Diperbarui tanggal 3/Des/2021

Cerpen

kategori Bahasa dan Sastra Indonesia / tanggal diterbitkan 3 Desember 2021 / dikunjungi: 1.78rb kali

Pengertian Cerpen

Cerpen adalah cerita pendek, tetapi panjang pendek ukuran fisiknya tidak jadi ukuran mutlak.  Tidak ditentukan cerpen harus sekian halaman atau sekian kata, walaupun cerpen mempunyai kecenderungan untuk berukuran pendek. Tarigan (2008: 170-171) mengatakan bahwa panjang cerita pendek kurang lebih sepuluh ribu kata, tiga puluh halaman folio, dibaca dalam 10-30 menit, mempunyai impresi tunggal, seleksi sangat ketat dan kelanjutan cerita sangat cepat.

Cerita pendek atau disingkat dengan sebutan cerpen merupakan salah satu karya sastra prosa. Tulisan yang pendek daripada 50 halaman adalah cerpen. Cerpen harus dipusatkan pada sebuah peristiwa tunggal dan latar belakang sebuah cerita. Cerita pendek bisa berkisar tentang penyingkapan tentang sebuah kejadian dan tentang seorang tokoh.” Hizair (2013:128) mengemukakan “Cerpen merupakan cerita rekaan yang ditulis secara padat dan tuntas, memuat sekitar 10.000 kata.” Rama (2000:112) mengemukakan “Cerpen adalah cerita, tuturan yang membentangkan bagaimana sesuatu terjadi, peristiwa, hal atau kejadian sebagainya, karangan yang mengisahkan perbuatan dan pengalaman seseorang.” Kemudian Kosasih (2012:34) mengemukakan “Cerpen merupakan cerita yang menurut wujud fiksinya berbentuk pendek”. Namun, pada umunya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Selanjutnya Priyatni (2012:126) mengemukakan “Cerpen merupakan salah satu bentuk karya fiksi.” Cerita pendek memperlihatkan sifat yang serba pendek, baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang digunakan. Kemudian Soebachman (2014:68) mengemukakan “Cerpen merupakan cerita pendek (short story) adalah jenis karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita tentang manusia dan seluk beluknya melalui sebuah tulisan pendek.”

Cerpen memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan karya sastra lainnya seperti roman dan novel. Ciri-ciri tersebut diungkapkan oleh Notosusanto (dalam Tarigan 2002:176), yang menyebutkan bahwa cerpen adalah cerita yang panjangnya sekitar 5000 kata/kira-kira 17 halaman spasi rangkap yang terpusat dan lengkap pada dirinya sendiri. Wiyanto (2005:96) mengemukakan bahwa menulis cerpen harus banyak berkhayal karena cerpen memang karya fiksi yang berbentuk prosa. Peristiwa yang terjadi dalam cerpen hanya direkayasa pengarangnya. Demikian pula para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu. Waktu, tempat, dan suasana terjadinya peristiwa pun hanya direka-reka oleh pengarangnya. Oleh karena itu, cerpen (dan semua cerita fiksi) disebut cerita rekaan.

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa cerpen dapat dibaca dalam sekali duduk. Nugiyantoro (2007: 11) menyatakan dengan bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detail-detail khusus yang ”kurang penting” yang lebih bersifat memperpanjang ceritanya. Menurut Nurgiyantoro (2007: 10) mengungkapkan cerpen memiliki unsur-unsur pembangun seperti tema, tokoh, latar, alur/plot,sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa cerpen adalah cerita yang ringkas yang didalamnya terdapat unsur-unsur pembentuk cerpen.

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas, dapat diketahui bahwa menulis cerpen merupakan proses kreatif yang melahirkan pikiran, perasaan, secara ekspresif dan apresiatif termasuk menulis kembali cerpen dengan kalimat sendiri. Peristiwa, pelaku, waktu, tempat, dan suasana yang terjadi dalam cerpen hanya bersifat rekaan atau khayal.

Unsur-unsur dalam Sebuah Cerpen

  1. Tema
    Tema adalah gagasan inti. Dalam sebuah cerpen, tema bisa disamakan dengan pondasi sebuah bangunan (Sudita, 2008: 31). Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi. Sejalan dengan pendapat Thahar (2008: 45) bahwa tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen; pesan atau amanat. Dasar tolak untuk membentuk rangkaian cerita; dasar tolak untuk bercerita. Tidak mungkin sebuah cerita tidak mempunyai ide pokok, yaitu sesuatu yang hendak disampaikan pengarang kepada para pembacanya. Sesuatu itu biasanya adalah masalah kehidupan, komentar pengarang mengenai kehidupan atau pandangan hidup si pengarang dalam menempuh kehidupan luas ini. Pengarang tidak dituntut menjelaskan temanya secara gamblang dan final, tetapi ia bisa saja hanya menyampaikan sebuah masalah kehidupan dan akhirnya terserah pembaca untuk menyikapi dan menyelesaikannya. Secara tradisional, tema itu bisa di jelaskan dengan kalimat sederhana, seperti: 1)Kejahatan pada akhirnya akan dikalahkan oleh kebaikan. 2) Persahabatan sejati adalah setia dalam suka dan duka. 3) Cinta adalah energi kehidupan, karena itu cinta dapat mengatasi segala kesulitan. Dan lain sebagainya (Suyitno, 2009: 20).
  2. Alur atau Plot
    Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu. Banyak anggapan keliru mengenai plot. Sementara orang menganggap plot adalah jalan cerita, (wiyanto, 2005: 34). Plot adalah suatu permufakatan atau rancangan rahasia guna mencapai tujuan tertentu. Rancangan tentang tujuan itu bukanlah plot, akan tetapi semua aktivitas untuk mencapai yang diinginkan itulah plot. Semua peristiwa yang terjadi di dalam cerita pendek harus berdasarkan hukum sebabakibat, sehingga plot jelas tidak mengacu pada jalan cerita, tetapi menghubungkan semua peristiwa. Sehingga Jakob Sumardjo dalam Seluk-beluk Cerita Pendek menjelaskan tentang plot dengan mengatakan, “Contoh populer menerangkan arti plot adalah begini: Raja mati. Itu disebut jalan cerita. Tetapi raja mati karena sakit hati, adalah plot.”(Suyitno, 2009: 18).

    Cerpen biasanya menggunakan plot ketat artinya bila salah satu kejadian ditiadakan jalan cerita menjadi terganggu dan bisa jadi, tak bisa dipahami. Adapun jenis plot menurut Thahar (2008: 33) bisa disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu:
    1. Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca. Contohnya: cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
    2. Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di telinga pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam, cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen Guy de Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
    3. Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan Mati karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng bisa dimasukkan di sini. Jika kita melihat sifatnya, maka ada cerpen dengan plot terbuka, plot tertutup dan cempuran keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya:
      1. Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita, di samping masalah dasar persoalan.
      2. Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Contoh Godlobnya Danarto.
      3. Campuran keduanya. (Sudita, 2008: 22)
  3. Penokohan
    Rofi’udin, (1999: 151) menyatakan tokoh-tokoh dalam suatu cerita fiksi adalah individu rekaan. Artinya, tokoh-tokoh itu adalah ciptaan pengarangnya. Walaupun tokohtokoh hanya ciptaan pengarang tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil tidaknya sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut. Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan sangat penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek. Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin (watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan dengan berbagai cara menurut Thahar (2008: 14), diantaranya melalui:
    1. Tindakan, ucapan dan pikirannya
    2. Tempat tokoh tersebut berada
    3. Benda-benda di sekitar tokoh
    4. Kesan tokoh lain terhadap dirinya
    5. Deskripsi langsung secara naratif oleh pengarang
  4. Latar atau Setting
    Wiyanto, (2005: 26) mengatakan bahwa latar atau setting segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita. Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar harus bersatu dengan tema dan plot untuk menghasilkan cerita pendek yang gempal, padat, dan berkualitas. Kalau latar bisa dipindahkan ke mana saja, berarti latar tidak integral dengan tema dan plot. Cerpen, Bayi-bayi Tertawa yang mengambil setting khas Palestina, dengan watak, budaya, emosi, kondisi geografi yang sangat khas Palestina tentu akan menjadi lucu jika settingnya dipindah di Ponorogo. Jelas bahwa setting akan sangat menentukan watak dan karakter tokoh.
  5. Sudut Pandangan Tokoh
    Diantara elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek adalah sudah pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut pandangan tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh cerita. Jadi sudut pandang ini sangat erat dengan teknik bercerita. Sudut pandangan ini ada beberapa jenis menurut Thahar (2008: 41) , tetapi yang umum adalah:
    1. Sudut pandangan orang pertama. Lazim disebut point of view orang pertama. Pengarang menggunakan sudut pandang “aku” atau “saya”. Di sini yang harus diperhatikan adalah pengarang harus netral dengan “aku” dan “saya”nya.
    2. Sudut pandang orang ketiga, biasanya pengarang menggunakan tokoh “ia”, atau “dia”. Atau bisa juga dengan menyebut nama tokohnya; “Aisha”, “Fahri”, dan “Nurul” misalnya.
    3. Sudut pandang campuran, di mana pengarang membaurkan antara pendapat pengarang dan tokoh-tokohnya. Seluruh kejadian dan aktivitas tokoh diberi komentar dan tafsiran, sehingga pembaca mendapat gambaran mengenai tokoh dan kejadian yang diceritakan. Dalam “Sekelumit Nyanyian Sunda” Nasjah Djamin sangat baik menggunakan teknik ini.
    4. Sudut pandangan yang berkuasa. Merupakan teknik yang menggunakan kekuasaan si pengarang untuk menceritakan sesuatu sebagai pencipta. Sudut pandangan yang berkuasa ini membuat cerita sangat informatif. Sudut pandanga ini lebih cocok untuk cerita-cerita bertendens. Para pujangga Balai Pustaka banyak yang menggunakan teknik ini. Jika tidak hati-hati dan piawai sudut pandangan berkuasa akan menjadikan cerpen terasa menggurui.
  6. Gaya Bahasa
    Seorang pengarang bukan hanya sekadar bermaksud memberi tahu pembaca mengenai apa yang dilakukan dan dialami oleh tokoh ceritanya, melainkan bermaksud pula mengajak pembacanya ikut serta merasakan apa yang dilakukan oleh tokoh cerita (Sudita, 2008: 33). Itulah sebabnya pengarang senantiasa akan memilih kata dan menyusunnya sedemikian rupa sehingga menghasilkan kalimat yang mampu mewadahi apa yang dipikirkan dan dirasakan tokoh ceritanya tersebut. Demi tercapainya maksud tersebut tidak jarang pengarang menempuh cara-cara yang lain dari apa yang biasa kita temui dalam bahasa seharihari. Gaya bahasa adalah cara khas penyusunan dan penyampaian dalam bentuk tulisan dan lisan. Ruang lingkup dalam tulisan meliputi penggunaan kalimat, pemilihan diksi, penggunaan majas, dan penghematan kata. Jadi, gaya merupakan seni pengungkapan seorang pengarang terhadap karyanya. Menurut Suyitno (2009:42) gaya (gaya bahasa) merupakan cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang. Gaya meliputi penggunaan diksi (pilihan kata), imajeri (citraan), dan sintaksis (pilihan pola kalimat). Setiap pengarang mempunyai gaya bahasa yang berbeda-beda dalam mengungkapkan hasil karyanya. Gaya bahasa meliputi pemilihan katakata, penggunaan kalimat, penggunaan dialog dan cara memandang persoalan.
  7. Amanat
    Amanat (pesan) ialah sesuatu yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain (Suyitno, 2009: 29). Penyampaian amanat (pesan) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara lisan dan cara tulisan. Cara pertama, penyampai amanat langsung berhadapan dengan penerima sebagai lawan bicara atau pendengar, sedangkan cara kedua, penyampaian amanat tidak berhadapan langsung dengan penerima, tetapi menggunkan perantara/alat bantu ; dapat berupa cerita, buku (fiksi dan nonfiksi).

Ciri-ciri Cerpen yang Baik

Adapun ciri-ciri cerpen yang baik sebagai berikut.

  1. Mempunyai kesatuan yang utuh.
  2. Bentuk tulisannya singkat, padat, dan lebih pendek daripada novel.
  3. Bahasa yang digunakan mudah dipahami.
  4. Terdiri kuang dari 10.000 kata.
  5. Sumber cerita dari kehidupan sehari-hari, baik pengalaman sendiri maupun orang lain.
  6. Tidak melukiskan seluruh kehidupan pelakunya karena mengangkat masalah tunggal atau sarinya saja.
  7. Habis dibaca sekali duduk dan hanya mengisahkan sesuatu yang berarti bagi pelakunya saja.
  8. Tokoh-tokohnya dilukiskan mengalami konflik sampai paa penyelesaiannya.
  9. Mencritakan satu kejadian, dari terjadinya perkembangan jiwa dan krisis, tetapi tidak sampai menimbulkan perubahan nasib.
  10. Beralur tunggal dan lurus.
  11. Penokohannya sangat sederhana, singkat, dan tidak mendalam.

Deskriptor dalam Menulis Cerpen

Deskriptor menulis cerita pendek menurut Thahar, (2008: 35) sebagai berikut:

  1. Pemilihan dan pengemas tema
    Tema yang diangkat merupakan masalah makna kehidupan, bersifat universal, tema yang diangkat mampu membangkitkan reaksi emosi bagi pembaca, dan mampu menyampaikan temanya secara tidak langsung atau pulgar.
  2. Penggunaan alur atau plot
    Alur yang digunakan konsisten, alurnya masuk akal, sangat memberikan kejutan, dan adanya keutuhan dari keseluruhan cerita yang dibangun
  3. Penggambaran tokoh dan penokohan
    Jika tokoh dan penokohan mengandung unsur kewajaran, mengandung aspek imajinasi, serta mampu menggambarkan watak tokoh secara komplek dan disampaikan secara dramatik
  4. Mendekripsikan latar (seting)
    Jika latarnya membuat cerita lebih logis, dapat menggerakan perasaan atau emosi pembaca, mampu menceriakan mood atau perasaan pembaca, dan mampu menggunakan latar sebagai tempat untuk mengungkapkan nilai-nilai
  5. Penggunaan sudut pandang
    Sudut pandang yang dipilih mampu melebur atau menggabungkan tema dengan fakta cerita, mampu menyeleksi kejadian-kejadian yang disajikan, mampu mengarahkan pembaca dan mengikuti cerita yang disajikan, dan mampu menyadarkan pembaca tentang siapa yang sedang dipaparkan.
  6. Penggunaan gaya bahasa
    Mampu memilih kata dan penggunaan kalimat yang baik, mampu menyuguhkan dialog yang indah, terampil menggambarkan detail dan mampu memandang persoalan
    secara bijak dan logis.
  7. Kemampuan mengemas amanat
    Mampu menyimpan amanat dalam keseluruhan isi cerpen, amanat yang disampaikan mengandung ajaran moral didaktis.