Model Pengembangan Six Sigma (DMAIC) di Industri

Penulis: Edi Elisa | Kategori: Penelitian dan Pengembangan | Tanggal Terbit: | Dilihat: 36 kali

Pendahuluan

Dalam era globalisasi dan persaingan industri yang semakin ketat, setiap perusahaan dituntut untuk mampu menghasilkan produk dan layanan dengan kualitas tinggi, waktu proses yang efisien, serta biaya produksi yang optimal. Ketika konsumen semakin cerdas dalam menilai kualitas, perusahaan tidak hanya perlu menciptakan produk yang baik, tetapi juga memastikan proses produksinya berjalan stabil dan terkendali. Di sinilah pendekatan quality improvement seperti Six Sigma memainkan peran penting dalam mendukung keberhasilan operasional sebuah organisasi industri. Six Sigma merupakan metodologi manajemen kualitas yang berfokus pada pengurangan variasi proses dan peningkatan kinerja melalui pendekatan berbasis data dan analisis statistik. Dikembangkan pertama kali oleh Motorola pada tahun 1980-an, pendekatan ini kemudian diadopsi secara luas oleh perusahaan besar seperti General Electric dan Honeywell. Keunggulan Six Sigma terletak pada kemampuannya mengidentifikasi akar permasalahan proses, menetapkan solusi yang efektif, serta menjaga konsistensi hasil melalui kontrol yang ketat.

Salah satu model inti dari Six Sigma adalah DMAIC, akronim dari Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control. Model ini menjadi kerangka kerja sistematis dalam proyek perbaikan proses yang dapat diterapkan di berbagai sektor industri. DMAIC bukan sekadar langkah teknis, melainkan juga representasi filosofi kerja yang menempatkan pelanggan, data, dan proses sebagai fondasi utama untuk mencapai keunggulan kompetitif. Implementasi DMAIC dapat diaplikasikan mulai dari lini produksi manufaktur, pengendalian mutu produk, hingga layanan pelanggan di sektor jasa. Keberhasilan Six Sigma terbukti mampu menekan tingkat cacat hingga mendekati nol (3,4 cacat per satu juta peluang), sekaligus menciptakan budaya kerja yang berorientasi pada kualitas dan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Dengan kata lain, Six Sigma membantu organisasi mengubah pendekatan reaktif menjadi proaktif terhadap masalah.

Namun, penerapan Six Sigma juga bukan tanpa tantangan. Diperlukan komitmen yang kuat dari manajemen, ketersediaan data yang valid, serta sumber daya manusia yang memahami prinsip-prinsip dasar statistik dan pengolahan data. Meskipun demikian, ketika diterapkan dengan benar, Six Sigma terutama melalui model DMAIC telah terbukti menjadi salah satu pendekatan paling efektif dalam meningkatkan efisiensi, mengurangi pemborosan, dan meningkatkan kepuasan pelanggan secara berkelanjutan di lingkungan industri.

Apa Itu Six Sigma?

Six Sigma adalah sebuah metodologi manajemen yang dirancang untuk meningkatkan kualitas proses dengan mengidentifikasi dan menghilangkan penyebab cacat (defects) serta meminimalkan variasi dalam proses produksi dan bisnis. Istilah “Six Sigma” sendiri berasal dari konsep statistik, di mana sigma (σ) melambangkan deviasi standar—ukuran seberapa jauh nilai suatu data menyimpang dari nilai rata-rata. Dalam konteks ini, Six Sigma mengacu pada target kualitas dengan tingkat kesalahan tidak lebih dari 3,4 cacat per satu juta peluang (DPMO: Defects Per Million Opportunities), sebuah standar yang sangat tinggi dalam kualitas produk maupun layanan.

Konsep Six Sigma pertama kali dikembangkan oleh Motorola pada pertengahan 1980-an sebagai bagian dari strategi mereka untuk meningkatkan kualitas produk dan menurunkan biaya produksi. Bill Smith, seorang insinyur di Motorola, dianggap sebagai tokoh utama di balik lahirnya metode ini. Seiring waktu, General Electric (GE) di bawah kepemimpinan Jack Welch mengadopsi dan mempopulerkan Six Sigma secara masif pada akhir 1990-an, menjadikannya model perbaikan kualitas yang mendunia dan digunakan di berbagai sektor industri, termasuk manufaktur, kesehatan, keuangan, dan layanan publik. Prinsip dasar Six Sigma berakar pada tiga pilar utama: fokus pada pelanggan, pengambilan keputusan berbasis data, dan pengelolaan proses secara sistematis. Pendekatan ini tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan masalah yang ada, tetapi juga untuk mencegah terjadinya masalah di masa depan melalui pemahaman menyeluruh terhadap proses. Six Sigma menekankan bahwa perbaikan kualitas bukanlah hasil dari upaya satu kali, melainkan bagian dari budaya organisasi yang terus berkembang. Model DMAIC adalah salah satu implementasi utama Six Sigma yang secara sistematis mengarahkan organisasi untuk memahami, mengukur, dan memperbaiki proses secara berkelanjutan.

Model DMAIC dalam Six Sigma

Model DMAIC merupakan kerangka kerja inti dalam pendekatan Six Sigma yang dirancang untuk mengarahkan tim proyek dalam menyelesaikan masalah proses secara sistematis dan terstruktur. DMAIC sendiri merupakan akronim dari lima tahap utama, yaitu: Define (Menentukan), Measure (Mengukur), Analyze (Menganalisis), Improve (Memperbaiki), dan Control (Mengendalikan). Setiap tahapan memiliki tujuan spesifik dan serangkaian alat bantu yang digunakan untuk mengarahkan analisis serta pengambilan keputusan berbasis data.

DMAIC bukan hanya metode teknis, melainkan filosofi berpikir yang mendorong organisasi untuk memahami proses secara menyeluruh sebelum bertindak. Misalnya, alih-alih langsung mencari solusi, DMAIC memulai dari identifikasi akar masalah secara mendalam agar solusi yang diambil benar-benar efektif dan berkelanjutan. Pendekatan ini membantu perusahaan menghindari tindakan impulsif dan menggantinya dengan keputusan berbasis fakta dan analisis statistik yang valid. Secara visual, model DMAIC sering digambarkan sebagai siklus berputar yang menggambarkan continuous improvement. Pendekatan ini bersifat iteratif—setelah proses dikendalikan, organisasi dapat kembali ke tahap Define untuk masalah lain atau peningkatan berikutnya. Dengan demikian, DMAIC menjadi alat yang tidak hanya menyelesaikan masalah, tetapi juga membangun budaya organisasi yang proaktif, analitis, dan berorientasi pada kualitas. Berikutnya, mari kita bahas kelima tahapan dalam model DMAIC secara lebih mendalam.

Tahap 1: Define (Menentukan)

Tahap Define adalah titik awal dalam siklus DMAIC, yang bertujuan untuk mendefinisikan masalah proses secara jelas, menetapkan tujuan proyek perbaikan, serta mengidentifikasi kebutuhan dan harapan pelanggan (Voice of the Customer). Pada tahap ini, tim proyek bekerja sama dengan pemangku kepentingan untuk memahami permasalahan yang dihadapi organisasi dan menetapkan batasan ruang lingkup perbaikan. Sebuah definisi masalah yang baik akan membantu menghindari kebingungan arah, mengurangi risiko kegagalan proyek, dan memastikan seluruh tim bergerak dalam visi yang sama.

Beberapa alat bantu yang umum digunakan dalam tahap Define antara lain:

  • SIPOC Diagram (Suppliers, Inputs, Process, Outputs, Customers): digunakan untuk memetakan proses dari awal hingga akhir dan mengidentifikasi komponen kunci dari sistem.
  • Voice of Customer (VoC): metode untuk mengumpulkan ekspektasi dan umpan balik dari pelanggan melalui wawancara, survei, atau data layanan.
  • Project Charter: dokumen formal yang mencakup pernyataan masalah, tujuan proyek, tim pelaksana, serta indikator keberhasilan (key metrics).

Sebagai contoh di dunia industri, sebuah pabrik minuman dapat menggunakan tahap Define untuk mengidentifikasi bahwa jumlah produk rusak selama proses pengemasan meningkat 12% dalam tiga bulan terakhir. Setelah dilakukan diskusi bersama tim produksi dan pemasaran, ditemukan bahwa hal ini berdampak pada penurunan pengiriman tepat waktu dan kepuasan pelanggan. Dengan VoC, pelanggan menyatakan keluhan mereka terkait tutup botol yang longgar dan kemasan yang bocor. Maka, masalah tersebut didefinisikan dalam Project Charter sebagai "peningkatan jumlah produk cacat pada proses pengemasan" dengan target penurunan hingga <2% dalam waktu tiga bulan.

Tahap 2: Measure (Mengukur)

Setelah masalah dan ruang lingkup proyek didefinisikan dengan jelas, tahap selanjutnya dalam siklus DMAIC adalah Measure (Mengukur). Tahapan ini bertujuan untuk mengumpulkan data objektif dari proses yang sedang berjalan guna memahami kondisi saat ini dan menetapkan baseline atau tolak ukur performa. Tanpa data yang akurat, sulit untuk membuktikan adanya perbaikan atau mengidentifikasi penyebab utama dari masalah yang terjadi. Beberapa alat dan teknik yang umum digunakan dalam tahap Measure antara lain:

  • Check Sheet
    Formulir standar untuk mencatat kejadian tertentu, seperti jumlah cacat per shift atau per mesin.
  • Histogram
    Untuk melihat distribusi data dan mengenali pola penyimpangan.
  • Pareto Chart
    Untuk mengidentifikasi faktor penyebab yang paling dominan berdasarkan prinsip 80/20.
  • Control Chart (Peta Kendali)
    Untuk memantau stabilitas proses dalam jangka waktu tertentu dan mendeteksi variasi yang tidak normal.
  • Measurement System Analysis (MSA)
    Untuk mengevaluasi keandalan alat ukur dan konsistensi data yang dikumpulkan.

Sebagai lanjutan contoh dari industri pengemasan minuman, setelah didefinisikan bahwa produk cacat meningkat karena tutup botol longgar dan kebocoran kemasan, tim Six Sigma mulai mengumpulkan data dari 5 lini produksi selama 4 minggu. Mereka mencatat jumlah botol yang gagal lolos inspeksi, waktu kejadian, mesin yang digunakan, serta operator yang bertugas. Setelah data terkumpul, dibuat histogram untuk melihat sebaran jenis cacat, serta Pareto Chart yang menunjukkan bahwa 75% dari kerusakan disebabkan oleh satu mesin pengemasan otomatis. Informasi ini menjadi dasar penting dalam tahap analisis berikutnya.

Tahap 3: Analyze (Menganalisis)

Tahap Analyze merupakan jantung dari siklus DMAIC karena bertujuan untuk mengidentifikasi akar penyebab (root causes) dari permasalahan yang telah diukur. Data yang telah dikumpulkan pada tahap Measure dianalisis secara mendalam untuk menemukan pola, anomali, atau hubungan sebab-akibat yang menjelaskan kenapa suatu masalah terjadi. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa tindakan perbaikan yang nanti dilakukan benar-benar menyasar sumber utama masalah, bukan hanya gejalanya. Beberapa alat bantu yang umum digunakan pada tahap ini meliputi:

  • Fishbone Diagram (Diagram Tulang Ikan / Ishikawa): untuk mengelompokkan kemungkinan penyebab masalah ke dalam kategori seperti Manusia, Mesin, Material, Metode, Lingkungan, dan Pengukuran.
  • 5 Why Analysis: untuk mengeksplorasi akar penyebab dengan terus menanyakan “mengapa” hingga ditemukan sumber masalah mendasar.
  • Scatter Diagram: untuk melihat hubungan antara dua variabel (misalnya kecepatan mesin dan jumlah cacat).
  • Failure Mode and Effect Analysis (FMEA): untuk mengevaluasi potensi kegagalan proses dan menentukan prioritas perbaikan berdasarkan tingkat risiko.

Melanjutkan contoh pabrik minuman sebelumnya, setelah diketahui bahwa sebagian besar produk cacat berasal dari satu mesin pengemas, tim melakukan sesi brainstorming dan membuat Fishbone Diagram. Ditemukan bahwa tekanan udara mesin tidak konsisten, operator tidak melakukan pemeriksaan harian, dan pelatihan penggunaan mesin belum diperbarui sejak 2 tahun lalu. Dengan 5 Why Analysis, terungkap bahwa penyebab utama adalah sensor tekanan yang aus dan tidak diganti tepat waktu karena jadwal pemeliharaan belum diperbarui sesuai kebutuhan produksi terkini. Tahap Analyze ini memastikan bahwa keputusan yang diambil berdasarkan fakta dan analisis mendalam, bukan asumsi. Dengan demikian, solusi yang akan diimplementasikan pada tahap Improve menjadi lebih terarah, efektif, dan berpeluang besar untuk menciptakan perbaikan nyata.

Tahap 4: Improve (Memperbaiki)

Setelah akar permasalahan teridentifikasi secara akurat pada tahap Analyze, langkah selanjutnya dalam model DMAIC adalah Improve (Memperbaiki). Tahap ini berfokus pada mengembangkan, menguji, dan mengimplementasikan solusi untuk mengatasi akar penyebab masalah yang ditemukan sebelumnya. Proses ini tidak hanya tentang “memperbaiki kerusakan”, tetapi lebih dari itu: yaitu menciptakan perubahan proses yang sistematis, terukur, dan berkelanjutan agar performa meningkat sesuai target proyek. Sebelum implementasi penuh dilakukan, ide perbaikan harus diformulasikan, diuji secara terbatas, dan dievaluasi efektivitasnya. Ini penting untuk memastikan bahwa solusi yang dirancang benar-benar menyelesaikan masalah tanpa menciptakan gangguan baru dalam sistem. Pada tahap ini, pendekatan eksperimental dan trial-error terkendali sering digunakan.

Alat bantu dan teknik yang digunakan pada tahap Improve:

  • Brainstorming & Affinity Diagram: untuk menghasilkan ide solusi secara kolektif dan mengelompokkannya ke dalam kategori logis.
  • Design of Experiments (DoE): pendekatan statistik untuk menguji berbagai kombinasi variabel yang mempengaruhi proses dan menentukan konfigurasi terbaik.
  • Pilot Testing: uji coba solusi dalam skala kecil sebelum diimplementasikan secara penuh.
  • Poka-Yoke (Error Proofing): metode desain proses agar kesalahan manusia dapat dicegah atau dideteksi sebelum merusak output.

Contoh implementasi di industri:

Masih dengan studi kasus pabrik minuman, setelah ditemukan bahwa sensor tekanan pada mesin pengemas aus dan menyebabkan cacat pada botol, tim perbaikan merancang beberapa opsi solusi, seperti:

  1. Menambahkan alarm digital yang mendeteksi penurunan tekanan di bawah ambang batas.
  2. Menjadwalkan preventive maintenance rutin setiap minggu, bukan bulanan.
  3. Melatih ulang operator untuk memeriksa kondisi sensor sebelum shift dimulai.

Setelah dilakukan pilot test selama dua minggu di satu lini produksi, jumlah cacat menurun drastis hingga 70%. Tim kemudian menerapkan solusi tersebut ke seluruh lini produksi. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa penggantian sensor berkala dan alarm tekanan otomatis adalah solusi paling efektif dengan biaya implementasi yang relatif rendah. Tahap Improve harus melibatkan kolaborasi lintas fungsi—mulai dari teknisi, operator, hingga manajer kualitas. Setiap solusi yang dipilih harus diukur dampaknya terhadap metrik performa awal yang telah ditetapkan di tahap Measure, seperti defect rate, waktu siklus, atau biaya kerusakan. Jika hasilnya sesuai ekspektasi atau lebih baik, maka solusi tersebut siap dilanjutkan ke tahap berikutnya.

Tahap 5: Control (Mengendalikan)

Tahap terakhir dalam siklus DMAIC adalah Control (Mengendalikan). Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk menjaga dan memastikan bahwa perbaikan yang telah dilakukan pada tahap Improve tetap berjalan secara konsisten, serta mencegah kembalinya masalah yang sama di masa depan. Tanpa kontrol yang efektif, hasil perbaikan bisa saja bersifat sementara dan proses akan kembali ke kondisi semula (regresi), yang tentu saja akan membuang sumber daya dan waktu. Kontrol yang efektif dilakukan melalui pengawasan rutin, pembaruan standar operasional, pelatihan karyawan, serta penggunaan alat kontrol kualitas yang tepat. Pada tahap ini juga dilakukan monitoring terhadap metrik performa untuk mendeteksi dini jika terjadi penyimpangan proses, serta tindakan korektif jika dibutuhkan.

Alat dan metode yang umum digunakan dalam tahap Control:

  • Control Plan: dokumen yang memuat langkah-langkah pengendalian, siapa yang bertanggung jawab, dan frekuensi pelaksanaan.
  • Statistical Process Control (SPC): penggunaan control chart untuk memantau kestabilan proses secara statistik.
  • Standard Operating Procedure (SOP): pembaruan prosedur kerja yang mencerminkan perbaikan terbaru.
  • Checklist dan Audit Internal: untuk memastikan semua elemen pengendalian dijalankan sesuai rencana.

Contoh aplikasi dalam industri:

Setelah pabrik minuman berhasil menurunkan cacat kemasan dengan mengganti sensor dan menambahkan alarm tekanan, tim mengembangkan Control Plan yang mencakup:

  • Pemeriksaan tekanan mesin oleh operator setiap awal shift.
  • Kalibrasi sensor dilakukan oleh teknisi setiap 10 hari.
  • Audit kualitas internal dilakukan dua kali per bulan.

Control chart juga digunakan untuk memantau apakah jumlah produk cacat tetap berada dalam batas kendali statistik. SOP di bagian pengemasan diperbarui dan seluruh operator mendapatkan pelatihan singkat tentang prosedur baru. Dengan sistem kontrol ini, perbaikan menjadi bagian dari proses standar, bukan solusi satu kali.

Tahap Control juga menjadi momen untuk menutup proyek DMAIC secara formal, dengan evaluasi hasil, dokumentasi pembelajaran, dan publikasi keberhasilan kepada manajemen. Dalam beberapa perusahaan, hasil proyek ini digunakan sebagai studi kasus internal atau bahkan diintegrasikan ke dalam program pelatihan karyawan baru sebagai bentuk knowledge sharing.

Manfaat Implementasi Six Sigma di Industri

Implementasi Six Sigma dalam dunia industri menawarkan beragam manfaat strategis yang tidak hanya berdampak pada peningkatan kualitas produk, tetapi juga pada efisiensi operasional, pengurangan biaya, dan peningkatan daya saing perusahaan. Dengan pendekatan yang sistematis dan berbasis data, Six Sigma membantu organisasi untuk mengubah proses bisnis yang kompleks menjadi lebih ramping, stabil, dan dapat diprediksi.

  1. Peningkatan Kualitas Produk dan Layanan
    Salah satu manfaat utama Six Sigma adalah kemampuannya dalam menurunkan tingkat cacat (defect rate) secara signifikan. Dengan memfokuskan pada variasi proses dan pengendaliannya, perusahaan dapat menghasilkan produk yang lebih konsisten dan sesuai spesifikasi pelanggan. Hal ini sangat krusial, terutama di industri manufaktur, otomotif, farmasi, dan elektronik, yang memiliki standar kualitas tinggi.
  2. Efisiensi Proses dan Pengurangan Pemborosan
    Melalui identifikasi aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-value-added activities), Six Sigma membantu perusahaan untuk memangkas pemborosan (waste), waktu tunggu, serta duplikasi pekerjaan. Pendekatan ini selaras dengan prinsip Lean, sehingga banyak organisasi menggabungkan keduanya menjadi Lean Six Sigma untuk hasil yang lebih optimal.
  3. Pengambilan Keputusan Berbasis Data
    Six Sigma mendorong budaya kerja yang mengedepankan pengambilan keputusan berbasis data dan analisis statistik, bukan asumsi. Ini meningkatkan objektivitas dalam manajemen dan memperkuat dasar pengambilan kebijakan jangka panjang, terutama dalam perencanaan kapasitas produksi, manajemen risiko, dan optimalisasi rantai pasok.
  4. Peningkatan Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan
    Dengan mengurangi variasi dan meningkatkan kualitas layanan, pelanggan akan merasakan peningkatan keandalan dan konsistensi dari produk/jasa yang mereka terima. Hal ini pada akhirnya berdampak pada loyalitas pelanggan dan reputasi perusahaan dalam jangka panjang.
  5. Pengembangan Budaya Perbaikan Berkelanjutan
    Six Sigma tidak hanya merupakan alat teknis, melainkan juga membentuk mindset karyawan untuk terus melakukan perbaikan dalam setiap aspek pekerjaan mereka. Budaya ini dikenal sebagai continuous improvement atau kaizen, yang sangat berharga untuk organisasi yang ingin bertahan dalam lingkungan bisnis yang dinamis.

Tantangan dan Hambatan Implementasi Six Sigma

Meskipun Six Sigma terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas dan efisiensi, implementasinya di industri tidak selalu berjalan mulus. Banyak organisasi menghadapi berbagai tantangan baik dari sisi teknis, manajerial, maupun budaya organisasi. Memahami hambatan-hambatan ini adalah langkah penting untuk menyusun strategi implementasi yang berhasil.

  1. Kurangnya Komitmen dari Manajemen Puncak
    Six Sigma membutuhkan dukungan penuh dari manajemen puncak, karena proyek ini memerlukan perubahan proses, waktu, dan sumber daya. Tanpa kepemimpinan yang kuat dan visi yang jelas, program Six Sigma seringkali hanya menjadi formalitas tanpa dampak nyata.
    Solusi: Libatkan manajemen sejak awal dalam tahap Define dan berikan pelatihan tentang manfaat bisnis dari Six Sigma. Tunjukkan quick win sebagai bukti awal keberhasilan.
  2. Keterbatasan Sumber Daya dan Kompetensi
    Implementasi Six Sigma membutuhkan SDM yang terlatih seperti Green Belt dan Black Belt, serta waktu khusus untuk proyek perbaikan. Banyak organisasi kesulitan menyediakan waktu atau biaya untuk pelatihan dan pengembangan SDM.
    Solusi: Mulailah dari skala kecil dengan proyek terbatas dan dorong pelatihan internal. Fokus pada area kritis terlebih dahulu untuk membangun pengalaman dan kredibilitas internal.
  3. Resistensi terhadap Perubahan
    Budaya organisasi yang sudah terbentuk sering kali menolak perubahan, terutama jika perbaikan dianggap mengganggu cara kerja yang sudah mapan. Karyawan bisa merasa terancam oleh sistem baru yang lebih transparan dan berbasis data.
    Solusi: Lakukan komunikasi intensif, libatkan karyawan dari tahap awal, dan tekankan bahwa Six Sigma adalah alat bantu, bukan pengganti. Apresiasi karyawan yang terlibat aktif dalam proyek perbaikan.
  4. Data Tidak Tersedia atau Tidak Akurat
    Keberhasilan Six Sigma sangat bergantung pada data. Namun, banyak perusahaan terutama di sektor tradisional, belum memiliki sistem pencatatan data yang baik.
    Solusi: Fokus pada perbaikan sistem pengumpulan data terlebih dahulu. Gunakan data historis yang tersedia dan mulai membangun budaya pencatatan yang disiplin.
  5. Kesulitan Menjaga Keberlanjutan Perbaikan
    Setelah tahap Improve dan Control, banyak organisasi mengalami kemunduran karena kurangnya monitoring jangka panjang atau rotasi tim yang menyebabkan hilangnya pengetahuan.
    Solusi: Dokumentasikan setiap proyek perbaikan, tetapkan kontrol visual di lapangan, dan lakukan audit berkala. Integrasikan hasil perbaikan ke dalam SOP dan sistem pelatihan.

Daftar Pustaka

  1. Pande, P. S., Neuman, R. P., & Cavanagh, R. R. (2000). The Six Sigma way: How GE, Motorola, and other top companies are honing their performance. McGraw-Hill Education.
  2. George, M. L. (2002). Lean Six Sigma: Combining Six Sigma quality with lean production speed. McGraw-Hill.
  3. Antony, J. (2006). Six Sigma for service processes. Business Process Management Journal, 12(2), 234–248. https://doi.org/10.1108/14637150610657558
  4. Snee, R. D. (2010). Lean Six Sigma–getting better all the time. International Journal of Lean Six Sigma, 1(1), 9–29. https://doi.org/10.1108/20401461011033130
  5. Kumar, M., Antony, J., Singh, R. K., Tiwari, M. K., & Perry, D. (2006). Implementing the Lean Sigma framework in an Indian SME: A case study. Production Planning & Control, 17(4), 407–423. https://doi.org/10.1080/09537280500483350
  6. Laureani, A., & Antony, J. (2012). Critical success factors for the effective implementation of Lean Sigma: Results from an empirical study and agenda for future research. International Journal of Lean Six Sigma, 3(4), 274–283. https://doi.org/10.1108/20401461211284743
  7. De Koning, H., & De Mast, J. (2007). The CTQ flowdown as a conceptual model of project objectives. Quality and Reliability Engineering International, 23(7), 817–831. https://doi.org/10.1002/qre.854
  8. Montgomery, D. C. (2012). Introduction to Statistical Quality Control (7th ed.). Wiley.
  9. Pyzdek, T., & Keller, P. A. (2014). The Six Sigma handbook (4th ed.). McGraw-Hill Education.
  10. Schroeder, R. G., Linderman, K., Liedtke, C., & Choo, A. S. (2008). Six Sigma: Definition and underlying theory. Journal of Operations Management, 26(4), 536–554. https://doi.org/10.1016/j.jom.2007.06.007