Pengertian Teori Agensi (Agency Theory)
Jensen & Meckling (1976) menjelaskan bahwa teori agensi adalah teori yang menjelaskan adanya hubungan keagenan antara manajemen (agent) dengan pemilik perusahaan (principal), dimana wewenang dan tanggung jawab agent maupun principal telah diatur dalam kontrak kerja bersama untuk pengambilan keputusan atas nama principal. Agen yang disebut sebagai pembuat keputusan mempunyai kontrak untuk melaksanakan tanggung jawab tertentu dan memberikan laporannya kepada pihak prinsipal, sedangkan prinsipal yang disebut sebagai penilai informasi mempunyai kontrak untuk memberikan upah kepada agen.
Pengertian agency theory menurut Scott (2015) merupakan suatu teori yang dikembangkan untuk mempelajari konflik dari suatu desain kontrak yang disebabkan oleh pertentangan keinginan/tujuan para agen yang melaksanakan tugasnya atas nama prinsipal. Scott (2015) menjelaskan bahwa masalah/konflik keagenan terjadi karena terdapat asimetri informasi dari pihak manajemen dan para pemegang saham, yaitu saat informasi yang tidak dimiliki oleh pihak lainnya hanya dimiliki oleh salah satu pihak.
Teori agensi mengasumsikan bahwa agen memiliki lebih banyak informasi mengenai kondisi perusahaannya daripada prinsipal. Hal ini dikarenakan prinsipal tidak dapat mengamati kegiatan yang dilakukan agen secara terus-menerus dan berkala. Agen berkewajiban untuk memberikan informasi kepada prinsipal. Teori agensi memiliki asumsi bahwa setiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Hal tersebut terjadi karena adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan (Jensen & Meckling, 1976).
Masalah keagenan potensial terjadi apabila proporsi kepemilikan atas saham perusahaan kurang dari seratus persen sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingannya sendiri dan bukan memaksimalkan nilai perusahaan dalam mengambil keputusan pendanaan (Jensen & Meckling, 1976). Masalah keagenan juga terjadi antara pemegang saham (melalui manajer) dengan kreditur. Kreditur memiliki klaim atas sebagian dari arus kas perusahaan untuk pembayaran bunga dan pokok utang serta klaim atas aset perusahaan saat perusahaan mengalami kebangkrutan. Pada saat perusahaan mengalami kebangkrutan hanya terdapat dua pilihan keputusan untuk mengatasi kondisi tersebut, yaitu melikuidasi perusahaan dengan menjual seluruh aset atau melakukan reorganisasi. Manajemen khususnya manajer cenderung memilih untuk melakukan reorganisasi dengan tujuan mempertahankan keberadaan perusahaan dan pekerjaannya sedangkan pada umumnya kreditur lebih menghendaki likuidasi perusahaan sehingga mendapatkan dananya dengan cepat.
Pemegang saham pada saat yang bersamaan kemungkinan mencoba mencari pengganti manajer lama yang mau dibayar lebih rendah meskipun proses tersebut membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, masalah keagenan (agency problem) didefinisikan sebagai masalah yang timbul akibat tindakan manajer yang lebih mengutamakan pemenuhan tujuan pribadinya dibandingkan dengan tujuan perusahaan (Gitman, 2009). Adapun masalah agensi ini dapat diminimalisasi dengan 2 (dua) cara menurut Gitman (2009) yaitu market forces dan agency cost. Market forces merupakan pemegang saham yang memiliki saham mayoritas seperti investor institusional. Investor yang demikian mempunyai hak suara mayoritas dan dapat memberi tekanan kepada manajer untuk bekerja dengan lebih baik atau mengganti manajemen yang dianggap tidak dapat memenuhi kesejahteraan pemegang saham.
Agency cost merupakan biaya yang akan dikeluarkan untuk mengurangi agency problem sekaligus untuk pemenuhan kesejahteraan bagi para pemegang saham. Jensen & Meckling (1976) membagi biaya keagenan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu monitoring cost, bonding cost dan residual cost. Monitoring Cost adalah biaya pengawasan yang harus dikeluarkan oleh pemilik. Prinsipal dapat membatasi divergensi dari kepentingannya dengan menetapkan insentif yang layak dan dengan mengeluarkan biaya monitoring yang dirancang untuk membatasi aktivitas-aktivitas yang menyimpang yang dilakukan agen.
Bonding cost adalah biaya yang harus dikeluarkan akibat monitoring yang harus dikeluarkan pemilik kepada agen. Dalam situasi tertentu, agen dapat membelanjakan sumber daya perusahaan (bonding cost) untuk menjamin bahwa agen tidak akan bertindak yang dapat merugikan prinsipal atau untuk menyakinkan bahwa prinsipal akan memberikan kompensasi jika dia benar-benar melakukan tindakan tersebut. Sedangkan, residual cost didefinisikan sebagai pengorbanan akibat berkurangnya kemakmuran pemilik karena perbedaan keputusan antara prinsipal dan agen seperti nilai uang yang ekuivalen dengan pengurangan kesejahteraan yang dialami oleh prinsipal. GCG merupakan suatu konsep yang diajukan untuk mengatasi masalah keagenan, GCG berfungsi untuk menumbuhkan kepercayaan investor terhadap perusahaan. Oleh sebab itu, selain memiliki kinerja keuangan yang baik perusahaan juga diharapkan memiliki kualitas penerapan tata kelola (Corporate Governance) yang baik. Dengan demikian, manajemen akan mendapatkan penilaian positif dari para stakeholder selaku principal (Sari dkk, 2013).