Seloko

Penulis: Tim Editor | Kategori: Sastra Daerah | Tanggal Terbit: | Dilihat: 1988 kali

Seloko termasuk salah satu sastra lisan. Seloko adat Jambi diungkapkan melalui beberapa jenis atau genre kesastraan tradisional yang utama, yaitu puisi rakyat (pantun, gurindam, seloka) petatah-petitih, dan peribahasa. Seloko adat Jambi merupakan karya seni dan bentuk sastra bernilai tinggi yang melambangkan nilai, pandangan hidup, adat, budi, kesadaran moral, dan visi bangsa dan masyarakat melalui budaya dan filsafat hidup masyarakat. Karim (2005:37) berpendapat bahwa “Melayu Jambi memiliki khasanah sastra yang banyak.Hal ini terbukti dari beragam bentuk dan berbagai jenis sastra tradisionalnya”. Salah satu dari bentuk sastra tersebut adalah puisi tradisional. Bentuk puisi tradisional Melayu Jambi antara lain terdiri dari: ungkapan rakyat, sajak rakyat, mantra, dan teka-teki. Ungkapan rakyat Jambi dapat berupa, antara lain: petatah, petitih, seloko, kata adat atau kata undang, kata kias, dan lain-lain.

Puisi tradisional Melayu Jambi yang paling populer dan “masih mentradisi” adalah seloko. Bentuk sastra ini bukanlah sebagai suatu bentuk yang berdiri sendiri. Ia digunakan dalam percakapan sehari-hari, musyawarah di dusun-dusun, dalam pidato-pidato adat, dalam peristiwa-peristiwa adat, dan penerapan hukum-hukum adat di daerah Jambi. Seloko Melayu Jambi yang paling asli adalah seloko yang terdapat dalam upacara adat yang masih menunjukkan suasana dan unsur budaya Melayu Jambi.

Seloko dalam bahasa Indonesia sama dengan seloka atau petatah atau dengan kata lain bisa juga disebut sebagai petuah adat. Kata seloka berasal dari bahasa Sanskerta yaitu cloka. Cloka adalah bentuk puisi Melayu klasik yang memuat perumpamaan yang mengandung senda gurau, kejenakaan, khayalan, impian, sindiran atau ejekan. Biasanya ditulis dua atau empat baris, masing-masing terdiri dari 8-11 suku kata. Menurut Syam (2001: 9) “seloko adat merupakan sastra adat Jambi yang berisikan petuah-petuah untuk keselamatan dan kebaikan kehidupan bagi masyarakat”. Dikatakan seloko adat karena hal tersebut sering digunakan pada acara-acara yang berhubungan dengan adat, seperti saat meminang gadis, musyawarah adat, penetapan hukum adat, penentuan hukuman bagi seseorang yang melanggar adat maupun dalam pergaulan muda-mudi.

Selanjutnya Saudagar (2009:20) menjelaskan seloko adalah pepatah (bidal) berirama, berkait, berangkai menyerupai sajak, dan isinya berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan sosial manusia. Seloko adat tidak dapat dipisahkan dengan induknya yakni adat. Oleh karena itu adat berisikan rumusan, delil, pedoman/petunjuk pelaksanaan adat istiadat dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.Seloko adat adalah kaidah-kaidah yang mengandung pokok hukum adat.

Lebih lanjut Saudagar (2009:19) menyatakan kedudukan dan fungsi seloko pada hakikatnya berisikan pokok atau dasar hidup bermasyarakat yang meliputi hampir semua aspek hidup manusia. Seloko adat paling kurang memiliki enam fungsi sebagai berikut:

  1. sebagai kesusastraan yang bernilai tinggi,
  2. sebagai pedoman dasar (literatur) adat,
  3. sebagai alat masyarakat dalam melaksanakan ketertiban umum,
  4. sebagai sarana komunikasi manusia,
  5. sebagai referensi adat bagi masyarakat Melayu Jambi, dan
  6. alat ukur menentukan kearifan manusia dalam bermasyarakat.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa seloko merupakan ungkapan yang mengandung pesan, amanat, petuah, atau nasihat yang bernilai etik dan moral untuk keselamatan dan kebaikan masyarakat.