Diperbarui tanggal 9/02/2023

Pola Asuh Otoriter Orang Tua

kategori Pendidikan Anak Usia Dini / tanggal diterbitkan 9 Februari 2023 / dikunjungi: 1.26rb kali

Pola Asuh Otoriter

Menurut Alfiana, Ester (dalam Kurniasari, 2015) menyebutkan bahwa arti dari kata, otoriter itu sendiri berarti sewenang-wenang. Pola asuh otoriter ini bercirikan keras, kaku, dan bersifat memaksa. Adapun menurut Widyarini (dalam Zulfitria, 2017) pola asuh otoriter adalah gaya yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti perintah mereka, menghormati pekerjaan, dan orangtua otoriter ini juga menerapkan batas dan kendali yang tegas terhadap anak. Orang tua tidak menyadari bahwa dalam pola yang banyak menuntut terhadap anak telah mengikis kehangatan hubungan dengan anak.

Menurut Hurlock (dalam Asri, dkk, 2017) bahwa pola asuh otoriter adalah pola asuh yang melakukan:

Peraturan yang ketat

Menurut Popov & Kavellin, (1997) yaitu peran orangtua yang menganggap bahwa semua sikapnya telah benar, sehingga tidak perlu dipertimbangkan untuk anak. Hal tersebut berupa menghindari berdiskusi dengan anak mengenai apa yang dilakukan, dirasakan oleh anak, dan menekan kan peraturan kepada anak tanpa meminta persetujuan dari anak.

Mematuhi segala aturan

Menurut Blass (Malikah, 2017) mengungkapkan bahwa mematuhi segala aturan adalah menerima perintah-perintah dari orang lain. Kepatuhan dapat terjadi dalam bentuk apapun, selama individu tersebut menunjukkan perilaku taat terhadap sesuatu atau terhadap seseorang. Misalnya patuh terhadap peraturan. Sarwono (dalam Malikah, 2017) Adakalanya individu memang menerima suatu norma berdasarkan keinginan sendiri agar bisa diterima oleh kelompok, namun adakalanya juga sesuatu norma diterima individu atas dasar paksaan. Dengan kata lain, individu sadar akan penerimaan, namun tidak terjadi secara sekarela.

Berorientasi pada hukuman

Menurut Alfiana, Ester, 2013: ) berorientasi pada hukuman yaitu ketika anak melanggar peraturan yang di buat atau tidak mematuhinya, maka orangtua tidak akan segan untuk menghukum anak. hukuman tersebut bisa berupa hukuman fisik atau membentak.

Tanpa bimbingan

Menurut Baumrind, (2009) yaitu orangtua orangtua yang tidak seimbang lebih tinggi dalam hal tuntutan/kontrol dan rendah dalam hal tanggapan/respon. Adapun contohnya yaitu bersikap acuh pada anak dan kurang memberi respon yang baik pada anak.

Membatasi anak

Menurut Baumrind, (2009) tidak mempertimbangkan harapan dan kehendak anak, yaitu orangtua yang tidak seimbang lebih tinggi dalam hal tuntutan/kontrol dan rendah dalam hal tanggapan/respon. Adapun contohnya yaitu apapun yang dilakukan anak harus mendapat persetujuan dari orangtua dan terkesan mengekang dan mempunyai rasa khawatir yang berlebihan.

Sedangkan menurut Zakaria & Dewi, (2018) mengatakan bahwa pola asuh ini berbanding terbalik dengan pola asuh permisif. Dimana pola suh otoriter ini merupakan jenis pola asuh dengan orangtua sebagai pengendali keseluruhan hidup anak. Peran orangtua sangat dominan dalam pembentukan karakter anak. Pola asuh tipe ini mengharuskan anaknya untuk bisa disiplin, melakukan tugas-tugas yang diberikan orangtuanya, ia harus bisa berprestasi sesuai dengan harapan orangtua bahkan anak tidak diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.

Selanjutnya Rakhmawati, (2015) juga menjelaskan bahwa pola asuh otoriter merupakan pengasuhan yang dilakukan dengan cara memaksa , mengatur, dan bersifat keras anak dituntut untuk mengikuti semua kemauan dan keinginan orangtuanya dan jika melanggar perintahnya akan berdampak pada konsekuensi hukuman atau sanksi. Orangtua yang otoriter adalah penguasa yang absolut dan kepemimpinannya tidak dapat ditawar. Hal ini sejalan dengan Edward (dalam Damayanti, 2012) pola asuh adalah pengasuhan yan kaku, diktator dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orangtua tanpa banyak alasan.

Sedangkan Shapiro (dalam Fitri, 2011) pola asuh keras (otoriter) berpendapat bahwa orang tua otoriter berusaha menjalankan sebuah keluarga yang didasarkan pada struktur dan tradisi, meskipun dalam banyak tekanan mereka untuk mengatur dan pengawasan yang memberatkan. Hal ini dilakukan oleh orang tua karena mereka tidak ingin anaknya ketinggalsndari anak lain. Memiliki anak yang berprestasi, cerdas, mandiri, penurut, dan pemberani, merupakan keinginan setiap orang tua. Semua keinginan tersebut yang akhirnya menjadi pendorong bagi orang tua untuk menciptakan berbagai macam peraturan yang pada akhirnya membatasi ruang gerak anak.

Ciri-Ciri Pola Asuh Otoriter

Menurut Baumrind (dalam Syamsu Yusuf: 2005) ciri-ciri pola asuh otoriter yaitu:

  1. Orang tua suku menghukum secara fisik.
  2. Orang tua cenderung bersikap memimpin (mengharuskan atau memerintah untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi).
  3. Bersikap kaku.
  4. Orang tua cenderung emosional dan bersikap menolak.

Menurut Yamin dan Irwanto (dalam Yupit Yulianti 1991) menyatakan bahwa ciri-ciri pola asuh otoriter yaitu:

  1. Kurang komunikasi.
  2. Sangat berkuasa.
  3. Suka menghukum.
  4. Selalu mengatur.
  5. Suka memaksa.
  6. Bersifat kaku.

Wibowo (dalam Restiani, dkk, 2015: 27) pola asuh keras atau otoriter mempunyai ciri-ciri yakni:

  1. Orang tua membuat hampir semua keputusan
  2. Anak-anak di paksa tunduk, patuh dan tidak boleh bertanya apalagi membantah
  3. Iklim demikratis dalam keluarga sama sekali tidak terbangun
  4. kontrol orangtua lebih dominan
  5. Anak tidak diakui sebagai individu
  6. Kontrol perilaku anak sangat ketat
  7. Orang tua akan sering menghukum apabila tidak menurut.

Popov & Kavellin (dalam Asmawati, 2015: 12) pola asuh otoriter mempunyai beberapa ciri-ciri yaitu kesalahan anak berakibat pada hukuman badan, segala keperluan anak diatur dengan ketat dan masih tetap diberlakukan meskipun anak sudah menginjak usia dewasa. Orangtua yang menggunakan pola asuh ini sangat jarang melakukan diskusi atau dialog dua arah dan jarang sekali mau dikritik.

Selanjutnya menurut Baumrind (dalam Damayanti, 2012: 2) menyebutkan bawasannya pola asuh otoriter memiliki ciri-ciri antara lain:

  1. Menekankan segala aturan orang tua yang harus dipatuhi oleh anak
  2. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah tentang apa yang diperintahkan oleh orang tua.

Sedangkan Hurlock (dalam Asri, 2017: 57) bahwa pola asuh otoriter memiliki ciri sebagai berikut:

  1. Orangtua menetapkan peraturan yang ketat
  2. Tidak ada kesempatan untuk mengemukakan pendapat
  3. Anak harus mematuhi segala peraturan yang di buat oleh orangtua
  4. Berorientasi pada hukuman (fisik maupun ferbal)
  5. Orangtua juga jarang memberikan hadiah atau pujian.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pola asuh otoriter yakni terkesan membatasi, mendesak anak untuk mengikuti arahan orangtua, anak tidak bisa memutuskan apa yang diinginkan. Orangtua juga terlalu ketat dalam tingkah laku anak, orangtua juga tidak segan dalam mengukum jika anak tidak mematuhi peraturan yang dibuat orangtua tanpa memberi penjelasan, dan jarang memberi pujian. Dalam pola asuh otoriter ini orangtua memaksakan kehendaknya terhadap anak agar sesuai dengan apa yang diinginkan orangtua. Seolah-olah anak seperti robot yang di kendalikan orangtuanya. Apapun yang dilakukan oleh anak akaknya selalu di kontrol oleh orangtua.

Bentuk pola asuh otoriter memiliki ciri-ciri orang tua bertindak tegas, suka menghukum, kurang memberikan kasih sayang, kurang simpatik, memaksa anak untuk patuh terhadap peraturan, dan cenderung mengekang keinginan anak. Selain itu pola asuh otoriter penerimaan (responsiveness) rendah dan tuntutan (demandigness) orang tua tinggi.

Dampak Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter biasanya diterapkan dalam keluarga yang disiplin tinggi. Orangtua cenderung nementukan peraturan tanpa berdiskusi dengan anak-anak mereka. Mereka tidak mempertimbangkan harapan dan kehendak anak. mereka juga menggunakan hukuman sebagai penegak kedisiplinan dan sangat jarang membrikan hadiah ataupun pujian. Baumrind (dalam Damayanti, 2012: 2) mengatakan anak-anak dengan pola asuh ini akan menjadi penakut, kurang ada inisiatif, tidak percaya diri, sering merasa cemas, rendah diri, minder dalam pergaulan.

Sejalan dengan hal tersebut diatas maka Middlebrook (dalam Fathi, 2011: 56-57) mengatakan bahwa hukuman fisik yang biasanya diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak. Hal tersebut akan menyebabkan dampak diantaranya:

  1. Menyebabkan anak marah dan frutasi
  2. Timbulnya perasaan-perasaan menyakitkan atau sakit hati pada diri anak yang mendorong anak bertingkah laku kurang baik
  3. Akibat hukuman-hukuman tersebut dapat meluas sarananya dan lebih membawa ke efek yang negatif
  4. Tingkah laku orang tua akan menjadi contoh untuk anak sehingga anak akan menirunya.

Selanjutnya Rakhmawati, (2015: 6) juga mengatakan demikian bahwasannya pola asuh otoriter ini dapat memberikan dampak negatif pada perkembangan psikologis anak. Anak cenderung tidak dapat mengendalikan diri dan berinteraksi dengan orang lain. Bahkan anak menjadi tidak percaya diri, tidak mandiri, dan tidak kreatif. Berbeda dengan Syamsu L.N. Yusuf (dalam Asmawati, 2015: 14) pola asuh otoriter ini berakibat anak menjadi mudah tersinggung, anak penakut, anak pemurung atau tidak bahagia, anak mudah terpengaruh, anak tidak mempunyai masa depan, anak tidak bersahabat, anak mengalami gagap (stuttering) dan rendah diri.

Adapun menurut Steward & Koch (dalam Susanto, 2015: 26) dampak dari pola asuh otoriter ini berpengaruh terhadap anak yang cenderung memiliki sifat yang tidak ramah, merasa tidak puas, curiga dan mengasingkan diri. Conger, (1975) mengatakan bahwa orangtua otoriter suka memaksakan kehendaknya dengan didasarkan oleh pandangannya sendiri, tanpa menunjukkan suatu alasan. Namun selain memiliki dampak negatif Alfiana, Ester (dalam Kumalasari, 2015: 114) menyatakan bahwa pola asuh otoriter ini tak semuanya negatif tetapi juga memiliki nilai posotifnya yaitu anak menjadi patuh, memiliki sopan santun yang baik, rajin dan disiplin.

Sikap orangtua yang menghukum anak dengan cara berteriak, menjerit, bahkan tragisnya sikap orangtua otoriter ini mempunyai kecenderungan memberi hukuman bahkan tak jarang memberi hukuman fisik. Akibat dari penggunaan kekerasan terhadap perkembangan anak adalah pengaturan emosi yang buruk, kesulitan beradaptasi di sekolah, masalah keeratan dalam keluarga, teman sebaya, serta masalah psikologi lain seperti depresi dan memungkinkan kelak akan muncul kenakalan remaja.

Sebagaimana Surbakti, (2009: 46) menyebutkan hasil dari penerapan pola asuh otoriter menyebabkan anak mengalami hal-hal sebagai berikut:

  1. Tertekan secara psikis
  2. Kehilangan dorongan semangat juang
  3. Cenderung selalu menyalahkan diri
  4. Cenderung bersikap pasif dan menunggu
  5. Mudah putus asa
  6. Sering menyalahkan keadaan
  7. Tidak memiliki inisiatif
  8. Lamban mengambil keputusan
  9. Tidak berani mengemukakan pendapat
  10. Tidak berani memulai.

Anak yang sering mendapatkan hukuman dari orangtuanya, akan menunjukkan kepatuhan di depan orangtuanya. Anak sebisa mungkin akan mencari zona nyamannya sehingga terhindar dari hukuman. Namun akan berbeda ketika anak berada di sekolah, anak akan menunjukkan sikap yang berlawanan ketika di luar rumah. Hal ini sangat bisa terjadi karena anak memendam emosinya, ingin di dengar oleh orang lain, melanggar peraturan dan berusaha mencari perhatian. Dari pernyataan di atas, sudah nampak jelas bahwa pola asuh mempunyai dampak yang kurang baik untuk perkembangan anak. Hal ini terjadi karena tidak ada kesempatan bagi anak untuk menyampaikan pendapatnya, orangtua merasa sudah memenuhi kebutuhan anak, namun semua itu tidaklah sesuai dengan yang diinginkan oleh anak dan orangtua merasa sudah benar dan tidak memerlukan pendapat anak. Inilah yang menjadi penyimpangan perilaku anak yang di asuh menggunakan pola asuh otoriter.

Selain adamya dampak pola pengasuhan otoriter Surbakti, (2009: 45) mengemukakan bahwa ada beberapa aspek yang mendorong orang tua atau ayah menerapkan pola asuh otoriter adalah sebagai berikut:

  1. Ingin menegakkan wibawa dan kehormatan
  2. Sikap yang enggan disalahkan atau menerima kesalahan
  3. Relasi diterapkan berdasarkan hierarki
  4. Ayah sebagai satu-satunya pemegang otoritas tertinggi dalam keluarga
  5. Ayah memonopoli kebenaran dalam keluarga
  6. Untuk menghentikan argumentasi
  7. Untuk membungkam sikap kritis
  8. Kurangnya pengetahuan mengenai pengasuhan anak
  9. Memaknai sikap kritis sebagai pembangkangan
  10. Keinginan memaksakan kehendak
  11. Menegakkan kekuasaan sebagai pemimpin keluarga

Kecenderungan pola asuh otoriter menyebabkan anak kurang inisiatif, menjadi tidak disiplin, cenderung ragu, dan mudah gugup. Odebunmi (2007, dalam Okorududu, 2010) mengemukakan bahwa hasil dari beberapa laporan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan sebagian besar dari semua kenakalan remaja berasal dari rumah yang orang tuanya kurang memiliki cinta dan perhatian. Perhatian cinta dan kehangatan tidak ada dalam membantu perkembangan emosional dan penyesuaian pada anak. Rahayu dkk (2008).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di china yang justru menunjukkan fakta sebaliknya, yaitu pola asuh otoriter memberi dampak yang positif terhadap perkembangan anak. Chao (2001) menyatakan bahwa pola asuh otoriter berdampak negatif pada anak dari keluarga Eropa-Amerika namun pola asuh ini justru memberi dampak positif pada keluarga Cina-Amerika. Dalam artikelnya yang lain, Chao (1994, 2000) berkeyakinan bahwa pendekatan dari orang tua, terutama ibu memberi dampak yang lebih positif terhadap perkembangan anak apabila di asuh dengan pola asuh otoriter.

Inkonsistensi hasil penelitian terkait pola asuh ini menjadi dasar bahwa membutuhkan variabel tertentu yang dapat menerangkan efek dari pola asuh otoriter terhadap perkembangan anak. Variabel ini akan dapat menjelaskan bahwa dampak negatif atau positif dari pola asuh otoriter tergantung kondisi variabel yang menjadi perantaranya. Variabel yang diharapkan menjadi veriabel moderator terkait pola asuh otoriter dan dampak pada perkembangan anak adalah kesabaran, hal ini mengacu pada penelitian pada remaja yang menunjukkan adanya peran kesabaran sebagai mediator dari pengaruh yang positif antara religiusitas dan kemampuan negosiasi konflik integratif ( El Hafiz & Nuramalina, 2015).

Indikator Pola Asuh Otoriter

Beberapa indikator pola asuh orang tua otoriter menurut Hurlock (dalam Asri, dkk, 2017) yaitu sebagai berikut:

  1. Peraturan dan kontrol yang ketat
  2. Hukuman fisik
  3. Komunikasi buruk
  4. Pemberian reward/hadiah

Desmita (2010) menjelaskan bahwa pola asuh otoriter ialah pola pengesuhan yang mana orang tua membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Orang tua yang otoriter menetapkan batasan-batasan yang tegas dan tidak memberikan peluang besar bagi anak untuk mengemukakan pendapat. Orang tua otoriter ini bersikap sewenang-wenang dan tidak bersikap demokratis dalam mebuat keputusan, memaksa peran-peran atau pandangan kepada anak atas dasar kemampuan dan kekuasan sendiri, serta kurang menghargai pemikiran dan perasaan mereka. Anak yang dari orang tua otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Adapun indikator-indikator pada pola asuh otoriter ini antara lain:

  1. Tuntutan yang tinggi dalam aspek sosial, intelektual, emosi dan kemandirian
  2. Adanya batasan yang tegas dan tidak memberikan peliang yang besar bagi anak untuk mengemukakan pendapatnya
  3. Orang tua bersikap sewenang-wenang dalam mebuat keputusan
  4. Orang tua tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk membuat keputusan sendiri
  5. Aspek respon dan menerima orang tua yang rent]dah kepada anak namun memiliki kontrol yang tinggi
  6. Orang tua mudah memberikan hukuman baik secara verbal maupun non verbal
  7. Orang tua kurang menghargai pemikiran dan perasaan anak.

Adapun menurut pendapat ahli Thomas Gordon dan Helmawati ada beberapa indikator pola asuh orang tua otoriter yaitu sebagai berikut:

  1. Pendekatan yang digunakan mengandung unsur paksaan dan hukuman
  2. Orang tua cenderung menguasai anak
  3. Anak tidak memiliki kebebasan