Biografi Singkat Bung Tomo

Penulis: Tim Editor | Kategori: Pendidikan Sejarah | Tanggal Terbit: | Dilihat: 2659 kali

Bung Tomo atau bernama asli Sutomo, adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan dan pemberontak melawan penjajah Belanda. Lahir dikampung Blauran, Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 3 Oktober 1920. Julukan “Bung Tomo” sebenarya mulai muncul ketika ia mulai menginjak usia dewasa, pada saat ia mulai menunjukkan kemampuannya memobilisasi massa untuk mengikuti ambisinya khusunya ketika mulai aktif diberbagai kegiatan perjuangan kebangsaan melawan penjajah, dan kegiatan berorganisasi yang sangat berperngaruh bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat luas.

Jika dilihat kehidupan Bung Tomo waktu kecil, barangkali sulit dipercaya ia akan menjadi sosok yang berpengaruh sebagaiaman yang kita kenal saat ini. Karena dilahirkan pada masa penjajahan Bung Tomo juga ikut merasakan tekanan penjajahan, namun barang kali itu yang membedakannya dengan anak-anak sebayanya, keberanian dan kepercayaan diri untuk keluar dari kondisi yang serba sulit ini. Tekad itu didukung penuh oleh keluarganya, (Waid, 2019: 13). Ayah kandung Bung Tomo bernama Kartawan Rjiptowidjojo. Ayahnya pernah bekerja sebagai polisi di Kotapraja dan pernah pula menjadi anggota organisasi berpengaruh pada masanya, Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit singer, dengan kata lain, ayah Bung Tomo adalah sosok serba bisa, ulet, kreatif, memiliki kepekaan sosial yang tinggi serta memiliki talenta yang kelak terwariskan kepada Bung Tomo. Sedangkan ibu kandungnya berdarah campuran, berasal dari keturunan Jawa Tengah, Sunda dan Madura. Keturunan Bung Tomo merupakan keturunan Konglomerat, atau polisi ulung.

Meskipun Bung Tomo lahir dari keluarga golongan ekonomi menengah dan dapat dikatakan hidup berkecukupan secara materi, namun ia lahir dan tumbuh dimasa-masa yang sangat sulit, ia dibesarkan pada masa penjajahan, masa dimana seluruh orang-orang disekitarnya merasa tertekan oleh tirani penjajah, diselimuti rasa takut, bahkan tak mengenal makna nasionalisme yang sebenarnya. Dalam kondisi yang seperti itu, Bung Tomo justru tumbuh menjadi anak yang tangguh, peka terhadap perkembangan lingkungan sekitar, dan peka terhadap nasib bangsanya yang tertindas, (Waid, 2019: 18)

Pendidikan Bung Tomo

Selajutnya Bung Tomo mengenyam pendidikan: Barangkali cukup beralasan jika Bung Tomo menjelma menjadi pribasi yang sangat tangguh, pejuang andal, kritis, cerdas, tidak takut mati, berani membela yang benar, tegas dan lugas dalam berbicara, serta tidak menyerah pada keadaan apapun. Pasalnya Bung Tomo lahir ditengah keluarga yang sangat menghargai dan memperhatikan pentingnya pendidikan. Keluarga menanmkan kepada Bung Tomo tentang kecintaan terhadap pendidikan, (Waid, 2019:27). Meskipun hidup dilingkungan yang kuat akan pengaruh religi dan terdapat berdirinya pondok pasantren, tetapi Bung Tomo tidak mengenyam pendidikan di pasantren. Meskipun begitu Bung Tomo tumbuh kembangnya bersama kiai, kedekatan Bung Tomo terhadap kiai terlihat saat terjadinya pergerakan kemerdekaan indonesia. Kiai Hasyim Asy’ari memberikan nasihat kepada Bung Tomo untuk menggerakkan masa saat terjadinya perjuangan yang tercatat pada tangga 10 November 1945 melalui pidatonya. Bung Tomo juga merupakan keturunan yang agamis yang taat terhadap apa yang diperintahkan oleh agama. Selain mendapatkann pendidikan atau ajaran agama Bung Tomo juga mengenyam pendidikan formal diantaranya:

Pertama, Sekolah Rakyat, Bung Tomo pertama kali mengenyam pendidikan dibangku sekolah rakyat (SR) ditanah kelahirannya Surabaya. Dari sanalah ia mulai memasuki dunia ilmu pengetahuan. Sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh belanda Bung Tomo masuk sekolah rakyat pada usia 6 tahun. Sekolah rakyat yang ditempati Bung Tomo dimasa kecil sebenarnya termasuk sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (Westersch Lager Onderwijs), dibedakan dengan Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah. Sekolah ni diperuntukkan bagi golongan penduduk keturunan indonesia asli, sehingga disebut juga dengan sekolah Bumiputera Belanda. Namun pada umunya sekolah ini dibangun untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Sekolah rakyat yang ditempati Bung Tomo adalah sekolah dasar yang didirikan pertama kali pada tahun 1914 pada zaman penjajahan, (Waid, 2019: 84). Di sekolah rakyat Bung Tomo berkumpul dengan orang-orang pribumi lainnya yang tergolong bangsawan. Namun diluar jam pelajaran hampir setiap hari Bung Tomo menghabiskan waktunya dengan anak-anak miskin. Kebiasaan bergaul dengan orang-orang miskin tampaknya terbawa hingga Bung Tomo menginjak usia dewasa.

Sesuai dengan waktu tempuh masa studi disekolah rakyat pada waktu itu, yaitu selama 7 tahun. Bung tomo menyelesaikan pendidikannya dengan tepat waktu. Namun Bung Tomo bukan lah murid yang rajin belajar dan bukan pula murid yang bodoh. Kegemaran dan kegigihan Bung Tomo terhadap perjuangan kemerdekaan (membela bangsa dan negara sebenarnya telah tampak sejak ia duduk di bangku Sekolah Rakyat. Kepekaan sosial mulai tertanam sejak duduk di bangsu Sekolah Rakyat tersebut. Sejak kecil Bung Tomo tidak pernah bercita-cita menjadi guru, dosen, ataupun tenaga pendidik lainnya, ia bercita-cita menjadi pejuang yang tangguh yang hendak membela bangsa dan negaranya dengan cara berperang mempertaruhkan nyawanya, (Waid, 2019: 92)

Kedua, masuk Sekolah Mulo (Setingkat SLTP), setelah Bung Tomo menamatkan pendidikannya di Sekolah Rakyat, ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah Mulo. Mulo adalah singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yaitu sekolah yang didirikan pada masa kolonialisme belanda. Lembaga pendidikan formal ini adalah sekolah lanjutan tingkat pertama yang setingkat dengan SMP. Sekolah ini didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914 yang tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang indonesia golongan atas, tetapi juga bagi orang-orang cina yang ada diindonesia dan bagi orang-orang eropa yang telah menyelesaikan pendidikan dasar mereka masing-masing.

Di sekolah Mulo, kedewasaan dan keberanian Bung Tomo semakin bertambah. Kegemarannya terhadap perjuangan dan kemerdekaan semakin meninggi dibanding ketika ia masih duduk dibangku sekolah rakyat. Namun pada saat usia 12 tahun Bung Tomo harus terpaksa meninggalkan pendidikannya di Mulo. Ada beberapa faktor penyebab ia keluar: pertama, ia merasa jenuhh dengan sistem pengajaran di Mulo dan gelisah dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat diskriminatif terhadap orang-orang pribumi dalam hal pendidikan. Kedua, keluarnya Bung Tomo dari sekolah Mulo di usia 12 tahun itu sebenarnya tidak lepas dari faktor krisis ekonomi yang terjadi pada saat itu.

Ketiga, masuk Sekolah HBS (Hogere Burger School), selanjutnya, meskipun Bung Tomo harus berhenti sekolah akibat krisis ekonomi pada usia 12 tahun, dan harus berkerja mencari nafkah untuk membantu ekonomi keluarga, keadaan itu tidak berlangsung lama. Keluarganya memasukkan Bung Tomo ke HBS (Hogere Burger School). HBS adalah sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman kolonial belanda yang diperuntukan bagi orang-orang Belanda, Eropa, atau Elite pribumi. HBS sebenarnyasetingkat dengan sekolah Mulo + AMS (Algemeen Metddelbare School), namun jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan sekarang, HBS setara dengan SMP + SMA. Oleh karena itu, lama pendidikan di HBS adalah 5 (lima) tahun.

Sekolah HBS yang ditempati oleh Bung Tomo merupakan salah satu sekolah yang bergengsi pada saat itu. Namun seluruh jenjang pendidikan yang dilalui oleh Bung Tomo memberikan gambaran betapa kejamnya golongan kolonial terhadap orang pribumi, itu sebabnya ia tidakserius menjalankan pendidikan di HBS. Konsentrasinya terhadap guru mata pelajaran terganggu. Dengan kata lain benih rasa ingin memberontak terhadap pemerintah kolonial telah muncul. Itulah yang membuat pendidikannya di HBS putus tengah jalan. Namun keluarga masih mendorong Bung Tomo untuk melanjutkan pendidikannya dan akhirnya ia lulus dari HBS secara tidak resmi, namu masih tetap bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Keempat, masuk perguruan tinggi, Banyak yang tidak mengetahui bahwa Bung Tomo juga tercatat sebagai mahasiswa, ia pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Sebenarnya setalah selesai menamatkan pendidikan di HBS, Bung Tomo ingin berkonsentrasi dalam pergerakan sosial kemasyarakatan, kepemudaan, dan perjuangan membela bangsa dan negaranya. Namun keluarganya, terutama ayahnya memaksanya untuk masuk perguruan tinggi, Bung Tomo masih tidak bisa menerima perintah ayahnya, tetapi akhirnya ia menuruti permintaan ayahnya dan ketika dicapai kesepakatan bahwa Bung Tomo akan masuk ke perguruan tinggi, keputusan yang diambil ialah ia memilih studi di UI (Universitas Indonesia) Jakarta. Fakultan yang dipilih yakni Fakultas Ekonomi. Ia tercatat sebagai mahasiswa Universitas Indonesia sejak tahun 1959 dan prayudisium pada tahun 1968 (menulis skripsi).

Dengan kata lain seluruh waktu Bung Tomo tidak sama sekali dicurahkan untuk belajar ekonomi di fakultas ekonomi UI. Melainkan dihabiskan untuk kegiatan perjuangan membela bangsa dan negaranya dari kekejaman penjajah belanda. Ia sering berkumpul dengan teman-teman sesama pejuang di Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang ia dirikan. Selain di BPRI, Bung Tomo juga aktif di komunitas lain yang termasuk komunitas perjuangan dalam membela bangsa dan negara, kiprah perjuangannya mulai di kenal oleh orang di pulau jawa bahkan di luar pulau jawa, (Waid, 2019: 124)

Mengenai kehidupan pernikahan Bung Tomo. Di balik semangat juang yang digelorakan Bung Tomo waktu perang di Surabaya, ada sosok wanita muda yang mejadi dambaan hatinya. Wanita tersebut bernama Sulistina yang berasal dari Batu, Malang. Pernikahan Bung Tomo dan Sulistina berlagsung pada tanggal 19 Juni 1947. Dibalik sosoknya yang heroik dan tegas dalam menghadapi permasalahan, Bung Tomo ternyata memiliki sisi lain yang tidak disangka-sangka oleh orang banyak. Bung Tomo memiliki kepribadian yang lembut dan romantis kepada istrinya, pria yang di juluki Jendral Kancil oleh Bung Karno tersebut selalu memperlakukan belahan jiwanya dengan kelembutan, sapaan hangat dan berbagai macam panggilan sayang diberikan kepada istrinya Sulistina. Hasil dari pernikahan Bung Tomo dan Sulistina mereka dikaruniai lima orang anak. Bung Tomo tergolong orang yang cukup keras, ia memberikan prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh anak-anaknya yaitu kejujuran. Walaupun itu menyakitkan tetapi anak-anaknya diajarkan tetap tidak boleh berbohong. Dalam berumah tangga Bung Tomo memiliki komitmen yakni menolak keras poligami.

Ketika telah memasuki usia senja pada waktu itu, Setelah merayakan ulang tahun secara sederhana di usia 61 tahun, pada tanggal 3 Oktober 1981, kondisi fisik Bung Tomo semakin melemah. Pada saat itu ia dan keluarga berada ditanah suci makkah untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan rukun iman yang ke lima. Ketika itu pada saat masih berada di jeddah ia merasakan badannya sudah tidak kuat untuk diajak kompromi lagi. Ia harus berbaring lemas dirumah sakit jeddah. Ketika hendak melaksanakan wukuf di Arafah, sulistina mendapat informasi dari dokter yang memeriksa suaminya, bahwa Bung Tomo sedang sakit lemas.

Keesokan harinya Sulistina harus menahan kesedihan mendalam bahwa Bung Tomo dinyatakan telah meninggal dunia, Bung Tomo wafat pada tanggal 7 Oktober 1981. Awalnya jenazah Bung Tomo akan dimakamkan di tanah suci, akan tetapi jika itu terjadi, berarti Bung Tomo yang terkenal seorang revolusioner di Indonesia akan menjadi tokoh yang makamnya sulit diziarahi oleh siapapun. Atas susulan Rosihan Anwar bertemu dengan Dirjen Urusan Haji Burhani Tjokrohandoko, bahwa lebih baik jasad Bung Tomo dibawa pulang ke tanah air dan di makamkan di kota sendiri, Surabaya. Akhirnya jenazah dibawa pulang ke Jakarta menggunakan pesawat terbang. Bung Tomo meninggal pernah berpesan untuk di makamkan bersama masyarakat pada umumnya saja dengan alasan ingin dekat dan selalu bersama rakyat, (Taufiq, 2020: 273)

Pemberian Gelar Pahlawan Kepada Bung Tomo

Atas jasa-jasanya mengobarkan semangat juang melawan penjajah, maka pemerintah memberikan gelar kepada Bung Tomo sebagai pahlawan nasional. Penganugerahan gelar tersebut sebagai penghargaan atas tindakan kepahlawanannya dalam membela bangsa dan negara. Penghargaan tersebut memang layak mengenai jasa yang telah diberikan Bung Tomo kepada Republik Indonesia adalah segalanya harta, jiwa raga, pikiran, gagasan, dan nyawa sekalipun ia taruhkan untuk Indonesia agar dapat menggapai kemerdekaan seutuhnya. Nama Bung Tomo menggelegar di antero jagat atas usahanya mendirikan Radio Pemberontakan kemudian menjadi seorang orator yang handal. Melalui Radio perjuangan tersebut, Bung Tomo mampu menciptakan propaganda perjuangan ke berbagai penjuru indonesia. Saat Bung Tomo berorasi, tidak ada satupun orang yang jiwanya biasa saja pasti semuanya membuncah dan ingin segera berdiri mengambil senjata apa saja yang mampu menumbangkan penjajah, dari orasi Bung Tomo masyarakat mencerna dalam-dalam dan menjadikan semangat perjuangan yang tidak pernah menyerah. Surabaya 10 November 1945 adalah salah satu kegigihan pejuang Surabaya dalam bertahan yang didasari oleh semangat dan keyakinan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, (Taufiq, 2020: 272)

Berkat usaha dan semangat perjuangan dalam melawan penjajah, Bung Tomo mendapat gelar yang banyak dari banyak negara. Tanda jasa yang diperoleh Bung Tomo sebagai pahlawan nasional diantarnya yaitu:

  1. Satya Lencana Kemerdekaan, yakni sebuah tanda kehormatan yang diberikan kepada anggota angkatan bersenjata yang sepenuhnya mengikuti kemerdekaan dari tanggal 20 juni 1945 sampai 22 februari 1948,
  2. Bintang Gerilya,
  3. Bintang Mahaputra Adipradana,
  4. Bimtang Veteran Republik Indonesia. Selain gelar yang ada diatas, Bung Tomo juga mendapatkan SK pensiun eks Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang dan Menteri Sosial Ad Interim, Sk Pensiun eks anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) berpangkat sebagai Mayor Jendral TNI Angkatan Darat, dan SK Pensiun eks Anggota DPR, (Taufiq, 2020: 278)

Didapatkannya gelar-gelar diatas berkat gigihnya perjuangan dan perlawanan Bung Tomo dalam memeprtahankan kemerdekaan Republik Indonesia, secara nyata juga perlawanannya banyak mempunyai mutu dan nilai jasa yang tinggi untuk membela Bangsa dan Negara.

Pejuang Andal Pembela Negara

Identitas lain yang melekat dalam jiwa masyarakat Surabaya mengenai sosok Bung Tomo, tak lain ialah sebagai sosok yang handal dalam membela negara. Bung Tomo merupakan pahlawan Indonesia yang terkenal karena perannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan penjajahan Belanda. Sewaktu Surabaya diserang oleh tentara NICA, Bung Tomo menjadi orang terdepan dalam memberikan komando arek Surabaya. Pertempuran yang terjadi selama tiga minggu sejak 10 November 1945 dan ditetapkan oleh negara indonesia sebagai hari pahlawan, Bung Tomo berperan dalam menyiarkan semangat perjuangan melalui radio ke penjuru tanah air. Hal ini sesuai bidang Bung Tomo yang pada waktu itu telah terjun ke dunia politik. Tanggal 3 Oktober 1945 tercatat sebagai hari masyarakat Surabaya membangun Radio Pemberontakan, sebagai bagian dari taktik Barisan Pemberontakan Rakyat indonesia (BPRI) yang didirikan pada tanggal 12 Oktober 1945.

Siaran radio tersebut bermula dari kecemasan Bung Tomo saat berkunjung ke Jakarta sebelumnya. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa di Jawa Barat pasukan sekutu mendapat angin segar dan mampu menggerakkan pasukan Indonesia. Bahkan bendera-bendera Belanda telah berkibar kembali di tangsi-tangsi militer bekas kedudukan Jepang. Presiden pertama Republik Indonesia dan wakilnya Soekarno-Hatta telah sepata memilih jalan diplomasi, karena pada waktu itu mereka merasa pasukan Indonesia tidak berdaya dan minim persenjataan.

Tidak ingin sifat pesimisme ini menular ke Surabaya, akhirnya Bung Tomo bergegas pulang dan tetap memberi semangat serta tekat bulat kepada masyarakat Surabaya untuk melawan kolonialisme. Sebenarnya dalam perjalanan Bung Tomo ke Jakarta, tidak menduga tidak sedikitpun akan mendapati pemikiran seperti ini. tetapi Tuhan telah mengkehendaki menanamkan jiwa patriotisme Bung Tomo dan memberikan roh perjuangan kepada arek Surabaya. Tercatat perjalanan Bung Tomo ke Jakarta pada Oktober 1945 telah memberi pilihan berani dalam menolak kebijakan Soekarno-Hatta.

Saat Bung Tomo kembali ke Surabaya dan masyarakat Surabaya mendapati suara menggelegar yang membuat seisi kota bergerak. Para kumpulan laskar agama terus berjuang dan bersatu untuk menyambut kedatangan tentara sekutu kemudian menghalau jauh dari tanah Surabaya. Orasi Bung Tomo telah menciptakan pertumpahan darah arek Surabaya yang mengucuri bumi pertiwi. Melalui orasi di Radio Pemberontakan yang terletak di jalan Mawar, Surabaya. itu pula, agitasi dan propaganda Bung Tomo menjadi menu setiap hari bagi arek Surabaya, khususnya setjak Oktober hingga November 1945.

Selain itu, potret orasi yang digalakkan oleh Bung Tomo menjadi ikon perjuangan dalam peristiwa 10 November 1945. Bahkan foto saat Bung Tomo berekspresi garang dengan telunjuk mengacung ke atas, masihlah menjadi teka-teki siapalah fotografernya. Foto tersebut menjasi identitas tersendiri bahwa Bung Tomo adalah pahlawan yang memiliki jiwa berani, jujur, kuat, dan berjuang mati-matian untuk kemerdekaan Iindonesia.

Hal lain yang perlu diketahui mengenai sosok Bung Tomo adalah kritik tajam yang dilontarkannya kepada presiden Soekarno. Untuk melawan penjajah, Bung Tomo tidak memiliki jiwa negosiasi sedikitpun. Ia bersama rakyat Surabaya memilih mati bersama-sama, ketimbang bangsa Indonesia tidak 100% merdeka. Maka dari itu, usulan Soekarno untuk audiensi dengan bangsa sekutu ditolak mentah-mentah oleh Bung Tomo. Bung Tomo sudah tahu bahwa kedatangan sekutu ke Surabaya bukan untuk menarik tentaranya dari tawanan Jepang, tetapi ingin mengembalikan kedaulatan Hindia-Belanda. Maka dari itu, pilihan melawan sekutu adalah jalan yang harus ditempuh bersama. Pada akhirnya Soekarno mengalah dan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada Bung Tomo, akan tetapi pidato Bung Tomo sendiri beberapa kali dinilai keceplosan membocorkan posisi para pejuang kepada musuh.

Kritik tajam yang berujung ke polemik politik kembali dilontarkan kepada Soekarno saat hendak menikahi Hartini, lebih tepatnya pada tahun 1947, Bung Tomo tidak setuju dengan perilaku presiden Soekarno yang sering menikahi prempuan seenaknya sendiri. Hal inilah yang menjadikan penulis tertarik memberikan tempat sendiri mengenai Bung Tomo dan kisah asmaranya. Bung Tomo yang terkenal pejuang Indonesia tetapi memiliki sikap anti poligami. Ia setia terhadap pasangan sehidup semati. Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo mendalami keahliannya dengan terjun ke dunia politik pada tahun 1950. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Perjuangan Bersenjata (Veteran) pada tahun 1955-1956, yang mana pada waktu itu adalah era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Selain itu, Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.

Patriotisme Bung Tomo Pada Peristiwa 10 November 1945 Surabaya

Saat itu, langit Surabaya telah menuju senja, mereka dari golongan muda, tua, organisasi masyarakat, tentara, polisi dan seluruh masyarakat sipil secara serentak menuju tiang-tiang pengeras suara di putar di Saentero Surabaya. Gelombang 34 telah diputar distasiun penerima radio, beribu pasang telinga disiapkan untuk mendengarkan orasi yang berapi-api dari stasiun pemancar radio remberontakan.

Pertempuran di Surabaya yang lamanya 21 hari memang cukup terkenal diranah nasional maupun internasional. Pada waktu itu Bung Tomo masih cukup muda, ia berumur 25 tahun dan menjadi kepala departemen penerangan di Organisasi Pemuda Republik Indonesia. Di Surabaya, orgganisasi ini memiliki laskar terbesar jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi lainnya. Tetapi melalui wartawan di media Domei milik jepang, Bung Tomo semakin tahu bagaimana cara membangkitkan jiwa nasionalisme dan Patriotisme rakyat.

Karakter khas yang dimiiliki Bung Tomo saat terjadinya peperangan disurabaya adalah menyiarkan proklamasi dan pidato-pidato menggugah semangat keseluruh dunia, yang mana dilakukan melalui radio hasil sitaan atas jepang. Bung Tomo memilih melancarkan agitasi dan propaganda lewat corong radio. Bung Tomo menggalakkan orasinya setiap hari pukul setengah enam sore. Setiap hari itu pula masyarakat Surabaya selalu mengunggu orasi dari Bung Tomo tersebut. Orasi Bung Tomo tersebut tidak hanya dilingkup Surabaya, tetapi hingga didengar masyarakat Yogyakarta.

Sebelumnya nama Bung Tomo tidak banyak yang mengetahui, namun seiring persiapan Bung Tomo yang tepat dan memiliki peran penting di media domei tersebut, lambat laun nama Bung Tomo semakin mencuat diberbagai belahan masyarakat Surabaya. Selama bulan Oktober hingga November 1945, ia menjadi salah satu pemimpin yang bertugas sebagai menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang waktu itu Surabaya ditekan oleh tentara sekutu yang mendarat dan melucuti senjata tentara pendudukan jepang serta membebaskan tawanan Eropa.

Nama Bung Tomo semakin melejit lagi saat menyerukan pembukaannya di dalam siaran-siaran radio yang dipenuhi dengan emosi. Walaupun Surabaya sempat mengalami kelumpuhan pada saat serangan 10 November 1945 tersebut, namun kejadian ini perlu dicatat bahwa terdapat peristiwa penting dalam sejarah kemerdekaan indonesia. Pengaruh Bung Tomo pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya adalah mampu menyebarkan virus-virus perjuangan melalui gelombang-gelombang frekuensi radio. Ia sedang memerangi penjajah dentuman senapan, bombardir meriam, atau bidikan bedil. Namun Bung Tomo memiliki tugas penting dengan membangkitkan perlawanan rakyat dengan cara yang kekinian sesuai zamannya, berorasi pada corong radio. Setiap hari menjelang malam, suara orasi Bung Tomo menggelegar seantero jagat raya melalui Radio Pemberontakan, sebuah pemancar radio yang diciptakan sendiri bersama teman-teman seperjuangannya.

Kelebihan Bung Tomo yang tidak dimiliki orang lain adalah suara lantangnya, kata-katanya yang mampu menyihir setiap orang yang mendengarkan, pikirannya luas dan menggema ke seluruh lapisan masyarakat, ditambah takbirnya membahana. Orasinya menggetarkan dan teriakannya menggelegar seakan menebarkan energi pada setiap pendengar setianya. Surabaya, 10 November 1945 adalah momen Bung Tomo memprovokasi rakyat bahwa perjuangan melawan penjajah bukan hanya tanggung jawab laskar-laskar dan angkatan perang saja, tetapi seluruh lapisan masyarakat sipil harus ikut terlibat didalamnya. Bung Tomo selalu mengkoar-koarkan mempersatukan seluruh elemen bangsa menghadapi kolonialisme dan imperialisme.
Pidato dengan kalimat awal bacaan basmallah adalah ciri khas Bung Tomo. Ia berhasil mempersatukan simpul-simpul bangsa. Gema takbir yang selalu diucapkan Bung Tomo selalu diucapkan Bung Tomo mampu membawa api semangat perjuangan, menggugah kesadaran, melucutu energi dan memantik gelombang patriotisme. Atas orasi Bung Tomo, seluruh elemen masyarakat mulai dari rakyat biasa, petani, pedagang, santri, ulama, kiai, tentara, laskar-laskar, organisasi, dan pemuda, semuanya tersulut untuk bahu-membahu terlibat dalam pertempuran di Surabaya.

Berasal dari Bung Tomo, pertempuran di Surabaya dikenal oleh dunia sebagai medan tempur yang paling besar dan dahsyat. Dunia melihat pertempuran di Surabaya yang secara tekhnis tidak seibang, telah menciptakan seajaiban tersendiri bagi yang beroikir realistis. Sekutu dengan membawa alat perang lengkap, jauh berbeda jika dibandingkan dengan orang pribumi. Indonesia pada saat itu hanya menggunakan senjata apa adanya. Tetapi Tuhan memberikan petunjuk-Nya. Rakyat Surabaya diberikan kekuatan untuk tetap melawan dan tidak pernah kecil nyali.

Atas hal ini, Bung Tomo dinilai berhasil menghidupkan perlawanan dan semangat revolusi pada setiap relung jiwa masyarakat Surabaya. Sejak suaranya menggema dimana-mana, beberapa persatuan laskar pemuda dan kelompok pejuang bersenjata dari luar Surabaya, berbondong-bondong datang ke kota pahlawan ini dan bergerak bersama arek Surabaya. Mereka bahu-membahu bersatu padu menjadi satu kesatuan yang memiliki visi misi mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Yang kita ingat mengenai pidato Bung Tomo setiap hari sebelum pertempuran 10 November 1945.

“selama benteng-benteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapapun... Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!”

Sekali lagi suara Bung Tomo mampu membuat darah pejuang mendidih dan semangat pertempuran membuncah, sebelumnya perjuangan Bung Tomo saat mendirikan Radio Pemberontakan tidaklah mudah, pun saat Bung Tomo berpidato pertama kali secara langsung di radio. Bung Tomo adalah seorang pejuang inspiratif yang juga teguh menjalankan perintah agama. Selain memiliki pengaruh yang besar saat pertempuran di Surabaya 10 November 1945, ia juga seorang muslim yang taat dan begitu tawadu dalam memaknai agama. Ia adalah seorang yang selalu taat menjalankan syariat agama.

Nilai Patriotisme yang terdapat dalam peristiwa 10 November 1945:

Bung Tomo jarang sekali menyerah dan mengeluh pada keadaan. Kemahirannya dalam memobilisasi massa khususnya dengan cara orasi, kata-katanya yang mampu menyihir setiap orang yang mendengarkan, pikirannya luas dan menggema ke seluruh lapisan masyarakat, ditambah takbirnya membahana. Orasinya menggetarkan dan teriakannya menggelegar seakan menebarkan energi pada setiap pendengar setianya.

Patriotisme Pada Gerakan Perjuangan Bung Tomo Berdimensi Jihad Membangun Bangsa

Alasan adanya gerakan berdimensi jihad membangun bangsa, karena semua gerakan perjuangan Bung Tomo membela bangsa dan negara diniatkan untuk berjihad, bahkan kata-kata jihad sangat tegas dan keras ia lontarkan dalam setiap orasinya dalam mengobarkan semangat orang-orang pribumi untuk melawan penjajah. Bahkan kata jihad dalam perjuangan Bung Tomo mendapat dukungan dari para ulama diseluruh nusantara, terkhususnya dari kalangan ulama NU (Nahdatul Ulama) yang sangat berpengaruh salah satunya adalah KH. Hasyim Asy’ari. Mereka melihat bahwa gerakan Bung Tomo memang pantas dikatakan sebagai perang jihad fi sabilillah melawan para penjajah.bagi siapa saja yang terlibat didalamnya, kemudian terbunuh, maka ia akan mati syahid yang nantinya mendapatkan pahala surga di sisi Allah.

Atas dasar anjuran dan mobilisasi Bung Tomo untuk berperang melawan tentara sekutu, pada tanggal 22 Oktober 1945, perang antara sekutu mulai terjadi di Surabaya. KH Hasyim Asy’ari mendukung seruan Bung Tomo dan mengatakan bahwa mempertahankan kemerdekaan yang telah di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah wajib hukumnnya. Atas seruan Bung Tomo dan fatwa jihad yang diberikan oleh para ulama, ribuan santri dan kiai mengalir ke Surabaya. Perang tak terelakan sampai akhirnya, Jendral Mallaby, pimpinan tentara sekutu yang berada disurabaya tewas di tempat di dalam sebuah mobil. Tewasnya Brigadir Jendral Mallaby tersebut membuat penggantinya, Mayor Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum bahwa semua rakyat indonesia harus meletakkan senjatanya dan menyerahkan diri. Mendengar ultimatum tersebut Bung Tomo menolak untuk menyerah, bahkan semakin memberikan
seruan jihad kepada selutuh masyarakat dan para pemuda untuk berperang melawan sekutu.

Nilai Patriotisme pada pergerakan perjuangan Bung Tomo berdimensi jihad membangun bangsa:

  1. Bung Tomo menolak untuk menyerah pada saat mendengar ultimatum yang dikeluarkan oleh Mayor Jenderal Mansergh yang menyuruh rakyat indonesia menyerah dan meletakkan senjata. Mendengar hal itu Bung Tomo semakin memberikan seruan jihad kepada seluruh masyarakat dan para pemuda di Surabaya untuk berperang melawan Sekutu.
  2. Bung Tomo merupakan seorang pejuang pemberani dalam menentang penjajah, dimasa revolusi fisik menunjukkan taringnya, ia sama sekali tidak memiliki rasa takut sedikitpun untuk menentang para penjajah meskipun nyawa taruhannya. Tekad dan keberaniannya juga dibuktikan secara nyata dan mengejutkan semua orang. Ia mendirikan organisasi yang sangat berpengaruh yaitu Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) pada 12 Oktober 1945.
  3. Bung Tomo juga memiliki sikap kesetiakawanan sosial, yang mana hal ini terlihat dari tujuan Bung Tomo Mendirikan organisasi BPRI ini semata untuk jihad fi sabilillah, yaitu menegakkan kemerdekaan indonesia sekaligus mengangkat harkat,, drajat, martabatseluruh rakyat indonesia yang selama ini hidup menderita akibat penjajahan jepang dan belanda.

Patriotisme Bung Tomo Berjuang Melalui Pena

Jika melihat Bung Tomo dari karirnya di dunia jurnalistik, maka akan tampak jelas bahwa ia telah menjadi pejuang sejak masih berusia belia. Nalar kritis dan perjuangan Bung Tomo sudah muncul semenjak ia masih sangat muda. Namun nalar itu ia realisasikan ke dalam bakatnya di bidang jurnalistik. Ketika ia mulai menekuni dunia jurnalistik, disanalah ia menuangkan pemikirannya dan sikap protesnya terhadap segala kebijakan penjajah dalam bentuk tulisan-tulisan kritis. Dunia jurnalistik dirambahnya semakin menepah semangat juangnnya.

Karirnya dalam dunia tulis-menulis pertama kali ia rasakan di harian Soeara Surabaya, pada tahun 1937. Bung Tomo menjadi wartawan freelancer. Ia memiliki tugas memburu berita. Luar biasa sibuk, Bung Tomo di usia muda sudah menjadi sosok yang super sibuk. Ia sangat serius menekuni dalam menjalankan perannya sebagai wartawan. Bahkan, ia sangat bersemangat menulis berita jika ada kasus yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mengdiskreditkan orang pribumi. Dikatakan demikian, karena ia berkeinginan mempublikasikan kekejaman belanda dan membangkitkan kesadaran golongan pribumi akan hak-haknya.

Bung Tomo menjadi anak muda yang menunjukkan kegigihannya dengan jurnalistik. Sebagai wartawan fleelancer di harian Soeara Oemoem Surabaya, membuat nama Bung Tomo semakin di kenal oleh banyak orang. Oleh karena itu pada tahun 1938, Bung Tomo ditunjuk sebagai direktur Mingguan Pembela Rakyat, di Surabaya. Sebagai redaktur mingguan Pembela Rakyat di Surabaya, nalar juang Bung Tomo semakin bertambah tajam. Di media ini ia semakin berani menyuarakan kebenaran, mengkritik pemerintah kolonial Belanda, serta menyuarakan semangat perubahan kepada orang-orang pribumi. karakter sebagai pejuang yang melekat dalam diri Bung Tomo tertampung dalam Pembela Rakyat, (Waid, 2019:225). Bung Tomo memiliki rasa percaya diri yang besar saat ia menjabat Sebagai redaktur Mingguan Pembela Rakyat di Surabaya, nalar juang Bung Tomo semakin bertambah tajam. Dimedia ini ia semakin berani menyuarakan kebenaran, mengkritik pemerintah Kolonial Belanda, serta menyuarakan semangat perubahan kepada orang-orang pribumi. karakter sebagai pejuang yang melekat dalam diri Bung Tomo tertampung dalam Pembela Rakyat.