Diperbarui tanggal 3/Des/2021

Deiksis

kategori Bahasa dan Sastra Indonesia / tanggal diterbitkan 1 Desember 2021 / dikunjungi: 11.46rb kali

Pengertian Deiksis

Kata deiksis berasal dari kata Yunani “Deiktikos” yang artinya “menunjuk” atau “menunjukkan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang di terbitkan oleh pusat bahasa bahwa “ deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang merujuk sesuatu di luar bahasa; kata petunjuk, ketakrifan dan sebagainya”. Hasan Alwi, ddk (2003:42). Menjelaskan pendapatnya mengenai deiksis seperti yaitu deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situai pembicaraan. Kata saya, sini, sekarang, misalnya, tidak memiliki acuan yang tetap melainkan bervariasi tergantung pada berbagai hal. Acuan dari kata saya menjadi jelas setelah diketahui siapa yang mengucapkan kata itu.

Purwo (1984:1) mengatakan, bahwa sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkan kata-kata itu”. Lebih lanjut Lyouns (dalam Djajasudarma, 1999: 43) mengatakan, bahwa deiksis juga dapat diartikan sebagai lokasi atau identifikasi orang, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi yang bersifat deiksis, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara”.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat ditegaskan bahwa deiksis merupakan suatu gejala pada kata-kata dalam situasi ujar yang diucapkan masyarakat yang acuannya berpindah-pindah sesuai dengan siapa yang berbicara dan tafsirannya tergantung situasi pembicaraan. Feenomena deiksis merupkan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiksis. Kata-kata tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapankan. Sama halnya dengan kalimat “Saya mencintai dia”, informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat ditelusuri dari konteks ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah yang disebut deiksis. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur.

Jenis Deiksis

Suyono (1990:13) “mengemukakan lima jenis deiksis yaitu : (1) deiksis persona atau orang, (2) deiksis ruang atau tempat, (3) deiksis waktu, (4) deiksis wacana, (5) deiksis sosial”. Masing-masing jenis deiksis ini akan dijelaskan sebagai berikut.

  1. Deiksis Persona
    Purwo (1984: 21) mengatakan, bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu. Leksem-leksem ruang dan waktu yang tidak menjadi deiksis bila dikaitkan dengan leksem persona. Deiksis orang memakai istilah kata ganti diri; dinamakan demikian karena fungsinya yang menggantikan diri orang. Bahasa Indonesia hanya mengenal pembagian kata ganti persona menjadi tiga. Diantara ketiga kata ganti persona itu hanya kata ganti persona pertama dan kedua yang menyatakan orang. Kata ganti persona ketiga dapat menyatakan orang maupun benda (termasuk binatang). Referen yang ditunjuk oleh kata ganti persona berganti-ganti tergantung pada peranan yang dibawakan oleh peserta tindak ujaran. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama. Apabila dia tidak berbicara lagi dan kemudian menjadi pendengar maka ia disebut persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam tempat terjadinya pembicaraan atau yang hadir dekat dengan tempat pembicaraan disebut persona ketiga. Contoh pemakaian kata saya dan aku, masing-masing memiliki perbedaan pemakaian. Kata aku hanya dapat dipakai dalam situasi informal. Kata saya dapat dipergunakan dalam situasi formal maupun informal. Jadi kata saya merupakan kata tak bermarkah sedangkan kata aku bermarkah keintiman. Contoh ketiga macam deiksis persona diatas adalah sebagai berikut :

    Said : Tahun baru nanti kamu mau ke mana?
    Andi : Aku mau liburan ke Bali. Kalau kamu?
    Said : Aku juga mau ke Bali!
    Dika : mereka semua pergi. Aku kesepian deh (gumam dika dalam hati)

  2. Deiksis Ruang/Tempat
    Deiksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang dan tempat yang dipandang dari lokasi pemeran dalam peristiwa berbahasa, dalam berbahasa orang membedakan antara di sini, si situ, dan di sana. Hal ini dikarenakan di sini lokasinya dekat dari si pembicara, di situ lokasinya tidak dekat dari si pembicara, sedangkan di sana lokasinya tidak dekat dari si pembicara dan tidak dekat pula dari si pendengar (Agustina, 1995:45). Sehubungan dengan pengertian deiksis tempat (ruang) Djajasudarma (1994:54) mengatakan, “deiksis ruang atau tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi peserta dalam peristiwa bahasa. Deiksis ruang dalam bahasa Indonesia ditampilkan oleh pronominal demonstratif seperti ini, itu, situ, sini, dan sana”.
    Lebih lanjut Maksan (1994:83) menyatakan bahwa “ deiksis ruang/tempat adalah kata-kata yang mempunyai relefan kepada tempat, namun tempat itu juga dapat berubah konteks antara dirinya dan pihak kedua, ketiga berubah pula”. Nababan (1987:41) mendeskripsikan deiksis tempat (ruang) sebagai pemberian bentuk kepada lokasi menutur peserta dalam peristiwa berbahasa. Semua bahasa, termasuk bahasa Indonesia membedakan antara “ yang dekat kepada pembicara “ (di sini) “yang bukan dekat dengan pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar di situ)” yang bukan dekat dengan pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar disitu). Dalam tata bahasa deiksis tempat (lokatif) sering diidentifikasikan dengan istilah keterangan tempat. Contoh pemakaian deiksis tempat(ruang) terlihat dengan kalimat (1), (2), (3) dibawah ini.
    (1) Di sini, perekonomian belum maju seperti di kota Anda.
    (2) Tempat Topik bekerja itu sangat berbahaya, di situ Anda harus berhati-hati.
    (3) Di sana, di tempat peristiwa itu terjadi ada pohon yang sangat besar.

    Pada kalimat diatas terdapat kata ganti tempat di sini, di sana, dan di situ. Frasa di sini pada kalimat (1) merujuk pada suatu kota, frasa di situ pada kalimat (2) merujuk kepada tempat Topik bekerja, sedangkan frasa di sana pada kalimat (3) merujuk kepada tempat peristiwa itu terjadi.
  3. Deiksis Waktu
    Nababan (1987:41) mengatakan bahwa : Deiksis waktu adalah pengungkapan dari waktu sesuatu atau dibuat peristiwa berbahasa. Deiksis waktu atau disebut juga temporal mempunyai cara tersendiri untuk mengalokasikan suatu situasi kedalam adverbal temporal bentuk leksem, menggabungkan beberapa leksem,dan adverbal temporal, misalnya : sekarang, kemarin, lusa, dan sebagainya. Lebih lanjut, Agustina (1995:46) menyatakan bahwa : Deiksis waktu adalah pengungkapan atau pemberian bentuk kepada atau titik jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat, misalnya kata sekarang akan berbeda dengan kemarin, besok lusa, bulan ini, minggu ini, sebentar lagi, nanti atau pada suatu hari. 

    Bentuk deiksis waktu yang peneliti cari adalah leksem yaitu satuan leksikal yang abstrak yang mendasari bebagai bentuk kata dengan gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif atau disebut juga dengan frasa. Berikut sejumlah contoh pemakaian deiksis waktu : 
    (1) silahkan untuk duduk sekarang.
    (2) sekarang harga sembakoo naik.
    (3) kemajuan teknologi sekarang sangat pesat

    Kata sekarang pada kaliamat menunjukan makna yang berbeda. Pada kalimat (1) merujuk kepada waktu pembicara kalimat itu. Kemudian pada kalimat (2) cakupannya lebih luas untuk beberapa hari atau lebih. Sedangkan pada kalimat (3) kata sekarang merujuk pada waktu sekarang, bulan depan atau masa yang lama. Kata pagi, siang dan malam tidak bersifat deikis karna pembeda, masing-masing ditentukan berdasarkan posisi planet bumi dan matahari. Patokan yang dapat dijadikan untuk bentuk-bentuk yan bersifat deiksis adalah si pembicara (Purwo, 1984;71). 
    Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa deiksis waktu merujuk pada titik jarak waktu yang dimaksud oleh penutur saat peristiwa bahasa berlangsung.
  4. Deiksis Wacana
    Agustina, (1995:47) menyatakan bahwa “deiksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau yang sedang dikembangkan deiksis wacana ditunjukkan oleh anafora dan katafora. Sebuah rujukan dikatakan bersifat anafora apabila perujukan atau penggantinya merujuk kepada hal yang sudah disebutkan. Senada dengan hal itu kata-kata atau frasa yang dipakai untuk pengungkapan deiksis wacana antara lain : beginilah, begitulah, inilah, demikianlah, berikut, di situ, (lah), di sini (lah), dia, nya, mereka, dan sebagainya,.

    Pemakaian deiksis wacana terlihat dalam kalimat-kalimat berikut ini:
    / Beginilah sekarang nasib keluarga kami etelah muibah banjir itu.
    / Inilah akibat ulahmu!
    / Demikian hasil wawancara saya hari ini.
    / Untuk lebih jelas simaklah pertanyaan berikut ini!

    Pemakaian deiksis wacana ada yang bersifat anafora dan katafora. Anafora adalah merujuk kepada yang sudah disebutkan, sedangkan katafora adalah merujuk kepada yang sudah disebutkan.
  5. Deiksis Sosial
    Nababan, (1987:42) mengemukakan pendapatnya mengenai deiksis sosial seperti berikut ini. Deiksis sosial adalah pengungkapkan atau menunjukan perbedaan-perbedaan yang ada dalam pemeran dan berbahasa, terutama yang berhubungan dengan aspek budayanya. Adanya deiksis ini menyebabkan kesopanan atau etikat berbahasa. Contohnya suatu masyarakat menganggap kata “mati, meninggal, tewas, mangkat, mampus, gugur, dan wafat” untuk menyebut orang yang sudah meninggal dunia, dalam tata bahasa itu disebut dengan eufiminisme atau pemakaian bahasa halus. Pemakaian bentuk deiksis sosial dapat dilihat pada contoh kalimat dibawah ini :
    / Hewan itu ibaratkan hidup segan mati tak mau.
    / Pamanku sudah meninggal setahun yang lalu.
    / Tuanku imam bonjol wafat saat melawan penjajah.

    Kaitannya dalam kehidupan sehari-hari, yang perlu diperhatikan ialah bagaimana menggunakan semua deiksis ini dengan tepat. Dengan perkataan lain dala suatu perstiwa berbahasa pemakai bahasa dituntut dapat menggunakan deiksis sesuai dengan kadar sosial dan santun berbahasa yang tepat.

Pemakaian Deiksis

Pemakaian makna atau frasa yang bersifat deiksis disesuaikan dengan konteks dalam peristiwa berbahasa atau penutur, petutur, dan orang yang dibicarakan di luar penutur dan petutur. Pateda (1994:56) menyatakan bahwa pemakaian suatu bahasa dutekankan kepada penutur si pemakai bahasa, bukan pada bahasa yang dituturkan.

Makna Deiksis Dan Proses Pemaknaanya

Ency, 1965 (dalam Djajasudarma,1999:4) menyatakan salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari masalah makna semantik.semantik salah satu studi suatu pembeda bahasa dengan hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktifitas bicara”. Lebih lanjut Purwo (1984:38) menyatakan “berdasarkan skala proksimilitas itu terdapat penunjukan yang dekat dan kejauhan entitas/objek yang dibicarakan tergantung dari lokasi pembicara bertutur??. Keraf (1996:35) menyatakan bahwa : Setiap kata mengandung dua aspek yaitu : aspek bentuk dan aspek isi atau makna. Bentuk adalah aspek yang dapat diserap dengan panca indra yaitu yang menimbulkan reaksi pikiran atau pendengar atau pembaca kaena rangsangan pembicara. Melalui penggunaan deiksis ruang, pembicara dapat menunjukan kepada suatu skala proksimilitas(keadaan) terhadap dirinya sendiri pusat deiksis.

Setiap kata atau kontruksi menganung dua aspek, yakni aspek bentuk atau panca indra, yaitu dengan mendengar dan melihat. Sedangkan aspek isi atau makna adalah aspek yang menimbulkan reaksi pikiran atau pembaca karena rangsangan dari bentuk tadi (Kerap:1996:35). Dalam deiksis makna yang dipakai adalah makna tuturan terikat dengan konteks) contoh pemakaian makna tuturan terlihat pada kalimat (M) dan (N) di bawah ini :
(M) Saya mau pergi ke toko buku.
(N) Dia pulang ke rumsah setiap sore.
Pada kalimat (M) kata saya rujukannya tidak jelas, apakah pembicaraan ditunjukan kepada laki-laki, perempuan, seorang guru atau yang lainnya, tergantung siapa yang menuturkan perkataan itu. Pada kalimat (N) kata dia juga rujukannya tidak jelas, mungkin saja rujukannya kepada seorang kakek, laki-laki, perempuan atau yang lainnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditegaskan bahwa makna deiksis merupakan makna suatu kata yang relefannya berpindah-pindah atau tergantung pada siapa yang menuturkan, kapan, dmana tuturan itu diucapkan. Sedangkan proses pemakaian deiksis adalah pemberian atau penafsiran makna pada kata yang acuannya itu memasuki beberapa konteks.