Pengertian Good Governance
Menurut World Bank, governance diartikan sebagai “the way state power is used in managing economic and sosial resources for development sociey”. Dengan demikian good governance adalah cara, yaitu cara bagaimana kekuasaan negara digunakan untuk mengelola sumber daya-sumber daya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat (KPK, 2016). Sementara itu, United Nation Development Programme (UNDP) mengartikan governance sebagai “the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation affair at all levels”. Kata governance diartikan sebagai penggunaan/ pelaksanaan, yakni penggunaan kewenangan politik, ekonomi dan adminstratif untuk mengelola masalah-masalah nasional pada semua tingkatan (KPK, 2008).
Sedarmayanti (2012) mengungkapkan bahwa secara konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang baik (Good Governance) mengandung dua pemahaman: Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilaan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.101 tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, good governance yang diartikan sebagai pemerintahan yang baik adalah pemerintahanyang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat diterima seluruh masyarakat. Secara umum good governance diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Maksud kata ‘baik’ di atas adalah sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance.
Konsep “governance“ melibatkan tidak sekedar pemerintah dan negara, tapi juga peran berbagai aktor diluar pemerintah dan negara, sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas. Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif. Menurut Mardiasmo (2007), Governance dapat diartikan sebagai cara mengelola urusan-urusan publik. United National Development Program (UNDP) memberikan pengertian Good Governance sebagai berikut “the exersice of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Selain itu Widodo (2001)menyatakan bahwa Governance adalah praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama.
Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. Merujuk pada konsep diatas, Good Governance memiliki beberapa atribut kunci seperti efektif, partisipatif, transparan, akuntabel, produktif, dan sejajar serta mampu mempromosikan penegakan hukum. Di atas semua itu, atribut utama dari Good Governance adalah bagaimana penggunaan kekuasaan dan otoritas dalam penyelesaian berbagai persoalan politik. Dalam konteks itu, mekanisme kontrol (check and balance) perlu ditegakkan sehingga tidak ada satu komponen pun yang memegang kekuasaan tersebut. Salah satu mekanisme yang digunakan adalah dengan menegakkan akuntabilitas sistem struktur, organisasi dan staf atas apa yang menjadi tanggung jawab, fungsi, tugasnya yang antara lain terlihat dari prilaku dan budaya kerjanya menurut Indriansyah (Wardani, 2010).
Prinsip Good Governance
Pada dasarnya dalam pelaksanaan good governance perlu adanya pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Jika semua unsur prinsip-prinsip Good Governance telah bersinggungan maka pemerintahan bisa dinilai baik dan buruknya. Pada tahun 1997, UNDP merumuskan 9 prinsip yang harus ditegakkan untuk bisa melaksanakan tata pemerintahan yang baik sebagai berikut (KPK, 2016)
Partisipasi Masyarakat (Participation)
Setiap orang atau warga masyarakat, laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan baik secara langsung, maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat diwujudkan dengan menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya.
Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law)
Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia. Proses mewujudkan cita-cita good governance dalam pemerintahan, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut: Supremasi hukum (the supremacy of law), Kepastian hukum (legal certainty), Hukum yang responsip, Penegakkan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, Indepedensi peradilan. Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
Transparansi (Transparency)
Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi. Dengan adanya transparansi dari proses pemerintahan maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan akan semakin meningkat, meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan dan berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu tranparansi harus dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Transparansi merupakan keterbukaan semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Peduli pada Stakeholder
Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). Good governance dapat berjalan dengan baik di masing-masing lembaganya jika pihak korporasi mempunyai tanggungjawab moral untuk mendukung program tersebut. Praktek good governance menjadi guidence atau panduan untuk operasional pemerintah, baik yang dilakukan dalam kegiatan internal maupun eksternal. Internal berkaitan dengan operasional pemerintah dan bagaimana stakholder tersebut bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada bagaimana stakholder tersebut bekerja dengan stakeholder lainnya.
Berorientasi pada Konsensus (Consensus)
Pemerintahan yang baik akan bertindak sebegai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah. Dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, Paradigma konsessus perlu dikembangkan karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Karena pada dasarnya Prinsip konsesus dalam good governance berarti semua keputusan harus dilakukan melalui proses musyawarah.
Kesetaraan (Equity)
Pemerintahan yang baik akan memberi kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan meningkatkan kualitas hidupnya.Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Prisip kesetaraan dalam good governance adalah adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. 7. Efektifitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency). Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang sesuai kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber yang tersedia.Untuk menunjang terlaksananya good governance dalam pemerintahan maka harus memenuhi kriteria efektif dan efisien yakni berdaya guna dan berhasil-guna. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
Akuntabilitas (Accountability)
Para pengambil keputusan dalam organisasi sector publik, swasta dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik masyarakat umum sebagaimana halnya kepada para pemilik. Instrumen dasar akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada, dengan komitmen politik akan akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban, Akuntabilitas dilakukan oleh Para pengambil keputusan dalam organisasi sektor publik, swasta dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik sebagaimana halnya kepada para pemilik. Akuntabilitas adalah bentuk pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka
Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas sejarah, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Good Governance di Indonesia
Good Governance di Indonesia sendiri mulai benar-benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga good governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama ini, penerapan good governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita-cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama good governance.
Dengan berbagai statement negatif yang dilontarkan terhadap pemerintah atas keadaan Indonesia saat ini. Banyak hal mendasar yang harus diperbaiki, yang berpengaruh terhadap clean and good governance, diantaranya (Efendi, 2005):
- Integritas Peran pemerintah yang sangat berpengaruh, Jika integritas yang dimilik para pelaku pemerintah tinggi para pelaku pemerintahan tidak akan terpengaruh meskipun ada kesempatan untuk melakukan penyimpangan misalnya korupsi.
- Kondisi Politik dalam Negeri Good governance tidak akan pernah terwujud jika konsep politik yang tidak/kurang demokratis karena hal ini akan berdampak pada persoalan dilapangan sehingga kondisi politik dalam negeri harus segera di perbaiki.
- Kondisi Ekonomi Masyarakat Good Governance tidak akan pernah terwujud jika kondisi ekonomi masyarakat masih dalam taraf rendah karena Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh.
- Kondisi Sosial Masyarakat Jika kondisi sosial masyarakat suatu negara masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya dan belum terberdaya secara maksimal seperti konflik dan anarkisme kelompok, maka akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan, oleh karena itu Masyarakat yang solid dan berpartisipasi aktif akan sangat menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan perwujudan nyata good governance. Masyarakat juga menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Sistem Hukum Menjadi bagian yang tidak terpisahkan disetiap penyelenggaraan negara.
- Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Good governanance tidak akan berjalan dengan baik di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistem hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.
Sulitnya mewujudkan Good governance di Indonesia disebabkan karena memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang unggul masih sulit dilakukan karena aparatur negara yang baik akan berpengaruh baik dengan penyelenggaraan negara. Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi agenda wajib yang tidak pernah lelah untuk dilakukan. Inilah satu hal yang tidak boleh dilewatkan untuk mencapai pemerintahan yang baik. Mencegah (preventif) dan menanggulangi (represif) adalah dua upaya yang dilakukan. Pencegahan dilakukan dengan memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government). Jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai. Jaminan yang diberikan jika memang benar-benar bisa disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat (Hardjasoemantri, 2003).
Sejak era Reformasi pemerintah Indonesia telah mengaungkan good governance dalam sistem pemerintahan akan tetapi masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good Governance. Meski demikian, Hal tersebut tidak berarti gagal untuk diterapkan, banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam menciptaka iklim Good Governance yang baik, diantaranya ialah mulai diupayakannya transparansi informasi terhadap publik mengenai APBN sehingga memudahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menciptakan kebijakan dan dalam proses pengawasan pengelolaan APBN dan BUMN. Oleh karena itu, hal tersebut dapat terus menjadi acuan terhadap akuntabilitas manajerial dari sektor publik tersebut agar kelak lebih baik dan kredibel kedepannya. Undang-undang, peraturan dan lembaga – lembaga penunjang pelaksanaan Good governance pun banyak yang dibentuk. Hal ini sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan sektor publik pada era Orde Lama yang banyak dipolitisir pengelolaannya dan juga pada era Orde Baru dimana sektor publik di tempatkan sebagai agent of development bukannya sebagai entitas bisnis sehingga masih kental dengan rezim yang sangat menghambat terlahirnya pemerintahan berbasis Good Governance (https://bulelengkab.go.id 2017/5/22) Diterapkannya Good Governance di Indonesia tidak hanya membawa dampak positif dalam sistem pemerintahan saja akan tetapi hal tersebut mampu membawa dampak positif terhadap badan usaha non-pemerintah yaitu dengan lahirnya Good Corporate Governance. Dengan landasan yang kuat diharapkan akan membawa bangsa Indonesia kedalam suatu pemerintahan yang bersih dan amanah.
Menurut Novita (2014)dalam mengimplementasikan good governance terdapat hambatan-hambatan yang muncul, hambatan ini muncul karena adanya beberapa hal yang mengisi proses pelaksanaan antara lain:
- Kultur berbagi belum ada. Sulitnya mendapatkan informasi dari pemerintahan karena banyaknya oknum yang memang mempersulit cara mendapatkan informasi, ini terjadi karena Kultur berbagi (sharring) informasi dan mempermudah urusan belum merasuk di Indonesia.
- Kultur mendokumentasi belum lazim. Kultur medokumentasikan sesuatu masih menjadi hal yang belum lazim dilakukan meskipun kemampuan mendokumentasi ini menjadi bagian dari standar software engineering.
- Langkanya SDM yang handal. SDM yang dimiliki oleh pemerintah belum bisa dikatakan handal di bidang teknologi dan informasi meskipun Teknologi informasi merupakan sebuah bidang yang baru.
- Infrastruktur yang belum memadai dan belum handal. Infrastrukur telekomunikasi Indonesia memang masih belum tersebar secara merata. Di berbagai pelosok daerah di Indonesia masih ada yang belum tersedia saluran telepon, atau bahkan aliran listrik. Kalaupun semua fasilitas ada, harganya masih relatif mahal. Pemerintah juga belum menyiapkan pendanaan (budget) untuk keperluan ini.
- Tempat akses yang terbatas. Tempat akses informasi jumlahnya masih terbatas. Di Indonesia tempat untuk mengakses informasi dapat dilakukan di kantor pos, kantor pemerintahan, dan tempat-tempat umum lainnya.
Selain faktor diatas menurut Zulkarnain (2002), hambatan bagi upaya menciptakan Good Governance adalah adanya sikap mental dari sebagian rakyat Indonesia lebih khusus dari para pengelola negara dan mitra yang terkait. Dalam hal ini sikap mental dan kultural dari pengelola negara, corporate, dan masyarakat. hal terjadi karena dari sejarah Indonesia pada umumnya gejala tersebut selain berakar dari feodalisme juga karena pengaruh gaya orang-orang asing di Indonesia, khususnya orang-orang Belanda. Feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal".
Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif. Secara lebih rinci ada beberapa penyebab munculnya tindakan tersebut antara lain ialah:
- Lunturnya dimensi kerohanian dalam pola hidup modern yang materialistik.
- Pengkawulaan rakyat kepada penguasa.
- Tradisi upeti secara paksa oleh penguasa.
- Gengsi dan harga diri.
- Tidak adanya motivasi untuk berprestasi.
Upaya pemerintah untuk menerapkan iklim good Governane membawa dampak yang positif dalam sistem pemerintahan, selain itu good Goverment juga berdampak positif pada badan usaha non-pemerintah yaitu dengan lahirnya Good Corporate Governance. Penerapan good Governace dimulai dari upaya pemerintah dengan membuat transparansi informasi terhadap publik mengenai APBN sehingga memudahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menciptakan kebijakan dan dalam proses pengawasan pengelolaan APBN dan BUMN. Oleh karena itu, hal tersebut dapat menjadi acuan terhadap akuntabilitas manajerial dari sektor publik agar kelak lebih baik dan kredibel kedepannya. Undang-undang, peraturan dan lembaga–lembaga penunjang pelaksanaan Good governance pun banyak yang dibentuk. Hal ini sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan sektor publik pada era Orde Lama yang banyak dipolitisir pengelolaannya dan juga pada era Orde Baru dimana sektor publik di tempatkan sebagai agent of development bukannya sebagai entitas bisnis sehingga masih kental dengan rezim yang sangat menghambat terlahirnya pemerintahan berbasis Good Governance.
Dengan landasan yang kuat diharapkan akan membawa bangsa Indonesia kedalam suatu pemerintahan yang bersih dan amanah (Novita, 2014) Dalam rangka melakukan langkah ‘revolusioner’ dalam mewujudkan good governance diperlukan seorang pemimpin yang benar-benar memiliki kharisma, bersih, memiliki kemauan yang keras untuk menumbuhkan needs for achievement, visioner, dan bukan partisan. Menurut Sugeng pemimpin yang memiliki kharisma, bersih, memiliki kemauan yang keras untuk menumbuhkan needs for achievement, visioner, dan bukan partisan kadang tidak diketahui keberadaannya (Sugeng, 2016). Dalam hal ini yang disebut dengan seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator, dan dinamisator (Sugeng, 2010). Pemimpin yang demikian inilah yang mampu untuk melakukan perombakan untuk mewujudkan good governance.
Tanpa pemimpin yang memenuhi kriteria tersebut sulit untuk melakukan perombakan. Memang bukan perkara mudah untuk memperoleh seorang pemimpin sejati. Secara teoritis pemimpin tidak dapat dibentuk atau dilahirkan tetapi pemimpin adalah anak jaman. selain itu, Reformasi 1998 digadang-gadang sebagai harapan baru dalam pembersihan negara dari budaya korupsi (Supeno, 2009) seperti KPK dan yang terakhir saber pungli. Hal yang lebih mendasar mestinya dilakukan perombakan terhadap kultur korupsi. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa untuk merubah kultur tersebut satu-satunya jalan adalah melalui pendidikan. Menurut Sugeng (2010), pendidikan akan membuka cakrawala seseorang serta membentuk pola pikir yang logis. Sayangnya pendidikan di Indonesia sedikit sekali yang mampu merubah pola pikir masyarakat.