Definisi Interseksionalitas
Interseksionalitas adalah konsep yang digunakan untuk memahami bagaimana berbagai aspek identitas seseorang—seperti gender, ras, kelas sosial, agama, orientasi seksual, dan disabilitas saling berinteraksi dan menciptakan pengalaman diskriminasi atau privilese yang unik. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw, seorang akademisi hukum, untuk menjelaskan bagaimana perempuan kulit hitam mengalami diskriminasi yang tidak hanya berdasarkan gender atau ras secara terpisah, tetapi kombinasi dari keduanya. Dalam interseksionalitas, diskriminasi tidak dianggap sebagai pengalaman yang berdiri sendiri, melainkan sebagai sistem yang saling berhubungan dan memperburuk ketidakadilan sosial.
Interseksionalitas mengakui bahwa kehidupan setiap individu dibentuk oleh identitas mereka, hubungan sosial, serta faktor lingkungan. Identitas seseorang mencakup berbagai aspek, seperti gender, ras, etnisitas, kelas sosial, agama, dan disabilitas, yang dapat saling berhubungan dalam membentuk pengalaman hidup mereka. Faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling bertautan dan menciptakan dinamika sosial yang kompleks. Dalam banyak kasus, individu mengalami diskriminasi bukan hanya karena satu aspek identitas mereka, tetapi karena kombinasi dari beberapa faktor yang saling berinteraksi. Misalnya, seorang perempuan dari kelompok minoritas mungkin menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan dengan perempuan dari kelompok mayoritas karena adanya pengaruh ganda dari gender dan etnisitasnya. Dengan memahami interseksionalitas, kita dapat lebih menyadari bagaimana pengalaman diskriminasi bervariasi antara individu, bahkan dalam kelompok yang sama. Pendekatan ini menekankan bahwa kebijakan dan advokasi yang efektif harus mempertimbangkan berbagai aspek identitas seseorang secara menyeluruh.
Ketika berbagai faktor personal dan lingkungan saling bersinggungan, mereka dapat menciptakan bentuk diskriminasi yang unik dan berlapis-lapis. Diskriminasi tidak selalu terjadi secara langsung dan terlihat, tetapi bisa muncul dalam bentuk ketidakadilan sistemik yang sulit diidentifikasi. Misalnya, di dunia kerja, seseorang yang menghadapi diskriminasi berbasis gender mungkin juga mengalami perlakuan tidak adil karena latar belakang sosial atau ekonomi mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa diskriminasi tidak hanya berasal dari individu, tetapi juga dari sistem dan struktur sosial yang mengabadikan ketidaksetaraan. Interseksionalitas membantu mengungkap bagaimana hambatan sosial ini tidak bisa dipahami hanya dari satu perspektif, tetapi perlu dianalisis dalam kaitannya dengan faktor lain yang mempengaruhi kehidupan seseorang. Dengan memahami bagaimana berbagai bentuk diskriminasi saling terkait, masyarakat dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam menciptakan keadilan sosial. Oleh karena itu, penting bagi kebijakan publik dan inisiatif sosial untuk mengakomodasi kompleksitas pengalaman diskriminasi yang dialami oleh individu dari berbagai latar belakang.
Diskriminasi Interseksional dan Dampaknya terhadap Individu dengan Disabilitas
Diskriminasi interseksional terjadi ketika seseorang dengan disabilitas mengalami diskriminasi tidak hanya karena kondisi disabilitasnya, tetapi juga karena faktor lain seperti gender, agama, latar belakang etnis, atau status sosial lainnya. Bentuk-bentuk diskriminasi ini tidak hanya terjadi secara bersamaan, tetapi juga saling memperkuat, sehingga memperburuk hambatan yang dihadapi individu tersebut. Dalam banyak kasus, seseorang yang berada dalam lebih dari satu kelompok rentan dapat mengalami ketidakadilan yang lebih kompleks dibandingkan mereka yang hanya menghadapi satu bentuk diskriminasi. Misalnya, seorang perempuan dengan disabilitas mungkin menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan laki-laki dengan kondisi serupa, karena adanya bias gender dalam akses pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi sosial. Hambatan ini sering kali muncul dalam bentuk ketidakadilan sistemik yang tidak selalu disadari oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, memahami diskriminasi interseksional sangat penting untuk menciptakan kebijakan inklusif yang benar-benar mengakomodasi kebutuhan semua individu, terutama mereka yang berada dalam kelompok rentan.
Sebagai contoh, seorang anak laki-laki dan perempuan dengan disabilitas mungkin mengalami hambatan yang serupa dalam mengakses pendidikan kejuruan dan teknis (TVET). Keduanya dapat menghadapi kesulitan yang sama, seperti jalan yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas, bangunan sekolah yang tidak dapat diakses, kurangnya keterampilan guru dalam mengajar siswa dengan kebutuhan khusus, serta prasangka dari teman sebaya dan calon pemberi kerja. Namun, hambatan yang dihadapi anak perempuan dengan disabilitas bisa lebih kompleks karena adanya norma sosial yang menganggap pendidikan dan pekerjaan perempuan kurang penting dibandingkan laki-laki. Dalam beberapa budaya, perempuan sering kali memiliki akses yang lebih terbatas terhadap pendidikan dan peluang kerja, yang semakin memperburuk tantangan yang sudah ada akibat disabilitasnya. Oleh karena itu, untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil dan inklusif, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengakui dan mengatasi diskriminasi interseksional dalam berbagai aspek kehidupan.
Pentingnya Mengatasi Diskriminasi Interseksional
Mengatasi diskriminasi interseksional bukan hanya merupakan pilihan moral, tetapi juga kewajiban hukum yang diakui secara internasional. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) mengakui adanya berbagai bentuk diskriminasi yang saling berkaitan dan mewajibkan negara serta penyedia layanan untuk mengatasinya secara menyeluruh. Pendekatan ini menegaskan bahwa kebijakan inklusi harus mempertimbangkan berbagai faktor yang memengaruhi kehidupan seseorang, termasuk gender, latar belakang sosial, dan faktor lingkungan lainnya. Dengan memahami diskriminasi interseksional, kita dapat menciptakan sistem yang lebih adil bagi kelompok rentan dan memastikan bahwa hak-hak mereka terlindungi secara efektif. Tanpa pendekatan ini, kebijakan anti-diskriminasi cenderung bersifat umum dan kurang mampu menangani perbedaan pengalaman yang dialami oleh individu dalam kelompok yang sama. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, organisasi sosial, dan sektor swasta untuk berkomitmen dalam menerapkan kebijakan yang inklusif dan berbasis hak asasi manusia. Dengan cara ini, kita dapat menghilangkan hambatan sistemik yang menghambat akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi sosial bagi kelompok yang rentan terhadap diskriminasi interseksional.
Selain itu, memahami diskriminasi interseksional memungkinkan kita untuk menangani ketidakadilan sosial secara lebih efektif dan kontekstual. Jika kita hanya melihat hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas secara umum, kita mungkin mengabaikan bahwa individu dengan disabilitas memiliki kebutuhan yang berbeda tergantung pada gender, latar belakang ekonomi, bahasa, etnisitas, serta faktor sosial lainnya. Menganggap bahwa semua penyandang disabilitas memiliki tantangan yang sama berarti mengabaikan kompleksitas pengalaman mereka dan menghambat upaya menciptakan solusi yang tepat. Selain itu, situasi sosial terus berubah, sehingga relasi kekuasaan, bentuk diskriminasi, dan hambatan juga dapat mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, dalam survei tahun 2017 terhadap komunitas terdampak krisis di Negara Bagian Kachin, Myanmar, ditemukan bahwa perubahan sosial akibat konflik telah membuka peluang baru bagi perempuan muda untuk terlibat dalam politik dan mengisi peran yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang diskriminasi harus fleksibel dan mampu beradaptasi dengan perubahan sosial. Dengan mempertimbangkan faktor interseksional, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih tepat guna dalam menangani ketidakadilan dan mendorong kesetaraan yang lebih inklusif dalam masyarakat.
Langkah-Langkah Menerapkan Pendekatan Interseksional
Langkah 1 – Memahami Pola Pandang Kita Terhadap Inklusi
Menerapkan pendekatan interseksional dimulai dengan kesadaran diri terhadap keyakinan dan pandangan pribadi. Bahkan pendidik yang berpengalaman dan berpikiran terbuka, termasuk yang telah mendapatkan pelatihan tentang disabilitas, masih dapat memiliki asumsi tertentu terhadap siswa dengan disabilitas, perempuan, siswa dari kelompok etnis minoritas, atau komunitas pengungsi. Asumsi-asumsi ini, meskipun tidak disengaja, dapat menciptakan hambatan dalam menyediakan akses dan dukungan yang setara dalam pendidikan kejuruan dan teknis (TVET). Oleh karena itu, penting untuk secara aktif mengidentifikasi dan menantang bias pribadi agar tidak menghambat peluang bagi kelompok rentan. Salah satu cara efektif untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengadakan diskusi terbuka bersama rekan kerja untuk saling mengkritisi perspektif masing-masing. Dengan demikian, kesadaran akan bias dapat meningkat, dan kebijakan yang lebih inklusif dapat dikembangkan.
Selain itu, melibatkan pihak luar atau ‘critical friend’ dapat membantu dalam mengungkap perspektif yang mungkin terlewatkan. Sumber daya eksternal seperti anggota komunitas, perwakilan organisasi penyandang disabilitas, atau pihak dari otoritas pendidikan dapat memberikan wawasan baru yang lebih objektif. Mereka dapat membantu mengidentifikasi area di mana diskriminasi interseksional mungkin terjadi serta memberikan solusi yang lebih tepat dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang adil dan inklusif. Dengan menyadari dan menantang asumsi pribadi, para pendidik dapat lebih efektif dalam mendukung semua siswa tanpa terkecuali, memastikan bahwa setiap individu mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Langkah 2 – Berkolaborasi dengan Komunitas
Diskriminasi dan hambatan dalam pendidikan kejuruan dan teknis (TVET) adalah isu yang kompleks dan tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah. Faktor sosial, budaya, dan lingkungan sering kali memiliki pengaruh besar terhadap kemampuan siswa untuk mendaftar dan belajar di pusat TVET. Oleh karena itu, berkolaborasi dengan komunitas menjadi langkah penting dalam menerapkan pendekatan interseksional. Orang-orang di dalam komunitas memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang hambatan yang dihadapi oleh kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, perempuan, serta siswa dari latar belakang bahasa, agama, atau etnis tertentu. Dengan mendengarkan pengalaman mereka secara langsung, kita dapat mengidentifikasi tantangan spesifik yang mereka hadapi dan mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasinya.
Selain itu, keterlibatan komunitas tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi, tetapi juga sebagai mitra dalam mengatasi kesulitan yang ada. Misalnya, jika norma sosial membatasi kesempatan pendidikan bagi perempuan, komunitas dapat membantu mengubah pola pikir dengan mendukung program inklusif dan memberikan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi semua. Begitu pula, organisasi penyandang disabilitas dapat memberikan wawasan tentang bagaimana meningkatkan aksesibilitas fasilitas sekolah dan metode pembelajaran yang lebih ramah bagi siswa dengan kebutuhan khusus. Dengan bekerja sama secara erat dengan berbagai kelompok dalam komunitas, kita dapat menciptakan solusi yang lebih berkelanjutan dan menyeluruh, yang tidak hanya berdampak dalam lingkungan TVET, tetapi juga dalam kehidupan sosial siswa secara keseluruhan.
Langkah 3 – Menerapkan Pendekatan Individual
Karena setiap individu memiliki kombinasi faktor sosial dan pribadi yang unik, pengalaman mereka dalam menghadapi hambatan juga berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak mungkin menciptakan solusi universal yang dapat mengatasi semua tantangan yang dihadapi oleh siswa dengan disabilitas. Pendekatan yang lebih efektif adalah dengan memahami kebutuhan spesifik masing-masing siswa dan menyesuaikan strategi dukungan berdasarkan situasi mereka. Setiap siswa memiliki latar belakang, kemampuan, serta tantangan yang berbeda—baik itu terkait dengan gender, kondisi ekonomi, budaya, atau faktor lingkungan lainnya. Dengan menerapkan pendekatan individual, kita dapat memastikan bahwa solusi yang diberikan benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka dan dapat membantu mereka berkembang secara optimal dalam pendidikan kejuruan dan teknis (TVET).
Untuk menerapkan pendekatan ini, diperlukan analisis mendalam terhadap kondisi masing-masing siswa, dengan melibatkan mereka secara langsung serta jaringan pendukung mereka, seperti keluarga, komunitas, dan tenaga pengajar. Diskusi yang terbuka dengan siswa dapat membantu mengidentifikasi hambatan spesifik yang mereka hadapi dalam mengakses pendidikan dan pembelajaran di TVET. Misalnya, seorang siswa dengan disabilitas penglihatan mungkin membutuhkan aksesibilitas dalam bentuk materi pelajaran berbasis audio atau huruf braille, sementara siswa dengan keterbatasan mobilitas mungkin memerlukan fasilitas fisik yang lebih ramah disabilitas. Dengan memahami kebutuhan secara personal, kita dapat memberikan dukungan yang lebih efektif dan memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan kesempatan belajar yang setara.
Langkah 4 – Mengatasi Norma Sosial
Untuk mengatasi diskriminasi dalam komunitas TVET secara jangka panjang dan berkelanjutan, sangat penting untuk menantang norma sosial yang merugikan. Norma-norma ini sering kali menjadi penghalang utama dalam menciptakan lingkungan yang inklusif. Misalnya, di beberapa masyarakat, pendidikan untuk perempuan masih dianggap kurang penting dibandingkan laki-laki, atau ada anggapan bahwa siswa dengan disabilitas tidak perlu mengakses pendidikan kejuruan karena dianggap sulit mendapatkan pekerjaan. Stereotip seperti ini memperkuat ketidaksetaraan dan membatasi peluang bagi kelompok rentan. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat agar lebih terbuka dan mendukung hak pendidikan bagi semua individu, tanpa memandang gender, disabilitas, atau latar belakang sosial lainnya.
Proses perubahan norma sosial membutuhkan waktu dan pendekatan yang sistematis. Salah satu cara efektif adalah dengan menciptakan ruang untuk refleksi dan dialog di dalam komunitas. Forum diskusi dapat menjadi tempat untuk memahami dan menantang norma-norma yang sudah mengakar dengan cara yang menghormati perspektif semua pihak. Dalam diskusi ini, penting untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk siswa dan keluarga mereka, guru dan kepala sekolah TVET, calon pemberi kerja, serta otoritas lokal yang relevan. Selain itu, melibatkan tokoh berpengaruh di dalam komunitas dapat mempercepat perubahan sosial. Tokoh agama, pemimpin adat, pembuat opini, dan figur publik lokal dapat membantu menyebarkan pesan inklusivitas dan mendorong perubahan sikap dalam masyarakat. Selain itu, bekerja sama dengan advokat lokal—seperti penyandang disabilitas dan organisasi yang bergerak di bidang pendidikan inklusif—juga dapat memperkuat upaya dalam menantang norma-norma sosial yang diskriminatif. Dengan pendekatan kolaboratif ini, perubahan yang lebih positif dan berkelanjutan dapat tercapai.
Daftar Referensi
- Aggarwal, A. (2015). Recognition of prior learning: Key success factors and the building blocks of an effective system.
- Booth, T., & Ainscow, M. (2016). The Index for Inclusion: A guide to school development led by inclusive values, 4th edition. Cambridge: Index for Inclusion Network.
- Brigden, S., & Ahluwalia, K. (2020). Towards more inclusive practices: A Disability, Gender and Age Intersectional Resource. Burns, M. (2014, November 26). Five Models of Teacher-Centred Professional Development.
- Opgeroepen op January 2021, van Global Partnership: https://www.globalpartnership.org/blog/five-models-teacher-centred-professional-development.
- CAST. (2018, November 13). CAST. Opgehaald Top 10 UDL tips for assessment: https://www.cast.org/.
- CAST. (2018). Universal Design for Learning Guidelines version 2.2. Retrieved from http://udlguidelines.cast.org.
- CAST. (2023). About CAST Professional Learning. Retrieved November 2023 from https://www.cast.org/learn/about Committee on the Rights of Persons with Disabilities. (2016). General Comment No. 4.
- Christoffel Blinden Mission (CBM). (2018). Digital Accessibility Toolkit. https://www.cbm.org/article/downloads/54741/CBM-Digital-Accessibility-Toolkit.pdf.
- Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ). (2011). Digital Accessibility Toolkit – Short Guideline – Program Reform of TVET in Viet Nam. https://www.tvet-vietnam.org/
- DuFour, R., Eaker, R., & Many T. (2006). Learning by Doing: A Handbook for Professional Learning Communities at Work http://www.allthingsplc.info.about.
- Field, S., & Guez, A. (2018). Pathways of progression: linking technical and vocational education and training with post-secondary education.
- Fleming, N. (2020, October 1). Edutopia. Opgehaald van 7 ways to do formative assessments in your virtual classrooms: https://www.edutopia.org/article/7-ways-do-formative-assessments-your-virtual-classroom.
- Government of Vanuatu Ministry of Education and Training. (2015). National Disability Inclusion Policy for the TVET Sector 2016-2020.
- Grimes, P., & Stevens, M. (2014). Teachers, Inclusive, Child-Centred Teaching and Pedagogy. New York: United Nations Children’s Fund. Human Rights Campaign Foundation. (2020). Advocating for LGBTQ Students with Disabilities. H. R. C. Foundation. https://www.nclrights.org/get-help/resource/advocating-for-lgbtq-students-with-disabilities/
- ILO. (2016). “Promoting Diversity and Inclusion through Workplace Adjustments: A Practical Guide.” Geneva, 2016.
- ILO. (2017). Making TVET and skills systems inclusive of persons with disabilities. Geneva, Switzerland: International Labour Organization.
- International Labour Organization. (2021). Digitalization of national TVET and skills system: Harnessing technology to support LLL.
- ILO. (2022). Recognition of Prior Learning (RPL) framework, policies, processes, and procedures for the TVET sector. Final Report. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---africa/---ro-abidjan/---sro-addis_ababa/documents/publication/wcms_863423.pdf
- INEE. (2019). INEE Guidance Note on Gender. I.-a. N. f. E. i. Emergencies. https://inee.org/resources/inee-guidance-note-gender
- ISTR (2020, March 23). ISTE. Retrieved from 7 ways to make remote learning accessible to all students: https://www.iste.org/explore/learninh-during-covid-19/.7-ways-make-remote-learningaccessible-all-students
- Lange, R., Hoffman, C., & Di Cara, M. (2020). Guide on making TVET and skills development inclusive for all. Geneva: International Labour Organization. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_emp/---emp_ent/documents/publication/wcms_755869.pdf
- Loewenstein, S. (2015, January 12). Edutopia. Opgehaald van What’s the point of assessment? https://edutopia.org/blog/whats-the-point-of-assessment-shira-loewenstein
- Martinson, Karin. (2010). “Partnering with Employers to Promote Job Advancement for Low- Skill Individuals.” Washington, D.C.: The National Institute for Literacy.
- Marzano, R.J., et. al. (2012) Becoming a Reflective Teacher: The Classroom Strategies Series.
- Bloomington: Marzano Research. Ministry of Education Government of Peoples Republic of Bangladesh. (2011). National Skills Development Policy – 2011. Dhaka, Bangladesh.
- UNICEF. (2014). Webinar 1, Conceptualizing Inclusive Education and Contextualizing it withing the UNICEF Mission. Companion Technical Booklet.
- UNICEF. (2014). Webinar 11, Access to School and the Learning Environment II - Universal Design for Learning. Companion Technical Booklet. Retrieved from New York:
- UN. (2006). Convention on the Rights of Persons with Disabilities and Optional Protocol. Retrieved from: http//www.un.org/disabilities/documents/convention/convoptprot-e.pdf. USAID. (n.d.). Introduction to Gender-Responsive Teaching Methods. https://www.ungei.org/sites/default/files/Introduction-to-Gender-Responsive-Teaching-Methods-2018-eng.pdf