Diperbarui tanggal 7/Nov/2022

Teks Monolog

kategori Bahasa dan Sastra Indonesia / tanggal diterbitkan 7 November 2022 / dikunjungi: 5.23rb kali

Pengertian Teks Monolog

Secara terpisah kata teks berasal dari bahasa latin textus atau textum yang diturunkan dari textere yang berarti menenun atau menganyam. Teks adalah sebuah metafora yang melihat keseluruhan komplek wacana atau anyaman atau tenunan Young (Dewojati, 2010:192). Apabila sebuah teks dibaca, baik pembaca individual maupun oleh satu kelompok dengan cara berkomunikasi dengannya, teks ditenun atau dianyam kembali berdasarkan benang-benang lain yang jumlahnya tidak terbatas. Oleh karnanya, sebuah teks akan menjadi lebih bermakna apabila dibaca dalam hubungannya atau dalam dengan teks-teks lain.

Monolog berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata ”Mono” dan “Legein” yang memiliki arti hanya satu orang saja yang berbicara dan hanya dia yang menentukan pokok bahasan dan lainnya. Pendek kata, monolog adalah orang yang berbicara sendiri. Monolog merupakan bagian dari drama, monolog sudah di kenal sejak dulu untuk pementasan drama atau film baik komedi ataupun horor. Istilah monolog ini banyak digunakan dalam pementasan seni atau teater.

Monolog adalah ilmu terapan yang mempelajari tentang seni peran. Monolog hanya membutuhkan satu orang saja untuk melakukan adegan. Sejak dulu, monolog sudah dikenal yaitu sekitar tahun 1960 dimana televisi tidak menggunakan pengisian suara melainkan berupa monolog. Dalam seni teater, pengertian monolog ialah suatu cerita atau kisah hidup manusia yang disusun untuk dipertunjukkan oleh pelaku dengan perbuatan di atas pentas dan ditonton oleh publik (penonton). Dari pendapat yang dipaparkan oleh ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa teks drama berbeda dengan genre lainnya. Teks drama memiliki cerita tersendiri, untuk dipentaskan dan dinikmati bersama-sama. Cerita prosa lainnya hanya dinikmati oleh pembaca saja dengan karya tertulis tersebut.
Secara terpisah kata teks berasal dari bahasa latin textus atau textum yang diturunkan dari textere yang berarti menenun atau menganyam. Teks adalah sebuah metafora yang melihat keseluruhan komplek wacana atau anyaman atau tenunan Young (Dewojati, 2010:192). Apabila sebuah teks dibaca, baik pembaca individual maupun oleh satu kelompok dengan cara berkomunikasi dengannya, teks ditenun atau dianyam kembali berdasarkan benang-benang lain yang jumlahnya tidak terbatas. Oleh karnanya, sebuah teks akan menjadi lebih bermakna apabila dibaca dalam hubungannya atau dalam dengan teks-teks lain.

Monolog berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata ”Mono” dan “Legein” yang memiliki arti hanya satu orang saja yang berbicara dan hanya dia yang menentukan pokok bahasan dan lainnya. Pendek kata, monolog adalah orang yang berbicara sendiri.Monolog merupakan bagian dari drama, monolog sudah di kenal sejak dulu untuk pementasan drama atau film baik komedi ataupun horor. Istilah monolog ini banyak digunakan dalam pementasan seni atau teater. Monolog adalah ilmu terapan yang mempelajari tentang seni peran. Monolog hanya membutuhkan satu orang saja untuk melakukan adegan. Sejak dulu, monolog sudah dikenal yaitu sekitar tahun 1960 dimana televisi tidak menggunakan pengisian suara melainkan berupa monolog. Dalam seni teater, pengertian monolog ialah suatu cerita atau kisah hidup manusia yang disusun untuk dipertunjukkan oleh pelaku dengan perbuatan di atas pentas dan ditonton oleh publik (penonton).

Dari pendapat yang dipaparkan oleh ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa teks drama berbeda dengan genre lainnya. Teks drama memiliki cerita tersendiri, untuk dipentaskan dan dinikmati bersama-sama. Cerita prosa lainnya hanya dinikmati oleh pembaca saja dengan karya tertulis tersebut.

Karakteristik Teks Monolog

Sebuah karya monolog mempunyai karakter yang sangat khusus yaitu berdimensi sastra dan berdimensi seni pertunjukkan. Dimensi sastra Dewojati (2010:11) menyatakan bahwa sebagai sebuah genre sastra, monolog dibangun dan dibentuk oleh unsur-unsur seperti terlihat dalam genre sastra lainnya, terutama fiksi. Secara umum, sebagai mana fiksi, dalam monolog juga unsur yang membentuk dan membangun sastra dari dalam kasya itu sendiri (intrinsik) dan unsur yang mempengaruhi penciptaan karya yang tentunya berasal dari luar karya (ekstrinsik).

Kedua aspek ini walaupun sepintas lalu seperti dapat terpisah, yang satu berupa teks, dan yang lain berupa pementasan, namun pada dasarnya merupakan suatu totalitas. Sewaktu naskah tersebut disusun telah diperhitungkan segi-segi pementasannya dan sewaktu pementasan tidak dapat menghindar dari garis umum naskah. Jelas bahwa dalam penelitian ini, peneliti mengkaji teks monolog dengan menganalisis unsur-unsur monolog menggunakan metode struktural. Dapat disimpulkan bahwa karakteristik teks monolog adalah dialog yang ditulis berdasarkan konflik batin atau fisik tokoh, dan hakikat „sebab? dan „akibat?, serta mempunyai kemungkinan untuk dipentaskan. Kekhususan lainnya dalam teks monolog adalah teks samping. Sabur (2004:52) mengemukakan bahwa: Teks adalah objek kenikmatan. Sebuah kenikmatan dalam pembaca sebuah teks adalah kesenangan kala menyusuri halaman demi halaman objek yang dibaca. Kita tidak bisa merasakan batasan asiknya seseorang ketika membaca sampai tidak memperhatikan lagi apa yang ada di sekelilingnya bila kita sendiri tidak mencoba merasakan itu dengaan turut membaca tulisan yang sama.

Dari pendapat ahli tersebut dapat dikaitkan dalam penelitian sebuah karya sastra teks adalah objek terpenting sebagai bahan kajian apa yang akan diteliti dan dipahami guna untuk analisis data secara objektif. Dalam penelitian ini teks monolog “Marsinah Menggugat” karya Ratna Sarumpaet akan dijadikan sasaran penelitian.

Struktur Teks Monolog

Struktur teks monolog mendasarkan analisisnya pada dua unsur pokok, yaitu alur atau plot dan tokoh. Unsur-unsur pokok tersebut didukung oleh unsur-unsur lain yaitu tema sebagai dasar cerita, latar, amanat, dialog dan teks samping. Dalam usaha menganalisis struktur teks monolog, hal yang harus diingat oleh seorang peneliti adalah adanya komponen teks primer dan teks tambahan dalam teks monolog. Adapun dua unsur yang dapat dicermati dan ditemukan dalam sebuah teks monolog. Pertama, adanya teks monolog yang utama berwujud dialog tokoh-tokoh. Kedua, teks monolog tambahan yang sering disebut pula teks pembantu atau teks samping. Tentang teks samping Aston dan Savoan dalam Dewojati (2010:160) menyatakan bahwa: Pada umumnya, teks tambahan ini dicetak miring, diletakkan dalam kurung, dicetak dengan huruf kapital atau diberi garis bawah, dengan tujuan untuk membedakan dengan teks utama. Adapun guna petunjuk lakon ini adalah untuk mambantu sutradara dan pemain dalam melaksanakan eksekusinya di atas panggung.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa struktur teks monolog berdasarkan pada unsur pokok yaitu alur atau plot dan tokoh. Kemudian dalam usaha menganallisis teks monolog peneliti juga harus mencermati dua unsur yang dapat ditemukan dalam teks monolog teks primer dan teks tambahan.

1. Alur

Nurgiyantoro (1994:154-157) mengungkapkan bahwa: untuk mengetahui wujud struktur sebuah karya, diperlukan kerja analisis. Salah satunya mendeskripsikan plot (alur) suatu karya, kesamaan dan
perbedaan karya yang lain. Plot dapat dikategorikan kedalam beberapa jenis sudut yang berbeda berdasarkan sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula berdasarkan dari kriteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatan. “plot atau alur lurus (progresif) yaitu jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa pertama diikuti oleh (atau menyebabkan terjadinya) peristiwa yang kemudian. Atau secara runtun cerita dimulai dari tahap awal ( penyesuaian, pengenalan, klimaks dan penyelesaian)”.

“Plot atau alur Sorot Balik (flash-back) urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya yang berplot regresif tidak bersifat tidak kronologis, cerita tidak dimulai pada tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), malainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal dikisahkan . karya yang berplot jenis ini, dengan demikian langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. Pembaca belum lagi dibawa masuk mengetahui situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan pertentangan itu yang kesemuanya itu dikisahkan justru sesudah peristiwa-peristiwa yang secara kronologis terjadi sesudahnya. Plot sebuah karya yang langsung menghadapkan pembaca adegan-adegan konflik yang sudah meninggi, langsung menerjunkan pembaca ketengah pusat pertentangan disebut sebagai plot in medias res”.

”Plot atau alur campuran. Barangkali secara mutlak berplot lurus kronologis atau sebaliknya sorot-balik. Secara garis besar plot mungkin progresif, tetapi betatpun dalamnya kejadiannya, sering terdapat agen-adegan sorot-balik. Demikian pula sebaliknya. Bahkan sebenarnya, boleh dikatakan tak mungkin ada sebuah cerita pun yang mutlak Flash-back. Hal itu disebabkan jika demikian terjadi, pembaca akan sangat sulit untuk dikatakan tidak bisa, mengikuti kisah yang diceritakanya secara terus-menerus dilakukan secara mundur. Pengkategorian plot sebuah karya progresif atau flash-back, sebenarnya lebih didasarkan pada mana yang lebih menonjol. Hal itu disebabkan pada kenyataan pada umunya mengandung keduanya, atau berplot campuran: progresif-regresif. Untuk mengetahui secara pasti kelompok peristiwa (yang mendukung satu kesatuan makna) yang tergolong progresif-kronologis atau sorot-balik, kita dapat melihat secara sintakmatik dan prakdigmatik semua peristiwa ( motif dan sekuen untuk istilah tersebut) yang ada denga menjarakan keduanya. Disamping itu kita dapat mencari dan mengetahui bagaimana saling kaitan antar kejadian yang dikisahkan”.

Alur merupakan rentetan peristiwa dalam cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara tokoh yang berperan dalam naskah. Konflik kebaikan kontra kejahatan, tokoh sopan kontra tokoh brutal, tokoh pembela kebenaran kontra tokoh bandit, dan sebagainya. Konflik semakin lama semakin meningkat untuk kemudian mencapai titik klimaks. Setelah klimaks lakon akan menuju penyelesaian. Hasanuddin menyatakan bahwa: Alur sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa yang saling berhubungan secara kualitas akan menunjukkan kaitak sebab akibat jika hubungan kualitas peristiwa terputus dengan peristiwa yang lain maka dapat dikatakan bahwa alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang memiliki kualitas sesama peristiwa yang ada di dalam sebuah teks drama.

2. Tokoh

Tokoh merupakan bagian penting dalam monolog. Tanpa adanya tokoh cerita tidak berjalan dan tidak akan terbentuk konflik-konflik. Konflik ini hanya mungkin diciptakan oleh tokoh-tokoh yang mempunyai karakter berlainan. Peran tokoh akan berarti apabila penempatannya selaras dengan suasana yang dikehendaki. Sumarjo dan Saini (1997:31) menyatakan: ”Cerita yang disajikan dalam sastra drama, walau kadang-kadang dialami oleh binatang atau makhluk lain, umunya dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang berupa manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tokoh cerita adalah orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa yang di gambarkan dalam plot”.

Tokoh-tokoh dalam drama dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Waluyo (2006:14) mengemukakan bahwa tokoh dapat dibagi berdasarkan peranannya dalam jalan cerita. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Tokoh Protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita, biasanya ada satu atau dua figure tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang terlibat sebagai pendukung cerita.
  2. Tokoh Antagonis, yaitu tokoh penentang dalam cerita yang juga dibantu oleh beberapa tokoh lainnya yang ikut menentang cerita.
  3. Tokoh Tritagonis, yaitu tokoh pembantu yang menenegahi pertentangan antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis

Cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh disebut penokohan. Penokohan erat hubungannya dengan perwatakan. Tokoh ditampilkan denga pemberian watak. Cara menapilkan watak-watak tokoh disebut perwatakan. Susunan tokoh menurut Waluyo (2006:14-15) drama Personae adalah daftar tokoh-tokoh yang berperan dalam monolog itu. Dalam susunan tokoh itu, terlebih dulu dijelaskan adalah nama, umur, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan dan keadaan kejiwaannya. Watak tokoh menjadi nyata terbaca dalam dialog dan teks samping. Jenis dan warna dialog akan menggambarkan watak tokoh itu.

Tokoh-tokoh meliki watak. Watak tokoh memungkinkan terjadi pertentangan atau pertikaian antar tokoh hingga berkembang mencapai klimaks. Tokoh harus memiliki watak yang kuat dan antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis harus kontradiktif antara keduanya. Dapat juga memiliki kepentingan yang sama, saking berebut sesuatu, saling bersaing dan sebagainya.

3. Latar

Latar merupakan identitas permasalahan monolog sebagai fiksionilitas yang secara samar di perlihatkan penokohan dan alur. Jika permasalahan monolog sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelaskan susunan tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar dan ruang di dalam monolog memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan permasalahan monolog (Hasanudin, 1996:94)

Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar atau setting merupakan bagian dari unsur-unsur yang samar diperlihat dan diperjelaskan oleh penokohan.

4. Tema

Menurut Waluyo (2006:24) “Tema, secara umum dapat disebut sebagai gagasan sentral, dasar cerita juga mencakup permasalahan dalam cerita, yaitu sesuatu yang akan diungkapkan untuk memberikan arah dan tujuan cerita dalam karya sastra, termasuk di dalamnya adalah teks monolog”. Menurut Hasanuddin (1996:103): Tema dan amanat dapat dirumuskan berbagai peristiwa, penokohan dan latar. Tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya,oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Dalam sebuah monolog terdapat banyak peristiwa yang masing-masing mengemban permasalahan, tetapi hanya da sebuah tema dari intisari permasalahan-permasalahan tersebut.

Dari pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema merupakan sesuatu permasalahan yang dimunculkan dalam suatu karya bukan sekedar bercerita tetapi mengatakan sesuatu kepada para penikmat (pembaca) oleh pengarang dan menjadi arah tujuan cerita dalam karya sastra.

5. Amanat

Amanat merupakan opini, kecenderungan dan visi pengarang terhadap tema yang dikemukakannya. Amanat dalam monolog dapat terjadi lebih dari satu, asal kesemuanya itu terkait denga tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan karakteristik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar dan ruang cerita (Hasanuddin, 1996:103).

Amanat yang disampaikan dalam sebuah karya sastra tak jauh dari tema yang diberikan oleh pengarang. Amanat yang terdapat dalam cerita atau karya sastra lebih dari satu yang terkandung dalam teks karya sastra tersebut.

6. Dialog

Sebagai warna primer dalam monolog, dialog dapat menentukan warna monolog dalam keseluruhan. Ada dialog sengaja ditulis panjang-panjang, ada pula dialog yang ditulis pendek-pendek. Warna dialognya pun bermacam-macam, ada yang lugas, puitis, atau menggunakan dialek tertentu untuk membangun nilai estetis tertentu. Disamping itu, karna tidak mempunyai narasi, teks lakon hanya dapat di teliti melalui dailog-dialog. Oleh karna itu, dialogdalam lakon merupakan sumber utama untuk menggali segala informasi tekstual. Jalannya eksekusi (pelaksanaan pentas) juga akan memposisikan dialog menjadi sarana penting dalam menjadikan teks tertulis tersebut menjadi “terdengar” dan “teraba”. (Dewojati, 2010:175). Pengertian dialog juga dikemukakan oleh Wiyanto, (2002:13) adalah sebagai berikut: Dialog adalah percakapan para pemain. Dialog memainkan peran yang amat penting karena menjadi pengarang lakon monolog. Artinya, jalan cerita monolog itu diketahui oleh penonton lewat dialog para pemainnya. Agar dialog itu tidak hambar, pengucapannya harus disertai penjiwaan emosional. Selain itu, pelafalannya harus jelas dan cukup keras sehingga dapat didengar semua penonton. Seorang pemain yang berbisik, misalnya, harus diupayakan agar bisikannya tetap dapat didengarkan penonton.

7. Teks Samping

Teks monolog sebagai karya sastra memiliki kaidah yang khusus. Kekhususan tersebut diantaranya adalah teks samping. Dalam sebuah naskah monolog seorang pengarang sering memberikan petunjuk bagaimana pendukung pementasan bekerja. Pentunjuk ini sering disebut dengan teks samping. Waluyo (2006:30) mengatakan bahwa: Teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas, suara, musik, keluar masuknya aktor atau aktris, keras lemahnya dialog, warna suara, perasaan yang mendasari dialog dan sebagainya. Teks samping ini biasanya ditulis dengan tulisan berbeda dari dialog (misalnya dengan huruf miring atau huruf besar semua). Lebih lanjut lagi Waluyo (2006:30) mengemukakan bahwa: Teks samping juga berguna sekali untuk memberikan petunjuk kapan aktor harus diam, pembicaraan pribadi, lama waktu sepi antar kedua pemain, jeda-jeda kecil atau panjang, dan sebagainya. Petunjuk teknis yang lengkap akan mempermudah sutradara dalam penafsiran naskah. Petunjuk watak usia dan keadaan sosial aktor/aktris akan membantu sutradara dalam menghayati watak secara total, sehingga pemilihan aktor/aktris dapat lebih tepat.

Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa teks samping adalah hal yang sangat terpenting dalam suatu karya sastra khususnya monolog. Teks samping petunjuk merupakan petunjuk yang ditulis berbeda dari dialog denga huruf miring dan huruf besar.