Entrepreneur Intention

Penulis: Tim Editor | Kategori: Pendidikan Dasar | Tanggal Terbit: | Dilihat: 1426 kali

Pengertian Entrepreneur Intention

Entrepreneur Intention atau niat kewirausahaan merujuk pada kecenderungan seseorang untuk memulai dan menjalankan usaha bisnis. Ini adalah langkah pertama dalam proses menjadi seorang pengusaha, dan dipengaruhi oleh berbagai faktor individu seperti pengetahuan, pengalaman, sikap, persepsi, dan lingkungan sekitar. Niat kewirausahaan adalah penting karena menunjukkan motivasi dan komitmen seseorang untuk memulai dan menjalankan bisnis, dan dapat menjadi faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan usaha bisnis. Banyak program dan inisiatif telah diluncurkan untuk mempromosikan niat kewirausahaan dan membantu individu mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memulai dan menjalankan bisnis.

Intensi atau Intention adalah suatu perjuangan guna mencapai suatu tujuan ciri-ciri yang dapat dibedakan dari proses-proses psikologis yang mencakup referensi atau kaitannya dengan suatu objek. (Chaplin, 2006). Intensi berwirausaha akhir-akhir ini mulai mendapat perhatian untuk dipelajari karena diyakini bahwa intensi berkenaan dengan perilaku terbukti dapat merupakan cerminan dari perilaku yang sebenarnya. Dalam teori perilaku terencana, diyakini bahwa faktor-faktor seperti sikap dan norma akan membentuk norma subyektif seseorang dan secara langsung akan mempengaruhi perilaku.

Konsep tentang intensi diajukan oleh Fishbein dan Ajzen (1988) yang diartikan sebagai kemungkinan subjektif seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Kemudian ditegaskan bahwa niat individu untuk melakukan sesuatu itu merupakan fungsi dari:

  1. Sikap terbadap perwujudan perilaku dalam situasi tertentu, sebagai faktor personal atau attitudional. Hal ini berhubungan dengan orientasi seseorang yang berkembang atas dasar keyakinan dan pertimbangan terhadap apa yang diyakini.
  2. Norma-norma yang berpengaruh atas perwujudan perilaku dan motivasi seseorang untuk patuh pada norma sebagai faktor sosial atau normative. Ini merupakan gabungan antara persepsi reference-group atau significant-person terhadap perwujudan perilaku.

Menurut Bandura (2002) intention merupakan kebulatan tekad dalam melakukan aktivitas yang dilatarbelakangi motivasi seseorang untuk bertindak. Chaplin (2006) mendefinisikan intention sebagai suatu perjuangan untuk mencapai tujuan, prosesnya disadari, mencakup kognisi (merasa dan menerima), konasi (usaha, kemauan, hasrat dan keinginan) dan perasaan (suka atau tidak suka).

Entrepreneur intention dipahami sebagai suatu keadaan pikiran yang mengarahkan perhatian dan tindakan kepada wirausaha (Souitaris, Zerbinati, & Al-laham, 2007). Pendapat lain menjelaskan bahwa intensi merupakan langkah pertama dari proses individu untuk mendirikan bisnis dan menjadi faktor yang paling sering dipelajari dalam proses pendirian usaha / perusahaan (Linan & Chen, 2006). Individu dengan intensi berwirausaha yang tinggi digambarkan dengan memfokuskan pikiran pada usaha-usaha profesional untuk menjadi wirausaha. Individu dengan intensi berwirausaha yang tinggi juga ditunjukkan dengan tekad dan keyakinan bahwa suatu saat ia akan memulai dan menjalankan sebuah perusahaannya (Solesvik, et al., 2012).

Intention merupakan suatu kesiapan seseorang untuk melakukan perilaku tertentu (Ajzen, 1991). Krueger dan Carsrud (1993) mendefinisikan entrepreneur intention sebagai komitmen individu untuk memulai usaha baru. Sedangkan Bird (1988) mendefinisikan entrepreneur intention sebagai tingkat kesadaran kognitif yang mengarahkan pada pendirian usaha baru. Menurut Ajzen (1991) entrepreneur intention dapat diartikan dengan intensi berwirausaha merupakan suatu keyakinan individu yang menunjukkan perasaan positif untuk dapat menghadapi berbagai rintangan dalam memulai suatu usaha. Tung (2011) juga menyatakan bahwa intensi berwirausaha merupakan jembatan antara sikap seseorang terhadap kewirausahaan dengan perilaku kewirausahaannya, sehingga dapat memprediksi perilaku kewirausahaannya. Intensi juga merupakan indikasi dari seberapa keras seseorang berusaha dan seberapa banyak usaha yang dilakukan agar perilaku yang diinginkan dapat dilakukan. Hal yang dapat dilakukan tersebut seperti seberapa kuat seseorang memiliki intensi berwirausaha dalam dirinya. Lebih lanjut menurut Santoso (1995) intensi berwirausaha merupakan keinginan individu untuk melakukan tindakan wirausaha dengan menciptakan produk baru melalui peluang bisnis dan pengambilan resiko.

Bird (1988) menjelaskan bahwa intention adalah situasi pemikiran yang terdiri dari konsentrasi, pengalaman, dan perilaku individu terhadap objek tertentu atau perilaku tertentu. Thompson (2009) mendefinisikan intention sebagai niat atau suatu keyakinan yang diakui sendiri oleh seseorang yang berniat mendirikan usaha bisnis baru dan secara sadar berencana untuk melakukannya dimasa depan. Intensi adalah probabilitas subjektif yang dimiliki seseorang tentang akan melakukan sesuatu perilaku.

Konsep tentang intention juga diajukan oleh Ajzen (1988) yang diartikan sebagai kemungkinan subjektif seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu kemudian ditegaskan bahwa niat individu untuk melakukan sesuatu itu merupakan fungsi dari sikap terhadap perwujudan perilaku dalam situasi tertentu, sebagai faktor personal atau attitudional. Hal ini berhubungan dengan orientasi seseorang yang berkembang atas dasar keyakinan dan pertimbangan terhadap apa yang diyakini itu, apakah norma-norma yang berpengaruh atas perwujudan perilaku dan motivasi seseorang untuk patuh pada norma itu, sebagai faktor sosial atau normative. Ini merupakan gabungan antara persepsi reference-group atau significant-person terhadap perwujudan perilaku untuk melakukan.

Ajzen (1991) dalam literatur berbeda menjelaskan bahwa intensi merupakan indikasi seberapa kuat keyakinan seseorang yang akan mencoba suatu perilaku dan seberapa besar usaha yang akan digunakan untuk melakukan suatu perilaku. Menurut Theory of Planned Behavioral, intensi untuk melakukan suatu perilaku merupakan prediktor paling kuat bagi munculnya perilaku tersebut yang menjadi faktor utama. Lebih lanjut dijelaskan bahwa intensi merupakan fungsi dari tiga penentu utama, pertama adalah faktor personal dari individu, kedua pengaruh sosial dan ketiga berkaitan dengan kontrol yang dimiliki individu.

Intensi juga merupakan niat yang ada pada diri seseorang untuk melakukan suatu perilaku dalam kaitannya dengan mengikutsertakan individu dalam suatu aktivitas dan mempunyai keterkaitan erat dengan komponen keyakinan (belief) seseorang terhadap obyek, sikap (attitude) terhadap obyek, dan perilaku (behavior) sebagai perwujudan nyata dari intensi. Ketika seseorang memiliki intensi tertentu, dia yakin untuk mengarahkan perilakunya sehingga berjalan sejajar tujuan dalam mencapai tujuan. Berdasarkan rumusan yang dikemukakan oleh Ajzen (1991) bahwa intensi merupakan indikasi seberapa kuat keyakinan seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha yang akan digunakan untuk melakukan perilaku. Menurut Theory of Planned Behavioral, intensi dengan maksud melakukan suatu perilaku merupakan prediktor paling kuat bagi munculnya perilaku tersebut. Menurut Ajzen (2008) dalam sumber yang berbeda bahwa yang menjadi faktor utama dalam theory of planned behavior adalah intensi seseorang untuk memunculkan suatu perilaku.

Berdasarkan theory of planned behavior, intensi merupakan fungsi dari tiga penentu utama, pertama adalah faktor personal dari individu, kedua pengaruh sosial, ketiga berkaitan dengan kontrol yang dimiliki individu. Ajzen dan Fisbein (1988) mengambil kesimpulan bahwa individu akan berniat untuk melakukan suatu perilaku jika ia menganggap perilaku tersebut positif serta jika ia percaya bahwa orang-orang sekitar berpandangan bahwa perilaku tersebut sudah semestinya dilakukan. Dengan kata lain intensi merupakan variabel terdekat dengan perilaku nyata yang akan dilakukan seseorang. Hal ini didukung oleh Presthold (dalam Novliadi, 2007) yang menyatakan bahwa intensi keprilakuan yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan perilaku tertentu merupakan determinan awal dari perilaku sebenarnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis juga sepakat dengan yang dirumuskan oleh Bandura (2002) mengenai intention merupakan kebulatan tekad dalam melakukan aktivitas yang dilatarbelakangi motivasi seseorang untuk bertindak. Ketika seseorang memiliki intensi tertentu, dia yakin untuk mengarahkan perilakunya sehingga berjalan sejajar tujuan dalam mencapai tujuan. Dari beberapa penjelasan tentang intention maka dapat dipahami bahwa mendefinisikan intensi sebagai niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu berkaitan dengan keyakinan (belief) tentang sesuatu hal, sikap (attitude) terhadap hal tersebut dan perilaku itu sendiri sebagai wujud nyata dari niatnya.

Ajzen (1988) menegaskan bahwa intensi sebagai indikasi besarnya usaha individu dalam merencanakan dan mencoba melakukan suatu perilaku. Dari pernyataan tersebut intensi dapat diartikan sebagai sebuah usaha seseorang dalam mewujudkan suatu perilaku. Intensi berwirausaha terdapat pada diri siapa saja, salah satunya terdapat pada diri mahasiswa. Intensi berwirausaha merupakan niat mahasiswa tingkat akhir dalam representasi dari tindakan yang direncanakan untuk melakukan perilaku kewirausahaan, maka sebelum mahasiswa tingkat akhir memulai suatu usaha (berwirausaha) dibutukan suatu komitmen yang kuat untuk mengawalinya.

Dari berbagai definisi, penjelasan dan pandangan dari para ahli yang berhubungan dengan entrepreneur intention atau niat berwirausaha penulis membuat suatu pemahaman bahwa intrepreneurial intention atau niat berwirausaha merupakan suatu keyakinan seseorang untuk berperilaku dan melakukan suatu usaha seberapa besar usaha yang dilakukan untuk berperilaku dalam berwirausaha. Intensi berwirausaha terdapat pada diri siapa saja, salah satunya terdapat pada diri mahasiswa.

Teori Enterpreneur Intention

Konsep intensi berwirausaha didasarkan pada Teori Perilaku Terencana (TPB) dimana individu terlibat dalam suatu kegiatan (seperti memulai bisnis) sebagai tindakan yang disengaja atau terencana yang terkait dengan niat mereka untuk perilaku ini (Ajzen, 1991). Ajzen berpendapat bahwa sikap seseorang terhadap perilaku, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan adalah faktor signifikan yang menentukan niatnya. Secara sederhana, komponen-komponen ini diklaim dapat menangkap “seberapa keras orang mau mencoba dan seberapa banyak upaya yang mereka rencanakan untuk lakukan, dalam rangka mewujudkan perilaku”. TPB telah diusulkan sebagai anteseden perilaku kewirausahaan (Ferreira et al., 2012).

Teori ini awalnya dinamai Theory of Reasoned Action (TRA), dikembangkan Tahun 1967, selanjutnya teori tersebut terus direvisi dan diperluas oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein. Mulai tahun 1980 teori tersebut digunakan untuk mempelajari perilaku manusia dan untuk mengembangkan intervensi-intervensi yang lebih mengena. Pada Tahun 1988, hal lain ditambahkan pada model reasoned action yang sudah ada tersebut dan kemudian dinamai Theory of Planned Behavior (TPB), untuk mengatasi kekurangan yang ditemukan oleh Ajzen dan Fishbein melalui penelitian-penelitian mereka dengan menggunakan TRA.

Icek Ajzen adalah seorang profesor psikologi di University of Massachusetts. Ia menerima gelar Ph.D di bidang psikologi sosial dari University of Illinois dan selama beberapa tahun menjadi Visiting Professor at Tel-Aviv University di Israel. Ia banyak menulis artikel, dan bersama Martin Fishbein menulis berbagai paper, jurnal dan buku-buku mengenai Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behavior. Ajzen dan Fishbein menulis buku Understanding Attitude and Predicting Social Behavior yang telah banyak dipakai di kalangan akademik dan di wilayah psikologi sosial, yang diterbitkan pada tahun 1980.

Pengembangan Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behavior atau Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) dirumuskan pada tahun 1967 dalam upaya untuk memberikan konsistensi dalam studi hubungan antara perilaku dan sikap, (Ajzen 1988). Teori Perilaku yang Direncanakan (Theory of Planned Behavior) dianggap sebagai perluasan dari teori tindakan beralasan, asumsi utama dari teori tindakan beralasan dan teori perilaku yang direncanakan adalah individu rasional dalam mempertimbangkan tindakan mereka dan implikasi dari tindakan mereka (pengambilan keputusan) (Ajzen 1991).

Konsep utama dalam teori tindakan Beralasan adalah “prinsip prinsip kompatibilitas" dan konsep "intensi perilaku," (Fishbein dan Ajzen 1991; Ajzen 1988;). Prinsip kompatibilitas menetapkan dalam rangka untuk memprediksi satu perilaku tertentu diarahkan ke target tertentu dalam konteks dan waktu tertentu, sikap khusus yang sesuai dengan waktu, target dan konteks yang harus dinilai, Konsep yang menyatakan keinginan perilaku yang memotivasi individu untuk terlibat dalam perilaku yang didefinisikan oleh sikap yang mempengaruhi perilaku, (Fishbein dan Ajzen 1991). Keinginan berperilaku menunjukkan berapa banyak usaha individu ingin berkomitmen untuk melakukan perilaku dengan komitmen yang lebih tinggi dengan kecenderungan perilaku itu akan dilakukan. Keinginan untuk berperilaku ditentukan oleh sikap dan norma subyektif.

Sikap mengacu pada persepsi individu (baik menguntungkan atau tidak menguntungkan) terhadap perilaku tertentu. Norma subjektif mengacu pada penilaian subjektif individu tentang preferensi lain dan dukungan untuk berperilaku. Theory of Reasoned Action dikritik karena mengabaikan pentingnya faktor-faktor sosial yang dalam kehidupan nyata bisa menjadi penentu untuk perilaku individu. Faktor sosial berarti semua pengaruh lingkungan sekitarnya (seperti norma individu) yang dapat mempengaruhi perilaku individu, (Ajzen 1991). Kelemahan teori tindakan beralasan, Ajzen (1991) mengusulkan faktor tambahan dalam menentukan perilaku individu dalam teori perilaku yang direncanakan yaitu perilaku kontrol yang dirasakan.

Perilaku kontrol yang dirasakan adalah persepsi individu pada betapa mudahnya perilaku tertentu akan dilakukan. (Ajzen 1991). Perilaku kontrol yang dirasakan secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku. Perilaku yang ditampilkan oleh setiap individu sangatlah beragam dan unik. Keberagaman dan keunikan tersebut menarik perhatian para ahli untuk meneliti tentang perilaku manusia. Terdapat banyak teori yang menjelaskan tentang determinan perilaku manusia. Dalam teori-teori tersebut para ahli memaparkan pendapatnya tentang bagaimana suatu perilaku terbentuk dan faktor apa saja yang mempengaruhi. Teori tindakan beralasan (Theory of Reasoned Action) yang diusulkan oleh Ajzen dan Fishbein dan diperbaharui dengan teori perilaku direncanakan (theory of planned behavior) oleh Ajzen (1991), telah digunakan selama dua dekade masa lalu untuk meneliti keinginan dan perilaku berbagi.

Teori tindakan beralasan Ajzen (1991) mengasumsikan perilaku ditentukan oleh keinginan individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu atau sebaliknya. Keinginan ditentukan oleh dua variabel independen termasuk sikap dan norma subyektif. Teori perilaku direncanakan ini dikembangkan dari teori tindakan beralasan dengan memasukkan tambahan yaitu membangun perilaku kontrol yang dirasakan. Teori Ajzen tentang sikap terhadap perilaku mengacu pada derajat mana seseorang memiliki penilaian evaluasi menguntungkan atau tidak menguntungkan dari perilaku dalam sebuah pertanyaan.

Hubungan sikap terhadap perilaku merupakan keyakinan individu terhadap perilaku yang menggambarkan probabilitas subyektif bahwa perilaku dalam pertanyaan akan menghasilkan hasil tertentu dan evaluasi menggambarkan penilaian implisit. Norma subyektif mengacu pada tekanan sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku. Norma subjektif merupakan keyakinan normatif yang berkaitan dengan persepsi individu tentang bagaimana kelompok melihat perilaku dan evaluasi yang pada umumnya diekspresikan sebagai motivasi individu untuk mematuhi kelompok-kelompok rujukan. Persepsi kontrol perilaku individu menunjukkan kemudahan atau kesulitan melakukan perilaku. Persepsi kontrol perilaku yang dirasakan merupakan kendali keyakinan yang mencakup persepsi individu mengenai kepemilikan keterampilan yang diperlukan sumber daya atau peluang untuk berhasil melakukan kegiatan.

Beberapa model Entrepreneur intention telah dikembangkan, dengan berbagai variabel dan beberapa fokus pada pengalaman pra-wirausaha dengan menggunakan teori sikap dan perilaku diantaranya Theory of Planned Behavior (TPB) adalah yang paling terstruktur (Krueger, Reilly, Carsrud, 2000) dan disetujui dengan baik TPB dapat menjelaskan niat menuju kewirausahaan (Lin & Lassere, 2015) Karakteristik psikologis berhubungan dengan niat kewirausahaan Bygrave (1989) mengedepankan model yang meliputi: kebutuhan untuk berprestasi, locus of control internal, toleransi untuk ambiguitas dan kecenderungan untuk mengambil risiko. Ajzen (1991) mengembangkan model psikologis dari "Planned Behavior”. Ini adalah teori yang dapat diterapkan untuk hampir semua perilaku sukarela dan memberikan hasil yang cukup baik dalam bidang yang sangat beragam, termasuk pilihan karir profesional.

Dalam pandangan ini keyakinan dikategorikan sebagai aspek kognitif individu yang didalamnya melibatkan pengetahuan, pendapat, dan pandangannya terhadap suatu objek. Sikap dikategorikan sebagai aspek afektif yang mengacu pada perasaan individu terhadap suatu objek serta evaluasi yang dilakukan. Intensi dikatagorikan sebagai aspek konatif atau kecenderungan berperilaku, yang menunjukkan intensi individu dalam bertingkah laku dan bertindak atau behavioral intention, saat berhadapan langsung dengan objek, ubahan ini yang akan membentuk perilaku (tindakan nyata)

Konsep intensi berwirausaha didasarkan pada teori perilaku terencana (Theory of Planned Behavior), individu terlibat dalam suatu kegiatan (seperti memulai bisnis) sebagai tindakan yang disengaja atau terencana yang terkait dengan niat mereka untuk perilaku ini (Ajzen, 1991). Ajzen berpendapat bahwa sikap seseorang terhadap perilaku, norma subyektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan adalah faktor signifikan yang menentukan niatnya.

Faktor yang Mempengaruhi Entrepreneur Intention

Ajzen (1988) mengemukakan tiga faktor utama yang mempengaruhi kuatnya hubungan antara intensi dan perilaku yaitu:

  1. Derajat hubungan intensi dan perilaku dalam tingkat spesifikasi Semakin besar derajat spesifitas, semakin tinggi korelasi antara intensi dan perilakunya. Hal ini ditunjukkan oleh semakin spesifik/rincinya sebuah intensi yang pada gilirannya akan memperbesar prediksi terhadap suatu perilaku.
  2. Stabilitas intensi. Intensi seseorang dapat berubah atau berganti seiring berlalunya waktu dengan melihat kemungkinan diperolehnya informasi-informasi baru atau munculnya kejadian-kejadian tertentu yang dapat mempengaruhi intensi semula selama interval waktu antara intensi dan perilaku. Dalam hal ini tingkat ketergantungan terhadap orang lain atau kejadian lain juga turut mempengaruhi stabilitas intensi. Semakin besar tingkat ketergantungannya, semakin rendah tingkat korelasi intensi perilaku.
  3. Kendali kemauan. Kemauan merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan. Pada banyak kejadian, maka intensi seseorang untuk melakukan suatu perilaku bergantung pada kesempatan yang dimiliki untuk melakukannya.

Aspek-Aspek Entrepreneur Intention

Aspek-aspek intensi berwirausaha menggunakan Theory of Planned Behavior (TPB) yang merupakan perluasan dari Theory of Reasoned Action (TRA). Pada TRA dijelaskan bahwa intensi seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor utama yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms (Fishbein dan Ajzen, 1991). Sedangkan dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi yaitu perceived behavioral control (Ajzen, 1991). TPB sangat sesuai digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku kewirausahaan. Ada tiga aspek intensi berwirausaha yang menggunakan Theory of Planned Behavior (TPB) menurut Fishbein dan Ajzen (1991), yaitu:

  1. Keyakinan individu merupakan dasar bagi pembentukan norma subjektif.
    Sikap terhadap perilaku meliputi keyakinan individu bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu dan merupakan aspek pengetahuan individu tentang objek. Sikap dapat berupa opini individu yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Sikap merupakan evaluasi kepercayaan atau perasaan positif atau negatif dari individual jika harus melakukan perilaku tertentu (Fishbein dan Ajzen, 1975).
  2. Keyakinan normatif.
    Keyakinan normatif merupakan keyakinan individu pada orang sekitarnya dan motivasi untuk mengikuti norma tersebut. Keyakinan tersebut menuju pada pandangan seseorang terhadap tekanan sosial (kepercayaan orang lain) yang akan mempengaruhi niat untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku. Pada norma subjektif meliputi keyakinan akan harapan dan harapan non referen. Keyakinan akan harapan merupakan pandangan pihak lain yang dianggap penting oleh individu, yang menyarankan individu untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu, serta motivasi untuk mematuhi harapan normatif referen merupakan kesediaan individu untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan pendapat atau pikiran pihak lain, yang dianggap penting.
  3. Kontrol perilaku. Kontrol perilaku yang dipersepsi merupakan persepsi terhadap kekuatan faktor-faktor yang dapat memudahkan atau faktor yang menyulitkan perilaku tertentu. Kontrol perilaku persepsian merefleksikan pengalaman masa lalu dan juga mengantisipasi halangan-halangan yang ada.

Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat tiga aspek intensi berwirausaha menurut Fishbein dan Ajzen (1991) yaitu keyakinan individu, keyakinan normatif, dan kontrol perilaku. Aspek- aspek yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1991) tersebut dipilih sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur intensi berwirausaha pada mahasiswa tingkat akhir. Menurut Fishbein dan Ajzen (2008) intensi memiliki empat aspek, yaitu: Sasaran/target sasaran yang ingin dicapai, Action: merupakan suatu tindakan yang mengiringi munculnya perilaku. Context: mengacu pada situasi yang akan memunculkan perilaku. Time (waktu): yaitu waktu terjadinya perilaku yang meliputi waktu tertentu, dalam satu periode atau jangka waktu yang tidak terbatas. Intensi berdasarkan pada theory of planned behavioural (TPB) juga dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif dan pengendalian perilaku yang disadari.

Pada perilaku yang akan dilakukan adalah intensi behavioral yang merupakan intensi untuk melakukan tindakan yang teratur, dimana terdapat kemungkinan yang semakin meningkat untuk melakukan tindakan tersebut (Albery, 2016). Intensi juga merupakan kumpulan keyakinan yang dapat disebut dengan berniat. Menurut Albery (2016) Intensi perilaku ditentukan oleh sikap, norma subjektif dan pengendalian perilaku yang disadari. Menurut Ajzen (2008) ketiga faktor yaitu sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control dapat memprediksi intensi individu dalam melakukan perilaku tertentu. Tabel di bawah ini menjelaskan hubungan intensi dengan faktor-yang mempengaruhinya.

Gambar 1. Teori Planned Behavior

Umumnya seseorang menunjukkan intensi terhadap suatu perilaku jika mereka telah mengevaluasinya secara positif, mengalami tekanan sosial untuk melakukannya, dan ketika mereka percaya bahwa mereka memiliki kesempatan dan mampu untuk melakukannya. Sehingga dengan menguatnya intensi seseorang terhadap perilaku tersebut, maka kemungkinan individu untuk menampilkan perilaku juga semakin besar (Ajzen, 2008). Beberapa hal yang berhubungan dengan perilaku

Sikap

Sikap Menurut Allport suatu proses yang berlangsung dalam diri seseorang yang didalamnya terdapat pengalaman individu yang akan mengarahkan dan menentukan respon terhadap berbagai objek dan situasi (Sarwono, 2009). Sikap merupakan penyataan atau pertimbangan evaluatif mengenai objek, orang, atau peristiwa (Robin, Amaliah 2008). Del & David (2007) sikap merupakan cara seseorang unuk berfikir, merasakan, dan tindakan untuk berperilaku dengan cara yang tetap menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu objek tertentu. Menurut Ajzen (2008) sikap merupakan suatu evaluasi untuk merespon secara positif ataupun negatif. Secara umum, semakin seseorang tersebut memiliki evaluasi bahwa suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi positif maka seseorang akan cenderung bersikap favorable terhadap perilaku tersebut, sebaliknya semakin seseorang yang memiliki evaluasi negatif maka seseorang akan cenderung bersikap unfavorble terhadap perilaku tertentu (Ajzen, 2008). Sikap merupakan evaluasi individu baik positif maupun negatif terhadap objek sikap berupa benda institusi, orang, kejadian, perilaku, maupun minat tertentu.

Sikap ditentukan dari evaluasi seseorang mengenai konsekuensi suatu perilaku yang diasosiasikan dengan suatu perilaku, dengan melihat kuatnya hubungan antara konsekuensi tersebut dengan suatu perilaku. Dapat disimpulkan bahwa jika seseorang memiliki belief yang kuat bahwa perilaku akan menghasilkan konsekuensi yang positif, maka sikap terhadap perilaku tersebut akan positif. Akan tetapi jika belief terhadap perilaku tersebut negatif, maka sikap yang terbentuk terhadap suatu perilaku tersebut akan negatif. Aspek sikap menurut Ajzen (2008) sikap terhadap perilaku diartikan sebagai derajat penilaian positif atau negatif individu terhadap perilaku. Berdasarkan theory of planned behavior, sikap seseorang terhadap perilaku diperoleh dari beberapa aspek, yaitu: Behavioral belief merupakan belief individu akan konsekuensi yang dihasilkan apabila seseorang menampilkan suatu perilaku tertentu. Outcome evaluation. Outcome evaluation merupakan evaluasi individu terhadap konsekuensi atau hasil dari perilaku yang ditampilkan. Individu yang yakin bahwa dengan menampilkan suatu perilaku akan menghasilkan konsekuensi yang positif, akan memiliki kecenderungan yang besar untuk melakukan perilaku tersebut. Hubungan kedua aspek diatas dapat digambarkan dalam persamaan berikut ini : Persamaan diatas menjelaskan bahwa merupakan sikap terhadap suatu perilaku yang merupakan hasil kali dari sebagai behavioral belief dan sebagai evaluation of outcome. Jadi, individu yang percaya bahwa sebuah perilaku dapat menghasilkan outcome yang positif maka individu tersebut akan memiliki sikap yang positif terhadap sebuah perilaku, begitu juga sebaliknya.

Subjective Norm (norma subjektif)

Norma subjektif merupakan harapan bersama tentang bagaimana seseorang harus berperilaku dalam kelompok (Baron & Byrne, 2004) menyatakan bahwa norma subjektif adalah persepsi individu tentang apakah orang lain akan menerima, mendukung atau mewujudkan tindakan tersebut. Norma subjektif didefinisikan merupakan pengaruh orang lain yang penting. Hal ini dipersepsikan sebagai sesuatu yang dipikirkan orang lain yang penting (important person) yang harus dilakukan orang tersebut dengan perilaku tertentu Ajzen (2008) mengatakan norma subjektif sebagai persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk menampilakan atau tidak menampilkan suatu perilaku. Norma subjektif diartikan sebagai persepsi individu tentang tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Ketika seseorang ingin menampilkan perilaku, maka ia akan menyesuaikan perilaku tersebut dengan norma kelompoknya sehingga kecenderungan untuk menampilkan perilaku akan semakin besar jika kelompok bisa menerima perilaku tersebut. Kelompok ini bisa saja berupa orangtua, saudara, teman dekat, dan orang yang berkaitan dengan perilaku tersebut.

Norma Subjektif diartikan sebagai dukungan orang-orang terdekat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen, 2008). Norma subjektif ditentukan oleh dua aspek yaitu: Normative belief (keyakinan normatif) Normative belief adalah keyakinan seseorang mengenai setuju atau tidak setuju yang berasal dari referent. Referent merupakan orang atau kelompok sosial yang sangat berpengaruh bagi seseorang baik itu orang tua, pasangan (istrri atau suami), teman dekat, rekan kerja dan lain-lain tergantung pada tingkah laku yang dimaksud. Keyakinan normatif (normative belief) berasal dari keyakinan seseorang mengenai orang-orang terdekatnya (significant others) yang mendukung atau menolak pada tampilan perilaku tersebut. Keyakinan normatif didapat dari significant others tentang apakah individu perlu, harus, atau dilarang melakukan perilaku tertentu dan dari seseorang yang berhubungan langsung dengan perilaku tersebut.

Perceived Behavioral

Perceived Behavioral Control Ajzen (2008) mengatakan perceived behavioral control atau kontrol perilaku sebagai keyakinan atau fungsi mengenai ada atau tidaknya faktor yang mendukung atau tidak mendukung untuk menampilkan perilaku tersebut. Keyakinan ini diperoleh dari pengalaman masa lalu akan tetapi biasanya dipengaruhi oleh informasi sekunder, seperti informasi yang diperoleh dari observasi seseorang dari pengalaman, teman, dan faktor lain yang dapat meningkatkan atau mengurangi intensitas berperilaku. Maka semakin banyak informasi dan kesempatan seseorang maka semakin kuat kontrol perilaku yang dimiliki. Jadi, kontrol perilaku merupakan persepsi mengenai mampu atau tidak mampu atau bisa atau tidak bisanya seseorang menampilkan perilaku tersebut. Apabila individu merasa banyak faktor yang mendukung dan sedikit faktor yang menghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka lebih besar kontrol yang mereka rasakan atas perilaku tersebut, dan begitu juga sebaliknya.

Theory of planned behavior, perceived behavioral control (Ajzen, 1988) akan bersama-sama dengan intensi dapat digunakan secara langsung untuk memunculkan perilaku. Terdapat dua alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi Pertama, intensi untuk memunculkan perilaku akan lebih berhasil jika disertai dengan adanya perceived behavioral control. Kedua, adanya hubungan langsung antara perceived behavioral control dengan munculnya perilaku, dimana perceived behavioral control dapat digunakan untuk mengukur kontrol aktual. Aspek Perceived Behavioral Control merupakan persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya perilaku tersebut dilakukan (Ajzen, 1991). Control Belief merupakan keyakinan individu mengenai apakah ia mampu atau tidak mampu untuk memunculkan suatu perilaku.

Power of control belief adalah kekuatan atau keyakinan individu untuk seberapa besar perasaan tersebut mempengaruhi keputusan seseorang untuk memunculkan perilaku tersebut. Umumnya seseorang menunjukkan intensi terhadap suatu perilaku jika mereka telah mengevaluasinya secara positif, mengalami tekanan sosial untuk melakukannya, dan ketika mereka percaya bahwa mereka memiliki kesempatan dan mampu untuk melakukannya. Sehingga dengan menguatnya intensi seseorang terhadap perilaku tersebut, maka kemungkinan individu untuk menampilkan perilaku juga semakin besar (Ajzen, 2008). Apabila kontrol diri lebih besar dalam memiliki kesempatan untuk mampu melakukannya akan langsung mempengaruhi perilaku mereka.

Secara umum, karakteristik psikologis utama yang terkait dengan kewirausahaan yang difokuskan literaturnya adalah: locus of control, kecenderungan untuk mengambil risiko, kepercayaan diri, kebutuhan prestasi, toleransi terhadap ambiguitas dan inovasi. Berdasarkan pembahasan di atas diketahui bahwa faktor-faktor yang turut mempengaruhi intensi ialah tingkat spesifikasi, stabilitas intensi, kendali kemauan, informasi, kemampuan dan keterampilan, emosi dan kompulsitas, kesempatan serta ketergantungan pada orang lain atau situasi lain.

Karakteristik Enterprenuer Intention

Zimmerer (2002) mengatakan bahwa fungsi wirausaha adalah membuat suatu hal baru dengan menambah nilai barang dan jasa di pasar melalui proses penggabungan sumber daya dengan cara-cara yang berbeda agar dapat bersaing. Berbagai karakteristik yang tertanam pada diri wirausahawan menurut Zimmerer sebagai berikut:

  1. Desire for responsibility yaitu wirausaha yang berada pada tingkatan teratas mempunyai rasa tanggung jawab secara pribadi atas hasil yang telah dicapai.
  2. Tolerance for ambiguity yaitu ketika usaha yang dikerjakan mengharuskan untuk melakukan interaksi dengan orang lain, baik dengan karyawan, pelanggan maupun penyalur lainnya.
  3. Vision yaitu wirausaha yang senantiasa mempunyai kunci keberhasilan dengan keinginan dan tujuan yang jelas yang harus dicapainya.
  4. Tolerance for failure yaitu dalam menggapai sebuah keberhasilan dibutuhkan kerja keras, dan mengorbankan waktu, biaya, dan tenaga.
  5. Internal locus of cntrol yaitu dalam diri manusia ada kemampuan untuk mengendalikan diri yang dipengaruhi oleh internal diri sendiri.
  6. Continuous improvement yaitu wirausaha yang mencapai suatu keberhasilan dalam mengambil sikap selalu positif, memandang suatu pengalaman sebagai sesuatu yang berguna dan terus mengulang hal yang dianggap tidak sesuai.
  7. Preference for moderate risk yaitu dalam kehidupan berusaha, wirausaha selalu berhadapan dengan intensitas risiko.
  8. Confidence in their ability to succes yaitu wirausaha pada dasarnya mempunyai kepercayaan diri yang cukup tinggi atas keinginan yang besar untuk berhasil.
  9. Desire for immediate feedback yaitu perkembangan yang begitu cepat dalam kehidupan usaha menurut wirausaha dengan cepat mengantisipasi perubahan yang terjadi agar mampu bertahan dan berkembang.
  10. High energy level yaitu wirausaha pada umumnya memiliki energi yang cukup tinggi dalam melakukan kegiatan usaha sejalan denga risiko yang ia tanggung.
  11. Future orientation yaitu keuntungan usaha yang tidak pasti menjadi pendorong bagi wirausaha untuk selalu melihat adanya kesempatan, mempergunakan waktu dengan sebaik mungkin dan meninjau kembali sesuatu yang akan terjadi di masa depan.
  12. Skill at organizing yaitu membangun usaha dari awal memerlukan kemampuan mengorganisasi sumber daya yang memiliki berupa sumber-sumber ekonomi beruju maupun sumber ekonomi yang tidak berwujud untuk mendapat manfaat maksimal.
  13. High commitmen yaitu memunculkan usaha baru membutuhkan komitmen penuh yang tinggi agar berhasil.
  14. Flexibility yaitu perubahan yang begitu cepat dalam dunia usaha mengharuskan wirausaha untuk mampu menyesuaikan diri dengan perubahan apabila tetap ingin berhasil