Diperbarui tanggal 7/Des/2021

Teori Pemerolehan Bahasa

kategori Bahasa dan Sastra Indonesia / tanggal diterbitkan 7 Desember 2021 / dikunjungi: 48.82rb kali

Dardjowidjojo (2012:2) merangkum sejarah perkembangan lahirnya psikolinguistik dalam bukunya yang berjudul “Psikolinguistik: pengantar pemahaman bahasa manusia”. Beliau menulis bahwa akar dari lahirnya kajian psikolinguistik sudah tercetus sejak abad ke-20, ketika Wundt (Dardjowidjojo,2012:2) menyatakan bahwa “bahasa dapat dijelakan dengan dasar prinsip-prinsip psikologis”. Pada tahun 1950-an, para ahli psikologi menggagas penggabungan antara ilmu psikologi dan ilmu linguistik sehingga lahirlah cabang ilmu psikolinguistik yang resmi digunakan atau pertama kali dipakai pada pertemuan di Universitas Indiana pada tahun 1953.

Seiring dengan sejarah perkembangan psikolinguistik, maka muncullah teori-teori yang digunakan dalam upaya menjelaskan pemerolehan bahasa anak. Teori pemerolehan bahasa itu antara lain: teori behaviorisme, teori nativisme, dan kognitivisme.

  1. Teori Behaviorisme
    Teori behaviorisme dipelopori oleh B.F.Skinner (1957). Pandangan ini menekankan bahwa proses penguasaan bahasa (pertama) dikendalikan dari luar, yaitu oleh stimulus melalui lingkungan (Chaer, 2009:223). Teori behaviorisme menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong yang nanti akan ditulisi atau diisi dengan pengalaman-pengalaman.
    Dalam hal ini, semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis ini, aliran behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguistik terdiri hanya dari hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran C-R (stimulus-respon) (Chaer, 2009:172-173).

    Menurut aliran behaviorisme, pemerolehan bahasa itu bersifat nurture, yakni pemerolehan ditentukan oleh alam lingkungan. Manusia dilahirkan dengan suatu tabula rasa, yakni semacam piring kosong tanpa apapun. Piring ini kemudian diisi oleh alam sekitar, termasuk bahasanya. Jadi, pengetahuan apapun yang kemudian diperoleh oleh manusia semata-mata berasal dari lingkungannya (Dardjowidjojo, 2012:234-235). Teori behaviorisme menyatakan bahwa peniruan sangat penting dalam mempelajari bahasa dan berhubungan dengan pembentukan antara kegiatan stimulus-respon dengan proses penguatannya. Proses penguatan ini diperkuat oleh suatu situasi yang dikondisikan dan dilakukan secara berulang-ulang. Sementara itu, karena rangsangan dari dalam dan luar mempengaruhi proses pembelajaran, anak-anak akan merespons dengan mengatakan sesuatu. Ketika responsnya benar, maka anak tersebut akan mendapat penguatan dari orang-orang dewasa di sekitarnya (Kristianty, 2006:28).

    Dengan demikian, teori behaviorisme menganggap kemampuan berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya dan menurut aliran ini pemerolehan bahasa ialah pemerolehan kebiasaan. Proses perkembangan ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya. Adapun perkembangan bahasa dipandang sebagai kemajuan dari penerapan prinsip stimulus-respons dan proses imitasi (peniruan).
  2. Teori Nativisme
    Teori nativisme dipelopori oleh Noam Chomsky pada awal tahun 1960-an sebagai bantahan terhadap teori belajar bahasa yang dilontarkan oleh kaum behaviorisme. Chomsky menulis buku berjudul “Review of B.F. Skinner’s Verbal behavior” (1959) sebagai bantahan terhadap konsep Skinner tentang belajar bahasa yang ada dalam buku “Verbal behavior” (1957).
    Pandangan nativistik yang dipelopori oleh Chomsky ini beranggapan bahwa pengaruh lingkungan bukan faktor penting dalam pemerolehan bahasa. Selama pemerolehan bahasa pertama, kanak-kanak sedikit demi sedikit membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis tela diprogramkan. Pandangan ini beranggapan bahwa bahasa merupakan pemberian biologis yang sering disebut sebagai hipotesis nurani (innteness hypothesis) (Chaer, 2009:222).

    Chomsky (Dardjowidjojo, 2012:235) berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu bukan didasarkan pada nurture, tetapi pada nature. Anak memperoleh kemampuan untuk berbahasa seperti dia memperoleh kemampuan untuk berdiri dan berjalan. Anak tidak dilahirkan sebagai piring kosong, tabula rasa,tetapi ia telah dibekali dengan sebuah alat yang dinamakan Piranti pemerolehan Bahasa (Language Acquision Device). Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa setiap manusia yang lahir dilengkapi dengan kemampuan berbahasa dengan dimilikinya alat yang disebut Chomsky sebagai Piranti pemerolehan bahasa (Language Acquisition Device atau disingkat LAD). Lingkungan tidak berpengaruh besar terhadap perkembangan bahasa anak. Selain itu, mustahil bagi seseorang untuk dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat melalui peniruan jika tidak memiliki aspek sistem bahasa yang sudah ada pada manusia secara alamiah.
  3. Teori Kognitivisme
    Teori kognitivisme diperkenalkan diperkenalkan oleh Piaget (1954). Menurut Piaget (Chaer, 2009:223), bahasa itu bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar, maka perkembangan bahasa harus berlandas pada perbahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Piaget (Chaer, 2009:224), menegaskan pula bahwa struktur yang kompleks dari bahasa bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam, dan bukan pula sesuatu yang dipelajari dari lingkungan. Struktur bahasa itu timbul sebagai akibat interaksi yang terus-menerus antara tingkat fungsi kognitif anak dengan lingkungan kebahasaannya.

    Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh anak-anak melalui interaksi dengan benda-benda atau orang-orang sekitarnya. Menurut piaget (Chaer, 2009:178), perkembangan kognitif mempengaruhi tahapan-tahapan dalam pemerolehan bahasa itu sendiri. Piaget (Syaodih,2005) berpendapat bahwa berpikir itu mendahului bahasa dan lebih luas dari bahasa. Bahasa adalah salah satu cara yang utama untuk mengekspresikan pikiran, dan dalam seluruh perkembangan, pikiran selalu mendahului bahasa. Bahasa dapat membantu perkembangan kognitif. Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak pada benda-benda baru atau hubungan baru yang ada di lingkungan, mengenalkan anak pada pandangan-pandangan yang berbeda dan memberikan informasi pada anak. Bahasa adalah salah satu dari berbagai perangkat yang terdapat dalam sistem kognitif manusia.

    Dalam pandangan Vygotsky (Syaodih, 2005), struktur mental atau kognitif anak terbentuk dari hubungan diantara fungsi-fungsi mental. Hubungan antara bahasa dan pemikiran diyakini sangat penting dalam kaitan ini. Vygotsky bahkan menegaskan bahwa bahasa dan pemikiran pada mulanya berkembang sendiri-sendiri tetapi pada akhirnya bersatu. Dengan demikian, teori kognitivisme beranggapan bahwa anak dilahirkan dengan kemampuan berpikir dan di dalamnya termasuk kemampuan berbahasa. Menurut pandangan ini, lingkungan tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. Perkembangan anak tergantung pada keterlibatannya secara aktif dengan lingkungannya. Jadi, yang penting ialah interaksi antara anak dengan lingkungannya.