Riwok adalah sebuah pidato adat dalam acara pengukuhan pemimpin adat yang dilaksanakan ketika tradisi kenduri sko. Riwok termasuk sastra lisan karena bahasa yang digunakan dalam riwok berupa bahasa yang indah, yakni rangkaian kata-kata yang tersusun dengan baik berdasarkan kiasan dan ungkapan yang indah. Hutomo (1991:5) menegaskan bahwa “tradisi lisan mengandung unsur-unsur estetika (keindahan) dan masyarakat setempat juga menganggap tradisi itu sebagai suku keindahan”. Sejalan dengan pendapat Horace (Rokmansyah ,2014: 8)”. Karya sastra berfungsi dulce et utile. Dulce berarti “indah” dan utile berarti “berguna” artinya karya sastra dapat meberikan rasa keindahan untuk para penikmatnya”.
Penggunaan bahasa yang khas pada sebuah karya sastra harus bisa membedakan bahasa sastra, bahasa sehari-hari, dan bahasa ilmiah. Bahasa adalah bahan baku kesustraan, seperti batu dan tembaga untuk seni patung, cat untuk lukisan, dan bunyi untuk seni musik. Tetapi, harus disadari bahwa bahasa bukan benda mati (seperti batu) melainkan ciptaan manusia, dan mempunyai muatan budaya dan linguistik dari kelompok pemakai bahasa tertentu Wellek dan Warren (Pradopo 2002:13). Seperti halnya bahasa dalam Riwok yang menggunakan bahasa dengan nilai estetis yang tinggi. Dibuktikan bahwa isi dalam Riwok tidak menggunakan bahasa sehari-hari melainkan bahasa adat yang merupakan bahasa kesustraan.
Riwok disampaikan pada saat upacara adat bertujuan untuk pergantian depati ninik mamak. Semakin berkembang satu kaum maka akan memunculkan depati baru dari depati lama. Setiap depati mempunyai ninik mamak sendiri yang akan menjalankan tugas sehari-hari para depati, sehingga yang berhak memerintah ninik mamak itu adalah atasan (depati) dari kaumnya dan tidak boleh oleh depati lain. Pewarisan gelar pempimpin yang akan di nibarkan sebagi pemimpin dilihat dari garis keturunan perempuan. Pemberian gelar kepada pihak laki-laki diberikan ketika setelah pernikahan, selain itu orang yang akan diberikan gelar bersal dari kerabat atau kaum. Sastra lisan Riwok ini disampaikan oleh orang yang lebih paham, memiliki suara yang lantang serta tidak terbata-bata. Sebelum Riwok disampaikan para kedepatian berkumpul di rumah adat. Rumah adat ini tempat yang terhormat para tokoh untuk bermusyawarah mengenai calon-calon kedepatian yang baru.
Riwok sebagai sastra lisan
Sastra merupakan suatu karya yang memiliki nilai estetik atau nilai keindahan yang tinggi. Jika sering dan sungguh-sungguh memeperhatikan karya sastra, maka akan dapat mengenal, memahami, dan memperoleh pengertian yang baik menegenai karya sastra tersebut. Artinya sesorang harus memiliki kemampuan dalam mengapresiasikan sebuah karya sastra. Oleh karena itu, seseorang harus bisa mengenali, tertarik dan mampu memusatkan pikiran untuk lebih tertarik pada sebuah karya sastra. Teeuw (2008:4) menyatakan bahwa ciri-ciri utama karya sastra adalah
- bahasanya indah dan mempunyai ciri-ciri formal,
- mempunyai hubungan dengan kehidupan nyata,
- mempunyai struktur dan koherensi sendiri,
- mempunyai hubungan yang pragmatis antara pencipta sastra dan audiens,
- mempunyai makna yang ambivalen
Selanjutnya, Kosasih (2012:1) menyatakan ciri-ciri kesustraan ialah
- bahasanya terpelihara baik.
- isinya menggambarkan kebenaran dalam kehidupan manusia.
- cara menyajikannya menarik, sehingga berkesan dihati pembacanya.
Sastra lisan sering juga digolongkan dalam genre folklore. Secara etimologis folklore berasal dari bahasa inggris yaitu kata folk dan lore. Menurut Danandjaja (Nazurty, 2013:23-24) folk adalah sinonim dengan kolektif yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyrakat. Sedangkan, lore adalah tradisi folk yaitu sebagai kebudayan yang diwarisksan secara turun-temurun secara lisan melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Sastra lisan yang menjadi bagian dari folklore, Jan Harold Brunvand ( Nazurty ,2013:25) mengelompokkan Folklore ke dalam tiga kelompok besar yaitu:
- Foklore lisan, folklore yang memang bentuknya murni lisan. Misalnya, cerita rakyat, prosa rakyat, dan lain-lain.
- Folklore sebagian lisan, folklore yang bentuknya merupakan campuran unsure lisan unsur bukan lisan. Misalnya: teater rakyat, kerpercayaan rakyat, adat istiadat, dan lain-lain
- Folklore bukan lisan, folklore bentuknya bukan lisan walaupun pembuatannya diajarkan lisan, misalnya arsitektur, bunyi isyarat, makanan, minuman, dan lain-lain.
Tuloli (1995: 4) menegaskan mengenai cirri-ciri sastra lisan yaitu:
- milik bersama seluruh masyarakat,
- diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui penuturan,
- berfungsi dalam kehidupan dan kepercayaan masyarakat,
- bisa terwujud dalam tingkah laku yang merupakan hasil kerja,
- diciptakan dalam variasi yang banyak sepanjang masa,
- bersifat anonym, dan
- mengandalkan formula, kiasan, symbol, gaya bahasa, dan berbagai gejala kebahasaan lain dalam penampilan, penceritaannya atau komposisinya.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Riwok merupakan sastra lisan ciptaan manusia yang menggunakan bahasa yang indah dan bernilai bagi masyarakat. Selain itu, bahasa dalam sastra lisan selain sebagai alat komunikasi dalam mengungkapkan makna meliputi simbol, kiasan dan perumpamaan serta masih berhubungan dengan kehidupan nyata bahasa dalam sastra lisan juga berfungsi estetis yang berperan muncul keindahan yang memberikan makna tambahan sastra lisan.