Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Pada dasarnya pengertian kinerja dapat dimaknai secara beragam. Beberapa pakar memandangnya sebagai hasil dari suatu proses penyelesaian pekerjaan, sementara sebagian yang lain memahaminya sebagai perilaku yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kinerja adalah hasil kerja dengan kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan/pegawai dalam menyelesaikan tugas berdasarkan tanggung jawab yang diberikan (Dirisu dkk., 2018). Lebih lanjut, kinerja karyawan didefinisikan sebagai kesediaan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan kegiatan dan menyempurnakan tersebut sesuai dengan tanggung jawab mereka dengan hasil yang diharapkan (Sahin dkk., 2015; Ronen & Zuroff, 2017). Pada dasarnya, para karyawan/pegawai yang ditugaskan dalam sebuah instansi berkewajiban untuk menyelesaikan deskripsi tugas atau tanggung jawab yang telah diberikan guna menunjukkan kinerja terbaik mereka yang dapat dibuktikan oleh masing-masing pegawai tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kinerja yang ditunjukkan pegawai dipengaruhi berbagai faktor penting guna memperbaiki hasil kinerja yang menjadi tujuan organisasi atau lembaga dimana para pegawai tersebut bekerja (Rivai, 2005).
Mangkunegara (2010:67) mengemukakan, kinerja berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance, adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Robbins dalam Azhar (2004:324-325) mengatakan bahwa kinerja sebagai hasil dari interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan peluang atau opportunity (O), dengan kata lain bahwa untuk kerja adalah fungsi dari motivasi kerja kali kemampuan kali peluang. Ungkapan ke dalam rumus menjadi, yaitu kinerja = F (M x A x O). Moeheriono (2010:60) mengatakan bahwa kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi.
Selanjutnya, capaian hasil kerja yang dilakukan oleh pegawai guna melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya yang diuraikan dalam deskipsi tugas pokok/fungsi pegawai tersebut merupakan kinerja yang mampu ditunjukkan oleh setiap individu pegawai tersebut. Definisi kinerja dimaknai beragam oleh para ahli khususnya dalam konteks keilmuan manajemen sumberdaya manusia. Dai dan Xiao (2016: 148) mendefinisikan kinerja yaitu seberapa baik seseorang melakukan suatu aktivitas pekerjaan. Karena menurut keduanya kinerja yang tinggi menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi perusahaan, karena setiap perusahaan berupaya mengejar hasil kinerjanya. Oleh karenanya, para pimpinan, manejer begitu pula peneliti senantiasa mengeksplorasi berbagai faktor yang mempengaruhi kinerja dalam kurun waktu beberapa tahun agar dapat meningkatkam kinerja para karyawan.
Roa (2004) mendeskripsikan definisi kinerja karyawan sebagai tindakan dan pencapaian yang diharapkan akan diberikan oleh individu dalam waktu yang ditetapkan. Karena karyawan harus melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas dalam deskripsi pekerjaan, penilaian mereka biasanya didasarkan pada deskripsi pekerjaan yang disiapkan oleh organisasi atau instansi. Dengan kata lain, kinerja karyawan dapat diukur dari segi perilaku dalam peran, atau pekerjaan yang mereka lakukan sesuai dengan tugas dalam deskripsi pekerjaan. Jason dkk (2015) mendefinisikan kinerja sebagai perilaku dan istilah "hasil" atau "hasil kinerja pekerjaan" untuk menggambarkan hasil dari perilaku tersebut. Singkatnya, kinerja didefinisikan sebagai nilai dari seperangkat perilaku karyawan yang berkontribusi, baik secara positif maupun negatif, untuk mencapai tujuan organisasi. Kinerja merupakan hasil kerja karyawan baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh karyawan dalam periode tertentu sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepada setiap individu. Kinerja merupakan sebuah hasil kerja karyawan, dan untuk mengukur hasil kerja setiap individu maka ada beberapa hal yang diperhatikan.
Dari beberapa pendapat tersebut, kinerja dapat dipandang dari perspektif hasil, proses, atau perilaku yang mengarah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu, tugas dalam konteks penilaian kinerja, tugas pertama pimpinan organisasi adalah menentukan perspektif kinerja yang mana yang akan digunakan dalam memaknai kinerja dalam organisasi yang dipimpinnya.
Pentingnya Kinerja
Liu (2018: 12) menyatakan bahwa kinerja pekerjaan tidak hanya merupakan sebuah kriteria penting yang merefleksikan hasil-hasil dari dijalankannya instansi (bisnis) tertentu tetapi juga merupakan suatu standar penting guna menginspeksi kelembagaan (bisnis) yang dikerjakan. Dengan memiliki kinerja pekerjaan yang terstandar membantu baik para pimpinan tertinggi badan usaha tertentu ataupun para manajer operasionalnya untuk dapat memonitor data kinerja yang dimilikinya. Organ (1998) berpendapat bahwa istilah "kinerja" mungkin perlu didefinisikan ulang pada dasarnya memperluas konstruksi ini untuk memasukkan non produktivitas atau dimensi ekstra-peran seperti kerjasama, membantu rekan kerja dan atasan dan kecenderungan umum terhadap kepatuhan. Organ lebih lanjut mengusulkan bahwa kinerja pekerjaan harus diukur sejauh mana karyawan terlibat dalam perilaku kewarganegaraan organisasi.
Sarmiento dan Beale (2007) merujuk kinerja sebagai hasil dari dua unsur, yang terdiri dari kemampuan dan keterampilan (alami atau diperoleh) bahwa karyawan memiliki, dan motivasi untuk menggunakannya dalam rangka untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik. Dalam studi ini, arti kinerja mengacu pada kinerja tugas atau kinerja pekerjaan dalam peran sebagaimana didefinisikan oleh Motowidlo (2003) sebagai nilai total yang diharapkan dari organisasi terhadap kecakapan terkait tugas karyawan, atau pemenuhan tugas yang diperlukan oleh deskripsi pekerjaan formal. Dengan kata lain, kinerja adalah perilaku yang terkait secara khusus untuk melakukan terkait pekerjaan. Oleh karena itu, dari definisi di atas jelas bahwa kinerja pekerjaan berkaitan dengan sejauh mana karyawan mampu mencapai tugas yang ditugaskan kepadanya dan bagaimana tugas yang dicapai berkontribusi pada realisasi tujuan organisasi (Mawoli dan Babandako, 2011).
Kinerja pekerjaan telah diidentifikasi sebagai kunci penting bagi organisasi untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dan produktivitas yang unggul. Meskipun keunggulan kompetitif lebih relevan dengan sektor swasta, dapat diperpanjang untuk sektor publik dengan termasuk ' melayani masyarakat ' karena itu adalah tujuan akhir dari sektor publik. Studi oleh Vermeeren dkk., (2009) telah membuktikan bahwa kinerja dapat membantu organisasi publik untuk meningkatkan layanan pengiriman. Menyadari kepentingannya, organisasi publik tampaknya memperhatikan kinerja dalam kaitannya dengan merumuskan kebijakan dan meningkatkan layanan pengiriman (Leeuw, 1996). Hal ini karena tingkat kinerja individu karyawan publik sebagai cermin untuk keseluruhan kinerja publik pada umumnya. Oleh karena itu, karyawan publik harus memiliki pengetahuan yang relevan, keterampilan, dan kemampuan untuk melaksanakan tanggung jawab terkait tugas. Karyawan layanan publik juga harus bersedia untuk "berjalan mil ekstra" dalam berjuang untuk tampil di tingkat yang melampaui ekspektasi (Caron dan Giauque, 2006; Arawati, Barker dan Kandampully, 2007). Sehubungan dengan penyampaian layanan publik, kinerja karyawan individu terkait erat dengan kepuasan pelanggan (Fountain, 2001) karena layanan pengiriman berlangsung selama saat-saat kontak antara karyawan dan pelanggan. Oleh karena itu, kinerja karyawan sangat penting pelayanan pemerintah dan kinerja yang tinggi di antara karyawan adalah tantangan manajemen yang signifikan untuk memberikan layanan terbaik ke publik di semua tingkatan.
Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Sun (2016: 589) menganalisa korelasi pemberdayaan psikologis dan kepuasan kerja yang berkorelasi secara signifikan terhadap kinerja pekerjaan. Khususnya, pemberdayaan psikologis memiliki korelasi signifikan dengan kinerja pekerjaan. Hal ini dimaksudkan bahwa jika seorang pegawai mempunyai skor pemberdayaan psikologis yang tinggi, maka dia akan lebih merasa puas dengan pekerjaannya yang mengindikasikan bahwa semakin lebih tinggi level pemberdayaan psikologis maka semakin lebih tinggi kepuasan kerja. Para pegawai dengan level pemberdayaan psikologis yang lebih tinggi akan menyadari dengan level lebih tinggi makna tugas/pekerjaannya. Artinya bahwa para pegawai tersebut lebih mungkin memikirkan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan perilaku-perilaku yang mereka miliki sendiri yang sesuai dengan tugas/pekerjaan mereka, mungkin juga mereka berfikir bahwa ini adalah pekerjaan sempurna mereka dan kinerja mereka yang akan sejalan lebih tinggi.
Penelitian ini juga menginvestigasi kepuasan kerja yang memiliki korelasi positif dengan kinerja pekerjaan, jika para pegawai dengan kepuasan kerja yang berskor lebih tinggi, mereka juga mempunyai skor kinerja pekerjaan yang lebih tinggi. Skor ini berarti bahwa mereka semakin merasa puas dengan pekerjaannya, maka semakin tinggi kinerja pekerjaan yang mereka miliki. Jadi, seandainya para pegawai merasa puas dengan pekerjaan mereka, mereka akan menjadi lebih positif dengan pekerjaan dan meningkatkan otonomi pekerjaan secara signifikan, dan jika para pegawai merasa puas dengan pekerjaannya, mereka mampu menemukan makna pekerjaan dengan lebih mudah. Oleh karenanya, dari hasil kajian dalam penelitian ini direkomendasi sebuah gagasan untuk mengkaji system insentif perusahaan melalui peningkatan kepuasan kerja guna meningkatkan kinerja pekerjaan.
Kinerja terdiri dari tiga elemen yaitu (1) penetapan tujuan yang berfungsi untuk meningkatkan kinerja dalam konteks pengaturan dan budaya, (2) berfungsi untuk mewujudkan tujuan dalam bentuk pencapaian, (3) penilaian digunakan untuk menilai kinerja (Cascio, 1998a). Menurut Flippo (1984), ada ukuran standar untuk kinerja individu, termasuk: (1) kualitas pekerjaan, termasuk ketepatan waktu, akurasi, dan kerapian, (2) kuantitas pekerjaan, termasuk jumlah pekerjaan rutin dan jumlah kerja tambahan, (3) ketangguhan di kantor, termasuk petunjuk berikut, keselamatan kerja, dan memiliki inisiatif dan kehadiran, (4) sikap yang benar, termasuk bertanggung jawab atas pekerjaan dan menawarkan kerjasama.
Pengukuran Kinerja
Kinerja para karyawan dalam sebuah badan organisasi perlu dievaluasi dan diukur guna mengidentifikasi capaian kinerja yang sesuai dengan tujuan atau hasil yang ditargetkan. Wheelen dkk (2018: 350) menjelaskan bahwa evaluasi dan kontrol informasi terdiri dari data kinerja dan laporan-laporan kegiatan. Lebih lanjut mereka mendeskripsikan bahwa jika hasil-hasil kinerja yang tidak diharapkan karena berbagai proses manejemen stratejik digunakan secara tidak tepat, para manejer operasional harus mengetahui hal tersebut sehingga mereka dapat memperbaiki aktivitas para karyawannya. Top manejemen tidak perlu dilibatkan. Akan tetapi, jika hasil-hasil kinerja yang tidak diinginkan tersebut merupakan proses tahapan yang dilalui oleh para karyawan, para top manejer, begitu juga manajer-manejer operasional harus mengetahuinya sehingga mereka dapat mengembangkan implementasi program-program atau prosedur-prosedur yang baru. Oleh karenanya, evaluasi dan kontrol informasi harus relevan dengan apa yang dimonitor. Hal ini merupakan komponen yang dibutuhkan dalam mengukur kinerja para karyawan tersebut.
Pengukuran kinerja dibutuhkan dalam lembaga atau instansi dengan tujuan mengidentifikasi peningkatan capaian tujuan aktivitas. Franco-Santos dkk (2007) mengkaji referensi penghitungan kinerja. Mereka mengidentifikasi peranan yang berbeda dari sistem penilaian kinerja yang mungkin berperan dalam organisasi/instansi. Keenam belas peranan tersebut dikategorikan kedalam lima kelompok yaitu:
- menilai kinerja, termasuk memonitor kemajuan, menghitung dan mengevaluasi kinerja;
- manejemen strategi, yang mencakup perencanaan, strategi formulasi/implementasi/eksekusi, memfokuskan perhatian, dan kesejajaran;
- komunikasi internal dan eksternal, pembandingan, dan kepatuhan terhadap peraturan-peraturan;
- mempengaruhi perilaku, yang terdiri dari perilaku yang bermanfaat, mengelola hubungan, dan mengontrol; dan
- pembelajaran dan perbaikan, yang menangkap perbaikan, mengikat pembelajaran dua kali lipat, dan peningkatan kinerja.
Akbar dan Wijaya (2013: 62) mengkaji sistem pengukuran kinerja pada sektor publik. Dengan menggunakan bukti-bukti empiris dapat dianalisa bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ditentukan dengan penggunaan sistem pengukuran kinerja pada instansi pemerintahan daerah di Indonesia. Secara teori kelembagaan, khususnya kelembagaan yang isomorphism (sebuah situasi dimana sebuah organisasi juga harus berkompetisi untuk mendapatkan dukungan politik dan legitimasi kelembagaan), yang digunakan sebagai sebuah lensa teoritis untuk lebih menjelaskan temuan. Beberapa faktor yang dikaji adalah informasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran instansi tersebut dan tekanan eksternal. Dengan menggunakan metode penelitian mix dan menerapkan Partial Least Square (PLS) dan Thematic Content Analysis (TCA) dalam menganalisa dan menginterpretasi data. Hasilnya menunjukkan bahwa informasi dan tekanan eksternal memiliki dampak positif serta signifikan pada penggunaan sistem penilaian kinerja dalam operasional pemerintah daerah. Pada gilirannya, informasi mengenai insentif berdampak positif dan signifikan terhadap penggunaan sistem penilaian kinerja tersebut. Singkatnya, sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan instansi, informasi serta tekanan eksternal mempengaruhi penggunaan sistem penilaian kinerja tersebut.
Pengukuran kinerja merupakan salah satu kunci untuk mensukseskan organisasi-organisasi sektor publik yang bertujuan mencapai target-target tertentu. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa melalui pengukuran yang tepat dan manejemen kinerja, instansi-instansi akan memperoleh berbagai keuntungan seperti (1) motivasi para pegawai di semua level instansi tersebut, (2) menciptakan budaya peningkatan kinerja, (3) formulasi, implementasi dan peninjauan strategi, dan (4) peningkatan kinerja secara keseluruhan oleh instansi (Micheli dan Mari, 2014).
Beberapa peneliti seperti Williams dkk (1990), Dunk dan Lysons (1997), Verbeeten (2008), dan Spekle dan Verbeeten (2014) menggunakan instrumen yang didesain secara spesifik beberapa dimensi kinerja untuk mengukur kinerja instansi-instansi sektor publik seperti (1) produktivitas, (2) kualitas atau akurasi pekerjaan yang dihasilkan, (3) jumlah inovasi, improvisasi proses, atau ide-ide baru (4) reputasi untuk keunggulan kerja, (5) pencapaian produksi atau tujuan tingkat layanan, (6) efisiensi operasi, dan (7) semangat yang dimiliki oleh para pegawai disetiap unit/bagian instansi tersebut.
Primarisanti dan Akbar (2015: 56) melakukan penelitian tentang beberapa faktor yang mempengaruhi kesuksesan pengukuran kinerja pada salah satu pemerintah daerah di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian mixed yang mengkombinasikan data kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan dan strategi sequential explanatory (penjelasan secara berurutan). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pelatihan, insentif, dan otoritas dalam mengambil keputusan berdampak signifikan terhadap pengembangan penilaian kinerja, akuntabilitas kinerja, serta penggunaan informasi kinerja berpengaruh dikarenakan kehadiran fenomena isomorphisme koersif, mimetik dan normatif. Lebih lanjut, hasil penelitian ini berkontribusi untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan sistem pengukuran kinerja guna meningkatkan sistem pengukuran kinerja lembaga pemerintah.