Diperbarui tanggal 8/Nov/2022

Prosa Fiksi

kategori Bahasa dan Sastra Indonesia / tanggal diterbitkan 8 November 2022 / dikunjungi: 9.59rb kali

Pengertian Prosa Fiksi

Menurut Rokhmansyah (2013: 30-31) prosa merupakan cerita rekaan yang bersumber dari pengalaman kehidupan yang dilihat, didengar, atau yang dialami pengarang dan dituangkan secara imajinatif ke dalam bentuk cerita. Kosasih (2012: 3) menyatakan bahwa prosa merupakan sebuah sastra yang bersifat naratif dan dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang. Sedangkan Wellek dan Warren (2013: 256) menyatakan bahwa “Realitas dalam karya fiksi, yakni ilusi kenyataan dan kesan meyakinkan yang ditampilkan kepada pembaca, tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.” Dengan kata lain, karya fiksi memuat realitas kehidupan yang diimajinasikan dengan tujuan agar pembaca dapat mengkhidmati cerita dalam karya fiksi tersebut.

Selanjutnya, Nurgiyantoro (2013: 2) berpendapat bahwa prosa disebut juga dengan fiksi atau teks naratif yang merupakan karya imajinatif, kreatif, dan estetis. Dikatakan imajinatif karena prosa fiksi menghadirkan gambaran permasalahan kehidupan yang diimajinasikan ke dalam bentuk cerita rekaan. Imajinasi merujuk kepada berpikir kreatif, yaitu menghasilkan suatu karya dari hasil menghayati, menganalisis, atau mengkritisi permasalahan kehidupan. Dalam proses imajinatif kreatif tersebut, dihasilkan karya yang mengandung unsur seni atau berestetis.

Jenis-Jenis Prosa Fiksi

Berdasarkan pembagian sejarah sastra Indonesia, prosa fiksi dibagi atas prosa klasik dan modern. Prosa klasik atau disebut juga dengan prosa lama meliputi: cerita rakyat, dongeng, fabel, hikayat, legenda, mite, epos, cerita jenaka, cerita pelipur lara, sage, dan silsilah. Sedangkan prosa modern atau disebut juga dengan prosa baru, meliputi: roman, novel, novel popular, dan cerpen (Rokhmansyah, 2013: 31). Menurut Kosasih (2012: 4-5) prosa dibedakan ke dalam prosa lama dan prosa baru. Prosa lama berupa hikayat, tambo, atau dongeng berkisah tentang kratonsestris, bersifat statis, dan anonim. Sedangkan prosa baru berupa roman, novel, cerpen, dan kisah menceritakan tentang kenyataan, bersifat dinamis, dan nama pengarang dinyatakan dengan jelas.

Unsur-Unsur Prosa Fiksi

Unsur prosa fiksi terdiri dari unsur ekstrinsik dan unsur instrinsik. Unsur ekstrinsik ialah unsur yang berada di luar prosa fiksi, seperti: pandangan pengarang, lingkungan, unsur biografi, unsur psikologi, dan lainnya (Rokhmansyah, 2013: 32-33). Sedangkan unsur instrinsik ialah unsur pembangun prosa fiksi. Unsur instrinsik prosa fiksi yaitu sebagai berikut.

  1. Tema dan amanat
    Menurut Nurgiyantoro (2013: 113), tema merupakan motif pengikat keseluruhan cerita yang bersifat tersirat. Kosasih (2012: 40) mendefinisikan tema sebagai gagasan yang menjalin isi cerita. Selanjutnya, Sumardjo (Rokhmansyah, 2013: 33) menyatakan bahwa tema merupakan ide atau sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Tema tidak digambarkan secara langsung oleh pengarang, melainkan dapat ditemukan melalui alur, tokoh, ataupun dialog antartokoh (Kosasih, 2012: 40-41).
    Sedangkan amanat menurut Rokhmansyah (2013:34 33) merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Menurut Kosasih (2012: 41) amanat merupakan pesan moral atau didaktis yang disampaikan oleh pengarang dalam sebuah tulisan. Dengan kata lain, amanat merupakan unsur yang dibangun oleh pengarang dalam karyanya untuk dapat dimanfaatkan oleh pembaca sebagai pesan moral.
  2. Tokoh dan Penokohan
    Menurut Rokhmansyah (2013: 34) tokoh merupakan individu rekaan sebagai pelaku dalam cerita yang memiliki watak tertentu. Nurgiyantoro (2013: 247) menyatakan bahwa tokoh menunjuk pada orang atau pelaku dalam cerita. Sedangkan Abrams (Rokhmansyah, 2013: 34) mengemukakan bahwa tokoh merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam cerita rekaan yang memiliki kualitas moral digambarkan melalui tindakan atau ucapan-ucapan.
    Jika tokoh adalah pelaku dalam cerita, maka penokohan merupakan sifat yang ada pada tokoh. Penokohan dan perwatakan berkaitan dengan pemberian nama tokoh dalam cerita dan sifat-sifat dari tokoh tersebut. Penokohan merupakan gambaran tentang keadaan lahir dan bathin seorang tokoh dalam cerita (Rokhmansyah, 2013: 34). Kosasih (2012: 36) mendefinisikan penokohan sebagai cara pengarang dalam mengembangkan karakter-karakter tokoh dalam cerita. Nurgiyantoro (2013: 247) berpendapat bahwa penokohan atau karakterisasi merupakan penempatan watak-watak tertentu pada tokoh tertentu.

    Selanjutnya, Wellek dan Warren (2013: 264-266) menjelaskan bahwa penokohan dapat berupa penamaan, perincian penampilan fisik, maupun sifat. Penokohan tersebut dapat pula bersifat dinamis maupun statis, tergantung sudut pandang penceritaan. Menurut Nurgiyantoro (Rokhmansyah, 2013: 34-36), penggambaran watak tokoh dalam prosa fiksi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara eksploisitori dan dramatik.
    1. Secara Eksploisitori
      Secara eksploisitori atau secara langsung, yakni penggambaran watak tokoh dengan mendeskripsikan atau menguraikan secara langsung watak tokoh. Teknik ini juga disebut dengan teknik analitis. Watak tokoh digambarkan secara jelas dan tidak berbelit-belit, baik dari segi sifat, perilaku, maupun bentuk fisik.
    2. Secara Dramatik
      Secara dramatik atau secara tidak langsung, yakni penggambaran watak tokoh tidak dijabarkan secara jelas. Teknik ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni sebagai berikut.
      1. Teknik cakapan, yakni melalui percakapan antartokoh.
      2. Teknik tingkah laku, yakni melalui tindakan nonverbal atau fisik tokoh dalam cerita.
      3. Teknik pikiran atau perasaan, yakni tercermin dari pikiran dan perasaan tokoh melalui tingkah laku verbal dan nonverbal.
      4. Teknik arus kesadaran, yakni teknik narasi yang menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh.
      5. Teknik reaksi tokoh lain, yakni penggambaran watak tokoh melalui reaksi dari tokoh lainnya yang berupa rangsangan dari luar tokoh yang bersangkutan.
      6. Teknik pelukisan latar, yakni dengan pelukisan watak di sekitar tokoh untuk menggambarkan watak tokoh tersebut.
      7. Teknik pelukisan fisik, yakni dengan menggambarkan keadaan fisik yang berhubungan dengan kejiwaan tokoh yang dimaksud.
  3. Alur
    Kosasih (2012: 34) menyatakan bahwa alur merupakan urutan kejadian sebab akibat dalam sebuah cerita. Wellek dan Warren (2013: 262) menyatakan bahwa alur merupakan suatu struktur naratif yang terbentuk atas sejumlah struktur yang lebih kecil berupa episode atau kejadian-kejadian. Sejalan dengan pendapat tersebut Sumardjo (Rokhmansyah, 2013: 37) menjelaskan bahwa di dalam alur terdapat konflik-konflik yang membentuk cerita. Nurgiyantoro (2013: 164) menjelaskan bahwa kejelasan plot atau alur berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dimengerti oleh pembaca. 

    Secara umum struktur alur meliputi: situasi cerita, pengungkapan peristiwa, menuju adanya konflik, puncak konflik, dan penyelesaian (Kosasih, 2012: 34-35). Teknik pengaluran menurut Satoto (Rokhmansyah, 2013: 37) meliputi: alur maju (progresif) dan alur mundur (regresif). Sedangkan Kosasih (2012: 35) membagi alur ke dalam tiga bagian, yakni: alur normal, alur sorot balik, dan alur maju-mundur.

    Jabrohim, dkk. (2001: 112-115) menguraikan kaidah-kaidah yang mengatur alur yaitu sebagai berikut.
    1. Plausibility (kemasukakalan),
    2. Surprise (kejutan),
    3. Suspense (ketidaktentuan harapan dengan hasil cerita),
    4. Unity (keutuhan).
      Hal ini sejalan dengan pendapat Teeuw (1984: 121) yang menyatakan bahwa syarat utama plot ialah: order (urutan kejadian yang teratur), amplitude atau complexity (ruang lingkup peristiwa yang kompleks), unity (utuh) dan connection atau coherence (koheren). Kaidah-kaidah tersebut merupakan suatu syarat sebuah alur yang baik. Oleh karena itu, penulis hendaklah memasukkan kaidah-kaidah tersebut dalam penyusunan sebuah alur cerita.
  4. Latar
    Menurut Nurgiyantoro (2013: 302-202) latar merupakan tumpuan atau pijakan sebuah cerita untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wellek dan Warren (2013: 268) menjelaskan bahwa “Latar adalah lingkungan, dan lingkungan_terutama interior rumah_dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya.” Dengan kata lain, latar merupakan landasan tumpu agar suatu cerita dapat tergambar secara jelas.

    Kosasih (2012: 38) mengemukakan bahwa latar merupakan gambaran tentang waktu dan tempat terjadinya peristiwa di dalam cerita. Latar dapat memperkuat alur dan penokohan. Adanya penggambaran latar yang jelas dapat meyakinkan pembaca terhadap peristiwa-peristiwa yang disajikan dalam cerita. Lebih luas, latar meliputi penggambaran tempat, waktu, dan suasana dalam suatu cerita.
  5. Gaya Bahasa
    Nurgiyantoro (2013: 364) menyatakan bahwa bahasa dalam seni sastra diibaratkan sebagai cat dalam seni lukis. Cat tersebut digunakan untuk menghasilkan sebuah karya yang bernilai seni. Dengan kata lain, bahasa merupakan sarana penciptaan sebuah karya sastra. Stanton (Rokhmansyah, 2013: 39) menyatakan bahwa gaya merupakan cara atau bahasa yang digunakan oleh pengarang. Sedangkan menurut Kosasih (2012: 71), gaya bahasa berfungsi sebagai pencipta suasana dan interaksi antartokoh melalui dialog-dialog. Rokhmansyah (2013: 39) menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan cara yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan cerita. Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang dapat memperkuat latar cerita.
  6. Sudut Pandang
    Nurgiyantoro (2013: 338) berpendapat bahwa sudut pandang dalam cerita fiksi mempersoalkan tentang siapa yang menceritakan atau dari posisi mana peristiwa dan tindakan tersebut dapat dilihat. Rokhmansyah (2013: 39) menyatakan bahwa sudut pandang merupakan cara pengarang dalam menceritakan kisah dalam karyanya. Sedangkan menurut Kosasih (2012: 69), sudut pandang merupakan posisi pengarang dalam sebuah cerita. Posisi pengarang dalam sebuah cerita dapat berperan langsung atau sebagai orang pertama dan dapat juga hanya sebagai orang ketiga atau pengamat. Secara umum, sudut pandang dapat dibedakan menjadi empat, yakni:
    1. Narator serba tahu, yakni narator sebagai pencipta segalanya dalam cerita.
    2. Narator bertindak objektif, yakni pengarang sama sekali tidak terlibat dalam pikiran pelaku. Dalam hal ini dibutuhkan penafsiran pembaca.
    3. Narator (ikut) aktif, yakni narator juga bertindak sebagai aktor dalam cerita.
    4. Narator sebagai peninjau, yakni pengarang memilih salah satu tokoh dalam cerita untuk bercerita. (Kosasih, 2012: 70-71)