Diperbarui tanggal 3/Des/2021

Psikologi Sastra

kategori Bahasa dan Sastra Indonesia / tanggal diterbitkan 3 Desember 2021 / dikunjungi: 3.83rb kali

Tarigan (1995: 4), menjelaskan bahwa “Sastra adalah bagian dari budaya dan kehidupan kita sebagai manusia.” Oleh karena itu, tidak usah kita heran kalau masalah kesekalian dan keselaluan tidak hanya berlaku bagi sastra, tetapi juga dalam kehidupan manusia. Ada hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang hanya sekali kita alami dalam kehidupan ini, tetapi ada pula hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang selalu atau berulang-ulang kita alami. Wellek dan Warren (2014: 98) menjelaskan bahwa “Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa.” Yaitu sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.

Psikologi menurut (Walgito, 1986: 7-8) terdiri dari dua kata yakni psyche dan logos. Psyche dari bahasa Yunani yang memiliki arti jiwa dan kata logos yang berarti ilmu, sehingga ilmu jiwa merupakan istilah dari psikologi. Walaupun demikian pengertian antara psikologi dan ilmu jiwa memiliki perbedaan yang pada intinya sesuatu hal yang disebut dengan ilmu jiwa itu belum tentu bisa dikatakan sebagai psikologi, tetapi psikologi dapat diartikan sebagai ilmu jiwa. Dengan kata lain psikologi merupakan salah satu ilmu yang memiliki kesan meluas. Kesan meluas tersebut dapat dilihat dari adanya hubungan antara ilmu psikologi dengan ilmu-ilmu yang lain seperti biologi, sosiologi, filsafat, ilmu pengetahuan alam, dan salah satunya yaitu hubungan antara psikologi dengan sastra.

Psikologi merupakan ilmu yang dapat dihubungkan dengan karya sastra karena psikologi itu sendiri mengarah kepada suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tentang tingkah laku serta aktivitas-aktivitas di mana tingkah laku serta aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan (Walgito, 1986: 13). Jadi, dalam hal mengkaji sebuah karya sastra, pendekatan psikologi sastra sangatlah membantu. Psikologi diperlukan dalam karya sastra guna mengkaji aspek kejiwaan tokoh-tokoh dan segala hal yang berkaitan dengan proses psikologi yang dihadirkan oleh seorang pengarang. Pentingnya konsep tidak lain dilatarbelakangi adanya harapan hubungan diantara psikologi dan sastra yang kemudian dikenal sebagai psikologi sastra mampu digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam menelaah karya sastra terutama untuk mengkaji gejala-gejala kejiwaan. Penggunaan ilmu psikologi dalam sastra pada prinsipnya membantu penelaah dalam upaya memahami dan mendalami segi-segi kejiwaan manusia.

Salah satu pendekatan untuk menganalisis karya sastra yang sarat akan aspek-aspek kejiwaan adalah melalui pendekatan psikologi sastra. Rartna, 2015: 349), menjelaskan bahwa “Psikologi sastra adalah model penelitian interdisiplin dengan menetapkan karya sastra sebagai memiliki posisi yang lebih dominan.” Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa psikologi sastra tak hanya menyodorkan model penelitian saja melainkan diikutsertakannya bentuk kreativitas kedalam pendekatannya melalui teks. Wiyatmi (2011: 1), menjelaskan bahwa psikologi sastra lahir sebagai salah satu jenis kajian sastra yang digunakan untuk membaca dan menginterpretasikan karya sastra, pengarang karya sastra dan pembacanya dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yang ada dalam psikologi.

Pada dasarnya antara psikologi dan sastra memiliki persamaan yaitu sama-sama membicarakan manusia dan keberlangsungannya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Selain itu, keduanya juga memanfaatkan landasan yang sama yaitu menjadikan pengalaman manusia sebagai bahan telaah (Minderop, 2013: 2). Perbedaan diantara keduanya hanya terletak pada objek yang dibahas saja. Jika psikologi membicarakan manusia sebagai sosok yang riil sebagai ciptaan Tuhan, dalam karya sastra objek yang dibahas adalah tokoh-tokoh yang diciptakan oleh seorang pengarang atau disebut sebagai tokoh imajinasi semata.

Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misal, masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpanganpenyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya kaitannya dengan psike (Ratna, 2011: 342). Teori psikologi banyak dikaitkan dengan kesastraan khususnya untuk keperluan kajian berbagai teks kesastraan sehingga muncul istilah psikologi sastra. Sebagaimana dikemukakan Wellek & Warren (Nurgiyantoro, 2013: 102) psikologi dalam sastra dapat dikaitkan dengan psikologi pengarang, penerapan prinsip psikologi dalam teks-teks kesastraan, dan psikologi pembaca.

Dengan demikian, antara psikologi dan sastra mempunyai hubungan yang fungsional, yaitu sama-sama berfungsi sebagai sarana untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Bedanya, gejala kejiwaan manusia yang ditampilkan melalui tokoh-tokoh novel bersifat imajiner. Sedangkan dalam ilmu psikologi, gejala kejiwaan yang dipelajari bersifat nyata atau riil. Jadi dalam dunia sastra, ilmu psikologi digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam menelaah karya sastra terutama untuk mengkaji gejala-gejala kejiwaan.