Perkembangan Fraud Theory

Penulis: Tim Editor | Kategori: Akuntansi | Tanggal Terbit: | Dilihat: 4323 kali

Pengertian Fraud

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) merupakan organisasi anti-fraud terbesar di dunia dan sebagai penyedia utama pendidikan dan pelatihan anti-fraud. ACFE mendefinisikan kecurangan (fraud) sebagai tindakan penipuan atau kekeliruan yang dibuat oleh seseorang atau badan yang mengetahui bahwa kekeliruan tersebut dapat mengakibatkan beberapa manfaat yang tidak baik kepada individu atau entitas atau pihak lain (Ernst & Young LLP, 2009) dalam (Molida, 2011). Secara umum fraud berbeda dengan error. Error merupakan kesalahan yang tidak disegaja, Sedangkan fraud adalah adanya unsur kesengajaan atau niat jahat untuk melakukan penipuan atau untuk menutupi kesalahan. Fraud akan selalu terjadi jka tidak ada pencegahan dan pendeteksian yang efekif. Prilaku kecurangan dalam penyajian laporan keuangan penting menjadi perhatian agar tindakan ini dapat dideteksi dan dihilangkan sehingga laporan keuangan akan dapat dipercaya oleh pihak yang berkepentingan dan masyarakat (Ulfah, Nuraina, & Wijaya, 2017).

Tipologi Fraud

Dari bagan Uniform Occupational Fraud Classification System, The ACFE (Association of certified Fraud Examiner, 2000) membagi Fraud kedalam tiga (3) tipologi tindakan, yaitu :

  1. Asset Missapropriation
    Penyimpangan ini meliputi penyalahgunaan atau pencurian asset/harta perusahaan. Asset missapropriation merupakan Fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat dihitung.
  2. Fraudulent Statement Fraud
    Hal ini dilakukan dengan melakukan rekayasa terhadap laporan keuangan (financial engineering) untuk memperoleh keuntungan dari berbagai pihak, Penggelapan aktiva perusahaan juga dapat menyebabkan laporan keuangan perusahaan tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan menghasilkan laba yang atraktif (window dressing).
  3. Corruption
    Korupsi merupakan Fraud paling sulit dideteksi karena korupsi biasanya tidak dilakukan oleh satu orang saja tetapi sudah melibatkan pihak lain (kolusi). Kerjasama yang dimaksud dapat berupa penyalahgunaan wewenang, penyuapan (bribery), penerimaan hadiah yang illegal (gratuities) dan pemerasan secara ekonomis (economic gratuities).

Jenis – Jenis Fraud

Menurut Albrecth dan Albrecth (dikutip oleh Nguyen, 2008), fraud diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:

  1. Embezzlement employee atau occupational fraud
    Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh bawahan kepada atasan.Jenis fraud ini dilakukan bawahan dengan melakukan kecurangan pada atasannya secara langsung maupun tidak langsung.
  2. Management fraud
    Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh manajemen puncak kepada pemegang saham, kreditor dan pihak lain yang mengandalkan laporan keuangan. Jenis fraud ini dilakukan manajemen puncak dengan cara menyediakan penyajian yang keliru, biasanya pada informasi keuangan.
  3. Invesment scams
    Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh individu/perorangan kepada investor. Jenis fraud ini dilakukan individu dengan mengelabui atau menipu investor dengan cara menanamkan uangnya dalam investasi yang salah.
  4. Vendor fraud
    Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh organisasi atau perorangan yang menjual barang atau jasa kepada organisasi atau perusahaan yang menjual barang atau jasa. Jenis fraud ini dilakukan organisasi dengan memasang harga terlalu tinggi untuk barang dan jasa atau tidak adanya pengiriman barang meskipun pembayaran telah dilakukan.
  5. Customer fraud
    Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh pelanggan kepada organisasi atau perusahaan yang menjual barang atau jasa. Jenis fraud ini dilakukan pelanggan dengan cara membohongi penjual dengan memberikan kepada pelanggan yang tidak seharusnya atau menuduh penjual memberikan lebih sedikit dari yang seharusnya. Berdasarkan pengertian di atas dapat dilihat bahwa fraud terdiri dari bermacam jenis dilihat dari pelaku, korban serta tindakan fraud yang dilakukan.

Teori Fraud Triangle

Gagasan pertama kali diciptakan oleh Cressey pada tahun 1953 dinamakan fraud Triangle atau segitiga kecurangan. Penemuan dari penelitiannya yang berjudul Other People Maney: A Study In The Social Psychology Of Embezzelent menjelaskan mengenai alasan mengapa orang-orang berpotensi melakukan fraud. Cressey (1953) dalam (Skousen, Smith, & Wright, 2009), berpendapat bahwa sampai batas tertentu terdapat tiga kondisi yang selalu hadir pada saat kecurangan laporan keuangan terjadi. Kondisi ini (pressure, opportunity, dan rasionalization) menjadikan dasar kerangka faktor resiko kecurangan. Berikut skema dari fraud triangle yang digambarkan seperti dibawah ini:

Gambar 1. Fraud Triangle Theory Oleh Cressey (Machado & Gartner, 2018)

Pressure

Kondisi yang dapat menekan seseorang untuk melakukan kecurangan yang dikemukakan oleh Albrecht et al. (2011) dalam Sihombing (2014), pressure dibagi kedalam tiga kelompok yaitu:

  1. Tekanan Keuangan (Financial Pressure) Hampir 95% Fraud dilakukan kaena adanya tekanan dari segi keuangan yang biasanya diselesaikan dengan tindakan mencuri.
  2. Tekanan akan Kebiasaan Buruk (Vices Pressures) Pada tekanan ini dikarenakan adanya dorongan memuaskan kebiasaan (nafsu). Tekanan ini mendorong memenuhi kebiasaan buruk yang dapat dibilang sebagai hobi.
  3. Tekanan yang Berhubungan dengan Pekerjaan (Work-Related Pressure) Kebutuhan akan keadaan dalam lingkungan kerja tidak diperoleh karyawan karena hubungan antar sesama rekan maupun hubungan dengan atasan-bawahan kurang harmonis baik dalam hal pekerjaan maupun kinerja individu, sehingga terjadi tekanan dan mendorong karyawan untuk melakukan fraud untuk memperoleh perhatian atas usahanya.

Opportunity

Elemen kedua dari Fraud Triangle adalah peluang atau kesempatan. Fraud tidak mungkin terjadi apabila tidak adanya peluang atau kesempatan pada kondisi yang tepat dalam melakukan kecurangan. Menurut Albrecht et al. (2011) dalam Sihombing (2014) terdapat enam faktor peluang untuk melakukan fraud antara lain:

  1. Kurangnya kontrol dalam pencegahan atau mendeteksi fraud
  2. Ketidakmampuan untuk menilai kualitas kinerja
  3. Kegagalan untuk mendisiplinkan para pelaku fraud
  4. Kurangnya pengawasan terhadap akses informasi
  5. Ketidakpedulian dan ketidakmampuan untuk mengantisipasi fraud
  6. Kurangnya jejak audit (audit trail)

Rationalization

Sikap rasionalisasi yang menjadi elemen terakhir dalam fraud triangle theory yang mendasari bahwa anggapan tindakan yang dilakukan adalah benar. Rasionalisasi merupakan alasan pembenaran dari pribadi pelaku fraud atas kesalahan dari perbuatan yang merugikan pihak lain. Albrecht dan Sihombing (2014) menjelaskan bahwa rasionalisasi sering terjadi ketika melakukan fraud antara lain:

  1. Asset itu sebenarnya milik saya (perpetrator’s fraud)
  2. Saya hanya meminjam dan akan membayarnya kembali
  3. Tidak ada pihak yang dirugikan
  4. Ini dilakukan untuk sesuatu yang mendesak
  5. Kami akan memperbaiki pembukuan setelah masalah keuangan ini selesai
  6. Saya rela mengorbankan reputasi dan integritas saya asal hal itu dapat meningkatkan standar hidup saya

Teori Fraud Diamond

Fraud diamond theory pertama kali dikenalkan oleh Wolfe dan Hermanson pada bulan Desember 2004. Hal ini dipandang sebagai penyempurnaan yang diperluas dari fraud triangle theory. Wolfe dan Hermanson (2004) mengatakan: many frauds, especially some of the multibillion-dolar ones, would not have occurred without the right person with the right capabilities inplace. Opportunity opens the doorway to fraud, and incentive and rationalization can draw the person towars it. But the person must have the capability to recognize the open doorways as an opportunity and to take advantage of it by walking through, not just once, but time and time again. Accordingly, the critical question is; who could turn on opportunity for fraud into realty. (Banyak kecurangan tidak akan terjadi tanpa adanya orang yang tepat yang memiliki kemampuan untuk melakukan kecurangan. Posisi seseorang atau fungsi dalam organisasi dapat memberikan kemampuan untuk membuat atau memanfaatkan kesempatan agar kecurangan tidak tersedia untuk orang lain).

Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa variabel kemampuan (capability) dapat dijadikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan fraud di lingkungan organisasi. Fraud diamond ini terdiri dari empat elemen indikator yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), rasionalisasi (rationalization) dan kemampuan (capability). Berikut merupakan gambar fraud diamond:

Gambar 2: Fraud Diamond Theory (Wolfe dan Hermanson, 2004) 

Teori Fraud Pentagon

Teori ini dikemukakan oleh Crowe Horwath pada tahun 2011. Teori fraud pentagon merupakan perluasan dari teori fraud triangle yang sebelumnya dikemukakan oleh Cressey 1953, dan teori fraud diamond yang sebelumnya dikemukakan oleh Wolfe dan Hermanson 2004, dalam dalam teori ini menambahkan elemen fraud lainnya yaitu kompetensi (competence) dan arogansi (arrogance).

Sumber : The Institute of Internal Auditors Long Island Chapter Newsletter

Konsep dari capability dan competence secara umum sama definisinya, dalam fraud diamond (Wolfe dan Hermanson, 2004) dan Crowe’s Fraud Pentagon Model (Horwath, 2011). Competence merupakan perluasan pada elemen dari opportunity yang meliputi kemampuan individu untuk mengesampingkan pengendalian internal dan untuk mengendalikan secara sosial situasi tersebut untuk keuntungan pribadinya. Sedangkan arrogance merupakan perilaku superioritas dan hak atau keserakahan pada pelaku kejahatan yang mempercayai bahwa kebijakan perusahaan dan prosedur tidak diterapkan kepadanya (Horwath, 2011).

Horwath (2011) mengemukakan bahwa ada lima elemen dari arrogance dari perspektif CEO, sebagai berikut (Yusof, Khair, & Simon, 2015):

  1. Ego besar – CEO terlihat seperti selebriti daripada seorang pengusaha.
  2. Mereka menganggap pengendalian internal tidak berlaku untuk dirinya.
  3. Memiliki karakteristik perilaku pengganggu.
  4. Memiliki kebiasaan memimpin secara otoriter.
    5. Memiliki ketakutan akan kehilangan posisi atau status.