Model Pengembangan Alessi and Trollip: Strategi Sistematis dalam Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif

Penulis: Edi Elisa | Kategori: Penelitian dan Pengembangan | Tanggal Terbit: | Dilihat: 77 kali

Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan modern yang semakin terintegrasi dengan teknologi, kebutuhan akan media pembelajaran yang tidak hanya efektif tetapi juga manusiawi menjadi sangat penting. Media pembelajaran tidak lagi hanya dianggap sebagai alat bantu visual atau penyampai informasi semata, melainkan sebagai jembatan interaktif antara peserta didik dan pengalaman belajar yang bermakna. Di sinilah peran model pengembangan Alessi & Trollip menjadi relevan, karena menawarkan pendekatan yang tidak hanya sistematis tetapi juga berlandaskan pada pemahaman mendalam terhadap kebutuhan manusia dalam proses belajar.

Model Alessi & Trollip dikenal karena pendekatannya yang mengedepankan aspek interaktivitas, personalisasi, dan keterlibatan emosional dalam setiap tahapan pengembangan media pembelajaran. Alih-alih sekadar menekankan pada struktur teknis atau urutan logis pembuatan produk multimedia, model ini menempatkan peserta didik sebagai pusat dari seluruh proses. Dalam setiap keputusan desain—baik dari segi tampilan, alur, maupun interaktivitas—selalu dipertimbangkan bagaimana pengguna akan merasakan, memahami, dan merespons materi yang disajikan.

Salah satu nilai utama dalam model ini adalah kesadaran bahwa teknologi pendidikan tidak boleh mengabaikan sisi manusia dari pembelajaran. Pembelajar bukanlah objek pasif yang sekadar menerima informasi, melainkan individu dengan latar belakang, motivasi, dan emosi yang unik. Oleh karena itu, proses perencanaan dan perancangan dalam model Alessi & Trollip mencakup analisis kebutuhan yang mendalam, penggambaran konteks nyata pembelajar, serta pengembangan interaksi yang bersifat dialogis dan empatik. Dengan mengadopsi prinsip humanisasi ini, media yang dikembangkan menjadi lebih dari sekadar produk digital. Ia menjadi media yang “berbicara” dan “berinteraksi” dengan pengguna, menawarkan pengalaman belajar yang lebih hidup, inklusif, dan adaptif terhadap perbedaan individu. Pendekatan ini menjadi sangat penting terutama dalam konteks pembelajaran daring atau jarak jauh, di mana interaksi manusia secara fisik menjadi terbatas, dan peran media menjadi satu-satunya penghubung utama antara pendidik dan peserta didik.

Model Alessi & Trollip juga mendorong kolaborasi lintas disiplin—antara pendidik, ahli teknologi, desainer grafis, dan psikolog pendidikan—dalam proses pengembangan. Kolaborasi ini bukan hanya untuk menciptakan produk yang fungsional secara teknis, tetapi juga memastikan bahwa setiap elemen dalam media yang dikembangkan dapat menyentuh sisi emosional dan kognitif pengguna. Hal ini menegaskan bahwa keberhasilan media pembelajaran tidak hanya diukur dari sejauh mana materi tersampaikan, tetapi juga dari sejauh mana media tersebut dapat menciptakan keterlibatan dan kenyamanan belajar. Dengan pendekatan yang holistik dan humanistik inilah, model pengembangan Alessi & Trollip menjadi salah satu model yang patut dipertimbangkan dalam merancang media pembelajaran interaktif. Ia menjembatani antara kebutuhan teknis dan kebutuhan manusiawi dalam pembelajaran, sekaligus menawarkan kerangka kerja yang kuat bagi pengembang yang ingin menciptakan media edukatif yang bermakna, menyentuh, dan berdampak nyata bagi kehidupan peserta didik.

Latar Belakang Model Alessi & Trollip

Model pengembangan Alessi & Trollip dikembangkan oleh dua pakar dalam bidang teknologi pembelajaran, yaitu Stephen R. Alessi dan Stanley R. Trollip. Model ini diperkenalkan dalam konteks pengembangan sistem pembelajaran berbasis komputer (computer-based instruction) dan multimedia interaktif. Fokus utama model ini adalah menciptakan media pembelajaran yang tidak hanya informatif dan fungsional, tetapi juga menarik, fleksibel, dan menyentuh sisi personal pengguna. Dalam konteks inilah, model ini dianggap memiliki tingkat humanisasi yang tinggi, karena tidak semata-mata berorientasi pada produk, tetapi juga pada pengalaman belajar. Sejak awal kemunculannya, model ini dirancang untuk mendukung proses pembelajaran berbasis teknologi yang tetap memperhatikan prinsip-prinsip psikologi belajar dan interaksi manusia. Alessi & Trollip memahami bahwa teknologi hanyalah alat, sedangkan inti dari proses pendidikan tetap terletak pada hubungan antara pembelajar dan pengalaman yang diberikan oleh media. Oleh sebab itu, model ini menggabungkan pendekatan sistematis dari instructional design dengan prinsip desain antarmuka manusia-komputer (human-computer interaction) yang kuat.

Model ini terbagi menjadi tiga fase utama: Perencanaan (Planning), Perancangan (Design), dan Pengembangan (Development). Masing-masing fase tidak berdiri sendiri, melainkan saling terhubung dalam sebuah siklus iteratif yang memungkinkan proses evaluasi dan revisi secara berkelanjutan. Keterlibatan pengguna atau calon pembelajar dilakukan sejak awal proses perencanaan untuk memastikan bahwa media yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan, gaya belajar, dan konteks pengguna. Yang membedakan Alessi & Trollip dari model lain adalah kedalamannya dalam memetakan aktivitas-aktivitas praktis yang dibutuhkan dalam setiap fase pengembangan. Tidak hanya memberikan gambaran umum, model ini juga menjabarkan langkah-langkah rinci yang harus dilakukan oleh tim pengembang. Dari analisis kebutuhan, penentuan tujuan, pembuatan skenario, hingga uji coba media dilakukan dengan pendekatan yang terstruktur, namun tetap memberikan ruang bagi kreativitas dan empati terhadap pengguna akhir.

Dalam implementasinya, model ini sangat cocok digunakan untuk mengembangkan produk-produk multimedia interaktif seperti e-learning, simulasi edukatif, aplikasi pembelajaran berbasis game, dan media pembelajaran digital lainnya. Pengembang yang menggunakan model ini tidak hanya dituntut untuk berpikir secara logis dan teknis, tetapi juga untuk mempertimbangkan bagaimana setiap keputusan desain akan mempengaruhi persepsi, pemahaman, dan kenyamanan belajar peserta didik. Oleh karena itu, model Alessi & Trollip tidak hanya menjadi kerangka kerja teknis, tetapi juga menjadi pedoman etis dan filosofis dalam menciptakan media pembelajaran yang manusiawi. Ia membantu para pengembang untuk tetap berpijak pada prinsip pendidikan yang menghargai keunikan setiap individu, sekaligus mendorong penggunaan teknologi secara bijak dan berempati dalam dunia pendidikan.

Tahapan Model Alessi & Trollip

Tahap 1: Planning (Perencanaan)

Tahap perencanaan dalam model Alessi & Trollip adalah fondasi awal dari keseluruhan proses pengembangan media pembelajaran. Pada fase ini, seluruh keputusan awal yang akan memengaruhi jalannya proyek ditetapkan secara sistematis, dengan pendekatan yang humanistik dan berbasis kebutuhan nyata pengguna. Tujuannya adalah memastikan bahwa media yang dikembangkan benar-benar relevan, efektif, dan kontekstual sesuai dengan lingkungan belajar.

Berikut ini adalah kegiatan utama yang dilakukan dalam tahap Planning:

1.1. Analisis Kebutuhan (Needs Analysis)

Proses ini dilakukan untuk mengidentifikasi kesenjangan antara kondisi pembelajaran saat ini dengan kondisi ideal yang diharapkan. Pengembang melakukan pengumpulan data melalui observasi, wawancara, diskusi dengan guru atau instruktur, serta analisis dokumentasi kurikulum. Analisis ini menekankan pada human-centered design di mana kebutuhan dan karakteristik peserta didik menjadi prioritas utama. Hasil dari analisis ini adalah gambaran menyeluruh tentang masalah yang ingin dipecahkan oleh media pembelajaran.

 
1.2. Penentuan Tujuan Pembelajaran

Setelah kebutuhan diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan pembelajaran yang jelas, terukur, dan berorientasi pada hasil belajar peserta didik. Tujuan ini akan menjadi panduan dalam menentukan isi, strategi penyajian, dan bentuk interaktivitas yang tepat. Dalam kerangka humanisasi, tujuan pembelajaran juga disesuaikan dengan konteks sosial, budaya, dan psikologis pengguna.

 
1.3. Identifikasi Karakteristik Pengguna (User Analysis)

Tahapan ini bertujuan untuk memahami siapa pengguna akhir dari media yang akan dikembangkan. Pengembang harus mengetahui latar belakang peserta didik, usia, tingkat pendidikan, minat, preferensi belajar (visual, auditori, kinestetik), serta kendala teknis yang mungkin dihadapi (akses internet, perangkat yang digunakan, dll). Data ini digunakan untuk mendesain pengalaman belajar yang personal dan empatik.

 
1.4. Menentukan Sumber Daya (Resource Planning)

Dalam tahap ini, tim pengembang mengidentifikasi segala sumber daya yang dibutuhkan: mulai dari SDM (desainer instruksional, programmer, ilustrator), perangkat keras dan lunak, anggaran biaya, hingga waktu pengerjaan. Perencanaan ini penting untuk menjamin keberlangsungan proyek agar berjalan lancar sesuai dengan jadwal.

 
1.5. Penyusunan Rencana Proyek

Kegiatan ini meliputi penyusunan timeline, pembagian tugas, dan penetapan milestone proyek. Rencana ini tidak bersifat kaku, melainkan fleksibel agar dapat beradaptasi dengan dinamika yang terjadi selama proses pengembangan. Elemen humanistik juga tercermin dalam komunikasi yang kolaboratif antaranggota tim serta adanya ruang refleksi dalam setiap tahap yang dijalankan.

 
1.6. Penentuan Kriteria Evaluasi Awal

Sebelum produk dikembangkan, penting untuk menentukan indikator keberhasilan proyek. Evaluasi ini mencakup aspek teknis (fungsi sistem), pedagogis (pencapaian tujuan belajar), serta pengalaman pengguna (user experience). Hal ini menjadi acuan awal dalam merancang instrumen evaluasi pada tahap berikutnya.

Tahap 2: Design (Perancangan)

Tahap perancangan merupakan kelanjutan dari hasil perencanaan sebelumnya dan menjadi inti dari proses kreatif dalam pengembangan media pembelajaran. Pada tahap ini, semua hasil analisis dan rencana proyek mulai diwujudkan dalam bentuk desain konseptual dan visual, termasuk struktur isi, antarmuka, dan alur interaksi. Tahapan ini sangat menekankan user experience (UX) dan user interface (UI) agar media yang dikembangkan tidak hanya fungsional, tetapi juga nyaman dan menyenangkan untuk digunakan.

Berikut adalah rincian kegiatan utama dalam tahap Design:

2.1. Penyusunan Struktur Isi dan Alur Pembelajaran

Desainer instruksional mulai mengembangkan kerangka isi berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan. Informasi disusun secara logis dan sistematis, mulai dari pengantar, penyajian inti, hingga penutup atau evaluasi. Penyusunan ini juga mempertimbangkan prinsip-prinsip pembelajaran seperti chunking, scaffolding, dan reinforcement, agar pengguna dapat memahami materi secara bertahap dan terarah.

 
2.2. Desain Antarmuka Pengguna (UI Design)

Desain antarmuka melibatkan pembuatan layout visual dari aplikasi atau media pembelajaran. Ini mencakup elemen-elemen seperti warna, ikon, tombol, tipografi, dan navigasi. Prinsip estetika dan keterbacaan sangat diperhatikan untuk menciptakan tampilan yang tidak membingungkan pengguna. Desain ini harus inklusif dan ramah pengguna dari berbagai latar belakang, termasuk yang memiliki keterbatasan visual atau motorik.

 
2.3. Desain Interaktivitas dan Responsif

Pada tahap ini, desainer merancang bagaimana pengguna akan berinteraksi dengan media—misalnya dengan klik, drag and drop, simulasi, atau kuis. Interaksi dirancang agar bersifat dialogis dan memberi umpan balik secara langsung (immediate feedback), sehingga pengguna merasa terlibat secara aktif dalam proses belajar. Respons yang diberikan oleh sistem harus bersifat empatik, bukan menghukum, untuk mempertahankan motivasi belajar pengguna.

 
2.4. Pembuatan Storyboard dan Naskah Multimedia

Storyboard berfungsi sebagai panduan visual yang menggambarkan setiap langkah atau tampilan dalam media. Ini sangat penting ketika media mencakup elemen visual, audio, atau animasi. Naskah multimedia juga disusun dengan bahasa yang komunikatif, tidak kaku, dan disesuaikan dengan tingkat pemahaman target pengguna. Humanisasi tampak jelas di sini, karena setiap narasi disusun untuk membangun keterhubungan emosional dengan pembelajar.

 
2.5. Spesifikasi Teknis untuk Tim Developer

Setelah desain selesai, seluruh elemen dan fitur dituangkan dalam dokumen spesifikasi teknis untuk tim pengembang. Ini mencakup struktur navigasi, logika pemrograman, alur data, dan integrasi multimedia. Komunikasi antar tim sangat penting pada tahap ini agar tidak terjadi kesalahan interpretasi yang dapat mengganggu konsistensi antara desain dan implementasi.

 
2.6. Perencanaan Evaluasi Formatif

Desain juga harus mencakup strategi evaluasi yang akan digunakan selama dan setelah pengembangan. Instrumen seperti angket kepuasan pengguna, log aktivitas, dan tes formatif mulai disusun pada tahap ini. Evaluasi tidak hanya menilai aspek kognitif, tetapi juga afektif dan pengalaman pengguna secara keseluruhan.

Tahap 3: Development (Pengembangan)

Tahap pengembangan merupakan tahap di mana semua hasil perencanaan dan desain sebelumnya diimplementasikan menjadi produk media pembelajaran yang nyata dan dapat digunakan. Fase ini bukan sekadar proses teknis, tetapi merupakan aktivitas yang terus menerus dievaluasi dan disempurnakan. Pendekatan humanistik tetap menjadi pijakan, di mana pengembang tidak hanya memikirkan “apa” yang dibuat, tetapi juga “bagaimana” dan “untuk siapa” produk itu digunakan.

Berikut adalah kegiatan utama dalam tahap Development:

3.1. Produksi Media dan Integrasi Konten

Pada tahap ini, tim pengembang mulai membuat seluruh elemen multimedia sesuai dengan storyboard dan spesifikasi desain. Konten-konten teks, gambar, animasi, suara, video, dan interaktivitas mulai digabungkan dan disusun dalam format aplikasi atau platform pembelajaran. Setiap elemen dikembangkan dengan prinsip inklusivitas, memastikan bahwa tidak ada pengguna yang terpinggirkan karena hambatan bahasa, visual, atau aksesibilitas.

3.2. Pemrograman dan Implementasi Teknologi

Programmer mulai menerapkan logika interaksi dan navigasi, termasuk sistem respons pengguna, evaluasi otomatis, dan penyimpanan data belajar. Fokus utamanya adalah menjaga user flow tetap lancar, intuitif, dan responsif terhadap berbagai perangkat (laptop, tablet, ponsel). Humanisasi dalam konteks ini tercermin dari pemrograman sistem yang tidak hanya “berjalan dengan benar”, tetapi juga “berinteraksi dengan empati.”

3.3. Uji Coba Internal (Alpha Testing)

Sebelum media digunakan oleh pengguna akhir, dilakukan uji coba internal oleh tim pengembang atau ahli untuk mengidentifikasi bug teknis, kesalahan konten, dan kekurangan pada tampilan. Pengujian ini bersifat teknis, namun tetap mempertimbangkan kenyamanan penggunaan. Setiap temuan diperbaiki untuk memastikan bahwa media dapat berfungsi optimal sebelum diuji oleh pengguna sesungguhnya.

3.4. Uji Coba Lapangan (Beta Testing)

Media kemudian diuji oleh pengguna akhir (peserta didik, guru, atau target lainnya) dalam lingkungan belajar yang sesungguhnya. Umpan balik dikumpulkan melalui observasi, wawancara, kuesioner, serta analisis hasil belajar pengguna. Fase ini sangat penting karena membuka ruang bagi penilaian pengalaman nyata pengguna, termasuk sejauh mana media dapat memotivasi, memfasilitasi pemahaman, dan mendorong keterlibatan emosional.

3.5. Revisi dan Penyempurnaan

Berdasarkan hasil evaluasi beta testing, dilakukan revisi terhadap media pembelajaran. Revisi ini bisa meliputi perubahan konten, alur interaksi, tampilan antarmuka, atau peningkatan fitur teknis. Proses ini berlangsung secara iteratif, dengan semangat keterbukaan terhadap kritik dan penghargaan atas pengalaman pengguna. Tujuannya bukan hanya agar media “bebas dari kesalahan”, tetapi agar media benar-benar “bermakna bagi pengguna.”

3.6. Finalisasi dan Distribusi

Setelah media direvisi dan diuji ulang, produk akhir siap dirilis dan digunakan secara luas. Distribusi dilakukan melalui platform yang paling relevan dengan audiens—bisa berupa aplikasi mobile, platform LMS, CD interaktif, atau situs web. Pendampingan dan pelatihan penggunaan media juga bisa disiapkan untuk memastikan adopsi maksimal, terutama pada pengguna yang belum terbiasa dengan teknologi.

Kelebihan dan Kekurangan Model Alessi & Trollip

Kelebihan Model Alessi & Trollip

Model pengembangan Alessi & Trollip menawarkan berbagai keunggulan yang menjadikannya salah satu pendekatan yang sangat direkomendasikan dalam pengembangan media pembelajaran interaktif dan humanistik. Berikut adalah kelebihan model ini:

  1. Pendekatan Sistematis dan Terstruktur
    Model ini menyediakan alur kerja yang sangat jelas dari tahap perencanaan, perancangan, hingga pengembangan. Setiap fase memiliki sub-langkah yang rinci, sehingga memudahkan tim pengembang dalam mengorganisasi tugas dan menghindari pekerjaan yang tumpang tindih.
  2. Human-Centered Design
    Alessi & Trollip menekankan pentingnya memahami kebutuhan, karakteristik, dan pengalaman pengguna akhir. Ini menjadikan media yang dikembangkan lebih personal, inklusif, dan relevan secara psikologis maupun sosial bagi pembelajar.
  3. Mendorong Kolaborasi Lintas Disiplin
    Model ini dirancang untuk dikerjakan secara kolaboratif oleh tim yang terdiri dari ahli pembelajaran, desainer grafis, programmer, dan evaluator. Kolaborasi ini memungkinkan pengembangan media yang tidak hanya indah dan fungsional, tetapi juga kaya secara pedagogis.
  4. Meningkatkan Kualitas Interaktivitas
    Interaktivitas bukan sekadar fitur teknis, tetapi bagian integral dari proses pembelajaran. Model ini menuntun pengembang untuk merancang interaksi yang mendorong keterlibatan aktif, refleksi, dan feedback yang membangun bagi pengguna.
  5. Menekankan Evaluasi Format dan Sumatif
    Model ini menyediakan ruang evaluasi di setiap tahap, mulai dari alpha testing hingga beta testing. Hal ini memastikan bahwa produk yang dihasilkan telah melalui pengujian ketat, baik dari segi teknis maupun pedagogis.
  6. Fleksibel untuk Berbagai Format Media
    Model Alessi & Trollip tidak hanya cocok untuk aplikasi pembelajaran komputer, tetapi juga dapat diterapkan dalam pengembangan e-learning, simulasi interaktif, multimedia edukatif, hingga game edukasi. Ini menjadikannya model yang sangat adaptif terhadap perkembangan teknologi.
  7. Mengintegrasikan Estetika dan Fungsi
    Desain antarmuka tidak hanya ditekankan pada sisi teknis, tetapi juga pada estetika visual dan kemudahan penggunaan. Hal ini menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan, memotivasi, dan tidak melelahkan secara kognitif.
  8. Relevan dalam Konteks Pembelajaran Digital Masa Kini
    Dengan meningkatnya pembelajaran berbasis daring dan mobile, model ini tetap relevan karena memperhatikan aspek interaktivitas, user experience (UX), dan evaluasi berbasis data, yang semuanya menjadi pilar penting dalam sistem pembelajaran digital modern.
  9. Meningkatkan Empati dalam Proses Desain
    Model ini mendorong pengembang untuk terus menempatkan dirinya dalam posisi pengguna. Hal ini menghasilkan media yang tidak hanya berguna secara teknis, tetapi juga menciptakan rasa keterhubungan dan kenyamanan emosional selama proses belajar.
  10. Berbasis Iteratif dan Berkelanjutan
    Tahap-tahap dalam model ini dirancang secara siklikal. Artinya, proses pengembangan tidak berhenti setelah satu siklus, tetapi terus disempurnakan berdasarkan hasil evaluasi. Ini membuat produk media menjadi semakin matang dan sesuai dengan perubahan kebutuhan pengguna.

Kekurangan Model Alessi & Trollip

Meskipun model Alessi & Trollip memiliki banyak keunggulan, seperti halnya model pengembangan lainnya, pendekatan ini juga memiliki sejumlah keterbatasan yang perlu dipertimbangkan, terutama dalam konteks implementasi di lapangan. Berikut adalah kekurangannya secara rinci:

  1. Membutuhkan Waktu Pengembangan yang Panjang
    Model ini sangat rinci dan komprehensif, sehingga proses dari perencanaan hingga distribusi produk memerlukan waktu yang cukup lama. Ini bisa menjadi kendala ketika pengembang dihadapkan pada tenggat waktu yang ketat atau kebutuhan mendesak.
  2. Membutuhkan Tim Multidisiplin yang Terampil
    Untuk menjalankan model ini secara optimal, dibutuhkan tim yang terdiri dari berbagai latar belakang keahlian seperti desainer instruksional, pengembang multimedia, programmer, dan evaluator. Dalam praktiknya, tidak semua institusi pendidikan atau pengembang individu memiliki akses ke SDM seperti ini.
  3. Biaya Produksi Cenderung Tinggi
    Karena melibatkan banyak tahapan, uji coba berulang, serta keterlibatan tim yang besar, model ini seringkali menuntut alokasi dana yang besar. Hal ini dapat menjadi hambatan bagi proyek dengan anggaran terbatas, terutama di lingkungan pendidikan menengah ke bawah.
  4. Kompleksitas Tinggi untuk Pemula
    Bagi pengembang media pembelajaran pemula atau individu yang bekerja sendiri, kompleksitas struktur model ini bisa menjadi membingungkan dan melelahkan. Banyaknya terminologi teknis dan alur kerja yang panjang dapat menjadi beban tersendiri dalam proses belajar dan penerapan.
  5. Tidak Selalu Cocok untuk Proyek Skala Kecil
    Untuk proyek-proyek sederhana seperti video pembelajaran singkat, modul PDF, atau media satu halaman, penerapan model Alessi & Trollip bisa terasa berlebihan. Model ini lebih cocok untuk pengembangan sistem pembelajaran digital yang kompleks dan interaktif.

Kesimpulan

  1. Model Pengembangan Alessi & Trollip menghadirkan pendekatan yang sistematis, mendalam, dan sangat memperhatikan dimensi kemanusiaan dalam proses pengembangan media pembelajaran. Dengan membagi proses ke dalam tiga tahap utama—perencanaan, perancangan, dan pengembangan—model ini tidak hanya membantu pengembang menciptakan media yang efektif dan interaktif, tetapi juga mendorong pengalaman belajar yang lebih personal dan bermakna bagi pengguna.
  2. Keunggulan utama dari model ini terletak pada human-centered design yang menempatkan kebutuhan, karakteristik, dan kenyamanan pengguna sebagai fokus utama. Selain itu, struktur kerjanya yang kolaboratif memungkinkan integrasi berbagai keahlian untuk menghasilkan media yang estetis, fungsional, dan pedagogis. Evaluasi yang berulang juga menjamin bahwa produk akhir tidak hanya bebas dari kesalahan, tetapi juga benar-benar relevan dengan kebutuhan pembelajar.
  3. Namun demikian, model ini juga memiliki beberapa keterbatasan seperti kebutuhan sumber daya yang besar, waktu pengerjaan yang panjang, serta tingkat kompleksitas yang tinggi bagi pemula. Oleh karena itu, penerapan model ini perlu disesuaikan dengan skala dan konteks proyek yang dijalankan, agar tidak membebani proses pengembangan secara berlebihan.
  4. Secara keseluruhan, Alessi & Trollip adalah model yang sangat cocok untuk pengembangan media pembelajaran digital berskala menengah hingga besar, terutama yang melibatkan interaktivitas tinggi dan berbagai jenis media. Model ini membantu pengembang tidak hanya menciptakan produk, tetapi juga membangun pengalaman belajar digital yang hidup, empatik, dan transformatif.