Model Pengembangan Lee and Owens

Penulis: Edi Elisa | Kategori: Penelitian dan Pengembangan | Tanggal Terbit: | Dilihat: 37 kali

Dalam dunia pendidikan yang terus bergerak cepat, para pendidik dan pengembang materi pembelajaran dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menciptakan pembelajaran yang bukan hanya informatif, tetapi juga relevan, bermakna, dan mampu menjawab kebutuhan zaman. Di tengah derasnya arus teknologi dan informasi, proses mendesain pengalaman belajar yang efektif memerlukan pendekatan yang lebih dari sekadar menyampaikan materi — ia butuh perencanaan yang matang, empati terhadap peserta didik, dan adaptabilitas terhadap konteks. Di sinilah pentingnya model desain pembelajaran yang humanis dan sistematis, seperti model pengembangan Lee and Owens.

Model ini bukan sekadar rangkaian tahapan teknis, melainkan sebuah kerangka berpikir yang menempatkan kebutuhan manusia—baik pengajar maupun pembelajar—di pusat perancangannya. Dibangun di atas fondasi model ADDIE yang lebih dahulu dikenal, Lee and Owens memperkaya pendekatan desain instruksional dengan memperhatikan kebutuhan peserta didik secara lebih detail dan kontekstual. Mereka menambahkan dimensi analisis kebutuhan dan karakteristik audiens, sebagai bentuk penghargaan terhadap keberagaman latar belakang dan pengalaman belajar individu. Bayangkan seorang guru yang tidak hanya menyusun materi karena kewajiban kurikulum, tetapi juga karena ingin benar-benar menjawab keresahan siswanya, memfasilitasi potensi mereka, dan menghidupkan ruang kelas menjadi tempat yang inspiratif. Atau bayangkan seorang desainer e-learning yang ingin memastikan modul digital yang ia buat tidak membosankan atau generik, melainkan menjadi pengalaman belajar yang menyentuh dan memberdayakan. Model Lee and Owens hadir sebagai panduan praktis sekaligus filosofis untuk tujuan mulia itu.

Apa Itu Model Pengembangan Lee and Owens?

Dalam dunia desain instruksional, model ADDIE telah lama menjadi acuan dasar yang digunakan oleh banyak pendidik dan pengembang pembelajaran. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan meningkatnya kompleksitas kebutuhan belajar di era digital, muncul kebutuhan akan pendekatan yang lebih komprehensif dan kontekstual. Di sinilah model pengembangan Lee and Owens hadir sebagai penyempurna. Dikembangkan oleh William Lee dan Diana Owens, model ini tidak hanya mewarisi struktur ADDIE, tetapi juga memperkaya prosesnya dengan elemen-elemen penting yang menyesuaikan dengan realitas pembelajaran abad ke-21. Model ini terdiri dari lima tahapan utama: Analisis, Desain, Pengembangan, Implementasi, dan Evaluasi. Sekilas, tahapan ini tampak mirip dengan ADDIE. Namun, pendekatan Lee and Owens membedakan diri melalui penekanan kuat pada proses awal yang lebih mendalam dan kontekstual. Model ini dirancang untuk menghasilkan solusi pembelajaran yang tidak hanya efektif secara akademik, tetapi juga relevan dan bermakna dalam praktiknya—terutama ketika diimplementasikan dalam media digital seperti e-learning, aplikasi pembelajaran, dan simulasi interaktif.

Salah satu keunikan dari model ini adalah masuknya dua jenis analisis tambahan di tahap awal, yakni Analisis Kebutuhan (Needs Assessment) dan Analisis Audiens (Audience Analysis). Kedua elemen ini bukan sekadar pelengkap, tetapi fondasi penting yang menentukan arah pengembangan pembelajaran secara keseluruhan. Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi adanya kesenjangan antara kondisi yang ada dengan kondisi ideal yang diharapkan. Ini dapat mencakup kesenjangan kompetensi, kesenjangan performa kerja, atau bahkan tantangan dalam implementasi kurikulum. Sementara itu, analisis audiens menempatkan peserta didik sebagai pusat perhatian. Pengembang pembelajaran perlu memahami siapa yang akan belajar: latar belakang mereka, karakteristik kognitif, kebutuhan khusus, gaya belajar, dan bahkan preferensi teknologi mereka. Dengan memahami hal ini, pendekatan pembelajaran dapat disesuaikan secara personal, membuat peserta merasa terhubung dan termotivasi. Ini adalah bentuk penghargaan terhadap keragaman manusia dalam proses belajar, dan menunjukkan bahwa desain instruksional bukan sekadar soal materi, tetapi tentang membangun hubungan yang bermakna.

Dengan demikian, model Lee and Owens tidak hanya memberi kerangka sistematis bagi pengembangan materi, tetapi juga menghadirkan pendekatan yang empatik, relevan, dan humanistik. Ia mengajak kita untuk tidak hanya bertanya “Apa yang harus diajarkan?”, tetapi juga “Siapa yang akan belajar dan mengapa mereka membutuhkannya?”. Pendekatan seperti inilah yang dibutuhkan oleh pembelajaran modern—yang tidak hanya berfokus pada konten, tetapi juga pada pengalaman, koneksi, dan transformasi.

Tahapan Model Lee and Owens

1. Tahap Analisis

Tahap analisis merupakan fondasi awal yang sangat krusial dalam model pengembangan Lee and Owens. Pada tahap ini, pengembang pembelajaran fokus untuk mengidentifikasi kesenjangan antara kondisi yang ada saat ini dengan kondisi ideal yang diharapkan. Kesenjangan ini bisa berkaitan dengan performa belajar, keterampilan peserta, atau efektivitas metode pembelajaran yang telah digunakan sebelumnya. Analisis kebutuhan ini membantu menentukan apakah benar-benar diperlukan intervensi pembelajaran, dan jika ya, seperti apa bentuknya agar dapat menjawab masalah dengan tepat sasaran.

Selain itu, tahap ini juga mencakup analisis konteks dan lingkungan belajar, baik dari sisi teknis maupun sosial. Dalam konteks pendidikan formal, hal ini bisa berupa kebijakan sekolah, kesiapan infrastruktur digital, serta kultur belajar yang berkembang di kelas atau institusi. Dalam dunia industri, ini bisa melibatkan dinamika organisasi, target bisnis, atau sistem kerja yang sedang dijalankan. Dengan memahami konteks ini, pengembang dapat menyesuaikan pendekatan desain agar benar-benar aplikatif dan realistis untuk diimplementasikan.

Hal yang tidak kalah penting pada tahap ini adalah melakukan analisis audiens secara mendalam. Pengembang pembelajaran perlu memahami siapa target peserta didiknya: usia, latar belakang pendidikan, motivasi belajar, preferensi gaya belajar, hingga tingkat literasi teknologi. Semakin lengkap profil peserta didik yang didapatkan, semakin mudah merancang pengalaman belajar yang bersifat personal, menyenangkan, dan inklusif. Ini adalah langkah humanistik dalam desain instruksional, yang membedakan model Lee and Owens dari pendekatan teknis semata.

Terakhir, tahap analisis juga mencakup analisis sumber daya dan tugas (task analysis). Artinya, pengembang perlu memetakan kompetensi yang ingin dicapai, keterampilan apa yang harus dimiliki oleh peserta, serta media atau fasilitas apa yang tersedia untuk menunjang proses pembelajaran. Dengan mengintegrasikan semua aspek ini—kebutuhan, konteks, audiens, dan sumber daya—pengembang memiliki data yang solid sebagai dasar untuk masuk ke tahap desain. Ini memastikan bahwa solusi pembelajaran yang dikembangkan benar-benar berakar dari kenyataan di lapangan, bukan asumsi semata.

2. Tahap Desain

Setelah tahap analisis memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang kebutuhan pembelajaran, karakteristik peserta, dan kondisi lapangan, proses berlanjut ke tahap desain. Di sinilah ide-ide dan temuan dari tahap sebelumnya mulai dituangkan dalam bentuk rencana pembelajaran yang sistematis. Tujuan utama tahap ini adalah merancang blueprint dari pengalaman belajar yang ingin dihadirkan—mulai dari penetapan tujuan pembelajaran, urutan materi, hingga strategi penyampaian yang paling sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Penetapan tujuan pembelajaran menjadi langkah awal yang sangat penting. Tujuan harus disusun secara spesifik, terukur, dan selaras dengan hasil analisis kebutuhan. Dalam praktiknya, pengembang menggunakan kerangka seperti taksonomi Bloom untuk memastikan bahwa tujuan mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tujuan ini akan menjadi panduan dalam memilih materi, aktivitas, dan evaluasi yang sesuai, serta membantu peserta didik memahami capaian yang diharapkan dari mereka.

Selanjutnya, pengembang merancang strategi pembelajaran yang mencakup metode dan pendekatan pengajaran, seperti diskusi kelompok, simulasi, studi kasus, blended learning, atau pemanfaatan teknologi seperti video interaktif dan LMS. Strategi ini dipilih berdasarkan hasil analisis audiens dan karakteristik materi. Selain itu, pengembang juga menentukan format media yang akan digunakan—apakah berupa modul cetak, presentasi digital, animasi, atau aplikasi berbasis web. Dalam konteks pembelajaran daring, pemilihan media sangat menentukan tingkat partisipasi dan keterlibatan peserta. Salah satu kekuatan dari model Lee and Owens terletak pada prototyping atau pembuatan storyboard dan purwarupa awal (early prototypes). Pada tahap ini, pengembang mulai merancang tampilan visual, alur penyampaian materi, dan struktur navigasi jika menggunakan media digital. Prototipe ini kemudian digunakan untuk mendapatkan umpan balik awal dari pengguna atau tim pakar, sebelum masuk ke tahap produksi penuh. Dengan adanya desain yang matang dan teruji sejak dini, proses pengembangan akan menjadi lebih efisien dan terarah, serta meminimalkan risiko kesalahan di tahap implementasi.

3. Tahap Pengembangan

Setelah seluruh rancangan dan strategi pembelajaran ditetapkan di tahap desain, proses berlanjut ke tahap pengembangan. Pada tahap ini, semua elemen yang telah dirancang mulai diproduksi menjadi bentuk nyata, baik berupa modul cetak, video pembelajaran, infografis, aplikasi interaktif, hingga sistem pembelajaran berbasis daring. Tahapan ini merupakan bentuk realisasi konkret dari ide-ide dan skema yang sebelumnya masih berada dalam bentuk konsep. Di sinilah ide menjadi aksi. Proses pengembangan dimulai dengan produksi bahan ajar utama sesuai dengan media dan format yang telah ditentukan sebelumnya. Jika media yang digunakan adalah digital, maka pengembang multimedia akan membuat visualisasi grafis, animasi, hingga audio narasi. Jika formatnya berupa modul cetak atau e-book, maka fokusnya adalah pada penyusunan konten yang menarik, mudah dipahami, dan sesuai dengan struktur tujuan pembelajaran. Semua materi dikembangkan dengan memperhatikan prinsip keterbacaan, konsistensi desain, dan kualitas isi.

Yang tak kalah penting adalah pengujian internal atau alpha testing. Pada tahap ini, versi awal produk pembelajaran diuji oleh tim internal—bisa dari kalangan ahli, pengembang, atau bahkan perwakilan audiens sasaran. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengevaluasi aspek teknis, fungsionalitas, dan alur logika dari produk yang dikembangkan. Misalnya, apakah tombol dalam modul interaktif bekerja sebagaimana mestinya? Apakah urutan materi sudah logis? Apakah narasi audio selaras dengan tampilan visual? Umpan balik dari pengujian ini sangat penting untuk proses perbaikan.

Selain itu, dalam tahap pengembangan ini juga dilakukan integrasi sistem, terutama jika produk yang dikembangkan berbasis Learning Management System (LMS) atau aplikasi digital. Pengembang harus memastikan semua komponen media dapat berjalan harmonis dalam satu platform—misalnya, video, kuis interaktif, fitur umpan balik, dan sistem pelaporan kemajuan belajar. Aspek user experience (UX) dan user interface (UI) menjadi perhatian utama, karena akan mempengaruhi kenyamanan dan keterlibatan peserta didik.

Secara keseluruhan, tahap pengembangan dalam model Lee and Owens adalah tahap yang padat teknis, tetapi juga sangat strategis. Keberhasilan pada tahap ini sangat bergantung pada kualitas perencanaan di tahap sebelumnya serta komunikasi lintas tim pengembang. Apabila proses pengembangan dilakukan secara kolaboratif, responsif terhadap umpan balik, dan tetap berpijak pada kebutuhan audiens, maka hasil akhirnya akan menjadi produk pembelajaran yang tidak hanya layak secara teknis, tetapi juga bermakna secara pedagogis dan emosional.

4. Tahap Implementasi

Tahap implementasi adalah saat di mana produk pembelajaran yang telah dikembangkan mulai digunakan dalam konteks nyata. Ini adalah tahap yang penuh harapan sekaligus tantangan, karena merupakan momen pengujian sejati terhadap semua hasil kerja sebelumnya. Dalam model Lee and Owens, implementasi tidak sekadar menyampaikan materi kepada peserta didik, tetapi mencakup proses pengaturan, pelaksanaan, dan pemantauan proses belajar mengajar yang telah dirancang secara sistematis. Proses implementasi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, tergantung pada media dan strategi yang telah dirancang sebelumnya. Jika pembelajaran dilakukan secara tatap muka, maka guru atau fasilitator perlu memastikan bahwa alur kegiatan, instruksi, dan alat bantu pembelajaran tersedia dan siap digunakan. Jika berbasis daring atau blended learning, maka sistem perlu diuji secara langsung untuk memastikan semua fitur berjalan sesuai fungsinya. Di sinilah kesiapan teknologi, konektivitas, dan kemampuan pengguna memegang peranan penting.

Dalam implementasi, peran fasilitator atau pengajar menjadi sangat vital. Mereka bukan hanya sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai mediator, motivator, dan pengelola kelas. Oleh karena itu, mereka perlu mendapatkan pelatihan atau briefing yang cukup agar bisa memahami maksud dan cara menggunakan media yang dikembangkan. Tanpa pemahaman ini, potensi produk pembelajaran tidak akan dapat dimaksimalkan, bahkan bisa menimbulkan kebingungan di antara peserta didik. Lee and Owens juga menekankan pentingnya pemantauan dan dokumentasi selama implementasi. Proses ini tidak boleh dilepas begitu saja tanpa kontrol. Evaluasi formatif secara langsung sangat penting, misalnya melalui observasi, kuisioner kepuasan peserta, atau catatan teknis atas masalah yang muncul. Informasi-informasi ini menjadi bahan refleksi penting yang akan digunakan untuk revisi sebelum produk benar-benar dianggap siap untuk digunakan secara luas.

Secara keseluruhan, tahap implementasi bukanlah akhir dari proses, tetapi sebuah tahap transisi menuju evaluasi dan perbaikan. Implementasi yang dilakukan dengan kesadaran penuh dan pengelolaan yang baik akan menghasilkan umpan balik otentik dari dunia nyata. Ini adalah momen di mana pembelajaran yang dirancang mulai menyentuh kehidupan peserta didik dan di sinilah nilai sejati dari model Lee and Owens mulai terlihat: menghubungkan rancangan pedagogik dengan kebutuhan manusia secara nyata.

5. Tahap Evaluasi

Tahap evaluasi merupakan titik reflektif dalam seluruh rangkaian pengembangan pembelajaran. Dalam model Lee and Owens, evaluasi tidak dianggap sebagai aktivitas penutup semata, melainkan sebagai komponen integral yang berlangsung sepanjang proses, mulai dari analisis hingga implementasi. Evaluasi dirancang untuk memberikan informasi yang akurat dan bermakna terkait efektivitas materi, strategi, dan pendekatan yang digunakan, serta dampaknya terhadap peserta didik. Evaluasi dalam model ini dibagi menjadi dua jenis utama: formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilakukan selama proses berlangsung—baik saat desain, pengembangan, maupun implementasi. Misalnya, saat prototipe diuji oleh ahli atau peserta percontohan, itu termasuk evaluasi formatif. Tujuannya adalah untuk mendeteksi kekurangan sejak dini dan memberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan sebelum pembelajaran dijalankan secara penuh. Ini merupakan bentuk evaluasi berkelanjutan yang bersifat dinamis dan responsif.

Sementara itu, evaluasi sumatif dilakukan setelah proses pembelajaran selesai diimplementasikan. Evaluasi ini bertujuan untuk menilai apakah tujuan pembelajaran tercapai, bagaimana dampaknya terhadap pencapaian peserta didik, serta apakah media dan strategi yang digunakan efektif dalam konteks riil. Evaluasi sumatif sering kali mencakup analisis hasil tes, wawancara, survei kepuasan, atau bahkan studi dampak jangka panjang dalam konteks pelatihan kerja atau pendidikan.

Salah satu keunggulan model Lee and Owens terletak pada penggunaan data evaluasi untuk perbaikan berkelanjutan. Evaluasi bukan sekadar menilai benar atau salah, berhasil atau gagal, melainkan sebagai cermin untuk memahami apa yang bisa ditingkatkan. Model ini mendorong pengembang untuk menggunakan hasil evaluasi sebagai dasar revisi siklus berikutnya—baik dalam pengembangan versi baru materi, pelatihan ulang fasilitator, atau perbaikan sistem penyampaian. Dengan demikian, tahap evaluasi dalam model Lee and Owens tidak hanya berfungsi sebagai pengukuran kinerja, tetapi juga sebagai wahana untuk pertumbuhan dan pembelajaran itu sendiri. Ia memastikan bahwa proses desain instruksional tetap relevan, adaptif, dan berpihak pada kebutuhan peserta didik yang selalu berkembang. Dalam kerangka ini, evaluasi menjadi ekspresi dari komitmen terhadap kualitas dan kemanusiaan dalam pendidikan.

Kelebihan dan Kekurangan Model Lee and Owens

Kelebihan Model Pengembangan Lee and Owens

  1. Analisis yang Mendalam dan Menyeluruh
    Model ini mengawali proses dengan analisis kebutuhan dan analisis audiens secara terstruktur, memungkinkan pengembang memahami konteks, tantangan, dan karakteristik peserta didik secara spesifik. Hal ini membantu menghasilkan solusi pembelajaran yang lebih tepat guna dan relevan.
  2. Cocok untuk Pengembangan Berbasis Teknologi
    Model ini sangat ideal untuk digunakan dalam pengembangan e-learning, multimedia interaktif, dan aplikasi pembelajaran digital karena alurnya mendukung perancangan berbasis media modern.
  3. Prototyping dan Uji Coba Awal yang Sistematis
    Dengan adanya tahap desain prototipe dan uji alpha, produk dapat diuji dan diperbaiki sejak awal sebelum diimplementasikan secara penuh. Ini meminimalisir kesalahan di tahap akhir.
  4. Evaluasi Formatif Berkelanjutan
    Evaluasi tidak hanya dilakukan di akhir, tetapi menyertai setiap tahapan untuk memastikan proses tetap berada di jalur yang benar dan dapat diperbaiki jika diperlukan.
  5. Fleksibel dan Adaptif terhadap Berbagai Konteks
    Model ini dapat disesuaikan untuk berbagai jenis pembelajaran, baik di lingkungan pendidikan formal, pelatihan industri, maupun pengembangan mandiri.

Kekurangan Model Pengembangan Lee and Owens

  1. Membutuhkan Waktu dan Sumber Daya yang Lebih Banyak
    Karena setiap tahap memerlukan proses mendalam—terutama analisis, desain prototipe, dan evaluasi—model ini bisa menjadi tidak efisien jika diterapkan dalam proyek yang terbatas oleh waktu atau anggaran.
  2. Kurang Efektif untuk Skala Kecil dan Pembelajaran Tradisional
    Untuk pengembangan pembelajaran sederhana tanpa teknologi, beberapa komponen seperti media digital, pengujian alpha, atau sistem LMS mungkin terasa tidak relevan atau terlalu kompleks.
  3. Ketergantungan pada Keterampilan Teknologi
    Pengembangan berbasis media interaktif dan teknologi menuntut tim yang memiliki keahlian teknis tertentu, yang bisa jadi tidak dimiliki oleh semua institusi atau pengembang individu.
  4. Implementasi Bisa Sulit Tanpa Dukungan Organisasi
    Dalam konteks institusi pendidikan atau pelatihan yang belum memiliki budaya pengembangan sistematis, penerapan model ini bisa menemui hambatan pada aspek koordinasi, birokrasi, atau resistensi perubahan.
  5. Evaluasi Mendalam Bisa Menjadi Beban Tambahan
    Meskipun bermanfaat, proses evaluasi yang intensif bisa terasa membebani jika tidak ada tim khusus yang menangani, atau jika evaluasi tidak ditindaklanjuti dengan perbaikan konkret.