Semut

Penulis: Tim Editor | Kategori: Flora dan Fauna | Tanggal Terbit: | Dilihat: 7875 kali

Taksonomi Semut

Ordo Hymenoptera dibagi menjadi dua subordo yaitu: Symphyta dan Apocrita (Borror dkk. 1996:629). Semut tergolong dalam Famili Formicidae. Adapun salah satu klasifikasi dari semut sebagai berikut (Shattucks, 1999:9):
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Famili : Formicidae
Subfamili : Myrmicinae
Genus : Pheidole
Jenis : Pheidole heliosa

Semut

Morfologi Semut

Ukuran tubuh semut berkisar antara ±2 mm – 18 mm (Jasin, 1992:236). Seperti serangga yang lain bagian tubuhnya terbagi menjadi tiga yaitu kepala, dada, dan perut (Rice, 2013:4). Menurut Alonso dan Agosti (2000:70) salah satu ciri mencolok yang memebedakan famili Formicidae dengan famili lainnya adalah ditemukannya nodiform (bentuk menyerupai sisik) pada somit abdominal. Kedua, struktur yang dikenal juga dengan petiola ini dipisahkan oleh sejumlah pembatas dari somit setelahnya (postpetiola). Ciri-ciri yang digunakan untuk mengidentifikasi spesies Formicidae menurut Wheeler (1910:13) dan Hashimoto dan rahman (2006) adalah integumen, kepala, dada, perut, dan kaki.

Semut

Keterangan:
a. Kepala
b. Dada
c. Perut
d. Kaki

Kepala Semut

Bentuk kepala semut bervariasi (bulat, elips, persegi panjang, dan segitiga) (Wheeler, 1910:16). Pada kepala terdapat sepasang antena, sepasang mata, dan mulut (Shattucks, 1999:12). Menurut Hashimoto dan Rahman (2006:140) antena semut terdiri dari tiga bagian, yaitu: scape, pedicel dan funiculus.

Kepala Semut

Keterangan:
a. Mata
b. Antena
c. Mulut
d. Scape
e. Pedicel
f. Funiculus

Tergantung spesiesnya, rahang semut bisa berbentuk segitiga, segitiga yang melekuk, segitiga atau lurus, sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan dan jenis makanannya (Wheeler, 1910:16). Rahang semut berfungsi seperti tangan karena memanipulasi semua objek seperti membangun sarang, memindahkan telur dan larva, mengumpulkan biji, makan, dan mempertahankan diri (Armstrong, 2014:3)

Tipe-tipe rahang semut (Armstrong, 2014:3)

Keterangan:
a. segitiga panjang contohnya Messor andrei
b. segitiga contohnya Myrmecocystus
c. sangat melekuk contohnya Leptogenys falcigera
d. lurus memanjang contohnya Odontomachus coquereli

Dada Semut

Dada adalah bagian tubuh semut yang paling banyak melakukan gerakan. Dada juga merupakan bagian tubuh yang terdapat banyak otot dan menjadi tempat menempelnya kaki. Setiap semut memiliki 3 pasang kaki yang melekat erat pada dada. Ketika ratu dan semut pejantan masih memiliki sayap, maka bagian atas dada juga berfungsi sebagai tempat melekatnya sayap (Rice, 2013:4). Menurut Wheeler (1910:20) menyatakan bahwa dada semut terdiri dari empat segmen yaitu prothoraks, mesothoraks, metathoraks, dan epinotum.

Perut Semut

Secara struktual perut semut terdiri dari tujuh ruas. Ruas pertama dan kedua disebut propodeum dan petiole. Ruas ketiga sampai ketujuh disebut gaster (Hashimoto dan Rahman, 2006:138). Umumnya identifikasi semut dilakukan dengan mengamati petiole sebagai acuan utama. Menurut Rice (2013:5) hal ini dilakukan karena pada beberapa spesies semut hanya memiliki satu gundukan petiole sedangkan yang lain memiliki dua gundukan.


Struktur perut semut (Macgown, 2016:1)

Keterangan:
a. Propodeum
b. Petiole
c. Gaster

Kaki

Menurut Shattucks (1999:14) kaki semut tersusun atas lima segmen yaitu coxa, trochanter, femur, tibia, dan tarsus. Segmen yang terdekat dengan tubuh disebut coxa, diikuti dengan yang paling pendek yaitu trochanter. Kemudian yang paling panjang adalah femur dan tibia. Adapun bagian kaki yang paling terakhir adalah tarsus. Sudut terbaik untuk melihat struktur kaki semut dapat dilihat dengan cara memperpanjang bagian kaki.


Struktur kaki semut (Macgown, 2016:1)

Keterangan:
a. Coxa
b. Trochan
c. Femur
d. Tarsus
e. Tibia

Integumen

Integumen merupakan lapisan terluar dari semut. Menurut Wheeler (1910:15) integumen pada semut dapat dikelompokkan berdasarkan warna, bentuk, dan keadaan rambut. Bentuk rambut pada tubuh semut seperti meruncing, lurus, bengkok, dan tumpul. Bentuk permukaan tubuh semut ada yang tidak berambut dan sangat cerah, belang, buram, seperti jaring, dan berkerut. Selain itu, keadaan rambut pada semut ada yang terdapat di seluruh tubuh semut (pilosity) dan rambut yang hanya terdapat pada bagian gaster (pubescence).

Semut Sebagai Bioindikator

Semut dapat dijadikan sebagai bioindikator tanah lahan gambut. Berdasarkan hasil penelitian Maftu’ah dkk. (2005:12) semut memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bioindikator kualitas tanah lahan gambut. Semut hidup pada tanah yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Menurut Lisnawati dkk. (2014:176) semut dapat dijadikan bioindikator kelembapan tanah lahan gambut. Semut sangat suka tinggal pada lingkungan yang kering dan tidak terlalu lembab. Menurut Latumahina dkk. (2015:175) semut juga dapat dijadikan bioindikator keadaan lingkungannya. Beberapa jenis semut dapat ditemukan pada daerah yang rentan dengan gangguan. Sedangkan beberapa jenis lainnya hanya ditemukan pada daerah yang jarang terjadi gangguan.

Alonso dan Agosti (2000:2) menyatakan bahwa pengetahuan tentang keanekaragaman jenis semut di suatu area dapat menjadi informasi yang berguna untuk menunjang rencana konservasi. Keberadaan jenis semut di suatu wilayah akan menyediakan data persebaran dan akan mendokumentasikan adanya jenis langka, terancam punah atau yang memiliki peranan penting secara ekologis, seperti jenis introduksi atau jenis yang hanya ditemukan pada beberapa tipe habitat. Jumlah dan komposisi semut di suatu area dapat mengindikasikan tingkat kesehatan lingkungan dan menyediakan data mengenai kehadiran organisme lain mengingat kebanyakan jenis semut memiliki interaksi yang erat dengan tumbuhan dan hewan lainnya.

Data kekayaan jenis dan komposisi semut menyediakan pondasi yang dibutuhkan untuk memonitor perubahan atau pemulihan lingkungan. Walaupun banyak jenis semut mampu hidup dan membangun sarang dalam ruang lingkup yang luas, tetapi kebanyakan dari mereka memiliki kebutuhan khusus sehingga dapat digunakan sebagai indikator dari perubahan habitat atau suksesnya restorasi (Alonso dan Agosti, 2000:2).

Ekologi Semut

Komunitas semut berubah secara signifikan apabila kondisi ekosistem berubah. Penelitian komunitas semut dapat membantu menentukan strategi atau sebagai evaluasi pemulihan ekosistem yang sebelumnya terganggu. Selain itu, semut juga berperan sangat penting dalam menentukan prioritas konservasi yang digunakan secara berkelanjutan (Shattucks, 1999:9). Semut adalah salah satu hewan yang dapat ditemukan di berbagai tipe habitat mulai dari Arktik hingga ke Ekuator. Folgarait (1998:1222) mempertegas pernyataan ini dengan mendata wilayah-wilayah geografis yang memiliki sejumlah besar genus, antara lain Indoaustralia, Neotropika, Oriental, Australia, Afrika, Palearktik, Nearktik, dan Malesia. Wilayah Neotropika dan Afrika memiliki genus endemik dengan jumlah paling banyak sementara Nearktik dan Oriental adalah yang paling sedikit.

Folgarait (1998:1229) menambahkan bahwa semut dapat dikategorikan sebagai insinyur ekosistem. Konstruksi sarang semut mampu mengubah kondisi tanah secara fisik maupun kimiawi. Keberadaan sarang semut mampu meningkatkan drainase dan aerasi tanah berkat formasi bawah tanah yang dibentuknya serta perubahan zat organik dan nutrisi dari penyimpanan makanan, pembiakan kutu daun (Aphid) dan akumulasi feses dan bangkai yang terdapat dalam sarang. Selain itu, walaupun semut yang hidup di tanah memiliki tingkat tropik yang berbeda-beda tetapi pada dasarnya mereka memberikan pengaruh terhadap struktur tanah. Proses ini secara tidak langsung mempengaruhi aliran energi dan materi dalam ekosistem.

Faktor- faktor yang mempengaruhi keanekaragaman semut

  1. Struktur vegetasi
    Berdasarkan hasil penelitian Haneda dan Yuniar (2015:206) keberadaan Formicidae sangat dipengaruhi oleh strata vegetasi. Formicidae lebih banyak ditemukan pada jungle rubber (hutan karet) dan secondary forest (hutan sekunder). Sedangkan pada plantation rubber (kebun karet) dan oil palm plantation (kebun kelapa sawit) lebih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh struktur vegetasi jungle rubber dan secondary forest lebih rapat dari pada plantation rubber dan oil palm plantation.
  2. Suhu
    Semut merupakan salah satu serangga yang sukses menginvasi penjuru bumi karena mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkunganya. Namun, semut tidak mampu mentoleransi cuaca yang sangat dingin sehingga tidak ada semut yang dijumpai di Greenland, Islandia, dan Antartika. Semut mampu bertahan hidup di wilayah yang begitu panas seperti gurun-gurun di Afrika. Misalnya Cataglyphis bicolor, mampu bertahan hidup di daerah bersuhu mendekati 55oC (Keller & Gordon, 2009:10). Menurut Latumahina, dkk. (2015:173) perkembangan dan penyebaran semut dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang sesuai untuk perkembangan dan penyebaran semut adalah sekitar 27oC.
  3. Topografi
    Keller & Gordon (2009:10) telah menjelaskan bahwa semut dapat hidup di semua tempat kecuali di wilayah dengan cuaca dingin yang ekstrim.. Hal inilah yang menyebabkan semut tidak dapat hidup di hutan-hutan belahan bumi Utara yang berada pada ketinggian di atas 2.500 meter dan tebing-tebing yang curam di pegunungan daerah tropis. Latumahina dkk. (2015:173) menjelaskan bahwa ketinggian 250-500 mdpl. adalah daerah yang sangat cocok untuk semut dalam melakukan berbagai aktivitas. Hal tersebut terlihat dari kekayaan, kelimpahan, dan keragaman semut pada daerah yang memilki ketinggian 250-500 mdpl. Pada dataran tinggi terjadi penurunan keragaman semut karena perubahan peran dalam ekosistem oleh Arthropoda lain. Wang dkk. (2001:846) menambahkan bahwa pada lokasi dengan elevasi lebih tinggi dan tanah yang lebih lembab ditemukan lebih sedikit individu semut dengan keanekaragaman jenis yang lebih rendah.
  4. Alih Fungsi Lahan
    Secara umum, Latumahina dkk. (2015:173) menyimpulkan bahwa keanekaragaman semut dipengaruhi oleh penggunaan lahan (areal pertanian, penggembalaan ternak, dan pemukiman), penggunaan insektisida, arsitektur tanaman dan perubahan kondisi habitat. Folgarait (1998:1228) menyatakan bahwa semut memiliki resistensi yang lebih baik terhadap polutan dibandingkan dengan invertebrata yang lain, terutama terhadap radioaktif dan limbah industri. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan hal ini terjadi, kemungkinan semut terpapar polutan, mengingat hanya 10% semut yang berada di luar sarang sehingga hanya sebagian kecil dari koloni yang terpapar langsung dengan polutan. Namun, semut memiliki kemampuan dalam mengubah pola aktivitas ketika terpapar polutan, sehingga semut jauh lebih aman. Akan tetapi kepadatan koloni semut dan ukurannya tetap dapat berkurang seiring dengan meningkatnya polusi.

    Semut sangat rentan terhadap perubahan ekosistem. Berubahnya struktur vegetasi sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman semut. Menurut Yulmiarti dkk. (2012:24) terdapat perbedaaan komposisi jenis pada lahan gambut alami dan lahan gambut yang telah diubah menjadi perkebunan sawit. Hal ini disebabkan oleh perubahan struktur vegetasi terdapat perbedaan yang signifikan pada jumlah individu yang didapatkan pada saat penelitian. Pada lahan gambut alami tertangkap 316 individu sedangkan pada lahan gambut yang telah menjadi perkebunan kelapa sawit tertangkap 237 individu.

    Menurut Rasyid (2014:53) kebakaran hutan di Indonesia pada saat sekarang ini sudah sangat sering terjadi. Kebakaran hutan menimbulkan dampak negatif yang cukup besar berupa kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya dapat menggangu kesehatan masyarakat serta transportasi umum baik darat, laut maupun udara. Gangguan berupa kebakaran juga seringkali menyebabkan keanekaragaman jenis semut meningkat setelahnya. Menurut Forgarait (1998:1229) kebakaran menghancurkan dominansi tumbuhan akasia sehingga memberi kesempatan bagi tumbuhan yang lain untuk tumbuh dan berkembang. Sejalan dengan hal itu, keanekaragaman jenis semut juga ikut meningkat.
    Setelah terjadi gangguan berupa kebakaran, terjadi peningkatan jumlah individu dari jenis semut oppurtunist. Menurut Latumahina, dkk. (2015:175) semut jenis ini tidak mampu berkompetisi dengan semut dari jenis lainnya sehingga semut jenis ini mengambil keuntungan dari gangguan berupa kebakaran. Semut kelompok oppurtunist lebih suka tinggal pada daerah yang memiliki tingkat gangguan yang tinggi. Sedangkan jenis semut lainnya akan menjauhi daerah tersebut. Salah satu contoh jenis semut oppurtunist adalah Cardiocondyla nuda.

    Kebakaran dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis semut. Hal yang dapat mempengaruhi keanekaragaman semut adalah suhu. Pada areal kebakaran suhu mengalami peningkatan sehingga terjadi interaksi kompetitif antar komunitas semut untuk mengubah pola hidup yang sudah ada menjadi suatu kesempatan untuk menjadi kelompok yang berpengaruh dalam ekosistem (Forgarait, 1998:1229).