Pengertian Jual beli online (E-commerce)
Menurut Fadhli (2016) jual beli online adalah transaksi oleh beberapa pihak yang saling terkoneksi dalam bentuk pertukaran barang, jasa dan informasi melalui jaringan internet. E-commerce lahir dari perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi dan secara signifikan mengubah cara manusia melakukan interaksi dengan lingkungannya. Marketplace merupakan situs jual beli online yang menawarkan layanan penjualan secara lengkap. Artinya, kegiatan promosi hingga transaksi jual beli semuanya dilayani dengan sistem yang sudah teruji. Situs jual beli berbentuk marketplace di Indonesia, contohnya adalah Bukalapak, Bukalapak.com, blibli.com, Tokopedia, Elevania dan lainnya. Situs jual beli jenis ini dianggap lebih aman ketimbang platform jual beli via internet lainnya. “karena sistem pembayaran dilakukan melalui aturan yang diberlakukan pengelola situs sehingga menjamin keamanan transaksi. Baik untuk penjual maupun untuk pembelinya. Pengusaha juga tidak perlu pusing memikirkan transaksi karena semua terekam, tidak akan terlewat. Meski demikian, situs jual beli model seperti ini menerapkan tariff bagi setiap transaksi sebagai biaya pengelolaan situs yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan sewa tempat (Susiawati, 2017).
Menurut Santoso (2016), ada dua hal utama yang biasa dilakukan oleh customer di dunia maya, pertama adalah melihat produkproduk atau jasa-jasa yang diiklankan oleh perusahaan terkait melalui website-nya (online ads). Kedua adalah mencari data atau informasi tertentu yang dibutuhkan sehubungan dengan proses transaksi jual beli yang akan dilakukan. Jika tertarik dengan produk atau jasa yang ditawarkan, konsumen dapat melakukan transaksi perdagangan dengan cara melakukan pemesanan secara elektronik (online orders), yaitu dengan menggunakan perangkat komputer dan jaringan internet.
E-commerce secara umum oleh Santoso (2016) dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu: pertama, Business to Business (B2B). Karakteristik dari bisnis model B2B antara lain: (a) Trading partners yang sudah diketahui dan umumnya memiliki hubungan yang cukup lama. Informasi hanya dipertukarkan dengan partner tersebut. Dikarenakan sudah mengenal lawan komunikasi, maka jenis informasi yang dikirimkan dapat disusun sesuai dengan kebutuhan dan kepercayaan. (b) Pertukaran data berlangsung berulang-ulang dan secara berkala, misalnya setiap hari, dengan format data yang sudah disepakati bersama. Dengan kata lain, pelayanan yang digunakan sudah tertentu. Hal ini memudahkan pertukaran data untuk dua entiti yang menggunakan standar yang sama. (c) Salah satu pelaku dapat melakukan inisiatif untuk mengirimkan data, tidak harus menunggu parnternya.
Kedua, Business to Consumer (B2C). Business to Consumer e- commerce memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan ke umum; (b) Servis yang diberikan bersifat umum dengan menggunakan layanan sudah dinikmati masyarakat secara ramai; (c) Servis diberikan berdasarkan permohonan. Konsumen melakukan inisiatif dan produser harus siap memberikan respon sesuai dengan permohonan; (d) Pendekatan client/server sering digunakan dimana diambil asumsi client (consumer) menggunakan sistem yang minimal (berbasis Web) dan processing diletakkan di sisi server.
Ketiga, Konsumen ke konsumen (Consumer to Consumer). Konsumen ke konsumen merupakan tradisi bisnis secara elektronik yang dilakukan antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu pula, segmentasi konsumen ke konsumen ini sifatnya lebih khusus karena transaksi dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi. Internet yang telah dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi tentang produk baik mengenai harga, kualitas dan pelayanannya.
Mekanisme Jual Beli Online
Pelaksanaan transaksi bisnis e-commerce, secara sekilas hampir serupa dengan transaksi as-salam dalam hal pembayaran dan penyerahan komoditi yang dijadikan sebagai obyek transaksi. Oleh karena itu, untuk menganalisis dengan jelas apakah transaksi dalam e-commerce melalui internet tersebut dapat disejajarkan dengan prinsip-prinsip transaksi yang ada dalam transaksi as-salam maka masing-masing dapat dicermati melalui pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, proses pernyataan kesepakatan transaksi dan melalui obyek transaksi (Santoso, 2016).
Dalam transaksi e-commerce melalui internet perintah pembayaran (payment instruction) melibatkan beberapa pihak selain dari pembeli (cardholder) dan penjual (merchant). Para pihak itu adalah payment gateway, acquirer dan issuer. Dalam transaksi online merupakan suatu keharusan adanya pihak-pihak lain yang terlibat. Karena transaksi e- commerce melalui media internet merupakan bentuk transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang dalam bertransaksi tidak saling bertemu face-to-face atau bahkan tidak saling mengenal, sebab mereka bertransaksi dalam dunia maya atau virtual. Oleh karena itu, untuk menjamin adanya kehandalan, kepercayaan, kerahasiaan, validitas dan keamanan, transaksi e- commerce dalam pelaksanaannya memerlukan layanan-layanan pendukung. Dalam hal ini payment gateway dapat dianggap seperti saksi dalam transaksi yang melakukan otorisasi terhadap instruksi pembayaran dan memonitor proses transaksi online.
Payment gateway ini diperlukan oleh acquirer untuk mendukung berlangsungnya proses otorisasi dan memonitor proses transaksi yang berlangsung. Payment gateway biasanya dioperasikan oleh acquirer atau bisa juga oleh pihak ketiga lain yang berfungsi untuk memproses instruksi pembayaran. Payment gateway dalam hal ini telah memperoleh sertifikat digital yang dikeluarkan dan dikelola oleh pihak ketiga yang terpercaya, yang dikenal dengan nama Certi Ucation Authority (CA), seperti Veri Sign, Mountain View, Thawte, i-Trust dan sebagainya. Sertifikat digital ini dimiliki sebagai tanda bukti bahwa dia memiliki hak atau izin atas pelayanan transaksi elektronik (Santoso, 2016).
Selain payment gateway, adanya acquirer dan issuer juga merupakan suatu keharusan. Acquirer adalah sebuah institusi finansial dalam hal ini bank yang dipercaya oleh merchant untuk memproses dan menerima pembayaran secara online dari pihak consumer. Dan issuer merupakan suatu institusi finansial atau bank yang mengeluarkan kartu bank (kartu kredit maupun kartu debit) yang dipercaya oleh consumer untuk melakukan pembayaran dalam transaksi online. Masing-masing dari acquirer dan issuer merupakan wakil dari merchant dan consumer dalam melakukan pembayaran secara online.
Pada transaksi as-salam keberadaan saksi dan wakil bukan suatu keharusan tapi apabila diperlukan hal itu tidak akan merusak atau membatalkan transaksi, bahkan untuk keberadaan saksi sangat dianjurkan dalam transaksi as-salam. Karena dikhawatirkan adanya perselisihan dikemudian hari, baik disengaja oleh salah satu pihak maupun karena lupa. Juga setiap transaksi akan selalu terkait dengan keadaan dan kondisi yang melingkupinya. Pada transaksi yang dilakukan dalam bentuk yang lebih formal terikat dan mengandung risiko tinggi, demi kemaslahatan (kebaikan) diantara pihak-pihak yang terlibat sangat dianjurkan adanya administrasi dan saksi apabila melakukan suatu transaksi. Dalam permasalahan e- commerce, Fiqh memandang bahwa transaksi bisnis di dunia maya diperbolehkan karena mashlahah. Mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan syara’.
Bila e-commerce dipandang seperti layaknya perdagangan dalam Islam, maka dapat dianalogikan bahwa pertama penjualnya adalah merchant (Internet Service Provider atau ISP), sedangkan pembelinya akrab dipanggil customer. Kedua, obyek adalah barang dan jasa yang ditawarkan (adanya pemesanan seperti as-salam) dengan berbagai informasi, profile, mencantumkan harga, terlibat gambar barang, serta resminya perusahaan. Dan ketiga, Sighat (ijab-qabul) dilakukan dengan payment gateway yaitu sistem/software pendukung (otoritas dan monitor) bagi acquirer, serta berguna untuk service online (Santoso, 2016).
Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan. Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut. Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya: Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama. Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna menghindari riba (Qusthoniah, 2016).
Praktek Etika Islam dalam Jual Beli Online
Orang yang terjun ke dunia usaha, berkewajiban mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau fasid. Ini dimaksudkan agar mu’amalah berjalan sah dan segala sikap dan tindakannya jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan. Keterkaitan hal tersebut di antaranya adalah transaksi as-salam dan Transaksi E-commerce. Transaksi (akad) merupakan unsur penting dalam suatu perikatan. Dalam Islam persoalan transaksi sangat tegas dalam penerapannya, dan ini membuktikan bahwa keberadaan transaksi tidak boleh dikesampingkan begitu saja dalam setiap bidang kehidupan manusia (umat Islam), karena begitu pentingnya transaksi dalam suatu perjanjian Jual beli online secara etika Islam bisa dilihat akad yang dipakai. Sebab akad yang sesuai dengan ekonomi Islam biasanya sah (Djamil, 2001).
Menurut Abdullah al-Mushlih & Shalah as-Shawi (2004), secara bahasa akad artinya konkrit dari bahasa Arab aqaddhul habi (saya mengikut dengan tali). Menurut istilah keterikatan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Pasal 1 ayat 3 berbunyi akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.
Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 1 ayat 13 bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.
Prinsip syariah adalah prinsip yang sesuai dengan hukum Islam. Dasar-dasar hukum Islam adalah:
- Al-Qur’an. Kitab suci yang diturunkan kepada ummat muslim sebagaipetunjuk dasar utama dalam menjalankan perintah dan larangan dalammenjalani kehidupan.
- Al-Hadits. Segala sesuatu yang bersandarkan dari perintah, perilaku danpersetujuan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaipenyempurna dari hukum yang terdapat dari Al-Qur’an.
- Ijma’ para ulama. Kesepakatan para ulama dalam menentukan kesimpulan dari suatu hukum yang berlandaskan dari Al-Qur’an danhadist.
- Qiyas. Menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belumada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.
- Ijtihad yaitu usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang (Khalaf, 1994).
Aqad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai komitmen yang terbingkai dengan nilai-nilai Syariah. Dalam istilah Fiqh, secara umum aqad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, dan sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai (Ascarya, 2006).Rukun dalam aqad ada tiga, yaitu:
- pelaku aqad;
- objek aqad; dan
- Shighah atau pernyataan pelaku aqad, yaitu ijab dan qabul.
Pelaku aqad haruslah orang yang mampu melakukan aqad untuk dirinya (ahliyah) dan mempunyai otoritas Syariah yang diberikan pada seseorang untuk merealisasikan aqad sebagai perwakilan dari yang lain (wilayah). Objek aqad harus ada ketika terjadi aqad, harus sesuatu yang disyariatkan, harus bisa diserahterimakan ketika terjadi aqad, dan harus sesuatu yang jelas antara dua pelaku aqad. Sementara itu, ijab qabul harus jelas maksudnya, sesuai antara ijab dan qabul, dan bersambung antara ijab dan qabul (Ascarya, 2006).Syarat dalam aqad ada empat, yaitu:
- syarat berlakunya aqad (In’iqod);
- syarat sahnya aqad (Shihah);
- syarat terealisasikannya aqad (Nafadz); dan
- syarat Lazim.
Syarat In’iqod ada yang umum dan khusus. Syarat umum harus selalu ada pada setiap aqad, seperti syarat yang harus ada pada pelaku aqad, objek aqad dan Shighah aqad, aqad bukan pada sesuatu yang diharamkan, dan aqad pada sesuatu yang bermanfaat. Sementara itu, syarat khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada aqad- aqad tertentu, seperti syarat minimal dua saksi pada aqad nikah. Syarat shihah, yaitu syarat yang diperlukan secara Syariah agar aqad berpengaruh, seperti dalam aqad perdagangan harus bersih dari cacat. Syarat nafadz ada dua, yaitu kepemilikan (barang dimiliki oleh pelaku dan berhak menggunakannya) dan wilayah. Syarat lazim, yaitu bahwa aqad harus dilaksanakan apabila tidak ada cacat (Ascarya, 2006).Menurut Karim (2014), akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit, (transaksi nirlaba) yang tidak bermaksud mencari laba. Contoh-contoh akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibab, waaf, shadaqah, hadiah dan lain-lain. Akad tijarah adalah (conpensational contract) adalah segala macam perjanjian menyangkut for profit transaction atau tujuan keuntungan, karena bersifat komersil. Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah terbagi kepada:
- Natural uncertainly contract meliputi musyarakah (wujud, ‘inan, abdan,muwafadhah, dan mudharabah), muzara’ah, musaqah dan mukhabarah.
- Natural certainly contract meliputi murabahah, salam, istisna’ danijarah.
- Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelasseperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp5000/kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
- Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.Menurut Saprida (2016), di antara etika dalam jual beli online atau salam, ialah:
- Masing-masing hendaklah bersikap jujur dan tulus ikhlas serta hendaklah amanah dalam perjanjian-perjanjian yang telah dibuat;
- Penjual hendaklah berusaha memenuhkan syarat-syarat yang telah ditetapkan itu;
- Pembeli janganlah coba menolak barang-barang yang telah dijanjikan itu dengan membuat berbagai-bagai alasan palsu;
- Sekiranya barang yang dibawa itu terkurang sedikit dari pada syarat-syarat yang telah dibuat, masing-masing hendaklah bertolak ansur dan mencari keputusan yang sebaik-baiknya.
Menurut Saprida (2016), adapun yang menjadi syarat akad salam adalah sebagai berikut;
- Pembayaran Dilakukan di Muka (kontan). Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as-salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda. Adapun bila pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana yang sering terjadi, yaitu dengan memesan barang dengan tempo satu tahun, kemudian ketika pembayaran, pemesan membayar dengan menggunakan cek atau bank garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan yang akan datang, maka akad seperti ini terlarang dan haram hukumnya.
- Dilakukan pada barang-barang yang memiliki kriteria jelas telah diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan kriteria tertentu dan pembayaran di muka. Maka menjadi suatu keharusan apabila barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan- akan barang yang dimaksud ada dihadapan mereka berdua. Dengan demikian, ketika jatuh tempo, diharapkan tidak terjadi percekcokankedua belah pihak seputar barang yang dimaksud.
- Menyebutan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan penjual danpembeli berkewajiban untuk menyepakati kriteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala hal yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta setiap kriteria yang diinginkan dan dapat mempengaruhi harga barang. Sebagai contoh: Bila A hendak memesan beras kepada B, maka A berkewajiban untuk menyebutkan: jenis beras yang dimaksud, tahun panen, mutu beras, daerah asal serta jumlah barang. Masing-masing kriteria ini mempengaruhi harga beras, karena sebagaimana diketahui bersama harga beras akan berbeda sesuai dengan perbedaan jenisnya, misalnya: beras rojo lele lebih mahal dibanding dengan beras IR. Adapun jumlah barang, maka pasti mempengaruhi harga beras, sebab beras 1 ton sudah barang tentu lebih mahal bila dibandingkan dengan beras 1 kwintal dari jenis yang sama.
- Penentuan tempo penyerahan barang pesanan tidak aneh bila pada akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk mengadakan kesepakatan tentang tempo pengadaan barang pesanan. Dan tempo yang disepakati menurut kebanyakan ulama' haruslah tempo yang benar-benar mempengaruhi harga barang. Barang pesanan tersedia di pasar pada saat jatuh tempo pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nyata diharamkan dalam syari'at Islam. Sebagai contoh: Bila seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: "Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan mangga", maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur gharar (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam Islam ialah "memudahkan",
- Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya dijamin pengusaha yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain. Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur gharar (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya. Inilah persyaratan akad salam secara global, dan yang berdasarkan ilmu yang disebutkan dalam berbagai buku fiqih.