Capung

Penulis: Tim Editor | Kategori: Flora dan Fauna | Tanggal Terbit: | Dilihat: 17621 kali

Capung sejatinya adalah hewan yang hidup di kawasan beriklim tropis dan tersebar luas di Amerika Selatan, Asia Tenggara, Wilayah Tropis Afrika dan Australasia. Jumlah jenis yang hidup di bagian bumi yang beriklim lebih dingin relatif sedikit tetapi jumlah capung yang hidup di bagian bumi beriklim sedang bisa jadi jauh lebih banyak. Jumlah jenis capung bahkan bisa menjadi sangat banyak di belahan bumi manapun mereka hidup (Moore, 1997: 4).

Moore (1997: 3) menyatakan bahwa ada lebih dari 5.000 jenis Odonata yang telah diidentifikasi semenjak tahun 1990. Sejak saat itu, semakin banyak Odonata yang berhasil ditemukan, terutama di wilayah tropis seperti Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Tennesen (Resh & Cardé, 2003:816) menambahkan bahwa hingga saat ini sudah ada sekitar 5500 jenis Odonata yang berhasil dideskripsikan. Laju penemuan jenis-jenis baru pun semakin cepat dan konstan dalam 10 tahun terakhir (rata-rata 350 jenis baru ditemukan setiap dekadenya). Hal ini menandakan bahwa ordo ini masih bisa dikatakan belum dikenali sepenuhnya.

Capung

Morfologi Capung

Karakteristik capung secara umum memiliki kepala besar dengan seperangkat mulut pengunyah, mata majemuk yang besar, 3 osellus serta antena kecil yang menyerupai rambut. Protoraks pada capung berukuran kecil sedangkan mesotoraks dan metatoraksnya menyatu dan membentuk pterorotaks yang besar. Kaki-kakinya relatif panjang dengan tarsus bersegmen tiga sedangkan dua pasang sayap yang berbentuk memanjang tumbuh di bagian dorsal. Bagian abdomen biasanya memanjang. Pada jantan, terdapat organ genitalia termasuk organ kopulasi pada bagian tengah segmen abdomen kedua. Selain itu, terdapat juga satu segmen serkus (Resh & Cardé, 2003:817).

Morfologi Capung

Capung mengalami dimorfisme seksual dari segi bentuk atau warna tubuh antara jantan dan betina. Borror dkk (1996: 242) menyatakan bahwa dua jenis kelamin pada subordo Anisoptera biasanya serupa dari segi warna, hanya warna pada jantan biasanya lebih terang. Pada beberapa Libellùlidae, antara dua jenis kelamin memiliki perbedaan pada pola warna sayap. Sementara itu, pada kebanyakan Zygoptera, dua jenis kelamin memiliki perbedaan warna yang mencolok karena individu jantan biasanya memiliki warna yang lebih cemerlang. Bahkan pada kebanyakan Coenagriónidae, dua jenis kelamin memiliki pola warna yang berbeda. Beberapa capung jarum bahkan memiliki dua atau lebih fase warna yang berbeda pada betina, misalnya pada Ischnùra verticàlis.

Kepala Capung

Bagian pertama yang bisa dilihat dari kepala capung adalah mata majemuknya. Samways (2008: 25) mengemukakan bahwa masing-masing mata majemuk capung tersusun oleh lebih dari 28.000 faset yang sangat kecil. Faset-faset ini dapat mendeteksi cahaya dengan sangat cepat, sinar ultraviolet, dan pola dari cahaya terpolarisasi. Organ sensori ini memungkinkan capung untuk mengenali mangsa yang kecil dan pasangan yang potensial selama melakukan manuver di udara, bahkan dalam kondisi cahaya yang redup. Sebagai tambahan, terdapat pula tiga mata sederhana (oselli) yang berbentuk seperti manik-manik di bagian atas kepala. Area kepala di belakang mata dinamakan ossiput.

Tennesen (Resh & Cardé, 2003:817) menambahkan bahwa Zygoptera dan Anisoptera memiliki perbedaan signifikan pada bagian kepala. Pada Zygoptera, bagian kepala berukuran lebih lebar daripada toraks sedangkan kepala Anisoptera tidak lebih lebar dari toraks jika dilihat dari sisi dorsal.

Penampang kepala capung jarum tampak atas (kiri atas), tampak depan (kiri bawah), 
jika dibandingkan dengan kepala capung tampak atas (kanan atas), 
capung tampak depan (kanan bawah) (Samways, 2008: 26).

Gambar diatas menunjukkan tampilan kepala capung dan capung jarum yang dilihat dari dua arah yang berbeda. Jika dilihat dari depan, maka akan terlihat bagian wajah yang letaknya di antara kedua mata. Bagian ini dibagi menjadi 4 wilayah yaitu labrum dan mandibula, antiklipeus, postklipeus serta frons (dahi). Sisi samping wajah yang berada di bawah mata dinamakan genae (pipi). Sementara itu, di bagian bawah kepala, tepatnya di belakang labrum dan mandibula, terdapat bibir kedua yang dinamakan labium (Samways, 2008: 26).

Toraks

Toraks adalah bagian sentral tubuh capung yang ukurannya paling besar dan menjadi tempat melekatnya tiga pasang kaki dan dua pasang sayap. Toraks tersusun atas otot-otot yang menyokong kemampuan bergerak capung. Di antara toraks dan kepala, terdapat sebuah bagian yang dinamakan leher atau protoraks. Sebenarnya protoraks merupakan segmen pertama dari tiga segmen toraks (dua segmen yang lain telah berfusi menjadi sintoraks. Bagian leher ini penting untuk identifikasi beberapa capung jarum. Pada toraks terdapat dua alat gerak utama yang menunjang pergerakan serangga ini, yaitu 3 pasang kaki dan 2 pasang sayap. Samways (2008: 26) menyatakan bahwa kaki terdiri dari beberapa segmen utama. Segmen yang letaknya paling dekat dengan toraks dan paling panjang dinamakan femur, sementara segmen selanjutnya dinamakan tibia. Setiap pertemuan antar segmen besar terdapat segmen-segmen kecil yang memberikan kemampuan pada kaki untuk bergerak dengan lentur. Pada ujung masing-masing kaki terdapat cakar-cakar kecil untuk mencengkram.

Penampang kaki capung; (A) kaki depan Hemicordulia tau, (B) kaki belakang
Platycnemis pennipes yang terdiri dari cakar (cl), tarsus (ts), tibia (tb), femur (fm),
trochanter (tr) dan koksa (cx) (Tillyard, 1917: 27).

 

Sayap capung terdiri dari sayap depan dan sayap belakang. Samways (2008: 27) menyatakan bahwa selain berfungsi untuk mempercepat pergerakan, sayap pada capung juga memiliki penanda dan poin yang berbeda di antara masing-masing individu. Selama penerbangan, sayap depan dan sayap belakang akan melakukan manuver-manuver luar biasa seperti menukik lebih cepat dari yang bisa diamati oleh mata manusia. Kemampuan ini diperoleh dari pembuluh darah ekstra kuat yang menyokong membran super tipis dan nyaris transparan yang melapisi sayap-sayapnya.

Penampang sayap depan capung jarum (atas) dan sayap capung (bawah) beserta bagian-
bagiannya (Samways, 2008: 27).

Pada Gambar diatas ditunjukkan bahwa pada bagian tepi sayap capung dacan capung jarum memiliki fitur-fitur struktural yang signifikan dan juga penting untuk dinamika penerbangan. Pada bagian tengah, terdapat terdapat perlekukan yang tajam yang dinamakan nodus. Dekat dengan ujung sayap terdapat struktur berpigmentasi yang bentuknya membulat atau bersegi yang dinamakan pterostigma. Ukuran, bentuk dan warna pterostigma adalah ciri-ciri penting yang digunakan dalam proses identifikasi (Samways, 2008: 27).

Abdomen

Capung memiliki 10 segmen abdomen (uromeres) yang lengkap dan benar-benar terpisah. Heymons (Tillyard, 1917:28) menyatakan bahwa segmen kesebelas dan dua belas sudah mengalami reduksi. Dari segi bentuk, abdomen selalu sempit dan kebanyakan jauh lebih panjang jika dibandingkan dengan rentang sayapnya. Kemungkinan besar, bentuk primitif dari capung memiliki bentuk yang benar-benar silindris tanpa perluasan lebih lanjut. Pada bagian ujung abdomen, terdapat seperangkat cantol kelamin (anal appendages)

Bentuk-bentuk cantol kelamin (anal appendages) pada individu betina dan jantan (Samways, 2008: 28).

Pada abdomen juga terdapat struktur tambahan yang dinamakan genitalia sekunder. Samways (2008: 28) berpendapat bahwa baik capung biasa maupun capung jarum memiliki struktur genitalia sekunder pada segmen kedua dan ketiga abdomennya. Pada kebanyakan jenis capung, struktur ini sangat menonjol dan sangat penting untuk identifikasi spesies, khususnya spesies dengan warna yang mirip. Bagian paling depan dari genitalia sekunder ini dinamakan lamina anterior yang sering terlihat seperti gigi jika dilihat dari samping. Di belakangnya terdapat dua pasang pengait, hamula anterior dan hamula posterior. Pada Aeshnidae, hamula posterior tereduksi sehingga yang tertinggal hanya hamula anterior yang berfungsi untuk mencengkram ovipositor betina selama kawin. Pada Cordullidae dan Libellulidae, hamula anteriornya seringkali tereduksi atau tidak ditemukan.

Struktur genitalia sekunder pada capung (Samways, 2008: 28).

Siklus Hidup dan Metamorfosis

Odonata adalah salah satu ordo serangga yang mengalami metamorfosis untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Fase metamorfosis yang dilalui capung dan capung jarum tergolong ke dalam jenis hemimetabola. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan bentuk yang signifikan antara larva dan individu dewasa tetapi tidak mengalami fase pupa dalam prosesnya.

  1. Fase Telur
    Siklus hidup capung dimulai dari fase telur. Telur-telur capung berukuran 0,5 mm dengan bentuk bulat telur dan jumlahnya bervariasi, tergantung pada jenisnya. Telur-telur yang sudah dibuahi biasanya akan berubah warna menjadi cokelat kemerahan dalam waktu 24 jam setelah oviposisi sementara telur-telur yang steril akan berwarna krem (Corbet, 1962: 29). Borror dkk (1996: 244) menjelaskan bahwa telur-telur dari capung ini biasanya diselipkan tepat di bawah permukaan air. Ada pengecualian pada beberapa jenis Léstes yang meletakkan telurnya dalam cabang-cabang tumbuhan di atas air dan beberapa jenis Enallágma yang menyelipkan telur-telurnya dalam tumbuhan yang cukup jauh dari permukaan air. Lain halnya dengan capung betina dari famili Gómphidae, Macromìidae, Cordulìidae dan Libellùlidae yang tidak memiliki ovipositor. Telur-telur dari capung ini biasanya diletakkan di permukaan air oleh induk dengan cara mencelupkan abdomennya di dalam air lalu melepaskan telurnya. Sementara itu, Cordulegástridae yang memiliki ovipositor yang agak menyusut meletakkan telurnya dengan cara terbang di atas permukaan air yang dangkal dengan posisi tubuh agak tegak lurus sambil terus menancapkan perutnya hingga telur-telurnya tersebar di dasar air. Telur-telur yang telah dipisahkan dari tubuh induknya akan mengalami fase perkembangan menjadi nimfa dalam waktu yang berbeda-beda, tergantung pada jenis dan kondisi lingkungannya.

    Telur-telur capung yang sudah menetas dengan cepat akan melepaskan kutikula embrionalnya dan menjadi prolarva. Hal ini bertujuan agar prolarva dapat berubah menjadi nimfa yang bebas bergerak. Selain itu, prolarva yang baru menetas akan segera bergerak mencari air tawar dan memulai tahapan pradewasanya sebagai organisme akuatik (Corbet, 1962: 32).
  2. Fase Nimfa
    Fase nimfa adalah tahapan terlama yang dialami serangga dari ordo Odonata. Pada beberapa jenis, nimfa hidup selama musim dingin, sementara beberapa jenis yang lebih besar mengalami fase nimfa hingga 2-3 tahun. Fase ini ditandai dengan terjadinya adaptasi morfologi dan tingkah laku yang ditunjukkan oleh nimfa terhadap lingkungannya, seringkali diasosiasikan dengan proses-proses yang vital dalam kehidupan serangga yaitu respirasi, feeding dan corak tubuh (concealment). 

    Nimfa-nimfa Odonata hidup sebagai individu akuatik dan bernapas dengan menggunakan insang yang juga berfungsi sebagai alat gerak layaknya sirip ekor pada ikan. Untuk urusan makan, nimfa capung makan berbagai organisme akuatik yang kecil seperti larva serangga air hingga telur ikan. Namun, pada beberapa nimfa yang berukuran lebih besar (terutama Aéshnidae) biasanya juga mengkonsumsi kecebong dan ikan kecil sebagai menu makanannya (Borror dkk., 1996: 241). Borror dkk (1996: 241) menambahkan bila nimfa sudah tumbuh sepenuhnya, maka nimfa akan merayap keluar dari air dan mengalami pergantian kulit terakhir. Setelah proses pergantian kulit selesai, maka akan muncul individu baru dengan struktur morfologi mirip capung dewasa tetapi warnanya lebih pucat. Imago yang baru keluar dari kulit terakhirnya ini dinamakan individu teneral sementara kulit terakhir yang tertinggal dinamakan Exuviae.
  3. Fase Dewasa (Imago)
    Serangga dewasa yang baru saja selesai melalui fase nimfa memiliki struktur yang masih rapuh dan relatif agak lemah. Walaupun lebih mudah untuk ditangkap, serangga dewasa yang masih baru ini tidak cocok untuk dijadikan spesimen karena belum berwarna sepenuhnya dan tubuhnya masih lunak. Butuh waktu beberapa hari hingga serangga imago bisa melakukan penerbangan. Sementara itu, butuh waktu satu atau dua minggu hingga pola warna terbentuk sepenuhnya (Borror dkk, 1996: 241).

    Buchholtz dan Wolfe (Corbet, 1962: 120), menambahkan bahwa pematangan gonad akan berlangsung selama minggu pertama ketika nimfa berubah menjadi serangga imago. Jika dibandingkan, capung jantan lebih cepat mengalami pematangan gonad ketimbang capung betina. Setelah memasuki periode reproduktif, capung dewasa tetap melakukan aktivitas makan tetapi sudah mulai mengunjungi situs pembiakan (breeding cite) secara berkala untuk memulai aktivitas reproduksi. Periode ini dicirikan dengan banyaknya capung jantan yang berkeliaran di sekitarwilayah perairan. Lamanya periode ini bergantung pada dua faktor yaitu bentuk kurva emergensi (emergence curve) dan daya tahan capung dewasa (Corbet, 1962: 121).

    Sejatinya, imago capung memiliki rentang waktu hidup (life span) yang berbeda-beda. Hal ini dijelaskan dalam Borror dkk (1996: 242) yang menyebutkan bahwa beberapa jenis capung menjalani fase imago hanya dalam jangka waktu beberapa minggu saja dalam satu tahun. Sementara itu, beberapa jenis yang lainnya dapat dilihat sepanjang musim panas bahkan hingga lebih dari 3 bulan. Pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata capung jarum mampu hidup selama 3-4 minggu sedangkan capung besar selama 6-8 minggu. Pada masa singkat inilah, individu dewasa menghasilkan telur-telur untuk meneruskan keturunannya.

Perilaku Capung

Capung memiliki beberapa perilaku yang khas, antara lain:

  1. Perilaku Harian
    Salah satu perilaku harian pada capung adalah terbang. Mazzacano dkk (2014: 5) menyatakan bahwa capung dan capung jarum merupakan penerbang handal yang memiliki sayap-sayap berstruktur kompleks yang mendukung kemampuannya bermanuver di udara. Masing-masing sayap pada capung dapat bekerja secara independen. Hal ini menyebabkan capung dapat terbang hingga kecepatan lebih kurang 48 km/jam, berhenti dan melayang di udara, menukik secara instan, menyerang mangsa tepat saat berada di udara dan bahkan sangat mendukung untuk penerbangan jarak pendek.

    Untuk dapat melakukan aktivitas hariannya, seekor capung perlu melakukan pemanasan terlebih dahulu. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat suhu tubuh capung dikontrol oleh suhu lingkungan. Itulah sebabnya, Mazzacano dkk (2014: 5) menyatakan bahwa capung senang berjemur di tempat yang mampu memantulkan cahaya saat pagi hari guna menghangatkan dirinya sendiri. Panas yang ia serap digunakan capung untuk memanaskan otot-ototnya sehingga bisa digunakan untuk terbang. Agar terhindar dari paparan sinar matahari yang berlebihan, capung seringkali bersembunyi di tempat yang remang tiap kali suhu tubuhnya mencapai titik kritis. Sementara itu, beberapa jenis yang lain hinggap di dahan dengan perut terangkat (obelisking) tepat saat tengah hari atau bergelantungan di bawah dedaunan untuk mengurangi paparan sinar matahari.
  2. Perilaku Kawin
    Van Hoeve (1992: 37) menyatakan bahwa capung memiliki cara kawin yang terbilang unik. Hal ini disebabkan oleh letak organ penyampai (penis) dan cantol-cantol pelengkap berada di dasar perut pada segmen kedua dan ketiga sehingga capung jantan harus mencengkeram kepala betina (pada Anisoptera) atau bagian depan (pada Zygoptera) untuk memulai perkawinan. Cengkeraman tersebut dilakukan dengan memanfaatkan umbai ekor yang melekat di ujung perut jantan. Setelah berlekatan, jantan merangsang betina untuk meliuk-liukan ujung perutnya ke bawah dan ke depan agar dapat mencengkeram alat kelamin pihak jantan yang telah disaluri kapsul sperma. Ketika alat kelamin betina dan alat kelamin jantan bertemu maka terbentuklah jantera sanggama.

    Van Hoeve (1992: 38) menambahkan bahwa selama masa pembiakan, pejantan akan berkumpul di tempat kawin seperti di kolam-kolam, sungai, dan sepanjang tepian air yang akan digunakan untuk meletakkan telur. Setiap ekor mempertahankan teritorium masing-masing dengan batas yang jelas. Jenis yang besar memiliki teritorium yang lebih luas dibandingkan daripada milik jenis yang kecil. Selama musim kawin, daerah perairan akan berubah menjadi medan perang bagi para pejantan yang saling bersaing memperebutkan teritorium terbaik.
    Setelah berhasil mendapatkan teritorium, para pejantan hanya perlu menunggu waktu yang tepat. Bila seekor betina terbang mendekati suatu teritorium tertentu, maka capung jantan yang berkuasa di daerah tersebut akan mencoba mengawininya. Pada beberapa jenis, masa perkawinan didahului dengan percumbuan. Jantan Calopteryx virgo, misalnya, akan menunggu di depan betina terlebih dahulu untuk mengetahui apakah capung betina tersebut menerimanya atau tidak. Pada jenis yang lain, perkawinan justru dilakukan secara langsung tanpa membuang-buang waktu dan umumnya pasangan itu terbang meninggalkan perairan masih dalam keadaaan saling berangkulan untuk menempati pemukiman.

Klasifikasi Capung (Odonata)

Walaupun sistematika klasifikasi pada ordo Odonata dikatakan relatif lebih berkembang dibandingkan ordo serangga lain, klasifikasi pada tingkat subordo dan famili ternyata masih kontroversial. Hingga saat ini, Tennesen (Resh &Cardé, 2003:816) menyatakan bahwa ada tiga subordo yang diterima keberadaannya oleh para ahli, yaitu Anisoptera, Zygoptera dan Anisozygoptera (hanya diwakili oleh dua jenis Epiophlebiidae di Asia). Namun demikian, analisis terkini mengindikasikan bahwa Anisozygoptera bukanlah sebuah kelompok monofiletik dan seluruh taksa di dalamnya seharusnya ditempatkan pada kelompok capung yang sudah punah. Alhasil, dua jenis Epiophlebidae yang masih hidup dimasukkan ke dalam subordo Anisoptera.

Tennesen (Resh & Cardé, 2003:816) menambahkan bahwa klasifikasi di tingkat famili juga tidak stabil. Hingga saat ini, ada 31 famili yang diterima secara umum, walaupun ada beberapa argumen yang berbeda terhadap sistematika tersebut, terutama pada subordo Zygoptera. Untuk selanjutnya, metode DNA mungkin digunakan untuk menciptakan perubahan pada klasifikasi capung dan dapat dipertimbangkan sebagai sarana untuk memahami hubungan taksonomik antarjenis.

Ordo Odonata dibagi menjadi dua subordo, yaitu Zygoptera dan Anisoptera. Kedua subordo tersebut dapat dibedakan dengan ciri fisik dan tingkah lakunya. Borror dkk (1996: 248) menyatakan bahwa anggota subordo ini memiliki sayap-sayap belakang yang lebih lebar pada bagian dasarnya jika dibandingkan dengan sayap-sayap depan. Selain itu, sayap-sayap ini akan berada dalam keadaan horizontal pada waktu istirahat. Sayap-sayap pada individu jantan (kecuali Libellùlidae) memiliki sudut anal yang agak berlekuk sedangkan sayap dari semua individu betina memiliki sudut anal yang membulat. Sementara itu, anggota subordo Zygoptera memiliki sayap depan dan belakang yang sama bentuknya, menyempit pada bagian dasar dan berada pada posisi vertikal pada waktu istirahat. Untuk semua jenis kelamin, bentuk sayap depan maupun sayap belakang akan sama (Borror dkk, 1996: 254).

  1. Subordo Zygoptera
    Subordo Zygoptera atau capung jarum dapat dibedakan menjadi 20 famili. Namun demikian hanya 11 famili yang dapat ditemukan di Indonesia, antara lain:
    1. Famili Amphipterygidae
      Anonim (2017a) menyebutkan bahwa hingga saat ini ada dua jenis dari famili Amphipterygidae terdata keberadaannya di Indonesia, yaitu Devadatta argyoides dan Devadatta podolestoides.
    2. Famili Calopterygidae
      Calopterygidae merupakan famili capung yang terdiri dari 160 jenis dengan ukuran medium hingga besar dan bersifat kosmopolitan. Famili ini dikenal juga dengan sebutan broad-winged damselflies dan memiliki karakteristik berupa warna metalik yang mencolok pada tubuhnya. Pada jantan, bagian sayap juga akan berwarna metalik.
      Kondratieff (Capinera, 2008: 1243-1244) menambahkan bahwa ada dua genus yang terkenal dari famili ini yaitu Calopteryx (Jewelwings) dan Haetarina (Rubyspots). Imago dari kedua genus ini berukuran besar dan memiliki tubuh berwarna hijau metalik. Jika dilihat dari habitatnya, Calopteryx akan mudah dijumpai di sungai berukuran sedang sementara Haetarina akan lebih mudah dijumpai di sekitar sungai yang lebih besar. Dari segi perkembangbiakan, jenis ini hanya menghasilkan satu generasi per tahunnya.
    3. Famili Chlorocyphidae
      Chlorocyphidae terdiri dari 120 jenis dan merupakan famili yang hidupnya terbatas di wilayah tropis Asia dan Afrika, walaupun pernah dilaporkan kalau famili ini juga ditemukan di Australia bagian Utara (Gillot, 2005: 142).
    4. Famili Coenagrionidae
      Gillot (2005:141) menyatakan bahwa famili Coenagrionidae merupakan famili Zygoptera yang paling sukses bertahan hidup karena memiliki lebih dari 1000 jenis. Famili ini bersifat kosmopolitan dan beberapa genus seperti Coenagrion dan Ischnura dapat dengan mudah ditemukan di seluruh dunia. Larvanya dapat ditemukan di vegetasi yang hidup di tepi perairan yang mengalir lambat. Imago dari famili ini biasanya berukuran kecil dan merupakan penerbang yang lemah. Oleh karena itu, imago sering ditemukan sedang dalam kondisi beristirahat dengan posisi sayap yang dikatupkan di atas permukaan tubuh.

      Perbedaan jenis kelamin akan menimbulkan perbedaan warna pada tiap jenis dari famili Coenagrionidae. Individu jantan biasanya berwarna lebih cerah dan umumnya memiliki pola warna biru tua yang kompleks dan bintik-bintik hitam pada permukaan dorsalnya. Sementara itu, individu betina biasanya memiliki warna-warna yang pucat. Pada beberapa jenis, ada kemungkinan munculnya dua warna atau lebih.
    5. Famili Euphaeidae
      Euphaeidae atau sering juga disebut Epallaginidae adalah famili capung jarum yang hanya terdiri dari 70 jenis yang hidup di kawasan tropis. Ukurannya besar dan kebanyakan berwarna metalik sehingga tidak heran kalau famili ini dijuluki gossamerwings (sayap berkilau). Nimfa dari famili ini memiliki tujuh pasang insang pada abdomennya sementara individu dewasa memiliki sayap depan dan sayap belakang yang sama panjang dengan pterostigma yang lebih lebar pada sayap belakang.
    6. Famili Isostictidae
      Dulunya, Isosistictidae adalah famili capung jarum yang hanya terdapat di Australia, Kaledonia Baru dan Guinea Baru serta pulau-pulau di sekitarnya. Akan tetapi, Anonim (2017b) menjelaskan bahwa sudah ada 4 jenis dari capung ini yang terdata keberadaannya di Indonesia, antara lain: Selysioneura capreola, Selysioneura phasma, Selysioneura stenomantis, dan Tanymecosticta fissicollis.
    7. Famili Lestidae
      Lestidae terdiri dari 140 jenis yang bersifat kosmopolitan. Capung-capung dari famili ini berukuran sedang dan berwarna metalik. Capung-capung ini dapat dijumpai di dekat perairan berarus tenang. Telur-telurnya diletakkan di vegetasi di permukaan. Larvanya berbentuk memanjang dengan tubuh yang streamline dan dapat berkamuflase dengan baik (Gillot, 2005: 142).

      Kondratieff (Capinera, 2008: 1244) menambahkan bahwa kebanyakan capung dari famili ini hidup di rawa, genangan air dan sungai yang berarus tenang. Imagonya mudah dikenali dari posturnya saat sedang hinggap yang jika dilihat dari sudut tertentu akan terlihat sedikit merentangkan sayapnya. Dua genus dari famili ini, yaitu Archilestes dan Lestes justru lebih adaptif, dimana Archilestes dapat ditemukan di sungai berarus pelan bahkan di ngarai dan gurun yang terisolasi di wilayah Barat Daya Amerika.
    8. Famili Megapodagrionidae
      Megapodagrionidae adalah salah satu famili yang mudah ditemui, terutama di kawasan tropis. Dengan jumlah anggota mencapai 200 jenis, famili ini dapat dengan mudah ditemukan di kawasan hutan dan meletakkan telur-telunya di sekitar sungai, tempat-tempat lembab dan terkadang di lubang-lubang pada pohon. Nimfa dari famili ini pendek dan bertubuh tebal dengan lamella ekor yang memanjang secara horizontal, tidak seperti Zygoptera yang lain (Gillot, 2005: 142).
    9. Famili Platycnemididae
      Gillot (2005: 141) menyatakan bahwa Platycnemididae terdiri dari 150 jenis. Famili ini mudah ditemukan di kawasan Paleartik, Oriental dan wilayah tropis di Afrika. Jenis dari famili ini meletakkan telurnya di rawa, hutan, sungai dan sungai berarus deras. Anonim (2017e) menambahkan bahwa ada 47 jenis dari famili ini yang terdata keberadaannya di Indonesia.
    10. Famili Platystictidae
      Gillot (2005:141) menyebutkan bahwa kebanyakan jenis dari famili Platystictidae merupakan jenis endemik kawasan oriental. Anonim (2017f) menambahkan bahwa ada 29 jenis dari famili ini yang terdata keberadaannya di Indonesia. Umumnya, jenis dari famili ini dapat ditemukan di kawasan hutan. Namun demikian, kebanyakan dari mereka akan meletakkan telur-telurnya di sungai berarus deras.
    11. Famili Protoneuridae
      Protoneuridae adalah famili capung yang tersebar luas. 220 jenis yang tergolong dalam famili ini mudah ditemukan dimanapun kecuali kawasan paleartik. Kebanyakan dari mereka dapat ditemukan di lokasi yang kondisi cahayanya redup, termasuk hutan dan kawasan di sekitar sungai berarus tenang yang menjadi tempatnya berkembangbiak (Gillot, 2005:11).
  2. Subordo Anisoptera
    Subordo Anisoptera atau capung dapat dibedakan menjadi 11 famili. Namun demikian, hanya 5 famili yang dapat ditemukan di Indonesia, antara lain:
    1. Famili Aeshnidae
      Aeshnidae merupakan famili besar yang bersifat kosmopolitan dengan jumlah anggota mencapai 375 jenis. Anggota dari famili ini merupakan serangga penerbang yang kuat dengan tubuh berukuran besar dan memiliki karakteristik berupa mata yang sangat besar hingga bertemu di tengah-tengah kepala. Nimfanya kebanyakan berbentuk memanjang dan agak gemuk dan mudah ditemukan di sekitar vegetasi yang hidup pada tepi perairan yang mengalir (Gillot, 2005: 143).
    2. Famili Chlorogomphidae
      Tillyard (1917: 262) mengelompokkan Chlorogomphidae sebagai subfamili dari Cordulegasteridae. Akan tetapi, atas dasar pertimbangan adanya pembeda dengan Cordulegasteridae, maka akhirnya Chlorogomphidae naik tingkat menjadi famili. Chlorogomphidae betina tidak memiliki ovipositor seperti Cordulegasteridae.
    3. Famili Corduliidae
      Gillot (2005:143) menyebutkan bahwa Corduliidae terdiri dari 360 jenis yang berkembangbiak di daerah yang memiliki perairan, baik yang mengalir maupun tidak, termasuk kolan dan rawa. Nimfa dari beberapa jenis mampu bertahan hidup dalam kondisi kondisi kering. Kebanyakan jenis justru memiliki nimfa yang hidup di habitat terestrial.
    4. Famili Gomphidae
      Gomphidae merupakan salah satu famili primitif yang terdiri dari lebih kurang 800 jenis. Imagonya memiliki mata yang terpisah satu sama lain dan biasanya berwarna hitam dan kuning dengan salah satu warna mendominasai warna yang lain, sesuai dengan habitatnya. Anggota famili ini memiliki ovipositor yang tidak berkembang dengan baik sehingga telur-telurnya diletakkan ke dalam air dengan cara mencelupkan abdomennya. Namun demikian, beberapa jenis justru gemar meletakkan telurnya di air yang mengalir. Ini bukanlah masalah karena telur-telur Gomphidae diselimuti oeleh eksokorion yang bersifat lengket sehingga mencegah telur-telur tersebut tercerai berai karena arus. Gillot (2005, 143) menambahkan bahwa nimfa Gomphidae adalah penggali sehingga sebagian besar memiliki segmen abdomen kesepuluh yang memanjang untuk menjaga kontak dengan air sehingga pernapasan tetap dapat berlangsung.
    5. Famili Libellulidae
      Tillyard (1917: 265) menjelaskan bahwa Libellulidae adalah salah satu jenis capung dengan segitiga sayap depan dan sayap belakang yang sangat berbeda. Tubuhnya memiliki corak yang merupakan perpaduan dari dua warna atau satu warna saja. Anonim (2017c) menambahkan bahwa famili ini memiliki jumlah jenis terbanyak yang di Indonesia, yaitu 175 jenis.

Peranan Capung Di Dalam Ekosistem

Peranan capung di dalam ekosistem antara lain sebagai berikut:

  1. Pemangsa
    Sebagai pemangsa, capung memiliki peranan untuk mengendalikan jumlah hewan lain dalam suatu ekosistem. Moore (1997: 1) menyebutkan bahwa capung memangsa sejumlah besar serangga yang menggantungkan hidupnya pada tumbuhan berbunga. Dalia & Leksono (2014: 28) sudah membuktikan bahwa capung berperan sebagai pemangsa bagi sejumlah famili Arthropoda seperti Nymphalidae, Hesperiidae, Crambidae, Ichneumonidae, Syrphidae, Alydidae, Aleyrodidae, Pentatomidae, Culicidae, Muscidae, Chironomidae, Tephritidae, Acrididae dan Tetrigidae.
  2. Mangsa
    Dalia & Leksono (2014: 28) menambahkan bahwa capung juga merupakan mangsa bagi amfibi (Ranidae dan Bufonidae), Arthropoda (Arachnidae, Tetragnathidae, Oxyopidae), Reptil (Halcyonidae) dan Aves (Scincidae) .
  3. Pengendali biologis
    Sebagai pengendali biologis, Tennesen (Resh & Cardé, 2003: 815) menyebutkan bahwa capung mengkonsumsi serangga-serangga yang merugikan bagi manusia dan hewan ternak, seperti nyamuk (Culicidae), lalat rusa (Tabanidae), lalat hitam (Simulidae) dan anggota ordo Diptera yang lain. Hal ini berlaku pada capung saat masih berada pada tahapan nimfa ataupun imago. Sebastian (Moore, 1997: 5) turut menambahkan bahwa saat ini nimfa dari famili Libellulidae sedang dikembangkan sebagai biological control bagi serangga vektor demam berdarah dengue.
  4. Bioindikator
    Moore (1997: 5) menyatakan bahwa capung juga berperan sebagai bioindikator bagi polusi udara dan polusi air. Walaupun tingkat kepekaan capung tidak setinggi serangga akuatik lainnya, kehadiran mereka tetap bernilai untuk melakukan perkiraan cepat (quick assessment) terhadap kualitas air bagi habitat-habitat yang diwakilinya. Jumlah jenis yang teramati di suatu danau ataupun sungai dapat dibandingkan dengan sampel yang teramati pada lingkungan dengan tipe habitat yang sama dan belum tercemar polusi. Hasil perhitungan ini dapat menyediakan data berupa indikasi tingkat kesehatan danau atau sungai secara cepat dan hemat biaya.
  5. Pemetaan cepat
    Beberapa jenis capung merupakan penanda bagi beberapa habitat sehingga dapat digunakan untuk pemetaan cepat (rapid mapping) habitat-habitat yang mereka wakili (Moore, 1997: 5).