Diperbarui tanggal 2/Des/2021

Campur Kode

kategori Istilah / tanggal diterbitkan 2 Desember 2021 / dikunjungi: 10.27rb kali

Pengertian Campur Kode

Campur kode pada dasarnya merupakan suatu fenomena kebahasaan yang secara alamiah terjadi pada masyarakat multilingual. Masyarakat multilingual merupakan suatu kelompok masyarakat yang dalam berkomunikasi menggunakan lebih dari satu bahasa. Satu bahasa dengan bahasa lain yang digunakan terjadi karena adanya suatu tindakan campur kode dan alih kode. Tindakan campur kode dan alih kode ini sangat sulit untuk dibedakan. Thelander (dalam Chaer & Agustina, 2010: 115) menjelaskan perbedaan campur kode dan alih kode sebagai berikut:

"Bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari suatu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode."

Ciri-ciri yang lain adanya gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya menduduki satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan yang mana unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya di dalam mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Unsur-unsur yang demikian dapat dibedakan menjadi dua golongan (1) yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya, dan (2) bersumber dari bahasa asing. Adapun campur kode golongan (1) disebut dengan campur kode kedalam, sedangkan golongan (2) disebut dengan campur kode keluar.

Nababan (1991: 32) menyatakan bahwa campur kode terjadi bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa. Adapun ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Misalnya ada seorang penutur yang dalam pemakaian bahasa Indonesia banyak disisipi unsur-unsur bahasa Jawa/daerah atau sebaliknya bahasa daerah yang disisipkan pada bahasa Indonesia. Maka seorang penutur tersebut bercampur kode ke dalam peristiwa tersebut, sehingga akan menimbulkan apa yang disebut bahasa Indonesia yang ke daerah-daerahan atau kejawa-jawaan. Lebih lanjut Chaer & Agustina (2010: 116) berpendapat bahwa campur kode itu dapat berupa pencampuran serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa didalam bahasa lain yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi didalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain. Purba (2011: 98) memberi batasan tentang campur kode yakni: tuturan hanya berupa serpihan-serpihan, telah menggunakan satu kata atau frasa dan tidak ada situasi yang menuntut.

Dari beberapa pengertian mengenai campur kode tersebut, dapat disimpulkan bahwa campur kode adalah suatu kegiatan mencampurkan dua bahasa atau lebih dalam satu komunikasi atau interaksi verba. Dimana salah satu bahasa merupakan kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi sendiri, sedangkan bahasa atau kode lain yang terlibat dalam peristiwa itu hanyalah serpihan-serpihan kata saja. Percampuran kedua kode bahasa tersebut dapat terjadi tanpa adanya situasi yang menuntut terbentuknya percampuran bahasa tersebut. Intinya, menggunakan satu bahasa tetapi di dalamnya terdapat unsur-unsur bahasa lain, baik dalam situasi formal maupun situasi informal.

Faktor-Faktor Terjadinya Campur Kode

Berdasarkan faktor penyebab campur kode, campur kode tidak muncul karena tuntutan situasi, tetapi ada hal lain yang menjadi faktor terjadinya campur kode. Pada penjelasan sebelumnya telah dibahas mengenai ciri-ciri peristiwa campur kode, yaitu tidak dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan, adanya ketergantungan bahasa yang mengutamakan peran dan fungsi kebahasaan yang biasanya terjadi pada situasi yang santai. Berdasarkan hal tersebut, Suwito (1983) memaparkan beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya campur kode antara lain:

  1. Faktor peran
    Yang termasuk peran adalah status sosial, pendidikan, serta golongan dari pesera bicara atau penutur bahasa tersebut.
  2. Faktor ragam
    Ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh penutur pada waktu melakukan campur kode, yang akan menempat pada hirarki status sosial.
  3. Faktor keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan
    Yang termasuk faktor ini adalah tampak pada peristiwa campur kode yang menadai sikap dan hubungan penutur terhadap orang lain, dan hubungan orang lain terhadapnya. Jendra (1991) menjelaskan bahwa ketiga faktor penyebab itu dapat dibagi lagi menjadi dua bagian pokok, umpamanya peserta pembicaraan dapat disempitkan menjadi penutur, sedangkan dua faktor yang lain (faktor media bahasa yang digunakan dan faktor tujuan pembicaraan) dapat disempit lagi menjadi faktor kebahasaan:
    1. Faktor penutur
      Pembicara kadang-kadang sengaja bercampur kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode antara bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena kebiasaan dan kesantaian.
    2. Faktor bahasa
      Dalam proses belajar mengajar media yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa lisan. Penutur dalam pemakaian bahasanya sering mencampurkan bahasanya dengan bahasa lain sehingga terjadi campur kode. Umpamanya hal itu ditempuh dengan jalan menjelaskan atau mengamati istilah-istilah (kata-kata) yang sulit dipahami dengan istilah-istilah atau kata-kata dari bahasa daerah maupun Bahasa Asing dapat lebih dipahami.
      Selanjutnya, Andiopenta (2011: 96) berpendapat bahwa terjadinya campur kode disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini:
      1. Kedwibahasaan dalam masyarakat
        Kedwibahasaan dalam masyarakat selain menyebabkan terjadinya alih kode, interferensi dan integrasi juga menimbulkan campur kode dan berbagai pengaruh lainnya yang berasal dari bahasa ibu (B1) dan bahasa kedua (B2).
      2. Keinginan untuk memperlihatkan identitas atau kependudukan
        Campur kode dapat terjadi jika seorang penutur ingin memperlihatkan identitas atau kedudukannya karena penutur ingin melihat keterpelajarannya dan kemahirannya dalam berbahasa kedua.
      3. Kebiasaan penutur
        Campur kode juga dapat terjadi karena kebiasaan penutur menggunakan bahasa (B1) dan (B2), sehingga terjadi pencampuran bahasa.
      4. Ketidaktepatan ungkapan
        Campur kode terjadi apabila seorang penutur tidak tepat dalam mengungkapkan suatu bahasa.

Selain faktor tersebut, campur kode juga dapat dipengaruhi oleh faktor ketidaksengajaan dari penutur yang secara spontan dan alamiah menggunakan dua variasi berbahasa sekaligus dalam situasi komunikasi tertentu. Namun, tidak selamanya campur kode terjadi karena faktor kebiasaan dan ketidaksengajaan. Ada kalanya campur kode terjadi secara disengaja dengan alasan yang berbeda, yaitu karena penutur ingin menjalin hubungan akrab dalam berkomunikasi dengan lawan tutur (mitra tuturnya).

Menurut Nababan (1991: 32) campur kode terjadi tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntutnya. Maksudnya, berbeda dengan alih kode yang ditentukan oleh faktor situasi, campur kode tidak disebabkan faktor situasi. Dalam keadaan demikian beliau membagi campur kode menjadi tiga bagian kesantaian penutur, kebiasaan penutur, dan tidak adanya ungkapan yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai. Ohoiwutun (2007: 71) menjelaskan bahwa penyebab campur kode yaitu tidak adanya padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia serta keinginan penutur menunjukkan prestise. Bounvillain (2003: 361) mengatakan bahwa “di beberapa negara seperti India, alih kode dan campur kode digunakan untuk alasan gengsi. Mereka menggunakan alih kode dan campur kode untuk menunjukkan seberapa berpendidikan, canggih dan santunnya mereka”.

Menurut beberapa pakar bahasa dalam Weisenberg (2003: 5) terdapat lima alasan mengapa seseorang melakukan campur kode, yaitu:

  1. Untuk menandai anggota suatu kelompok tertentu. “...to signal social-group membership.”
  2. Ketidakmampuan untuk mencari padanan kata atau ekspresi kata tersebut dalam suatu bahasa. “...the inability to find an appropriate word or expression in one language.”
  3. Hubungan suatu bahasa dengan topik yang dibicarakan. “...association of one language with a particular topic (i.e. money).”
  4. Mengucilkan seseorang dari pembicaraan “...exclusion of someone from a conversation.”
  5. Untuk menunjukkan otoritas. “...as a display of authority.”

Holmes (2001: 42) dalam bukunya An Introduction to Linguistics memberikan empat faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan campur kode, yaitu:

  1. Partisipan
    Penutur yang melakukan campur kode terhadap lawan bicaranya adalah karena mereka memiliki tujuan dan maksud tertentu. Apabila sekelompok orang berbicara dalam bahasa mereka, lalu kemudian masuk penutur dalam bahasa lain, maka mereka (kelompok bahasa pertama) akan mengalihkan kode (bahasa), topik atau bahkan keduanya. Melihat kepada sifat penutur bahasa pertama, ada maksud dan tujuan dari alih kode dan campur kode tersebut sebagaimana kelompok bahasa pertama akan merubah situasi seketika tanpa ada jeda atau jarak waktu.
  2. Solidaritas (fungsi afektif)
    Penutur dapat melakukan alih kode/campur kode ke dalam bahasa lain sebagai penanda dari kelompok tertentu dan percampuran etnis dengan pendengar. Walaupun penutur tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam bahasa kedua, namun ia mampu menggunakan kata-kata atau frasa-frasa yang singkat untuk tujuan tertentu yang dimilikinya.
  3. Status
    Peralihan kode juga dapat merefleksikan perubahan kepada dimensi yang berbeda, seperti hubungan status antara beberapa orang atau keformalitasan interaksi mereka. Semakin formal suatu hubungan, yang terkadang juga melibatkan perbedaan status, seperti dokter-pasien, administrator-klien, guru-murid. Status kedekatan menimbulkan kesenjangan sosial yang minim, seperti tetangga atau teman.
  4. Topik
    Sebagaimana dalam bukunya, Holmes mengatakan bahwa seseorang mungkin melakukan campur kode dalam sebuah waktu tutur untuk mendiskusikan topik tertentu. Bilingual seringkali merasa lebih mudah untuk mendiskusikan topik tertentu dalam dua kode dibandingkan yang lain. Untuk lebih banyak bilingual, hal-hal tertentu yang berisi maksud tertentu pula akan lebih pantas dan lebih mudah diekspresikan dalam satu bahasa tertentu dan bukan dalam bahasa lain.
    Faktor campur kode di atas lebih diperinci oleh Teori Hoffmann (1991:116):
    1. Percakapan tentang Topik tertentu
      Seseorang seringkali lebih senang untuk membicarakan topik tertentu dalam satu bahasa dibandingkan dalam bahasa lain. Namun terkadang, seseorang merasa nyaman dan lebih santai untuk mengekspresikan perasaan atau emosi mereka bukan dalam bahasa sehari-hari mereka.
    2. Mengutip Perkataan Orang lain
      Beberapa orang seringkali senang untuk mengutip ekspresi atau perkataan seseorang yang mereka anggap terkenal. Di Indonesia, orang-orang terkenal tersebut kebanyakan berasal dari negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional mereka. Oleh karena itu, karena banyak orang Indonesia saat ini sangat apik dalam berbahasa Inggris, ekspresi- ekspresi dan kata-kata yang terkenal itu dikutip utuh dalam bahasa asli mereka.
    3. Perasaan Empati terhadap sesuatu
      Biasanya, ketika seseorang berbicara dengan tidak menggunakan bahasa ibu mereka secara tiba-tiba ketika mereka merasa empati terhadap sesuatu, maka ia akan secara sengaja atau tidak sengaja, akan mengalihkan bahasanya kepada bahasa pertama mereka. Atau sebaliknya, ada beberapa kasus dimana orang-orang merasa lebih nyaman untuk menunjukkan rasa empati mereka dalam bahasa kedua mereka dibandingkan bahasa pertama mereka.
    4. Penyelaan (dimasukkan sebagai pelengkap kalimat/penyambung kalimat)
      Alih kode dan campur kode antara bilingual dan multilingual kadang berarti seruan atau penghubung kalimat. Hal ini dapat terjadi secara sengaja atau tidak disengaja.
    5. Pengulangan yang digunakan untuk klarifikasi
      Ketika seorang bilingual ingin mengklarifikasi perkataannya agar dapat dipahami lebih jelas oleh pendengar, maka ia akan menggunakan kedua bahasanya dalam satu tuturan (tuturan diucapkan berulang).
    6. Menjelaskan Isi Pembicaraan bagi Lawan Bicara
      Ketika bilingual berbicara kepada bilingual yang lain, maka akan terjadi begitu banyak alih kode dan campur kode. Hal ini dimaksud agar isi dari percakapan keduanya dapat berjalan dengan akrab dan dapat dipahami pula oleh pendengar.
    7. Menunjukkan Identitas Suatu Kelompok
      Alih kode dan campur kode juga dapat digunakan untuk menunjukkan identitas suatu kelompok. Seperti telah disebutkan sebelumnya, cara berkomunikasi orang-orang akademisi dalam kelompok disiplin ilmu mereka akan sangat jelas berbeda dengan kelompok lain. Dengan kata lain, cara berkomunikasi sebuah kelompok berbeda dengan orang-orang yang ada diluar kelompok itu.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan faktor yang memicu terjadinya campur kode bermacam-macam, yaitu;

  1. Partisipan;
  2. Penyelaan;
  3. Gengsi;
  4. Pengulangan (untuk memberi penekanan atau menghilangkan keambiguan);
  5. Menunjukkan identitas seseorang atau suatu kelompok;
  6. Menunjukkan keakraban atau solidaritas;
  7. Memperhalus atau mempertegas sebuah permintaan atau perintah;
  8. Memberikan kesan humor atau tidak serius;
  9. Kutipan langsung dan pernyataan ideologis;
  10. Membicarakan tentang topik tertentu;
  11. Menunjukkan empati terhadap sesuatu;
  12. Menjelaskan isi pembicaraan bagi lawan bicara;
  13. Ketiadaan padanan kata dalam bahasa pertama;

Bentuk Campur Kode

Kridalaksana (1993: 35) menyatakan bahwa campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, termasuk didalamnya pemakaian kata, klausa, idiom dan sapaan. Hal serupa juga disampaikan Saddhono (2011) bahwa wujud dari komponen campur kode tidak pernah berwujud kalimat, melainkan hanya berwujud kata, frasa, idiom, bentuk baster, perulangan kata, dan klausa. Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa bentuk campur kode dapat berupa (1) kata, (2) frasa, dan (3) klausa.

  1. Campur Kode Tataran Kata
    Kridalaksana (dalam Rahardi, 2009: 12) menyatakan bahwa kata merupakan satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri, terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem. Morfem atau kombinasi morfem yang oleh bangsawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas. Selanjutnya, Rahardi (2009: 12) menyatakan bahwa kata merupakan satuan bahasa terkecil yang dapat dilafalkan secara bebas. Kata dapat berdiri sendiri sebagai sebuah entitas kebahasaan dan dapat memiliki makna yang jelas, baik kata itu merupakan kata dasar maupun sebagai kata jadian atau kata bentukan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kata merupakan satuan terkecil yang bermakna, sebagai salah satu unsur terpenting dalam menentukan kesatuan terkecil yang bermakna, sebagai salah satu unsur terpenting dalam menentukan kalimat yang terbagi atau beberapa kategori yaitu nomina, verba, dan adjektiva.
  2. Campur Kode Tataran Frasa
    Menurut Kridalaksana (2008: 66) frasa merupakan gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa frasa adalah gabungan kata nonpredikat yang berarti hubungan antara kedua unsur yang membentuk frasa itu tidak berstruktur subjek-predikat atau predikat-objek. Berbeda dengan kata yang tidak bisa diselipi apa-apa, maka hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain dalam sebuah frase cukup longgar, sehingga ada kemungkinan diselipi unsur lain.
  3. Campur Kode Tataran Klausa
    Kridalaksana (2008: 124) berpendapat bahwa klausa merupakan satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.