapai BPR dalam jangka menengah atau jangka panjang.
    Misi adalah pernyataan yang digunakan untuk menggambarkan tujuan dari BPR.
    Visi dan misi BPR disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan disampaikan oleh BPR setiap tahun.
  2. Arah Kebijakan BPR
    Arah kebijakan BPR dijelaskan dalam jangka pendek untuk periode 1 (satu) tahun, jangka menengah untuk periode 3 (tiga) tahun, dan rencana strategis jangka panjang untuk periode 5(lima) tahun meliputi informasi umum kebijakan BPR yang ditetapkan oleh manajemen dalam pengembangan usaha BPR diwaktu yang akan datang.
  3. Kebijakan Tata Kelola dan Manajemen Risiko BPR
    Uraian mengenai kebijakan tata kelola dan manajemen risiko BPR meliputi informasi mengenai langkah-langkah dalam menerapkan manajemen risiko dan kebijakan dalam melaksanakan tata kelola, termasuk kebijakan remunerasi yang meliputi pemberian gaji, bonus dan fasilitas lain kepada Direksi dan Dewan Komisaris.
  4. Analisis Posisi BPR dalam Persaingan Usaha Berdasarkan Aset dan/atau Lokasi
    Untuk melakukan analisis posisi, BPR dapat menggunakan analisis SWOT yaitu
    Strength (Kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunity (Peluang), dan Threat (Ancaman) dalam menghadapi persaingan usaha dengan BPR dan/atau lembaga keuangan lain. Untuk melakukan analisis posisi dalam persaingan usaha berdasarkan lokasi, BPR dapat menggunakan batasan wilayah kabupaten, kota dan/atau provinsi.
  5. Strategi Penyaluran Kredit Berdasarkan Jenis Usaha
    Strategi untuk merealisasikan rencana penyaluran kredit dikelompokan berdasarkan jenis usaha yaitu strategi penyaluran kredit kepada usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah yang mengacu pada kriteria usaha berdasarkan undang-undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah.
  6. Strategi Pengembangan Bisnis
    Uraian mengenai strategi pengembangan bisnis antara lain memuat informasi langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan usaha BPR yang telah ditetapkan, termasuk penjelasan mengenai strategi pengembangan organisasi dan teknologi informasi, dan strategi untuk mengantisipasi perubahan kondisi eksternal.

Ketika kinerja keuangan sedang mengalami penurunan, maka salah satu cara untuk memperbaiki hal tersebut adalah mengukur kinerja keuangan dengan menganalisa laporan keuangan menggunakan indikator rasio-rasio keuangan. Untuk membuat laporan keuangan perlu adanya data tentang kegiatan bisnis bank BPR.

Beberapa kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh BPR. Menurut Kasmir (2003) kegiatan usaha tersebut antara lain:

  1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan deposito berjangka, tabungan atau dan bentuk lain yang dipersamakan denganitu.
  2. Memberikan Kredit dalam bentuk Kredit Modal Kerja, Kredit Investasi, maupun Kredit Konsumsi
  3. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
  4. Menempatkan dana dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito.

Selain itu, ada beberapa usaha yang juga tidak boleh dilakukan bank BPR (Kasmir, 2003) antara lain:

  1. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam kegiatan lalu lintas pembayaran.
  2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali melakukan transaksi jual beli uang kertas asing (money changer ) sebagai pedagang valuta asing atas izin Bank Indonesia.
  3. Melakukan penyertaan modal dengan prinsip prudent banking dan concern terhadap layanan kebutuhan masyarakat menengah kebawah.
  4. Melakukan usaha perasuransian.
  5. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana yang dimaksud dalam usaha BPR

Penilaian hasil terhadap capaian bisnis BPR dilakukan dengan penilaian kinerja dijadikan dasar bagi manajemen atau pengelola bank untuk melakukan perbaikan kinerja (contineous improvment) pada periode berikutnya dan dijadikan landasan dalam pemberian reward and punishment terhadap manajer dan pegawai bank. Pengukuran kinerja dilakukan setiap periode waktu tertentu sangat bermanfaat untuk menilai kemajuan yang telah dicapai oleh sebuah bank hingga menghasilkan suatu informasi yang sangat bermanfaat untuk pengambilan keputusan manajemen. Dalam pengambilan keputusan bisnis, BPR harus mempertimbangkan resiko yang harus dikelola dengan prinsip-prinsip kehati-hatian. Berdasarkan POJK Nomor 18 /POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, dalam pasal 1 ayat 2 berbunyi “Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu.”. Kemudian untuk penerapan manajemen resiko terdapat pada ayat 3, berbunyi “Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank. Sedangkan jenis-jenis resiko terdapat pada ayat 4 - 11 terdiri dari:

  1. Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank, termasuk Risiko Kredit akibat kegagalan debitur, Risiko konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan settlement risk.
  2. Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening administratif, termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk Risiko perubahan harga option.
  3. Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kasdan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank.
  4. Risiko Operasional adalah Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
  5. Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan.
  6. Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis.
  7. Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholder) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank.
  8. Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.

Pengukuran Kinerja BPR

Untuk mengukur kerberhasilan kinerja perusahaan, salah satunya diukur dengan menilai kinerja keuangan. Kinerja keuangan merupakan alat untuk mengukur prestasi kerja keuangan perusahaan melalui struktur permodalannya. pengukuran kinerja keuangan dapat dilihat berdasarkan laporan keuangan, terdiri dari Neraca, Laporan Laba-Rugi, Laporan Perubahan Posisi Keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas atau dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan (IAI, 2009).

Konsep pengukuran kinerja bank khususnya BPR dilakukan dengan capaian beberapa indikator berupa Capital (modal), Assets (aset), Management (manajemen), Earning (profit) dan Liqudity (likuiditas) atau lebih sering dikenal dengan analisis CAMEL, artinya bahwa Secara implisit mengandung suatu pengertian adanya suatu efisiensi yang dapat diartikan secara umum sebagai rasio atau perbandingan antara masukan dan keluaran. Menurut Riyadi (2004) menyatakan bahwa tingkat kesehatan bank adalah penilaian atas suatu kondisi laporan keuangan bank pada periode dan saat tertentu sesuai dengan standar Bank Indonesia, sedangkan menurut (Kasmir, 2010), salah satu alat untuk mengukur kesehatan suatu bank adalah dengan analisis rasio CAMEL, yaitu suatu analisis keuangan bank dan alat pengukuran kinerja bank yang ditetapkan oleh Bank Indonesia terhadap kondisi dan perkembangan suatu bank dengan menilai faktor-faktor penilaian tingkat kesehatan bank.

Pengukuran kinerja BPR dengan menggunakan analisis CAMEL diatur dalam peraturan Bank Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dengan Nomor 30/12/KEP/DIR 1997 tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan BPR. Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tersebut penilaian tingkat kesehatan BPR mencakup penilaian sebagai berikut:

Faktor Permodalan.

Penilaian terhadap faktor permodalan didasarkan pada rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank. Penilaian terhadap pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Wajib Minimun (KPMM) yang wajib dipelihara oleh bank adalah sebesar > 8% dengan predikat “Sehat”. Pemenuhan KPPM kurang dari 8% diberi predikat: Kurang Sehat”.

Faktor Kualitas Aktiva Produktif

Penilaian terhadap faktor Kualitas Aktiva Produktif (KAP) ini didasarkan pada 2 (dua) rasio, yaitu:

  1. Rasio Aktiva Produktif Yang Diklasifikasikan terhadap Aktiva Produktif;
  2. Rasio Penghapusan Aktiva Produktif Yang Dibentuk oleh Bank terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Yang Wajib Dibentuk oleh Bank. Penilaian kualitas aktiva produktif untuk menilai kondisi aset suatu bank yang tergambar pada Non Performing Loan (NPL) dimana NPL ini merupakan antisipasi terhadap resiko gagal bayar dari kredit atau pembiayaan yang akan muncul.

Faktor Manajemen

Penilaian terhadap faktor manajemen didasarkan pada surat edaran Bank Indonesia (BI) Nomor 30/3/UPPB tanggal 30 April 1997 yang mencakup :

  1. Penilaian terhadap faktor manajemen mencakup 2 (dua) komponen, yaitu Manajemen Umum dan Manajemen Resiko dengan menggunakan daftar pertanyaan/pernyataan.
  2. Jumlah pertanyaan/pernyataan ditetapkan sebanyak 25 yang terdiri atas 10 pertanyaan/pernyataan Manajemen Umum dan 15 pertanyaan/penyataan Manajemen Resiko.
  3. Skala penilaian untuk setiap pertanyaan/pernyataan ditetapkan antara 0 sampai dengan 4 dengan kriteria:
    1. Nilai 0 mencerminkan kondisi yang lemah
    2. Nilai 1,2 dan 3 mencerminkan kondisi antara
    3. Nilai 4 mencerminkan kondisi baik.

Faktor Earning (Rentabilitas).

Pengukuran Rentabilitas merupakan salah satu parameter dalam mengukur tingkat kesehatan bank dimana Pengukuran ini untuk melihat kemampuan bank dalam memperoleh keuntungan (profit). Peniliaian terhadap faktor rentabilitas didasarkan pada 2 (dua) rasio, yaitu:

  1. Rasio Laba Sebelum Pajak dalam 12 bulan terakhir terhadap Rata Volume Usaha dalam periode yang sama, atau yang dikenal dengan rasio Return On Assets (ROA). Rasio ROA ini menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola dan memanfaatkan total asset untuk operasional perusahaan secara efisien. Artinya bahwa ROA memberikan gambaran kepada investor tentang bagaimana perusahaan mengkonversikan uang yang telah diinvestasikan dalam laba bersih.
  2. Rasio Biaya Operasional dalam 12 bulan terakhir terhadap Pendapatan Operasional dalam periode yang sama, atau lebih dikenal dengan rasio Biaya Operasional dan Pendapatan Opersional (BOPO). Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam kegiatan operasionalnya.

Liquidity (Likuiditas)

Likuiditas adalah kemampuan suatu perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya secara tepat waktu (Irham, 2012). Pengukuran terhadap faktor Likuiditas didasarkan pada 2 (dua) rasio, yaitu:

  1. Rasio Alat Likuid terhadap Hutang Lancar, atau sering disebut dengan Cash Ratio (CR). Cash Ratio meliputi kas dan penambahan pada bank lain dalam bentuk giro dan tabungan dikurangi dengan tabungan bank lain pada bank, sedangkan Hutang Lancar meliputi Kewajiban Segera, Tabungan dan Deposito.
  2. Rasio Kredit terhadap Dana Yang Diterima oleh bank atau sering disebut dengan Rasio Loan to Debt Ratio (LDR). Kredit tersebut meliputi kredit yang diberikan kepada masyarakat, sedangkan Dana Yang Diterima meliputi deposito dan tabungan masyarkat.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan BPR

Modal Intelektual

Salah satu asset intangible yang sangat penting di era informasi dan pengetahuan adalah modal Intelektual (intellectual capital). Menurut Stewart (1997) Intellectual Capital (IC) sebagai jumlah dari segala sesuatu yang ada di perusahaan yang dapat membantu perusahaan untuk berkompetisi dipasar, meliputi Intellectual material – pengetahuan, informasi, pengalaman dan Intellectual Property – yang dapat digunakan untuk menciptakan kesejahteraan. Sementara Roos et all (1997) menyatakan bahwa Intellectual Capital meliputi seluruh proses dan aset yang tidak secara normal nampak di neraca dan semua intangible assets (trademarks, paten dan brands) yang menjadi perhatian metode akuntansi modern. Modal intelektual (Nahapiet dan Goshal,1998) mengacu kepada pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh suatu kolektivitas sosial, seperti sebuah organisasi, komunitas intelektual, atau praktek profesional. Modal intelektual mewakili sumber daya yang bernilai dan memiliki kemampuan untuk bertindak didasarkan pada pengetahuan, sedangkan brooking menyatakan bahwa Intellectual Capital adalah istilah yang diberikan kepada kombinasi dari aset tak berwujud, properti intellectual, karyawan dan infrastuktur yang memungkinkan perusahaan untuk dapat berfungsi.

Sedangkan menurut Stewart (1997), modal intelektual adalah materi intelektual yang telah diformalisasikan, ditangkap, dan dimanfaatkan untuk memproduksi aset yang nilainya lebih tinggi. Setiap organisasi menempatkan materi intelektual dalam bentuk aset dan sumber daya, perspektif, dan kemampuan eksplisit dan tersembunyi, data, informasi, pengetahuan, dan mungkin kebijakan.

Nilai Perusahaan

Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan kemakmuran pemilik atau pemegang saham melalui peningkatan nilai perusahaan (Salvatore, 2005). Menurut Bringham dan Houston (2006), Nilai perusahaan sangat penting karena dengan nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham. Artinya bahwa semakin tinggi harga saham semakin tinggi pula nilai perusahaan. Sedangkan Keown (2004), mengatakan bahwa nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat berharga hutang dan ekuitas pemegang saham yang beredar. Nilai perusahaan seringkali dikaitkan dengan keberhasilan perusahaan dalam meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Hal ini menunjukkan bahwa nilai perusahaan sangat penting karena dengan nilai yang tinggi menunjukkan kemakmuran pemegang saham juga tinggi pula. Dengan demikian kemakmuran pemegang saham akan dipresentasikan dengan harga pasar saham yang tinggi serta mencerminkan kinerja perusahaan.

Seorang manajer yang baik harus berpikir bagaimana memaksimalkan nilai perusahaan melalui perencanaan, sasaran, ukuran kinerja dan sistem prosedur untuk menjalankan berbagai kegiatan perusahaan agar mencapai efektifitas dan efisiensi yang bermuara pada hubungan penciptaan nilai perusahaan. Manajer harus berfokus pada tujuan tujuan memaksimalkan laba yang berhubungan kualitas produk, pelayanan konsumen maupun peningkatan produktifitas kerja karyawan melalui pengukuran kinerja perusahaan.

Tingkat pengembalian yang tinggi merupakan keberhasilan bagi perusahaan dalam membuat keputusan-keputusan strategis investasi yang dibuat oleh manajemen dalam rangka meningkatkan nilai perusahaan. Disisi lain, adanya indikator peningkatan investasi memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan. Nilai perusahaan akan dipandang baik oleh investor apabila nilai perusahaan meningkat yang ditandai dengan tingkat pengembalian (return) investasi yang tinggi. Berikut ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai perusahaan, antara lain a) Struktur Modal; b) Return On Equity; c) Return On Assets.

Resiko Kebangkrutan

Kondisi sebuah perusahaan termasuk perbankan adalah bagaimana menciptakan laba yang maksimal dengan mencirikan kesempatan untuk mendapatkan laba/profit. Adanya kesulitan keuangan merupakan pertanda utama kemungkinan potensi kebangkrutan, jika dibiarkan berlarut-larut dan tidak ditangani dengan manajemen yang baik, maka tidak menutup kemungkinan perusahaan menuju kebangkrutan. Untuk itu, perlu adanya pendeteksian kondisi keuangan perusahaan sedini mungkin untuk mengantisipasi potensi kebangkrutan yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan, yaitu dengan menggunakan rasio keuangan yang dikembangkan oleh Altman Z-Score.

Likuiditas (Ld)

Likuiditas adalah kemampuan suatu perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya secara tepat waktu (Irham, 2012). Pengukuran terhadap faktor Likuiditas didasarkan pada 2 (dua) rasio, yaitu:

  1. Rasio Alat Likuid terhadap Hutang Lancar, atau sering disebut dengan Cash Ratio (CR). Alat Likuid tersebut meliputi kas dan penambahan pada bank lain dalam bentuk giro dan tabungan dikurangi dengan tabungan bank lain pada bank, sedangkan Hutang Lancar meliputi Kewajiban Segera, Tabungan dan Deposito;
  2. Rasio Kredit terhadap Dana Yang Diterima oleh bank atau sering disebut dengan Rasio Loan to Debt Ratio (LDR). Kredit tersebut meliputi kredit yang diberikan kepada masyarakat, sedangkan Dana Yang Diterima meliputi deposito dan tabungan masyarkat. Tingkat likuiditas sangat penting untuk dikelola dengan baik dan tepat agar tidak ada kelebihan dana yang menyebabkan dana menganggur (idle funds). Dana idle tersebut dapat berakibat pada biaya yang dikeluarkan bank lebih besar dari pendapatan yang berasal dari bunga kredit atau sebaliknya kekurangan dana, maka bank perlu mengatur dananya secara terencana untuk menghadapi aktifitas operasional sehari-hari, seperti penarikan dana tabungan dan deposito yang telah jatuh tempo serta pencairan kredit nasabah.