Diperbarui tanggal 29/Des/2021

Autis

kategori Istilah / tanggal diterbitkan 29 Desember 2021 / dikunjungi: 892 kali

Pengertian autis

Autisme adalah gangguan perkembangan nerobiologi yang berat yang terjadi pada anak sehingga menimbulkan masalah pada anak untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan lingkungannya. Penyandang autisme tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti, serta kemampuannya untuk membangun hubungan dengan orang lain terganggu karena masalah
ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan untuk mengerti apa yang dimaksud oleh orang lain (Sutadi, 2011:25). Autisme adalah gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi,
interaksi, dan perilaku (Kosasih, 2012:45). Istilah autisme berasal dari kata “autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti aliran. Sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Istilah autis pertama kali diperkenalkan Leo Kramer seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Autistic Disturbance of Affective Contect) pada tahun 1943 (Rachmawati, 2012:3).

Berdasarkan beberapa definisi, dapat disimpulkan bahwa autis adalah suatu gangguan yang kompleks dalam perkembangan menyangkut imajinasi, komunikasi, dan interaksi sosial dengan orang lain serta gangguan dalam membangun hubungan dengan orang lain.

Jenis-Jenis anak autis

Menurut Veskaryanti dalam bocham (2013:5-6), Autisme dapat di kelompokkan kedalam tiga tipe yaitu:

  1. Sindrom Rett (Rett”s Syndrome)
    Gangguan Rett (Rett”s Syndrome) merupakan gangguan yang ditandai adanya keadaan abnormal pada fisik, perilaku, kemampuan kognitif, dan motorik, yang normal. Gangguan ini hanya dialami oleh anak perempuan. Anak-anak yang mengalami gangguan ini biasanya kehilangan kemampuan pada gerakan tangan yang memounyai tujuan keterampilan manipulatif dari kemampuan motorik halus yang telah terlatih. Selain itu, terjadi hambatan pada seluruh ataupun sebagian perkembangan berbahasa anak.
  2. Gangguan Disintergratif Masa Kanak (Childhood Disintegrative Disorder)
    Gangguan Disintergratif Masa Kanak (Childhood Disintegrative Disorder) merupakan gangguan yang melibatkan hilangnya keterampilan yang telah dikuasai anak setelah satu periode perkembangan normal pada tahun pertama. Gangguan ini biasa muncul pada anak laki-laki. Perkembangan normal anak hanya terjadi pada tahun pertama, setelah itu secara signifikan keterampilan yang telah dimiiki seperti pemahaman, penggunaan bahasa, dan yang lainnya menghilang. Selain itu juga terjadi keabnormalan fungsi yang tampak pada gangguan komunikasi, serta minat dan aktivitas yang sempit.
  3. Sindrom Asperger (Asperger’s Syndrome)
    Sindrom Asperger (Asperger’s Syndrome) adalah bentuk yang lebih ringan dari gangguan perkembangan pervasif. Ditunjukkan dengan penarikan diri dari interaksi sosial serta perilaku stereotip, namun tanpa disertai keterlambatan yang signifikan pada aspek bahasa dan kognitif. Asparger mirip dengan autism infantil dalam hal interaksi sosial yang kurang.

Dari ketiga klasifikasi autis tersebut dapat digolongkan kedalam tiga tipe yaitu:

  1. Aloof
    Anak dengan autisme dari tipe ini senantiasa berusaha menarik diri dari kontak sosial, dan cenderung untuk menyendiri di pojok.
  2. Passive
    Anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha mengadakan kontak sosial melainkan hanya menerima saja.
  3. Active but odd
    Sedangkan tipe ini, anak melakukan pendekatan namun hanya besifat satu sisi yang bersifat repetitif dan aneh.

Kriteria anak autis

Menurut Diagnostic Statistical Manual (DSM IV) (Rachmawati, 2012:26-27) kriteria autisme harus ada sedikitnya 6 gejala dari 1, 2, dan 3, dengan minimal dua gejala dari 1 dan masing-masing satu gejala dari 2 dan 3.

  1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik minimal harus ada dua gejala dari gejala berikut:
    1. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: Kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang terarah,
    2. Tak bisa bermain dengan teman sebaya,
    3. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain,
    4. Kurangnya hubungan emosional dan sosial yang timbal balik.
  2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala berikut:
    1. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (tak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara),
    2. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi,
    3. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang,
    4. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.
  3. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala berikut ini:
    1. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang khas dan berlebih-lebihan.
    2. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistikatau rutin yang tidak ada gunanya.
    3. Ada gerakan-gerakan yang aneh, khas, dan diulang-ulang.
    4. Sering kali terpukau pada bagian benda-benda tertentu.

Ciri-ciri anak autis

Menurut Rachmawati (2012:19-21) ciri-ciri anak autis adalah:

  1. Komunikasi
    1. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
    2. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara atau pernah berbicara tapi kemudian sirna.
    3. Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
    4. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain.
    5. Bicara tidak dipakai untuk alat komunikasi.
    6. Senang meniru atau membeo (echoladia).
    7. Bila senang meniru hapal benar kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya.
    8. Sebagian dari anak ini tidak berbicara atau (non verbal) atau sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.
    9. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.
  2. Interaksi sosial
    1. Penyandang autis lebih suka menyendiri
    2. Tidak ada atau sedekit kontak mata, menghindar untuk bertatapan.
    3. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.
    4. Bila diajak bermain ia tidak mau dan menjauh.
  3. Gangguan sensoris
    1. Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk
    2. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
    3. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
    4. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
  4. Pola bermain
    1. Tidak bermain seperti pada anak-anak umumnya.
    2. Tidak suka bermain dengan anak-anak sebayanya
    3. Tidak kreatif, tidak imajinatif.
    4. Tidak bermain sesuai fungsi mainan misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar-putar.
    5. Senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda.
    6. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana.
  5. Perilaku
    1. Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif).
    2. Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti diri seperti bergoyang goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat tv, lari atau berjalan bolak-balik, melakukan gerakan berulang-ulang.
    3. Tidak suka pada perubahan.
    4. Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong.
  6. Emosi
    1. Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan.
    2. Temper tantrum (men gamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya.
    3. Kadang suka menyerang dan merusak.
    4. Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri.
    5. Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.

Karakteristik anak autis

Menurut Rachmawati (2012:4) ada tiga karakter yang menunjukkan seseorang menderita autis, yaitu sebagai berikut:

  1. Social interaction, yaitu kesulitan dalam melakukan hubungan sosial.
  2. Social communication, yaitu kesulitan dengan kemampuan komunikasi secara verbal dan non verbal. Sebagai contoh, sang anak tidak mengetahui arti gerak isyarat, ekspresi wajah ataupun penekanan suara.
  3. Imagination, yaitu kesulitan mengembangkan permainan dan imajinasinya.

Menurut Kosasih (2012:46-47) anak yang mengalami autis sedikitnya memiliki enam karakter, yaitu sebagai berikut:

  1. Masalah di bidang komunikasi
    1. Kata yang digunakan terkadang tidak sesuai artinya,
    2. mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang,
    3. bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi,
    4. senang meniru kata-kata atau lagu tanpa mengetahui apa artinya,
    5. senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang dia inginkan,
    6. sebagian anak sosial tidak berbicara atau sedikit berbicara,
    7. perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada, tampak seperti tuli atau sulit berbicara.
  2. Masalah di bidang interaksi sosial
    1. Suka menyendiri,
    2. menghindari kontak mata,
    3. tidak tertarik untuk bermain bersama,
    4. menolak atau menjauhi bila diajak bermain.
  3. Masalah di bidang sensoris
    1. Tidak peka terhadap sentuhan,
    2. tidak peka terhadap rasa sakit,
    3. langsung menutup telinga bila mendengar suara keras,
    4. senang mencium atau menjilat bendabenda di sekitarnya.
  4. Masalah di bidang pola permainan.
    1. Tidak bermain seperti anak lain pada umumnya,
    2. tidak bermain sesuai pada fungsi mainan,
    3. sangat lekat dengan benda-benda tertentu,
    4. senang terhadap benda-benda berputar,
    5. tidak memiliki kreativitas dan imajinasi,
    6. tidak suka bermain dengan taman sebayanya.
  5. Masalah di bidang perilaku
    1. Dapat berprilaku berlebihan atau terlalu aktif atau sebaliknya,
    2. melakukan gerakan yang berulang-ulang,
    3. tidak suka pada perubahan,
    4. merangsang diri, duduk bengong dengan tatapan kosong.
  6. Masalah di bidang emosi
    1. Sering marah, menangis, dan tertawa tanpa sosial,
    2. kadang-kadang agresif dan merusak,
    3. kadang menyakiti diri sendiri,
    4. dapat mengamuk tak terkendali,
    5. tidak memiliki empati.

Menurut Huzaemah (Wulandari, 2013:27) gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal meliputi kemampuan berbahasa dan keterlambatan, atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan bahasa tubuh, dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-katanya tidak dapat dimengerti orang lain. Tidak mengerti atau menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Ekolia (meniru atau membeo), meniru kata, kalimat dan lagu tanpa artinya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi/Penyebab Autis

Menurut Safaria (Wulandari, 2013: 29) faktor penyebab autis adalah:

  1. Faktor lingkungan meliputi, aluminium, cadmium, antimony
  2. Nutrisi, kalsium, magnesium zat besi, antioksida
  3. Zat-zat metabolik seperti, keadaan hipoglikemi, gangguan metabolisme asam amino
  4. Alergi, zat pewarna makanan ataupun zat-zat adiptif pada makanan
  5. Gangguan pencernaan: gangguan pada usus, sindrrom malabsorpsi, infeksi bakteri maupun parasit
  6. Immunologi, vaksinasi

Lebih lanjut Rachmawati (2012: 8-15) menjabarkan faktor penyebab autis seperti berikut:

  1. Faktor Psikologis
    1. Saat ini, hampir setiap anak mengenal media elektronik visual seperti televisi, komputer, dan playing station. Banyak kasus di mana ketika anak berinteraksi dengan media elektronik visual ini mereka jadi lupa waktu dan asyik dengan dunianya. Istilahnya, “menjauhkan yang dekat, dan mendekatkan yang jauh”. Media ini biasa menjadi pilihan orang tua untuk memberikan hiburan kepada anak.
    2. Ada beberapa anggapan kalau anak masuk sekolah di usia awal adalah sebuah kebanggan tersendiri. Dengan kata lain, anak mempunyai kemampuan lebih dibandingan teman yang usianya lebih tua dari mereka. Namun ternyata sekolah yang lebih awal dapat meningkatkan dan makin menonjolkan potensi autistik pada anak. Ini karena sekolah lebih awal diduga dapat membuat anak mengalami shock akibat perubahan lingkungan yang mungkin dirasa kurang cocok dan terasa asing, padahal pada masa-masa awal pertumbuhan anak, dan peran orang tua serta lingkungan keluarga harus lebih dioptimalkan. Usia anak-anak adalah usia bermain, jadi sangat kasihan jika anak kecil harus mengenyam pendidikan yang
      seharusnya ia lahap di usia yang tepat.
  2. Faktor Biologis
    1. Vaksin yang mengandung thimerosal: thimerosal adalah zat pengawet yang digunakan di berbagai vaksin. Karena banyaknya kritikan, kini sudah banyak vaksin yang tidak lagi menggunakan thimerosal di negara maju. Jadi hendaknya orang tua harus lebih selektif dalam memiliki vaksin untuk anak.
    2. Virus: (toxoplasmosis, toxo, cytomegalo, rubela dan herpes) atau jamur (candida) yang ditularkan oleh ibu ke janin.
    3. Genetika: Faktor genetika memang ditengarai sebagai salah satu penyebab, namun tidak selalu pada kromosom yang sama. Ini adalah dugaan awal dari penyebab autisme, autisme telah lama diketahui bisa diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya. Dengan kata lain, autisme bisa juga terjadi karena faktor turunan.
    4. Makanan: Pada tahun 1970-an, Dr. Feingold dan kolega-koleganya menyaksikan peningkatkan kasus Attention Devicit Hyperactivity Disorder (ADHD) dalam skala yang sangat besar. Sebagai seseorang yang pernah hidup di era 20/30-an, dia masih ingat bagaimana ADHD nyaris tidak ada sama sekali di taman tersebut. Pada intinya, berbagai zat kimia yang ada di makanan modern (pengawet, pewarna, dan lain-lain) dicurigai menjadi penyebab dari autisme pada beberapa kasus. Ketika zat-zat tersebut dihilangkan dari makanan para penderita autisme, banyak yang kemudian mengalami peningkatan situasi secara drastis. Untuk itulah mengapa makanan anak autis hendaknya tidak terkontaminasi dengan pengawet dan pewarna, karena setelah makan makanan yang mengandung zat-zat tersebut, biasanya anak autis langsung bersikap lebih “aktif” dari biasanya.
    5. Autisme juga bisa terjadi karena gangguan pencernaan pada anak, hal ini terbukti bahwa dari 60% penyandang autis mempunyai sistem pencernaan yang kurang sempurna terutama bagi makanan, seperti susu (casein) dan tepung terigu (gluko) yang tidak dicerna dengan sempurna. Protein dari kedua makanan ini tidak semua berubah menjadi asam amino tapi juga menjadi peptida, suatu bentuk rantai pendek asam amino yang seharusnya dibuang melalui urine, ternyata diserap kembali oleh tubuh, masuk ke dalam aliran darah, menuju ke otak dan diubah oleh reseptor opioid menjadi morphin yaitu casomorphin dan gladorphin yang mengefek merusak sel-sel otak dan membuat fungsi otak terganggu.
    6. Teori biologik mengatakan bahwa ada suatu abnormalitas pada otak penyandang ASDs. Lokasi kelainan bisa berbeda-beda tiap penyandang, namun diyakini ada tiga lokasi yang salah satu atau lebih menyebabkan terjadinya Autisme Spektrum Disorders (ASDs). Dari penelitian yang dilakukan oleh para pakar kelainan tersebut terdapat pada lobus parientalis, cerebellum (otak kecil) dan sistem limbik.
    7. Banyak pakar telah sepakat bahwa pada otak anak autisme dijumpai suatu kelainan pada otaknya. Ada tiga lokasi di otak yang ternyata mengalami kelainan neuro-anatomis. Apa sebabnya sampai timbul kelainan tersebut memang belum dapat dipastikan. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, serta akibat polusi udara, air, dan makanan. Diyakini bahwa gangguan tersebut terjadi pada fase pembentukan organ-organ (organogenesis) yaitu pada usia kehamilan antara 0-4 bulan. Organ atak sendiri baru terbentuk pada usia kehamilan setelah 15 minggu.
  3. Faktor Kimiawi
    1. Bisa juga karena selama hamil sang ibu mengkonsumsi atau menghirup zat yang sangat polutif, yang meracuni janin. Untuk itu ibu hamil hendaknya labih berhatihati menjaga kesehatan si bayi.
    2. Folic acid: Zat ini biasa diberikan kepada wanita hamil untuk mencegah cacat fisik pada janin. Dan hasilnya memang cukup nyata, tingkat cacat pada janin turun sampai sebesar 30%. Namun di lain pihak, tingkat autisme jadi meningkat. Pada saat ini penelitian masih terus berlanjut mengenai ini. Sementara ini, yang mungkin bisa dilakukan oleh para ibu hamil adalah tetap mengkonsumsi folic acid namun tidak dalam dosis yang sangat besar (normalnya wanita hamil diberikan dosis folic acid 4x lipat dari dosis normal).
  4. Faktor Fisika
    Radiasi pada janin bayi: sebuah riset dalam skala besar di Swedia menunjukkan bahwa bayi yang terkena gelombang Ultrasinic berlebihan akan cenderung menjadi kidal. Dengan makin banyaknya radiasi di sekitar kita, ada kemungkinan radiasi juga berperan menyebabkan autisme.