Diperbarui tanggal 6/Nov/2022

Drama

kategori Bahasa dan Sastra Indonesia / tanggal diterbitkan 6 November 2022 / dikunjungi: 3.18rb kali

1. Pengertian Drama

Riris k. Sarumpaet, dalam istilah Drama dan Teater (1977:21) menyatakan “Drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog yang mampu menghadirkan pertunjukkan di atas pentas. Khususnya, drama menunjuk pada lakon yang serius dapat berakhir suka, maupun duka dengan masalah yang serius pula, sekalipun tanpa pamrih menjadikannya suatu drama duka”. “Drama”. Def.1-2e. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Cetak. Menjelaskan bahwa “Drama memiliki beberapa arti yaitu, (1) komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui dari peran yang dipentaskan; (2) cerita atau kisah terutama yang melibatkan konflik atau emosi, yang disusun untuk pertunjukkan teater”.

Kata drama merupakan terjemahan dari bahasa Yunani “draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak. Jadi drama bisa berarti perbuatan atau tindakan. Drama pertama kali berkembang pada zaman Yunani dan Romawi. Istilah drama berasal dari bahasa Yunani Dran yang berarti berbuat, bertindak, berlaku, dan beraksi, Tarigan ( Avhisa, 2014:9). Drama adalah karya sastra yang menggambarkan gerak kehidupan manusia. Drama menggambarkan realitas kehidupan, karakter dan perilaku manusia melalui partisipasi dan dialog yang dipentaskan. Drama ialah lakon cerita suatu kisah kehidupan dalam dialog lakuan tokoh yang berisi konflik. Drama mencakup dua hal, yakni drama sebagai karya sastra dan drama sebagai sebuah seni pertunjukan/pementasan. Oleh sebab itulah sebuah drama tetap dapat diapresiasi tanpa harus dipentaskan (Suyoto, 2006:161).

Satoto (2016) berpendapat bahwa drama adalah perpaduan kualitas segala sesuatu yang ada diatas panggung baik itu komunikasi, situasi, aksi yang mampu menarik serta menyita perhatian para penonton. Johanes (1998) menyatakan Drama merupakan suatu cerita karangan yang disajikan sebagai sebuah pertunjukkan dan mampu menyita dan menarik perhatian masyarakat. M. H. Abrams memberi batasan bahwa drama sebagai ragam sastra yang disajikan dalam bentuk dialog yang diharapkan untuk dapat dibawa ke atas panggung atau dipentaskan (dalam “Aglossary of literary terms” 1971). Satoto (2015 : 1) mengatakan “Drama berasal dari bahasa Yunani yakni draien yang diturunkan dari kata draomai yang semula berarti bertindak, berlaku, berbuat, dan sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya, kata drama mengandung arti kejadian, risalah, dan karangan”. Drama lebih banyak dihubungkan dengan karya sastra, karena memang tak dapat dipungkiri kalau drama menjadi salah satu karya sastra yang cukup menarik. Dengan sebuah naskah drama, kita bisa menyaksikan dan bahkan menikmati adegan demi adegan yang diperankan oleh para tokoh di atas panggung yang tentunya merangsang emosi dari konflik yang dimunculkan. Tak sedikit juga yang menggemari dunia drama karena dianggap menarik.

Tjahyono (1988: 186) menjelaskan “Drama diartikan sebagai seni yang mampu menunjukkan kehidupan manusia melalui gerak dan dialog yang diperankan oleh para tokoh dalam naskah”. Dari beberapa sumber yang sudah peneliti dapatkan, maka dapat disimpulkan bahwa drama adalah sebuah cerita karangan berupa dialog yang mampu menghadirkan dan menimbulkan emosi para penonton dari setiap dialog atau perilaku dan konflik dihadirkan di atas panggung.

2. Struktur Naskah Drama.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa naskah drama memiliki unsur pembangun yang membentuk satu kesatuan yang utuh. Unsur pembangun tersebut yakni struktur dan tekstur. Di sini peneliti akan menjelaskan apa itu struktur dalam naskah drama, apa saja yang menjadi bagian struktur dalam naskah drama. Secara etimologis, kata struktur berasal dari bahasa latin structura yang berarti bentuk atau bangunan. Struktur merupakan mekanisme yang menunjukkan sebuah keselarasan, kesesuaian hubungan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya. Bukan hanya yang bersifat positif seperti keselarasan tadi tetapi juga menyangkut aspek negatif yaitu konflik atau pertentangan yang dihadirkan dalam naskah. Karna pada dasarnya analisis struktural berfungsi sebagai alat untuk membongkar unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra (Ratna 2004:91). Kernodle (dalam Dewojati,2010: 65) membagi unsur yang menciptakan struktur drama menjadi tiga yaitu plot, karakter, dan tema. Struktur naskah drama akan dipaparkan sebagai berikut:

a. Alur/ plot

Luxemburg (dalam Wiyatmi, 2006) berpendapat bahwa alur pada dasarnya merupakan deretan peristiwa dalam hubungan logik dan kronologis yang saling berkaitan dan yang dialami oleh para tokoh. Cerita dan alur merupakan unsur yang tak dapat dipisahkan, keduanya berobjek pembicaraan peristiwa yang mendasarkan pada rangkaian peristiwa. Dasar pembicaraan alur adalah cerita. Dasar pembicaraan cerita adalah alur (Hariyanto, 2000: 38). Alur juga dapat dikatakan sebagai suatu keseluruhan peristiwa dalam skenario (Hamzah, 1985: 96). Alur disebut juga sebagai plot yang berarti urutan peristiwa yang berhubungan secara kausalitas (Soemanto, 2001: 16). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bagian terpenting dalam alur drama adalah lakon atau dialog yang diperankan oleh tokoh (Soemardjono, 1984: 138). Plot ataupun alur cerita merupakan rentetan peristiwa ataupun kejadian yang digambarkan di naskah drama. Alur memang tidak terlalu diperlihatkan tetapi dapat divisualkan ketika naskah drama sudah dipentaskan di atas panggung.

Dewojati (2010:167) mengemukakan bahwa ide Aristoteles tentang plot dikembangkan oleh Kernodle. Ia membagi perkembangan plot menjadi beberapa bagian, yakni eksposisi, titik serangan, kekuatan, penggerak komplikasi, pertumbuhan, klimaks kecil, penurunan antisipasi, pratanda, ketegangan besar, krisis besar, klimaks besar, kesimpulan dan kesudahan. Sedangkan menurut Staton (2010) plot atau alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian-kejadian, yang memunculkan sebab akibat, peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa yang baru. Agar menjadi sebuah plot, peristiwa-peristiwa dalam sebuah naskah drama harus diolah kreatif, agar hasil pengolahan tersebut memberikan sesuatu yang menarik perhatian, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi secara keseluruhan.

Menurut Hariyanto, secara umum karya sastra memiliki delapan bagian alur. Delapan bagian tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Eksposisi
    Eksposisi adalah bagian karya sastra drama yang berisi keterangan mengenai tokoh serta latar. Tahapan ini dimulai dengan pengarang yang akan memperkenalkan para tokoh, menjelaskan tempat peristiwa, dan memberikan ilustrasi tentang peristiwa yang akan terjadi.
  2. Rangsangan
    Rangsangan adalah tahapan alur ketika kekuatan, kehendak, egois, dan perbedaan pandangan akan muncul dalam drama.
  3. Konflik
    Konflik adalah tahapan ketika suasana emosional memanas karena adanya pertentangan dua atau lebih kekuatan. Ditahapan inilah masalah muncul sehingga mengakibatkan pertentangan dari satu tokoh ke tokoh yang lainnya.
  4. Rumitan
    Rumitan adalah tahapan ketika suasana semakin panas karena konflik atau masalah semakin mendekati tingkat tertinggi atau puncaknya.
  5. Klimaks
    Klimaks adalah titik puncak cerita. Bagian ini merupakan tahapan pertentangan yang mencapai titik optimal atau tingkat tertinggi.
  6. Krisis
    Krisis adalah bagian alur yang dimulai dengan leraian tentang masalah yang muncul tadi. Tahap ini ditandai oleh perubahan cerita yang menuju kesudahan.
  7. Leraian
    Leraian adalah struktur alur sesudah tercapainya klimaks. Merupakan peristiwa yang menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian.
  8. Penyelesaian
    Penyelesaian adalah bagian akhir drama merupakan kesimpulan akhir terpecahkannya masalah dalam drama.

b. Karakter

Karakter dalam analisis struktur sebuah naskah drama bukan hanya berbicara tentang fisik atau visual dari para tokoh seperti tinggi, penampilan, atau bahkan kostum yang digunakan tetapi juga menyangkut sikap atau perilaku batin tokoh yang digambarkan dalam naskah. Menurut Kernodle (2010) karakter tokoh itu seperti periang, ceria, bijaksana, pemurung ataupun perilaku yang ditunjukkan oleh tokoh. Karakter adalah kepribadian manusia dalam drama yang diwujudkan dalam bentuk tokoh (Sumardjo, 1984: 132). Menurut Nurgiyantoro (2000), pengertian tokoh dapat dimaknai sebagai seseorang atau sekelompok orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif dimana para pembaca dapat melihat sebuah kecenderungan yang diekspresikan baik melalui ucapan maupun tindakan. Melalui tokohlah perwujudan dari karakter dapat diperlihatkan. Tokoh akan diberikan karakter yang berbeda-beda guna menunjang cerita yang akan diperankan.

Sebuah drama setidaknya harus memiliki karakter protagonis dan karakter antagonis. Tokoh atau perwatakan sangat penting dalam drama (Hamzah, 1985: 106). Lajos Egri dalam Hamzah berpendapat bahwa perwatakanlah yang paling utama dalam drama. Dalam sebuah drama terdapat dua karakter yang menjadi pembangun sebuah cerita yaitu protagonis dan antagonis. Protagonis adalah tokoh yang berperan sebagai penggerak cerita sedangkan antagonis adalah tokoh yang selalu menghalangi dan memunculkan masalah bagi protagonis. Protagonis dan antagonis dalam sebuah cerita akan selalu berbeda pandangan dan pendapat, tetapi biasanya masyarakat akan lebih empati kepada tokoh protagonis.
Selain memiliki karakter protagonis dan karakter antagonis, drama juga memiliki karakter yang lain yakni karakter utama dan karakter bawahan. Karakter utama adalah karakter yang ditampilkan terus-menerus sehingga kita sebagai penonton merasa bahwa karakter tersebut mendominasi sebagian besar cerita yang dibawakan. sedangkan Karakter bawahan adalah karakter yang jarang dimunculkan.

c. Tema

Setiap cerita pasti memiliki gagasan pikiran, gagasan utama, ide pokok atau yang biasa disebut sebagai tema. Tak terkecuali dengan drama. Sudjiman (1991: 50) mengungkapkan “Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra”. Kernodle (dalam Dewojati, 2010:173) juga mengungkapkan bahwa “Tema bisa secara implisit dilihat dari karakter, setting maupun kekayaan tekstur nonverbal yang dapat diamati diatas panggung”. Tema merupakan sebuah premis, premis yang menjadi dasar idiil dan akan menentukan arah serta tujuan dari cerita tersebut (Soemanto, 2001:22). Kernodle (dalam dewojati, 1967) berpendapat bahwa untuk menemukan makna drama secara keseluruhan dan lengkap, Sebuah tema biasanya berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan. Baik itu dari nilai sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Realisasi dari tema dapat dilihat dari kata-kata atau dialog setiap karakter, keseluruhan arti dari drama, dan tekstur drama tersebut (Soemanto, 2001: 22).

Menurut Kokasih (2011:136) “Tema biasanya berkaitan dengan perasaan seperti cinta, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya”. Tema dalam karya sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari sendiri oleh pembacanya (Sumardjo, 1984: 58). Ketika kita ingin menentukan tema, kita harus terlebih dahulu mengerti cerita dari drama tersebut, menyaksikan jika drama tersebut berada di atas panggung atau bahkan membaca keseluruhan dari naskah jika drama tersebut hanya berupa teks teks agar kita bisa lebih memahami alur dari drama yang akan dicari temanya karena tema merupakan dasar pengembangan sebuah karya sastra dalam cerita. Melalui tema, penulis bisa membatasi alur serta kejadian- kejadian yang akan dituliskan dari naskah. Tema dapat terungkap oleh dialog, terutama dialog tokoh utama (Sudjiman, 1991: 52). Dengan tema, pembaca ataupun penonton bisa mengetahui tujuan serta maksud dari pengarang tentang cerita ataupun naskah yang ditulisnya.

3. Tekstur Naskah Drama

Tekstur berasal dari bahasa latin yang memilki arti tenunan. Kernodle (dalam Dewojati 1967) menggambarkan tekstur dalam analisis drama sama seperti tekstur pada pakaian. Untuk mengetahui sendiri tekstur pakaian tersebut, tentu kita harus menggunakan alat indera kita seperti tangan untuk memang pakaiannya. Begitu juga dengan tekstur pada naskah drama, kita harus menggunakan alat indera kita untuk merasakan tekstur dari drama itu sendiri. Kernodle (dalam Munazif 1967: 355) Juga mengungkapkan bahwa dalam teater, tekstur dibangun berdasarkan audio, penggambaran, dan bahasa yang halus namun penuh dengan kekuatan dari warna, irama, setting, serta kostum.

Tekstur dalam pementasan drama diciptakan oleh suara, imajinasi bahasa, mood (suasana) panggung yang kuat, properti/materi pentas, materi cerita, warna, gerakan, setting, dan kostum. Adapun tekstur yang diungkapkan dalam drama ialah dialog, mood, spektakel. Hal ini sejalan dengan pendapat Damono (1979:149-150) yang menyatakan bahwa “Tekstur adalah apa yang dialami oleh penikmat akan segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera dan apa yang dirasakan baik secara langsung ataupun hanya dengan membaca naskah”.

Dalam analisis tekstur drama ini, penulis akan mengungkapkan, memaparkan, dan mendeskripsikan bagaimana dialog, suasana, dan spektakel dalam drama “Dukun dukunan” karya Puthut buchori. Membaca naskah drama dilakukan untuk mendapatkan segala sesuatu yang ditangkap indera dan memberikan gambaran terhadap setiap kejadian yang dialami oleh para tokoh dalam naskah drama ini.

a. Dialog

Kata drama selalu identik dengan yang namanya dialog, karena memang pada dasarnya drama berisi dialog-dialog yang akan diucapkan oleh para tokoh. Hal ini sejalan dengan pengan pendapat Sumardjo (1985:134) yang menyatakan bahwa “Dialog adalah kata kata yang diucapkan oleh para pemain”. Dalam sebuah drama, dialog merupakan situasi bahasa utama (Luxemburg,1986:160). Sedangkan menurut Soemanto (2001: 23) “Dialog adalah sarana utama pengarang drama untuk menciptakan tema, Karakter, dan alur dari drama tersebut”.

Dewojati (2010:176) juga mengungkapkan bahwa “Secara universal, dialog dalam drama berfungsi sebagai wadah bagi pengarang untuk menyampaikan informasi, menjelaskan tentang fakta atau ide-ide utama”. Dengan kata lain, dialog merupakan wadah bagi penikmat atau penonton untuk menggali dan menangkap informasi-informasi, kejelasan fakta, atau ide-ide utama dari drama yang disajikan. Dalam drama selain dialog, terdapat pula Monolog. Abdullah (2010:180) menyatakan bahwa “Monolog dalam pengertian awal ialah berbicara dengan diri sendiri, monolog meruupakan lawan dari dialog” (dua orang atau lebih yang saling berbicara).

b. Suasana/ Mood

Suasana diarahkan melalui penggambaran setting, pelukisan watak, pemilihan adegan (Sumardjo, 1984: 61). Menurut (Kernodle 2010:182) “Mood dalam drama bisa tercipta jika melibatkan banyak unsur”. Dengan kata lain, mood akan tercipta jikalau mood/suasana itu sendiri berhubungan dengan unsur-unsur lain seperti spektakel, dialog, dan irama dalam drama. Mood dalam naskah drama dapat diteliti melalui nebentext. Nebentext merupakan petunjuk pementasan (Soemanto, 2001 :4) Seperti contoh dibawah ini:

Parji “Benar juga kata ibu itu, memang harus dipukuli dahulu”.
(Mengambil Kayu Dan Memukuli Orang Itu). Kamu pasti
dukun, pasti orang sakti, ampuh, pinter…
Suami  (Karena Terus Di Pukuli, Akhirnya Menyerah)
“Ya dukun… dukun juga boleh”.
Parji “Nah begitu, kalau ngaku dari tadi, saya kan tidak harus
memukuli bapak. Jadi begini bapak dukun”
Suami “Tetapi saya bukan dukun”
Parji “Masih menyangkal (Kembali Memukuli) Ngaku tidak ?”
Suami “Ya ngaku… ngaku… Dukun ! (Bicara Sendiri) Yah daripada
dipukuli, jadi dukun ya tak apalah, iseng-iseng berhadiah.
(Kepada Parji Prt) Jadi apa keluhannya.”.

Kata-kata di dalam kurung menunjukkan mood/suasana yang terjadi. Parji PRT dan Suami mengalami perdebatan terkait dukun. Parji salah paham dia mengganggap Suami adalah dukun yang dicari-carinya sejak tadi. Sedangkan suami yang tidak tahu apa-apa awalnya berusaha jujur tentang profesinya tetapi karena terus dipukuli oleh Parji, akhirnya dia berbohong dan berpura pura menjadi sosok dukun yang dicari-cari parji.

c. Spektakel

Spektakel merupakan aspek-aspek visual sebuah lakon, terutama tindakan fisik karakter-karakter yang diperankan oleh tokoh (Soemanto,2001:23). Sementara Kernodle (2010 :185) menjelaskan “Spektakel merupakan salah satu unsur yang mampu menghidupkan pementasan drama”. Hadiyanta (2001:24) mengemukakan bahwa “Spektakel mengacu pada pembabakan, tata panggung, tata kostum, tata rias, tata lampu, dan tata suara”.

  1. Pembabakan
    Babak adalah penyekat kaitan cerita yang tempat dan waktunya berbeda (Adjib, 1985: 134). Bagian terkecil dari babak disebut adegan. Suatu babak bisa terlihat dari kesamaan tempat dan waktu. Untuk permulaan babak baru biasanya dimulai dengan tempat, waktu serta suasana yang berbeda.
  2. Tata panggung
    Panggung adalah tempat dilaksanakannya pementasan, atau tempat bermain para aktor (Adjib, 1985: 22). Tata panggung identik dengan dekorasi. Dekorasi ini merupakan gambaran yang mampu memperjelas latar belakang terjadinya suatu peristiwa. Dengan dekorasi, penonton lebih mampu untuk memaknai serta menggambarkan latar terjadinya suatu peristiwa.
  3. Tata kostum
    Tata kostum adalah pengaturan kostum yang dipakai oleh pemain untuk menggambarkan peran yang ia mainkan (Sulaiman, 1982: 10). Secara tidak langsung Kostum membantu pemain untuk menjelaskan kepada penonton karakter
    apa yang akan dimainkan. Kostum juga mampu menjelaskan dan menghidupkan perwatakan dari para tokoh.
  4. Tata rias
    Selain kostum, suatu kewajiban untuk melakukan tata rias para tokoh yang berfungsi untuk memperjelas karakter dari masing-masing tokoh. Tata rias adalah pengaturan rias yang dikenakan oleh pemain (Sulaiman, 1982:10). Tugas rias adalah membuka jalan serta memberi dandanan yang sesuai dengan karakter yang akan diperagakan, agar lebih mengena.
  5. Tata lampu
    Tata lampu adalah pengaturan penerangan di panggung selama pementasa berlangsung (Sulaiman, 1982: 10). Tata lampu dalam pementasan berfungsi untuk menciptakan suasana yang lebih menarik dengan memberikan efek sera warna-warna tertentu sesuai dengan situasi yang ingin digambarkan.
  6. Tata suara
    Menurut Sulaiman (1982:10) “Tata suara adalah pengaturan suara yang akan mengiringi permainan sandiwara guna memberikan tekanan-tekanan dan akan menghias perkembangan langkah cerita. bunyi bunyian selama pementasan drama akan menghidupkan secara kreatif suasana lakon yang sedang dimainkan/ diperankan di panggung”.