Pengertian Kekerasan
Kekrasan merupakan setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Kekerasan mengingatkan kita pada seluruh situasi kasar, menyakitkan, dan menimbulkan dampak negatif. Namun, kebanyakan orang hanya memahami kekerasan sebagai suatu bentuk perilaku fisik yang kasar, keras, dan penuh kekerasan. Oleh karena itu, bentuk perilaku operasif (menekan) lain yang bentuknya tidak berupa perilaku fisik, menjadi tidak dipandang sebagai bentuk kekerasan. Secara terminologi, kekerasan atau violence adalah gabungan dua kata “vis”(daya atau kekuatan) dan “latus” berasal dari kata “ferre” yang berarti (membawa). Kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya. Batas yang lebih khusus tentang kekerasan terhadap perempuan disebut dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang disahkan oleh PBB pada tahun 1993, pasal 1: “kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindak kekerasan yang bersifat gender, yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman, paksaan, pembatasan kebebasan, baik yang terjadi di area publik maupun domestik. Hal tersebut menurut (Hardani, 2010:7-8).
Kekerasan adalah tindakan yang membawa kekuatan yang mengakibatkan kesakitan, kesakitan yang dimaksud adalah dalam aspek fisik, mental, sosial dan ekonomi. Yang dapat membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain maupun lingkungan. Sehingga jelaslah bahwa kekerasan adalah suatu bentuk kejatahan yang bertentangan dengann hukum yang berlaku.
Kekerasan adalah realita hidup sehari-hari dalam masyarakat. Saat ini bentuk dan jumlah kasusu kekerasan di Indonesia semakin marak dan korban paling banyak adalah perempuan dan anak-anak. Melihat berbagai kecenderungan ini dalam di alam semesta, kita dapat mudah mengakui bahwa manusia, entah perempuan atau laki-laki begitu istimewa hingga mendapatkan “kekuasaan” untuk memanfaatkan bumi dan segala isinya secara merdeka. Manusia diberi kebebasan untuk mengelola seluruh ciptaan dan alam semesta bukan hanya untuk memberi makan pada manusia, tapi juga untuk mengalami proses pembelajaran. Parahnya, kekuasaan yang begitu istimewa inilah yang kemudian menjadi landasan bagi manusia untuk mengambil segala manfaat dari seluruh ciptaan tanpa ingat akan resiko yang mungkin akan di hadapi. Bahkan kemudian sering kali jumawan ingin menguasai manusia lain dan mengabaikan bahwa semua manusia tanpa kecuali memiliki martabat yang sama sebagai “ciptaan”. Hal tersebut menurut (Duadji & Mulukhan, 2017:29).
Sebagaimana halnya dalam ilmu-ilmu sosial, seringkali keterbatasan data membuat pula keterbatasan kajian. Demikian pula dengan tindak kekerasan. Kenyataannya, minimnya data baik official data maupun non-official data yang ada tentang kekerasan, menyebabkan sulitnya untuk melakukan analisis bersandarkan pada pendekatan kuantitatif. Kehati-hatian ini diperlukan karena peristiwa kekerasan yang dilaporkan pada lembaga kepolisian tidak pernah di manapun di dunia ini mencerminkan frekuensi peristiwa sebenarnya dalam masyarakat, karena sebagian dari besar tindak kekerasan tidak dilaporkan pada kepolisian. Hal tersebut menurut (Harkrisnowo, 2000:160-161)
Syeikh Nawawi, Muhammad bin Umar an-Nawawi menuturkan beberapa alasan yang memperbolehkan suami untuk memukul isterinya, yakni jika si istri tidak mau menghiasi dirinya pada suami menghendaki, tidak memenuhi ajakan suami untuk berhubungan intim, keluar rumah tanpa seizin suami, memgang janggut suami, memperlihatkan muka kepada orang lain, berbicara dengan orang lain yang bukan mahram atau berbicara kepada suami dengan suara lantang agar terdengar orang lain, mengatakan ucapan “keledai atau bodoh” kehadapan suami sekalipun karena dihardik oleh suami, merobek baju suami, memukul anak kecil yang sedang menangis, jika istri memberikan kepada orang lain dari rumah suami sesuati yang semestinya harus disimpan dan dirawat. Hanya saja, harus diperhatikan, ta’dib kepada istri dan anak dengan pukulan ini bukanlah sebagai penghinaan atasnya, bukan pula balas dendam atau penyiksaan tetapi dalam rangka mendidik, memperbaiki dan meluruskan. Pukulan ini disertai rasa ksih sayang suami kepada istri atau orangtua kepada anaknya, bukan pukulan yang keras sehingga membuat istri lari dari suaminya, anak menjauh dari orang tuanya, karena menimbulkan kebencian dan memupu rasa cinta. Banyak ulama yang mendeskripsikan pukulan yang terukur, yaitu pukulan dengan siwak atau kayu pembersih gigi. Hal tersebut menurut (Helmi, 2017:68-72).
Pendidikan (ta’dib) terhadap istri dan anak boleh dilakukan oleh suami dengan beberapa alasan di atas. Ta’dib yang dilakukan harus benar-benar diperhatikan agar tidak menimbulkan kebencian atau pun dendam. Hanya saja para suami terkadang tidak benar-benar memahami tad’ib. Karena suami merasa derajatnya lebih tinggi dia merasa berhak melakukan apapun terhadap keluarganya. Disinilah terjadi kekeliruan dan menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa kekerasan menyebabkan dampak dan efek negatif bagi siapapun yang mengalaminya. Tindakan kekerasan tidak hanya berdampak pada keadaan fisik bagi korbannya, tetapi bisa berdampak pada psikis. Tindakan kekerasan yang dialami dapat menyebabkan trauma bagi seseorang. Trauma ini tentu akan menghambat perkembangan dan pertumbuhan seseorang serta menghambat proses sosialisasi seseorang.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan semua perilaku ancaman, pelecehan, dan kekerasan baik secara fisik, psikologis, dan kekerasan baik secara fisik, psikologis, dan seksual antara dua orang yang terkait hubungan personal ataupun kepada anggota keluarga lainnya. Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdiri dari Kekerasandan Ruamah Tangga, keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Sejauh ini kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk perbuatan dianggap baru. Meskipun pada dasarnya bentuk-bentuk kekerasan ini dapat di temui dan terkait pada bentuk perbuatan pidana tertentu, seperti pembunuhan, penganiayaan, perkosaan dan pencurian. Hal tersebut menurut (Helmi, 2017:40).
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 Ayat (1) menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah semua perilaku ancaman, pelecehan, dan kekerasan baik secara fisik, psikologis, dan seksual antara dua orang yang terikat hubungan suami istri ataupun kepada anggota keluarga lain.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan ujung dari relasi dalam rumah tangga yang kurang harmonis. Terutama relasi suamiisteri yang selalu dalam keadaan kon flik. Dalam perspektif teori sosial, paling tidak terdapat 4 (empat) pola relasi suami-isteri yang sedang berada dalam konflik. Stephen K. Sanderson (2003), mengungkapkan pola interaksi suami-isteri yang sedang berada dalam keadaan konflik dalam empat pola yakni: Pola eskalasi, Pola invalidasi, Pola Menarik diri dan menghindar, serta pola Inteprestasi Negatif. Hal tersebut menurut (Sinlaeloe,dkk 2011:5).
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga, maupun dalam pergaulan masyarakat. Dengan demikian, segala sesuatu dalam rumah tangga (keluarga) dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami dan istri. Namun, dalam kenyataannya mengandung paradoks, artinya dalam kehidupan rumah tangga yang kelihatannya serasi dan bahagia, tindak kekerasan terjadi. Cukup banyak kesaksian yang menunjukkan kedua perilaku, baik yang sifatnya menyayangi, maupun yang bersifat kekerasan, terjadi bersama-sama dalam rumah tangga.
Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu bentuk ketidakadilan gender, atau suatu konsekuensi dari adanya relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki sebagai bentuk nilai dan norma sosial. Dalam perspektif gender, kondisi ini kemudian dikaitkan dengan adanya suatu kultur patriarkhi yang sejak awal sejarah membentuk peradaban manusia, yaitu suatu kultur yang menganggap bahwa lakilaki adalah superior terhadap perempuan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan kehidupan bernegara. Kultur yang patriarkhi ini secara turuntemurun menolak perbedaan prilaku, status, dan otoritas yang berkembang antara dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, yang kemudian berkembang menjadi suatu hirarki gender. Hirarki gender menjelaskan situasi tempat kekuasaan dan kontrol terhadap tenaga kerja, sumber-sumber daya, dan produk yang berhubungan dengan maskulinitas dan otoritas sosial terhadap perempuan dilakukan melalui peran ayah dan suami. Hal tersebut menurut Mas’udi dlm (Hardani 2010:8-9).
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tujuan perkawinan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, kadang-kadang terhambat oleh berbagai permasalahan yang terjadi antara suami istri. Mereka pada umumnya menganggap bahwa permasalahan rumah tangga merupakan masalah yang sangat pribadi. Selain itu, juga dianggap sebagai hak laki-laki (suami) atas tubuh istrinya sendiri, yang resmi dinikahi. Di samping ada suatu anggapan bahwa kekerasan tersebut merupakan cara suami “mendidik” istri. Kemudian juga terdapat anggapan bahwa istri adalah milik suami, sehingga suami dapat memperlakukan istri sekehendak hatinya. Dengan anggapan demikian sikap suami terhadap istri cenderung menjadikan istri sebagai objek, bukan sebagai atau individu (pribadi) yang mempunyai hak asasi yang patut dihormati.
Padahal dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa: Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Namun, pasal ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “ibu rumah tangga”. Pencantuman istilah tersebut seakan-akan membatasi ruang gerak istri (perempuan) hanya di ranah domestik saja. Padahal kenyataannya banyak kaum istri yang merambah ke ranah publik, serta menjalankan profesi sesuai dengan kemampuan intelektualitasnya.
Tindakan kekerasan terhadap perempuan ibarat gunung es. Karena yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil saja, sedangkan bagian yang lebih besar masih tenggelam atau tidak dapat diketahui. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya anggapan dalam masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam lingkungan keluarga adalah masalah intern keluarga dan tidak sepatutnya di ekspos. Sebagian masyarakat masih menutupi kondisi ini karena mereka mempertahankan status sosial bagi keluarganya. Oleh karena itu, tindakan kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga dianggap aib yang harus dan selalu ditutupi. Sama hal nya dengan bentuk kejahatan biasa (kejahatan konvensional) pelaku tindakan kekerasan dalam lingkungan keluarga atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah mereka yang berasal dariberbagai status sosial. Jadi tidak dibatasi oleh strata sosial maupun pendidikan. Hal tersebut menurut (Soeroso, 2011:35).
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan sebuah perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan pelaku terhadap korbannya, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis sehingga tidak bisa melakukan aktifitas sebagaimana sebelumnya dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah tangga.
Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mengatakan bahwa Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Hal tersebut menurut (Sukardi, 2015:42). Dari berbagai kasus yang pernah terjadi di Indonesia, bentuk-bentuk KDRT dapat di kelompokkan menjadi berikut ini:
Kekerasan Fisik
- Pembunuhan:
- Suami terhadap istri atau sebaliknya;
- Ayah terhadap anak dan sebaliknya;
- Ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk pembunuhan bayi oleh ibu);
- Adik terhadap kakak, kemenakan, ipar atau sebaliknya;
- Anggota keluarga terhadap pembantu;
- Bentuk campuran selain tersebut di atas.
- Penganiayaan:
- Suami terhadap istri atau sebalikya;
- Ayah terhadap anak sebaliknya;
- Ibuk terhadap anak atau sebaliknya (termasuk pembunuhan bayi oleh ibu)
- Adik terhadap kakak,kemenakan, ipar atau sebaliknya;
- Anggota keluarga terhadap pembantu;
- Bentuk campuran selain tersebut di atas;
- Perkosaan:
- Ayah terhadap anak perempuan ; ayah kandung atau ayah tiri dan anak kandung maupun anak tiri;
- Suami terhadap adik/kakak ipar;
- Kakak terhadap adik;
- Suami/anggota keluarga laki-laki terhadap pembantu rumah tangga;
- Bentuk campuran selain di atas.
Kekerasan Nonfisik/Psikis/Emosional
- penghinaan
- komentar-komentar yang di maksudkan untuk merendahkan dan melukai harga diri pihak istri;
- melarang istri bergaul;
- ancaman-ancaman berupa akan mengembalikan istri ke orang tua;
- akan menceraikan;
- memisahkan istri dari anak-anaknya dan lain-lain;
Kekersaan Seksual
- pengisolasian istri dari kebutuhan batinya;
- pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak di kehendaki atau di setujui oleh istri;
- memaksa istri jadi pelacur dan sebagainya;.
Kekerasaan Ekonomi
- tidak memberi nafkah terhadap istri
- memanfaatkan ketergantungan istiri secara ekonamosi untuk mengontrol kahidupan istri;
- membiarkan istri bekerja kemudian pengahasilanya di kuasai oleh suami. Misalnya memaksa istri menjadi ”wanita panggilan”;. Hal tersebut menurut (Soeroso, 2010:80-82)
Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang dimaksudkan mencakup segala bentuk perbuatan yang menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, luka, dan sengaja merusak kesehatan. Termasuk juga dalam kategori penganiayaan terhadap istri adalah pengabaian kewajiban memberi nafkah lahir dan batin. Perilaku kekerasan diatas dapat terjadi dalam setiap rumah tangga. Sehingga kekerasan dalam rumah tangga, bukan terletak pada apa kriterianya, tetapi pada lebih pada alasan perilaku kekerasan itu dapat menerpa tiap keluarga. Hal tersebut menurut (Kurniawati, 2011:86).
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga identik dengan tindakan pemukulan, penamparan, dan kekerasan fisik lainnya. Ada juga kekerasan psikologis dan ekonomi sebagai contoh lainnya. Bentuk-bentuk kekerasan yang diterima pihak istri bermacam-macam: diabaikan/ditinggal dalam waktu sekian lama tanpa diberi nafkah, perselingkuhan suami, mendapat penghinaan dari suami, dipukul, ditendang, dan bahkan ada yang disiram dengan minyak tanah lalu dibakar, dan lain. Hal tersebut menut (Heriawan, 2007:164).
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga dapat merusak hubungan antara suami dan istri karena dapat menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis atau penelantaran rumah tangga. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan sering kali meningkat, biasanya bermula dari ancaman dan serangan verbal menjadi kekerasan fisik, KDRT dapat berdampak buruk pada kondisi emosional dan psikologis korbannya, di mana harga diri menjadi hancur, terjadi kecemasan dan depresi, serta merasa tak berdaya.
Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Sesungguhnya kekerasan yang dialami seseorang khususnya istri dalam hidup berumah tangga bukan tanpa alasan ataupun penyebab. Banyak wanita diluar yang menerima kekerasan karena beberapa alasan. Faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga yaitu:
- Masyarakat yang hidupnya tidak berkecukupan (faktor ekonomi), yaitu tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup mengakibatkan sering terjadinya kekerasan. Kebutuhan hidup dapat berupa sandang pangan atau kesulitan keuangan untuk pendidikan anak-anak, hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi perbuatan semena-mena dalam rumah tangga. Biasanya para istri terlalu banyak menuntut untuk pemenuhan kebutuhan hidup sedangkan para suami tidak dapatmencukupi kebutuhan tersebut karena penghasilan yang kurang.
- Rasa cemburu yang berlebihan dari pihak istri maupun suami sehingga hal ini dapat menimbulkan keributan dalam rumah tangga. Kekhawatiran istri atau suami akan terjadinya perselingkuhan diantara mereka menjadi penyebab pertengkaran diantara mereka, dengan demikian kekerasan sering terjadi dalam rumah tangga mereka.
- Emosi yang berlebihan atau sifat keras dari suami menyebabkan sering terjadinya pemukulan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya sehingga menimbulkan luka memar pada bagian tubuh si istri. Hal tersebut menurut (Kurniawati, 2011: 90).
Faktor penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga terbagi menjadi dua yaitu secara teoritis dan empiris. Secara teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindakan kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli. Secara empiris maksudnya adlah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperolah dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan.
Faktor-faktor penyebab kasus kekerasan seksual, fisik, psikologis dan ekonomi terhadap informan, dalam penelitian ini menunjukkan adanya enam faktor penyebab kekerasan, yaitu pertama, kondisi kepribadian dan psikologis istri dan suami yang tidak stabil; kedua, kemandirian ekonomi istri; ketiga, perselingkuhan suami dengan perempuan lain; keempat, cemburu; kelima, masalah anak; dan keenam, campur tangan orang ketiga.
- Kondisi Kepribadian dan Psikologis Suami-Istri yang Tidak Stabil. Kondisi kepribadian dan psikologis suami-istri yang tidak stabil dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
- Kemandirian Ekonomi Istri. Menurut Moors kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (biasa disingkat KDRT) bisa disebabkan oleh ketergantungan ekonomi istri kepada suaminya, karena mungkin istri akan direndahkan oleh suami
- Perselingkuhan suami dengan perempuan lain menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Perselingkuhan adalah kekerasan suami yang mungkin terjadi secara tiba-tiba, tanpa diketahui oleh istri.
- Masalah Anak. Masalah anak merupakan faktor lain yang menyebabkan timbulnya kekerasan domestik. Jenis-jenis kekerasan yang dilakukan suami maupun istri terhadap salah satu pasangannya dalam perkawinan akibat masalah anak adalah kekerasan fisik dan emosional.
- Cemburu Salah satu terjadinya kekerasan suami terhadap istri adalah faktor cemburu.
- Campur Tangan Orang Ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak istri terutama ibu mertua, dalam penelitian ini merupakan salah satu penyebab timbulnya kekerasan antara suami-istri. Hal tersebut menurut (Hardani, dkk, 2010:51-56).
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa ada beragam penyebab kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mulai dari faktor internal maupun eksternal. Tak jarang kasus KDRT berakhir pada perceraiaan hingga berakhir pada sebuah tragedi hingga merenggut nyawa yang menjanjikan kurungan jeruji besi bagi siapa saja yang dengan sengaja melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-undang No.23 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Hukum Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004. Hukum atau Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga dibuat dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahtan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus di hapus;
- Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;
- Bahwa dalam kenyataanya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga (Makarao&dkk, 2014:174).
Bab III Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. Kekerasan fisik; b. Kekersan psikis; c. Kekerasan sesksual; atau d. Penelantaran rumah tangga. Pasal 6 Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang menakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Pasal 7 Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Pasal 8 Kekerasan seksual sebagaimana di maksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi : a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9 (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahalmenurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana di maksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Peran aparat penegak hukum dalam hal merupakan salah satu trobosan baru hukum yang dilakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yakni khususnya kepolisian, advokat, dan pengadilan dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga terutama sekali dengan diaturnya mengenai mekanisme perlindungan dari pengadilan bagi keamanan korban yaitu:
- Peran Kepolisian
Pada saat kepolisian menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, mereka harus segera menjelaskan kepada korban mereka mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Kepolisian memperkenalkan identitas mereka dengan menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga sudah merupakan kewajiban dari kepolisian untuk melindungi korban (Diatur Pasal 16 samoai dengan 20,26,27,35 dan 36).
Setelah menerima laporan tersebut, langkah-langkah yang harus diambil kepolisian yaitu :- Memberikan perlindungan sementara kepada korban
- Meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
- Melakukan penyelidikan
- Peran advokat
Di dalam memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib memberikan konsultasi hukum mengenai hak-hak korban dan proses peradilan. Mendampingi korban pada penyidikan dan pemeriksaan di dalam sidang, serta melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya. - Peran Pengadilan
Pengadilan harus mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain yang diajukan oleh kepolisian. Pengadilan dapat mempertimbangkan permohonan korban atau kuasanya untuk mentapkan kondisi khusus berupa pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban. Korban dapat melaporkan kepada polisi jika terjadi pelanggaran perintah perlindungan, kemudian menyusun laporan bersama kepada pengadilan, yang wajib memanggil pelaku membuat pernyataan tertulis yang isinya kesanggupan mematuhi perintah perlindungan, kemudian menyusun laporan bersama kepada pengadilan, yang wajib memanggil pelaku untuk membuat pertanyaan tertulis yang isinya kesanggupan mematuhi perintah perlindungan, dengan sanksi apabila surat tersebut dilanggar, maka pengadilan dapat menahan pelaku sampai 30 (tiga puluh) hari lamanya.
Aparat penegak hukum yaitu kepolisian, advokat dan pengadilan, dalam memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan, pendamping dan pembimbing rohani (Pasal21 Sampai dengan 24).
Bentuk perlindungan dari selain aparat penegak hukum yaitu:
- Tenaga Kesehatan
- Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi;
- Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
- Pekerja sosial.
- Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
- Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintahperlindungan dari pengadilan;
- Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
- Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga social yang dibutuhkan korban.
- Peranan Pembimbing Rohani
Demi kepentingan korban, maka pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman serta takwa (Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT). - Relawan Pendamping
Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan. Bentuk pelayanan adalah:- Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
- Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penutntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;
- Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban sehingga korban merasa aman didampingi; dan
- Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban. Hal tersebut menurut (Helmi, 2017:53-57).
Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat dalam pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
Bagi Pemerintah
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga;
- Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
- Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
- Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
- Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya:
- Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor polisi;
- Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
Tenaga kesehatan yaitu setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentuu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. - Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
- Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Bagi Masyarakat
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
- Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
- Memberikan perlindungan kepada korban;
- Memberikan pertolongan darurat; dan
- Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. (Khaleed, 2015:21-22).
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa upaya untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan dalam tatanan hukum nasional. Sosialisasi pemahaman mengenai kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan lebih lagi oleh aparat penegak hukum. Upaya penghapusan kekerasan dalam rrumah tangga dapat dilakuakn oleh ibu rumah tangga dengan memiliki penhasilan sendiri sehingga tidak terlalu bergantung kepada suami.