Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Menurut Suyono (2014), bahwa teori kostruktivisme melandasi pemikiran bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang pemberian dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Asumsi-asumsi dasar dari kontruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Merril dalam Suyono (2014) adalah sebagai berikut:
- Pengetahuan dikontruksikan melalui pengalaman
- Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata
- Belajar adalah sebuah proses aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman
- Pertumbuhan konseptual berasal dari negosiasi makna, saling berbagi tentang perspektif ganda dan pengubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif
- Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian autentik).
Teori-Teori Belajar Konstruksivisme
Dalam sebuah teori belajar konstruktivisme terdapat beberapa tokoh yang mempunyai pemikiran yang berbeda-beda yaitu sebagai berikut:
A. Teori Konstruktivisme Piaget
Piaget menyatakan bahwa struktur kognitif anak meningkat sesuai sengan perkembangan usianya. Bergerak dari sekedar reflek-reflek awal menuju aktivitas mental yang kompleks. Dasarnya tentu saja teori perkembangan kognitif, sehingga beberapa konsep pokok seperti skema, asimilasi, akomodasi tetap relevan karena memang teori konstruktivisme piaget memiliki kesinambungan hubungan dengan teori konstruktivisme.
Menurut teori konstruktivisme pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari pikiran guru kepada pikiran peserta didik. Artinya peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Sehubungan dengan itu terdapat tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme yaitu, peran aktif peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna, pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna dan mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang terdiri dari empat tahap utama:
Sensorimotor (0-2 tahun)
- Anak belajar melalui pengalaman langsung dengan lingkungan menggunakan indra dan tindakan fisik.
- Konsep "permanensi objek" berkembang pada tahap ini, di mana anak mulai memahami bahwa benda tetap ada meskipun tidak terlihat.
Praoperasional (2-7 tahun)
- Anak mulai menggunakan simbol seperti kata dan gambar untuk merepresentasikan objek.
- Berpikir masih egosentris, artinya anak sulit memahami perspektif orang lain.
Operasional Konkret (7-11 tahun)
- Anak mulai berpikir lebih logis tentang kejadian nyata dan memahami konsep konservasi (misalnya, volume air tetap sama meskipun wadahnya berbeda).
- Pemikiran masih konkret dan belum bisa menangani ide-ide abstrak secara mendalam.
Operasional Formal (11 tahun ke atas)
- Anak mulai berpikir secara abstrak dan mampu memecahkan masalah secara sistematis.
- Mampu berpikir tentang konsep hipotetis dan membuat prediksi logis.
Piaget berpendapat bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi:
- Asimilasi → Menyesuaikan informasi baru dengan skema yang sudah ada.
- Akomodasi → Mengubah skema yang ada untuk menyesuaikan informasi baru.
- Ekuilibrasi → Proses keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi untuk mencapai pemahaman yang stabil
Penelitian yang Mendasari Teori Piaget
Piaget mengembangkan teorinya berdasarkan observasi ekstensif terhadap anak-anak, termasuk tiga anaknya sendiri. Beberapa eksperimen penting yang mendukung teorinya antara lain:
Eksperimen Permanensi Objek (Tahap Sensorimotor)
- Piaget melakukan eksperimen dengan menyembunyikan mainan dari bayi dan mengamati apakah mereka mencarinya.
- Ia menemukan bahwa bayi di bawah usia 8 bulan sering kali tidak mencari mainan yang tersembunyi, yang menunjukkan bahwa mereka belum memahami permanensi objek.
Eksperimen Konservasi (Tahap Operasional Konkret)
- Piaget menuangkan air dari satu gelas pendek dan lebar ke gelas tinggi dan sempit, lalu bertanya kepada anak-anak apakah jumlah airnya tetap sama.
- Anak-anak dalam tahap praoperasional sering mengira bahwa gelas yang lebih tinggi memiliki lebih banyak air, menunjukkan bahwa mereka belum memahami konsep konservasi.
Eksperimen Egonsentrisme (Tahap Praoperasional)
- Dalam "Three Mountains Task", Piaget meminta anak-anak untuk menggambarkan apa yang bisa dilihat dari perspektif boneka yang ditempatkan di sisi lain meja.
- Anak-anak yang lebih muda sering kali menggambarkan pemandangan dari perspektif mereka sendiri, bukan boneka, menunjukkan pemikiran yang masih egosentris.
Implikasi Teori Konstruktivisme Piaget dalam Pendidikan
- Pembelajaran Berbasis Pengalaman – Anak-anak harus diberi kesempatan untuk mengeksplorasi dan belajar melalui pengalaman langsung, bukan hanya menghafal.
- Pendekatan Berbasis Tahap Perkembangan – Guru harus menyesuaikan metode pengajaran sesuai dengan tahap perkembangan kognitif siswa.
- Pembelajaran Kolaboratif – Interaksi sosial dengan teman sebaya membantu dalam pengembangan pemikiran logis dan pemecahan masalah.
- Problem-Based Learning – Memberikan tantangan yang sesuai untuk mendorong anak mengembangkan pemikiran kritis dan kemampuan pemecahan masalah.
B. Teori Konstruktivisme Sosial menurut Vygotsky
Teori konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Lev Vygotsky menekankan bahwa kebudayaan memainkan peran sentral dalam perkembangan individu. Menurut pandangan ini, manusia adalah makhluk unik karena mampu menciptakan dan berkembang melalui kebudayaan hasil rekayasa sendiri. Kebudayaan inilah yang secara langsung maupun tidak langsung membentuk perkembangan kognitif, sosial, dan emosional setiap individu.
Dalam teori ini, Vygotsky menjelaskan bahwa interaksi sosial merupakan faktor utama dalam pengembangan kognitif anak. Anak-anak tidak hanya menyerap pengetahuan secara pasif, melainkan secara aktif membangun pemahaman melalui interaksi dengan lingkungan sosial mereka. Oleh karena itu, lingkungan sosial seperti keluarga, teman sebaya, dan masyarakat sangat penting dalam proses belajar seorang anak.
Salah satu konsep utama dalam teori Vygotsky adalah Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Development, ZD). Zona ini adalah jarak antara kemampuan anak saat ini dan potensi kemampuannya dengan bantuan atau dukungan orang lain yang lebih kompeten. Di dalam zona ini, anak dapat mencapai kemajuan maksimal dalam pembelajaran jika diberikan dukungan yang tepat dari guru, orang tua, atau teman sebaya. Dalam konstruktivisme sosial, peserta didik dipandang sebagai individu aktif yang unik, dengan kemampuan mengelola proses belajar mereka sendiri (self-regulated learner). Mereka bukan hanya menerima informasi, tetapi juga bertanggung jawab secara aktif atas proses pembelajaran mereka. Dengan begitu, motivasi intrinsik siswa menjadi sangat penting untuk keberhasilan pembelajaran.
Peran guru dalam pendekatan konstruktivisme sosial berubah dari seorang pemberi pengetahuan menjadi fasilitator. Guru berperan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif, mendorong siswa untuk mengeksplorasi ide mereka sendiri, dan membantu siswa mencapai potensi terbaiknya melalui dukungan yang sesuai dengan ZD mereka. Interaksi dinamis antara tugas-tugas pembelajaran, instruktur, dan siswa menjadi aspek penting dalam teori ini. Interaksi yang efektif ini memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuan baru melalui dialog dan kolaborasi. Pembelajaran menjadi proses aktif yang melibatkan diskusi, kerja sama tim, dan pemecahan masalah bersama.
Kolaborasi antar siswa merupakan elemen penting dalam teori konstruktivisme sosial. Melalui kolaborasi ini, siswa dapat bertukar gagasan, saling mendukung dalam pembelajaran, dan belajar dari pengalaman satu sama lain. Interaksi sosial yang aktif ini menciptakan suasana belajar yang kaya akan perspektif, yang membantu pengembangan pemahaman yang lebih dalam dan bermakna. Pemahaman bahwa siswa bertanggung jawab terhadap pembelajaran mereka sendiri juga menegaskan bahwa siswa harus menjadi pembelajar mandiri atau pembelajar yang mampu mengelola dirinya sendiri. Siswa harus aktif menentukan tujuan belajar mereka, merancang strategi belajar, dan mengevaluasi kemajuan mereka sendiri.
Motivasi intrinsik dalam pembelajaran konstruktivisme sosial diperkuat oleh pengalaman belajar yang relevan dengan kehidupan nyata siswa. Pembelajaran menjadi lebih bermakna ketika siswa melihat relevansi langsung dari materi yang dipelajari terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari. Interaksi dinamis antara tugas, guru, dan siswa menciptakan situasi pembelajaran yang kaya dan fleksibel. Guru dapat menggunakan berbagai strategi pengajaran yang adaptif, menyesuaikan pendekatan mereka dengan kebutuhan spesifik siswa dalam zona perkembangan masing-masing.
Tanggung jawab pembelajaran dalam teori konstruktivisme sosial tidak hanya terletak pada guru tetapi juga pada siswa itu sendiri. Siswa dituntut untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran, sehingga mereka dapat merasakan keberhasilan dan mengembangkan keterampilan belajar mandiri yang esensial. Secara keseluruhan, teori konstruktivisme sosial menurut Vygotsky memberikan dasar filosofis yang kuat bagi pembelajaran yang inklusif, kolaboratif, dan relevan. Implementasi teori ini di kelas akan membantu menciptakan generasi pembelajar yang kritis, kreatif, mandiri, dan mampu bekerja sama dengan baik dalam kehidupan nyata.