Konsep dan Hambatan yang Sering Ditemui oleh Penyandang Disabilitas

Penulis: Edi Elisa | Kategori: Pendidikan Inklusi | Tanggal Terbit: | Dilihat: 72 kali

Definisi Disabilitas

Penyandang disabilitas mencakup semua yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam berinteraksi mengalami berbagai hambatan yang dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektifitas mereka dalam bersosialisasi dengan masyarakat secara setara (Pasal 1 UNCRPD). 

Menurut Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCRPD), konsep disabilitas tidak hanya terbatas pada kondisi fisik atau mental individu, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan sosial. Disabilitas mencakup dua aspek utama. Pertama, terdapat karakteristik individu, yaitu suatu keterbatasan atau impairment yang bersifat fisik, mental, intelektual, atau sensorik. Keterbatasan ini bisa bersifat bawaan sejak lahir atau diperoleh sepanjang hidup seseorang akibat kecelakaan, penyakit, atau faktor lainnya. Contoh dari keterbatasan ini meliputi gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, cerebral palsy, autisme, atau gangguan kesehatan mental.

Kedua, terdapat hambatan sosial yang menghalangi partisipasi penuh dan setara penyandang disabilitas dalam masyarakat. Hambatan ini dapat berupa infrastruktur yang tidak ramah disabilitas, seperti bangunan tanpa akses bagi pengguna kursi roda, kurangnya layanan pendidikan inklusif, diskriminasi dalam dunia kerja, serta stigma sosial yang menyebabkan penyandang disabilitas mengalami keterasingan atau kesulitan mendapatkan hak-hak dasar mereka. Dengan demikian, disabilitas bukan hanya tentang kondisi individu, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat menciptakan lingkungan yang inklusif atau justru memperburuk keterbatasan tersebut melalui berbagai hambatan. Oleh karena itu, pendekatan yang berfokus pada penghapusan hambatan sosial dan pemberian akses yang setara menjadi sangat penting dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan inklusivitas bagi penyandang disabilitas di semua aspek kehidupan.

Ilustrasi orang dengan disabilitas

Aspek 1. Karakteristik IndividuAspek 2. Hambatan SosialPenjelasan

Somca adalah salah satu murid saya. Dia merupakan anak yang cerdas, kreatif, dan menggunakan kursi roda karena mengalami kelemahan otot.

Somca tinggal di daerah pedesaan, dan karena kurangnya transportasi yang aksesibel, terdapat hari-hari di mana ia tidak bisa pergi ke sekolah.

Somchai memiliki keterbatasan fisik (impairment), yang merupakan karakteristik individu. Karena kondisi tersebut, ia membutuhkan kursi roda untuk bergerak. Namun, masalah utama yang dihadapinya adalah transportasi umum yang tidak memfasilitasi kursi roda, yang menjadi hambatan sosial (barrier). Akibatnya, ia tidak bisa bersekolah secara teratur, sehingga menghambat partisipasi penuhnya dalam masyarakat.

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas PBB (UNCRPD), kondisi yang dialami Somca memenuhi definisi disabilitas. Hal ini karena disabilitas tidak hanya ditentukan oleh keterbatasan individu, tetapi juga oleh hambatan eksternal yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi secara setara dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pendidikan.

Model-Model Disabilitas

Model disabilitas adalah kerangka pemikiran yang digunakan untuk memahami disabilitas, termasuk bagaimana seseorang dengan disabilitas, keluarga mereka, serta kemampuan dan kebutuhan mereka dipersepsikan. Model ini berperan penting dalam membentuk kebijakan nasional dan internasional terkait penyandang disabilitas, serta menentukan jenis dukungan yang mereka terima.

Pendekatan yang digunakan dalam model disabilitas dapat berdampak pada cara masyarakat memperlakukan penyandang disabilitas, apakah mereka dipandang sebagai individu yang membutuhkan perawatan medis, sebagai bagian dari keberagaman manusia yang harus didukung secara inklusif, atau sebagai kelompok yang menghadapi hambatan sosial yang harus dihilangkan. Dengan kata lain, model ini memengaruhi bagaimana pemerintah, organisasi, dan masyarakat merancang layanan, regulasi, dan fasilitas yang mendukung kehidupan penyandang disabilitas.

1. Model Medis Disabilitas

Model Medis Disabilitas melihat disabilitas sebagai masalah individu, bukan sebagai persoalan sosial. Dalam perspektif ini, keterbatasan seseorang dianggap sebagai penyebab utama dari kesulitan yang mereka alami. Oleh karena itu, pendekatan utama dalam model ini berfokus pada 'menyembuhkan' atau 'memperbaiki' disabilitas melalui intervensi medis. Model ini tidak mempertimbangkan faktor lingkungan atau hambatan sosial yang dapat menghalangi partisipasi penuh penyandang disabilitas dalam kehidupan masyarakat.

Dalam konteks pendidikan, model medis menempatkan tanggung jawab sepenuhnya pada siswa penyandang disabilitas ketika mereka mengalami kesulitan dalam mengakses atau memahami pembelajaran. Jika seorang siswa tidak dapat bersekolah, hal ini dianggap sebagai akibat dari keterbatasan fisik mereka, ketidakmampuan memahami kurikulum, atau bahkan karena mereka mengalami perundungan di sekolah. Model ini tidak mempertanyakan apakah lingkungan sekolah atau metode pengajaran telah dirancang secara inklusif.

Akibat dari cara pandang ini, siswa penyandang disabilitas sering kali dikecualikan dari sekolah umum atau ditempatkan di sekolah khusus, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki disabilitas. Hal ini memperkuat gagasan bahwa mereka adalah kelompok yang terpisah dari masyarakat pada umumnya, daripada individu yang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang setara dan inklusif.

Karakteristik Model Medis Disabilitas

PersepsiDukunganKelebihanKekurangan
Orang dengan disabilitas merupakan seorang pasienDukungan bagi penyandang disabilitas diberikan di pusat-pusat khusus dan terpisah, di mana para spesialis berfokus pada rehabilitasi dan pengobatan.
  • Fokus pada Perawatan dan Rehabilitasi – Model ini memberikan perhatian medis yang mendalam bagi penyandang disabilitas, termasuk terapi, pengobatan, dan intervensi yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

  • Kemajuan dalam Ilmu Kedokteran – Dengan pendekatan medis, penelitian dan inovasi dalam teknologi kesehatan, seperti alat bantu dengar, prostetik, dan terapi fisik, terus berkembang untuk membantu penyandang disabilitas.

  • Akses ke Layanan Khusus – Penyandang disabilitas dapat memperoleh perawatan dari spesialis yang memahami kondisi mereka secara lebih mendetail, sehingga mendapatkan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan individu mereka.

  • Meningkatkan Fungsi Individu – Melalui rehabilitasi dan terapi, banyak penyandang disabilitas dapat meningkatkan kemampuan fisik, mental, atau sensorik mereka, yang membantu mereka dalam kehidupan sehari-hari.

  • Pendekatan Berbasis Ilmu Pengetahuan – Model ini menggunakan penelitian medis dan teknologi untuk menemukan solusi terbaik bagi kondisi tertentu, baik melalui pengobatan, terapi, maupun alat bantu medis.

  • Penyandang disabilitas dipisahkan dari keluarga dan kehidupan komunitas – Model ini cenderung menempatkan mereka di lingkungan khusus, seperti institusi atau pusat rehabilitasi, sehingga mengurangi keterlibatan mereka dalam kehidupan sosial.
  • Menolak hak fundamental untuk tumbuh dalam keluarga dan menjadi bagian penuh dari masyarakat – Pendekatan ini mengabaikan hak penyandang disabilitas untuk hidup secara inklusif bersama keluarga dan masyarakat mereka.
  • Di banyak negara, kualitas perawatan dan pendidikan yang rendah di lingkungan khusus meningkatkan risiko kekerasan dan pelecehan – Kurangnya pengawasan dan standar yang baik dalam institusi khusus sering kali menyebabkan eksploitasi dan perlakuan tidak manusiawi terhadap penyandang disabilitas.
  • Penekanan yang berlebihan pada ‘kekurangan’ individu berdampak negatif pada harga diri penyandang disabilitas – Fokus utama pada disabilitas sebagai sesuatu yang harus ‘diperbaiki’ dapat menyebabkan rendahnya kepercayaan diri dan perasaan tidak berdaya.
  • Tidak menangani hambatan sosial dalam masyarakat – Model ini tidak mempertimbangkan bahwa lingkungan dan kebijakan yang inklusif dapat membantu penyandang disabilitas berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

Model Medis Disabilitas dalam Pendidikan

Model medis menempatkan seluruh kesulitan dalam pendidikan siswa penyandang disabilitas sebagai masalah individu mereka sendiri, seperti yang terlihat dalam ilustrasi sebelumnya. Menurut cara berpikir ini, siswa penyandang disabilitas dianggap tidak dapat bersekolah karena mereka tidak dapat secara fisik mengakses sekolah, tidak mampu memahami kurikulum, atau mengalami perundungan di lingkungan sekolah.

Akibat dari pola pikir ini, siswa penyandang disabilitas sering kali dikecualikan dari pendidikan formal atau ditempatkan di sekolah khusus yang hanya diperuntukkan bagi mereka. Strategi yang umum digunakan dalam model ini adalah pembelajaran individu atau kelompok kecil, di mana spesialis berusaha meminimalkan dampak keterbatasan atau memastikan bahwa anak-anak penyandang disabilitas dapat mengejar ketertinggalan mereka dibandingkan dengan teman-teman sebayanya yang tidak memiliki disabilitas.

Pendekatan ini kini dianggap ketinggalan zaman dan tidak inklusif. Model ini justru memperburuk stigmatisasi dan diskriminasi, serta menolak hak-hak fundamental penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Selain itu, model ini tidak berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan bagi semua siswa, karena hanya berfokus pada individu tanpa memperbaiki sistem pendidikan agar lebih inklusif bagi semua.

2. Model Sosial Disabilitas

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCRPD) mendefinisikan disabilitas sebagai “hasil dari interaksi antara individu dengan keterbatasan dan hambatan sikap maupun lingkungan yang menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat secara setara dengan yang lain.”

Definisi ini menunjukkan bahwa disabilitas bukan hanya tentang memiliki keterbatasan medis, tetapi lebih banyak terkait dengan hambatan sosial yang dialami seseorang dengan keterbatasan. Pemahaman ini menjadi dasar bagi Model Sosial Disabilitas, yang menekankan bahwa masalah utama bukanlah individu dengan disabilitas, tetapi hambatan yang diciptakan oleh masyarakat.

Model sosial berfokus pada menghilangkan hambatan lingkungan dan sosial, sehingga penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat. Berikut adalah beberapa contoh hambatan sosial yang sering dihadapi:

  • Hambatan finansial – Kurangnya akses ke sumber daya ekonomi, seperti pekerjaan yang layak atau bantuan keuangan, yang dapat membantu penyandang disabilitas hidup mandiri.
  • Ketidaktersediaan aksesibilitas – Infrastruktur dan layanan publik yang tidak ramah disabilitas, seperti bangunan tanpa jalur kursi roda, transportasi umum yang tidak inklusif, atau kurangnya alat bantu dalam pendidikan dan pekerjaan.
  • Diskriminasi – Sikap dan kebijakan yang mendiskriminasi penyandang disabilitas, termasuk stereotip negatif, kurangnya peluang dalam pendidikan dan pekerjaan, serta stigma sosial yang membatasi mereka dari kehidupan sosial yang setara.

Dengan menggunakan Model Sosial Disabilitas, fokus utama bukan lagi pada ‘memperbaiki’ individu penyandang disabilitas, melainkan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif agar mereka dapat berpartisipasi secara setara dalam kehidupan bermasyarakat.

Karakteristik Model Sosial Disabilitas

PersepsiDukunganKelebihanKekurangan
  • Penyandang disabilitas dipandang sebagai warga negara dengan hak dan kewajiban – Mereka memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam masyarakat dan mendapatkan perlakuan yang adil, serta memiliki tanggung jawab sebagai anggota komunitas.

  • Perbedaan antar individu dianggap sebagai bagian dari keberagaman manusia – Disabilitas bukan dilihat sebagai sesuatu yang ‘tidak normal’, tetapi sebagai variasi alami dalam kehidupan manusia yang perlu dihormati dan didukung.

  • Hambatan yang dihadapi bukan disebabkan oleh keterbatasan fisik semata, tetapi oleh faktor sosial – Artinya, lingkungan dan layanan yang tidak dirancang untuk inklusivitas menjadi penyebab utama keterbatasan, bukan kondisi individu itu sendiri. Jika semua infrastruktur dan kebijakan dirancang untuk mendukung semua orang, maka hambatan tersebut akan hilang.

  • Penyandang disabilitas mendapatkan dukungan untuk berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan – Mereka tidak hanya diberi bantuan, tetapi juga difasilitasi agar dapat menjalani kehidupan secara mandiri dan setara.

  • Layanan umum dirancang dengan mempertimbangkan keberagaman pengguna – Pendekatan inklusif tidak hanya menguntungkan penyandang disabilitas, tetapi juga kelompok lain seperti lansia dan migran, menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi semua orang.

  • Penyandang disabilitas paling memahami jenis dukungan yang mereka butuhkan – Mereka bukan sekadar ‘objek’ yang harus disertakan, tetapi berperan aktif dalam membentuk inklusi. Dukungan yang diberikan harus berbasis pada kebutuhan mereka, dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan dan dialog berkelanjutan dengan berbagai pemangku kepentingan.

  • Setiap bentuk dukungan yang diberikan didasarkan pada hak penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat—ini bukan amal! – Pendekatan ini menegaskan bahwa inklusi bukanlah belas kasihan, tetapi bagian dari hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara dan masyarakat.

  • Hak-hak fundamental penyandang disabilitas dihormati – Mereka memiliki hak yang sama untuk hidup, belajar, bekerja, dan berpartisipasi dalam masyarakat tanpa diskriminasi.

  • Keberagaman dihargai dalam komunitas – Perbedaan, termasuk disabilitas, dipandang sebagai bagian alami dari kehidupan manusia yang memperkaya masyarakat.

  • Layanan yang ramah disabilitas adalah layanan yang lebih baik untuk semua orang – Infrastruktur dan kebijakan yang inklusif tidak hanya menguntungkan penyandang disabilitas, tetapi juga kelompok lain seperti lansia, orang tua dengan anak kecil, dan individu dengan kebutuhan khusus lainnya.

  • Kurang memperhatikan kebutuhan medis individu – Meskipun model ini berfokus pada penghapusan hambatan sosial, ia dapat mengabaikan kebutuhan rehabilitasi dan layanan medis yang masih diperlukan oleh beberapa penyandang disabilitas.
  • Tantangan dalam implementasi kebijakan – Mengubah sistem sosial dan lingkungan agar lebih inklusif membutuhkan waktu, biaya, dan upaya yang besar, yang tidak selalu dapat segera diwujudkan.
  • Resistensi dari masyarakat dan institusi – Banyak sistem masih beroperasi berdasarkan model medis, sehingga transisi ke model sosial sering kali menghadapi perlawanan dari pihak yang tidak memahami pentingnya inklusi.

Model Sosial Disabilitas dalam Pendidikan

Model Sosial Disabilitas, yang juga dikenal sebagai model berbasis hak (rights-based model), menekankan bahwa tanggung jawab untuk menciptakan akses dan partisipasi bagi semua warga negara ada pada masyarakat, bukan pada individu penyandang disabilitas. Artinya, lingkungan sosial, kebijakan, dan layanan publik harus beradaptasi untuk memastikan inklusi, daripada mengharapkan penyandang disabilitas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang diskriminatif.

Dalam konteks pendidikan, model ini mengubah fokus dari melihat ‘kekurangan’ individu menjadi mengidentifikasi dan menghilangkan hambatan yang menghalangi siswa penyandang disabilitas untuk bersekolah dan belajar. Misalnya, alih-alih menempatkan siswa penyandang disabilitas di sekolah khusus karena mereka dianggap tidak bisa mengikuti kurikulum umum, model sosial justru menyesuaikan kurikulum agar dapat diakses oleh semua siswa di sekolah yang sama.

Pendekatan ini mengakui bahwa setiap siswa itu unik dan memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah reguler, bukan dipisahkan berdasarkan kemampuan mereka. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan dalam sistem pendidikan harus berfokus pada mengubah struktur dan sistem pendidikan agar lebih inklusif, bukan mengubah siswa agar ‘cocok’ dengan sistem yang ada.

Hambatan-Hambatan dalam Pendidikan Inklusi

Hambatan adalah segala sesuatu yang menghalangi seorang siswa untuk belajar dan berpartisipasi secara penuh dalam lingkungan pendidikan. Hambatan ini dapat berasal dari berbagai faktor, baik dari lingkungan fisik, sosial, kebijakan, maupun sikap masyarakat.

Berikut adalah beberapa jenis hambatan terhadap inklusi dalam pendidikan:

  1. Hambatan Sikap (Attitudinal Barriers)

    Hambatan sikap adalah pandangan atau persepsi negatif yang menghalangi siswa untuk berpartisipasi di dalam kelas. Sikap ini dapat berupa:

    • Menganggap disabilitas sebagai penyakit yang perlu disembuhkan, bukan sebagai bagian dari keberagaman manusia.
    • Melihat siswa penyandang disabilitas sebagai individu yang kurang mampu dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang tidak memiliki disabilitas.
    • Menganggap mereka sebagai beban bagi masyarakat atau lingkungan sekitar, sehingga mereka diperlakukan dengan belas kasihan, bukan sebagai individu yang memiliki hak yang sama.

    Hambatan sikap ini tidak hanya mempengaruhi penyandang disabilitas, tetapi juga kelompok lain yang rentan terhadap diskriminasi, seperti minoritas etnis, perempuan, dan migran, yang sering kali menghadapi prasangka dalam lingkungan pendidikan.

  2. Hambatan Lingkungan (Environmental Barriers)

    Hambatan lingkungan mencakup dua jenis utama:

    • Hambatan dalam infrastruktur fisik – Hambatan ini terjadi ketika lingkungan sekolah tidak dirancang untuk aksesibilitas, seperti:

      • Tidak adanya ramp atau lift bagi siswa pengguna kursi roda.
      • Kelas yang tidak memiliki fasilitas untuk siswa dengan kebutuhan khusus, seperti meja yang dapat disesuaikan atau teknologi bantu.
      • Kurangnya alat bantu pembelajaran, seperti perangkat lunak pembaca layar atau materi dalam format Braille.
    • Hambatan dalam komunikasi – Hambatan ini menghalangi siswa yang mengalami kesulitan berkomunikasi dalam bahasa tertentu atau memiliki gangguan komunikasi, seperti:

      • Keterbatasan dalam bahasa – Misalnya, siswa yang merupakan migran atau dari latar belakang bahasa yang berbeda mengalami kesulitan memahami pelajaran karena perbedaan bahasa.
      • Kurangnya penerjemah atau alat bantu komunikasi – Misalnya, siswa dengan gangguan pendengaran tidak memiliki akses ke penerjemah bahasa isyarat, atau siswa dengan gangguan komunikasi tidak memiliki teknologi pendukung untuk berinteraksi dengan teman sekelas dan guru.

    Untuk mencapai pendidikan yang benar-benar inklusif, hambatan-hambatan ini harus diidentifikasi dan dihilangkan, sehingga semua siswa, termasuk penyandang disabilitas, dapat belajar dan berkembang dalam lingkungan yang setara dan mendukung.

  3. Hambatan Institusional (Institutional Barriers)

    Hambatan institusional adalah kebijakan atau peraturan yang menghalangi penyandang disabilitas atau kelompok marjinal lainnya untuk berpartisipasi secara penuh dalam pendidikan dan kehidupan sosial. Hambatan ini sering kali terjadi dalam bentuk sistem dan kebijakan yang tidak inklusif, sehingga membatasi akses dan kesempatan bagi individu dengan kebutuhan khusus.

    Beberapa contoh hambatan institusional meliputi:

    • Kurangnya atau tidak adanya layanan dukungan bagi siswa penyandang disabilitas – Misalnya, sekolah tidak menyediakan guru pendamping, alat bantu belajar, atau program pendukung yang dapat membantu siswa dengan kebutuhan khusus.
    • Terbatasnya pelatihan bagi guru tentang metode pengajaran inklusif – Banyak guru tidak memiliki keterampilan atau pemahaman yang cukup untuk mendukung siswa penyandang disabilitas secara efektif dalam proses belajar mengajar.
    • Penerapan kurikulum yang kaku – Kurikulum yang tidak fleksibel dan tidak mempertimbangkan berbagai kebutuhan siswa dapat menyulitkan siswa penyandang disabilitas untuk mengikuti pembelajaran dengan efektif.
    • Proses administrasi yang hanya melayani jenis siswa tertentu – Misalnya, kebijakan penerimaan siswa yang tidak memperhitungkan kebutuhan aksesibilitas atau persyaratan akademik yang tidak mempertimbangkan keragaman kemampuan siswa.

Contoh Kasus: Hambatan yang Dihadapi oleh Siswa Rina

Ini adalah Rina. Dia memiliki gangguan penglihatan dan sebelum bersekolah di institusi kami, dia mengalami banyak kesulitan dalam lingkungan sekolahnya yang lama. Pertama, sekolah sebelumnya tidak memiliki materi pembelajaran dalam format Braille atau teknologi bantu seperti pembaca layar. Guru-gurunya juga tidak mendapatkan pelatihan dalam pengajaran inklusif, sehingga mereka tidak memahami bagaimana menyesuaikan metode pengajaran agar lebih mudah diakses oleh Rina.

Setiap kali guru menulis di papan tulis tanpa menjelaskan secara verbal, Rina mengalami kesulitan memahami isi pelajaran. Selain itu, buku teks dan bahan ujian hanya tersedia dalam format cetak biasa, tanpa opsi audio atau digital yang dapat membantunya mengakses informasi.

Tata letak kelas juga menjadi tantangan. Pencahayaan yang buruk dan tidak adanya panduan taktil membuatnya sulit untuk bergerak dengan aman. Teman-teman sekelasnya tidak diberikan pemahaman tentang cara berkomunikasi dengan siswa tunanetra, sehingga Rina sering merasa terisolasi dalam interaksi sosial.
Selain itu, sekolah tidak mampu menyediakan teknologi yang dapat meningkatkan pengalaman belajarnya, seperti perangkat lunak pembaca layar, papan tulis interaktif dengan output suara, atau dokumen digital yang dapat dikonversi ke format audio. Kurangnya alat bantu seperti display Braille atau buku pelajaran dalam huruf timbul semakin memperburuk kesulitannya dalam belajar.

Situasi ini menunjukkan bahwa hambatan yang dihadapi Rina bukan hanya karena gangguan penglihatannya, tetapi juga karena kurangnya fasilitas, kebijakan, dan metode pengajaran yang inklusif di sekolahnya.

Hambatan di Tingkat Komunitas

  1. Diskriminasi Gender

    • Keyakinan tradisional tentang peran laki-laki dan perempuan sering kali membatasi akses perempuan ke pendidikan.
    • Di komunitas yang masih meyakini bahwa perempuan memiliki status lebih rendah daripada laki-laki, anak perempuan sering kali dipaksa untuk tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan domestik, sementara anak laki-laki lebih didorong untuk bersekolah.
    • Akibatnya, banyak perempuan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak dan meningkatkan taraf hidup mereka.
  2. Perbedaan Budaya

    • Siswa yang berasal dari keluarga dengan bahasa, agama, atau budaya yang berbeda dari komunitas mayoritas sering kali menghadapi kesulitan dalam mengakses pendidikan.
    • Mereka mungkin ditolak dari sekolah, ditempatkan di sekolah berkualitas rendah, atau mendapatkan bahan ajar dan pengajaran yang lebih buruk dibandingkan siswa dari kelompok mayoritas.
    • Selain itu, mereka sering memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi, sehingga memperburuk ketimpangan sosial.
  3. Sikap Negatif

    • Sikap negatif terhadap siswa dengan latar belakang yang beragam, terutama penyandang disabilitas, merupakan salah satu hambatan terbesar dalam menciptakan pendidikan yang inklusif.
    • Sikap ini dapat ditemukan di semua tingkatan, termasuk orang tua, anggota komunitas, guru, pejabat pemerintah, serta dari siswa yang terpinggirkan itu sendiri.
    • Ketakutan, tabu sosial, rasa malu, ketidaktahuan, dan misinformasi sering kali mendorong munculnya prasangka terhadap siswa dari kelompok marginal.
    • Akibatnya, siswa dari kelompok rentan ini sering mengalami pengucilan, diskriminasi, dan hambatan untuk mendapatkan pendidikan yang setara.

Untuk mengatasi hambatan di tingkat komunitas, diperlukan perubahan pola pikir, advokasi, dan kebijakan yang mendorong kesetaraan serta penghormatan terhadap keberagaman dalam pendidikan.

Hambatan di Tingkat Keluarga

  1. Kemiskinan dan Nilai Praktis Pendidikan

    • Orang tua yang hidup dalam kondisi kemiskinan sering kali kesulitan memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan.
    • Karena tekanan ekonomi, anak-anak dipaksa untuk bekerja demi membantu pendapatan keluarga, sehingga mengorbankan kesempatan mereka untuk bersekolah dan membangun masa depan yang lebih baik.
  2. Pengasuhan yang Tidak Memadai

    • Demi mencari nafkah, banyak orang tua terpaksa merantau baik untuk sementara waktu atau dalam jangka panjang.
    • Akibatnya, anak-anak mereka sering diasuh oleh kakek-nenek atau anggota keluarga lain yang mungkin tidak memiliki pengetahuan, pengalaman, atau sumber daya untuk memberikan perawatan yang tepat.
    • Beberapa pengasuh tidak mengutamakan pendidikan, terutama jika keluarga sedang mengalami kesulitan finansial.
    • Dalam beberapa kasus, kecanduan alkohol atau narkoba juga dapat menyebabkan orang tua tidak mampu memberikan pengasuhan yang layak bagi anak-anak mereka.
  3. Diskriminasi dan Stigmatisasi akibat HIV/AIDS

    • Anak-anak yang orang tuanya meninggal akibat HIV/AIDS memiliki kemungkinan lebih kecil untuk bersekolah dibandingkan mereka yang tidak kehilangan orang tua.
    • Di beberapa negara, anak-anak—terutama perempuan—dipaksa keluar dari sekolah untuk mengurus saudara kandung yang lebih muda, merawat anggota keluarga yang sakit, atau mencari uang untuk menopang kehidupan keluarga.
    • Dalam kasus lain, anak-anak yang keluarganya terdampak HIV/AIDS sering dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat dan bahkan oleh guru di sekolah, karena dianggap ‘menular’, meskipun ini adalah anggapan yang salah.

Hambatan-hambatan ini menunjukkan bahwa pendidikan anak tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi sekolah, tetapi juga oleh situasi keluarga mereka. Untuk mengatasi hal ini, dukungan sosial, kebijakan kesejahteraan keluarga, dan program pendidikan inklusif sangat diperlukan agar semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.

Hambatan di Tingkat Anak

  1. Penyakit dan Gizi Buruk. Anak-anak yang mengalami penyakit dan kelaparan sering kali menghadapi tantangan besar dalam belajar. Ketika mereka sakit, kurang gizi, atau mengalami malnutrisi, konsentrasi mereka dalam memahami pelajaran menurun. Selain itu, mereka lebih rentan mengalami ketidakhadiran di sekolah, sehingga dianggap sebagai siswa dengan kemampuan belajar yang lambat. Jika tidak mendapatkan perhatian dan dukungan yang memadai, mereka bisa merasa terpinggirkan dalam kelas, kehilangan motivasi, dan akhirnya memilih untuk putus sekolah.
  2. Ketakutan akan Perundungan. Ketakutan terhadap kekerasan di sekolah juga menjadi hambatan serius bagi banyak anak. Jika seorang anak takut mengalami kekerasan, ia mungkin memilih untuk tidak datang ke sekolah sama sekali. Kekerasan ini dapat berbentuk perundungan (bullying) oleh teman sebaya, hukuman fisik atau pemukulan, serta pelecehan verbal seperti ejekan dan hinaan. Lebih parah lagi, beberapa anak menghadapi pelecehan atau kekerasan seksual, yang dapat menyebabkan trauma jangka panjang dan menghambat perkembangan akademik maupun sosial mereka. Rasa takut ini menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi anak-anak dan menghalangi mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
  3. Disabilitas. Bagi anak penyandang disabilitas, hambatan dalam mengakses pendidikan bisa lebih kompleks. Di beberapa negara, sebagian besar penyandang disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan karena sistem sekolah yang tidak dirancang secara inklusif. Sekolah yang tidak menyediakan fasilitas aksesibilitas, tenaga pendidik yang tidak terlatih, serta kurikulum yang tidak ramah disabilitas, membuat mereka semakin sulit untuk belajar. Selain itu, stigma dan prasangka masyarakat yang menganggap mereka tidak mampu belajar semakin memperburuk keadaan. Tanpa adanya kebijakan inklusif yang jelas, anak-anak penyandang disabilitas akan terus mengalami keterbatasan dalam mengakses pendidikan yang setara.

Hambatan-hambatan ini menunjukkan bahwa akses pendidikan yang berkualitas tidak hanya bergantung pada sistem akademik, tetapi juga pada lingkungan fisik, sosial, dan emosional anak. Oleh karena itu, diperlukan intervensi menyeluruh dalam bidang kesehatan, perlindungan anak, serta kebijakan pendidikan inklusif agar setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan sukses dalam hidup. 

Daftar Referensi

  1. Aggarwal, A. (2015). Recognition of prior learning: Key success factors and the building blocks of an effective system.
  2. Booth, T., & Ainscow, M. (2016). The Index for Inclusion: A guide to school development led by inclusive values, 4th edition. Cambridge: Index for Inclusion Network.
  3. Brigden, S., & Ahluwalia, K. (2020). Towards more inclusive practices: A Disability, Gender and Age Intersectional Resource. Burns, M. (2014, November 26). Five Models of Teacher-Centred Professional Development.
  4. Opgeroepen op January 2021, van Global Partnership: https://www.globalpartnership.org/blog/five-models-teacher-centred-professional-development.
  5. CAST. (2018, November 13). CAST. Opgehaald Top 10 UDL tips for assessment: https://www.cast.org/.
  6. CAST. (2018). Universal Design for Learning Guidelines version 2.2. Retrieved from http://udlguidelines.cast.org.
  7. CAST. (2023). About CAST Professional Learning. Retrieved November 2023 from https://www.cast.org/learn/about Committee on the Rights of Persons with Disabilities. (2016). General Comment No. 4.
  8. Christoffel Blinden Mission (CBM). (2018). Digital Accessibility Toolkit. https://www.cbm.org/article/downloads/54741/CBM-Digital-Accessibility-Toolkit.pdf.
  9. Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ). (2011). Digital Accessibility Toolkit – Short Guideline – Program Reform of TVET in Viet Nam. https://www.tvet-vietnam.org/
  10. DuFour, R., Eaker, R., & Many T. (2006). Learning by Doing: A Handbook for Professional Learning Communities at Work http://www.allthingsplc.info.about.
  11. Field, S., & Guez, A. (2018). Pathways of progression: linking technical and vocational education and training with post-secondary education.
  12. Fleming, N. (2020, October 1). Edutopia. Opgehaald van 7 ways to do formative assessments in your virtual classrooms: https://www.edutopia.org/article/7-ways-do-formative-assessments-your-virtual-classroom.
  13. Government of Vanuatu Ministry of Education and Training. (2015). National Disability Inclusion Policy for the TVET Sector 2016-2020.
  14. Grimes, P., & Stevens, M. (2014). Teachers, Inclusive, Child-Centred Teaching and Pedagogy. New York: United Nations Children’s Fund. Human Rights Campaign Foundation. (2020). Advocating for LGBTQ Students with Disabilities. H. R. C. Foundation. https://www.nclrights.org/get-help/resource/advocating-for-lgbtq-students-with-disabilities/
  15. ILO. (2016). “Promoting Diversity and Inclusion through Workplace Adjustments: A Practical Guide.” Geneva, 2016.
  16. ILO. (2017). Making TVET and skills systems inclusive of persons with disabilities. Geneva, Switzerland: International Labour Organization.
  17. International Labour Organization. (2021). Digitalization of national TVET and skills system: Harnessing technology to support LLL.
  18. ILO. (2022). Recognition of Prior Learning (RPL) framework, policies, processes, and procedures for the TVET sector. Final Report. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---africa/---ro-abidjan/---sro-addis_ababa/documents/publication/wcms_863423.pdf
  19. INEE. (2019). INEE Guidance Note on Gender. I.-a. N. f. E. i. Emergencies. https://inee.org/resources/inee-guidance-note-gender
  20. ISTR (2020, March 23). ISTE. Retrieved from 7 ways to make remote learning accessible to all students: https://www.iste.org/explore/learninh-during-covid-19/.7-ways-make-remote-learningaccessible-all-students 
  21. Lange, R., Hoffman, C., & Di Cara, M. (2020). Guide on making TVET and skills development inclusive for all. Geneva: International Labour Organization. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_emp/---emp_ent/documents/publication/wcms_755869.pdf
  22. Loewenstein, S. (2015, January 12). Edutopia. Opgehaald van What’s the point of assessment? https://edutopia.org/blog/whats-the-point-of-assessment-shira-loewenstein
  23. Martinson, Karin. (2010). “Partnering with Employers to Promote Job Advancement for Low- Skill Individuals.” Washington, D.C.: The National Institute for Literacy.
  24. Marzano, R.J., et. al. (2012) Becoming a Reflective Teacher: The Classroom Strategies Series.
  25. Bloomington: Marzano Research. Ministry of Education Government of Peoples Republic of Bangladesh. (2011). National Skills Development Policy – 2011. Dhaka, Bangladesh.
  26. UNICEF. (2014). Webinar 1, Conceptualizing Inclusive Education and Contextualizing it withing the UNICEF Mission. Companion Technical Booklet.
  27. UNICEF. (2014). Webinar 11, Access to School and the Learning Environment II - Universal Design for Learning. Companion Technical Booklet. Retrieved from New York:
  28. UN. (2006). Convention on the Rights of Persons with Disabilities and Optional Protocol. Retrieved from: http//www.un.org/disabilities/documents/convention/convoptprot-e.pdf. USAID. (n.d.). Introduction to Gender-Responsive Teaching Methods. https://www.ungei.org/sites/default/files/Introduction-to-Gender-Responsive-Teaching-Methods-2018-eng.pdf