Diperbarui tanggal 6/Nov/2022

Wacana

kategori Bahasa dan Sastra Indonesia / tanggal diterbitkan 6 November 2022 / dikunjungi: 2.10rb kali

Pengertian Wacana

Asal mula istilah wacana berasal dari bahasa Sangsekerta, yaitu wac/wak/vac yang berarti berkata atau berucap. Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sanskerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu „melakukan tindakan ujar?. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna „mmbedakan? (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai „perkataan? atau „tuturan?

Wacana merupakan salah satu kajian dalam ilmu lingusitik yang ditetapkan dalam satu kajian tersendiri, yaitu analisis wacana. Tarigan (Nurlaksana, 2015:3) menyatakan bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan dengan koherensi dan kohesi. Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi, yang berkesinambungan, memiliki awal dan akhir, dan yang secara nyata disampaikan secara lisan maupun tulisan. Rani dkk (Nurlaksana, 2015:3) berpendapat bahwa wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Wacana dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran, bentuk lisan atau tulisan, serta dapat bersifat transaksional ataupun interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antara penyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulisan, wacana merupakan hasil pengungkapan ide atau gagasan penyapa.

Selanjutnya, Kridalaksana (Nurlaksana, 2015:2) mengemukakan wacana (discouse) adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hirarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedis, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat lengkap. Dalam pandangan ini tampak bahwa hal utama yang menjadi pertimbangan dalam batasan wacana adalah kelengkapan muatan amanat yang dikandung oleh satuan bahasa tertentu, baik berupa karangan lengkap, paragraf, kalimat, maupun kata.

Istilah wacana juga merupakan terjemahan dari bahasa Inggris , yaitu discourse. Kata tersebut berasal dari bahasa latin, yaitu discursus yang berarti „lari ke sana-ke mari? atau „lari bolak-balik?. Dalam kamus webster, istilah tersebut diperluas menjadi (1) komunikasi kata-kata, (2) ekspresi gagasan-gagasan, dan (3) risalah tulis berupa ceramah, pidato, dan lain sebagainya. Dari ketiga makna tersebut, dapat disimpulkan bahwa istilah wacana berhubungan dengan kata-kata, komunikasi, dan ungkapan baik secara lisan dan tulis Webster (Tarigan, 2009:22).

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat dirumuskan bahwa wacana adalah satuan bahasa terbesar di atas kalimat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

  1. Satuan gramatikal
  2. Satuan terbesar, tertinggi, atau terlengkap
  3. Memiliki hubungan proposisi
  4. Memiliki hubungan kontinuitas, berkesinambungan
  5. Memiliki hubungan kohesi dan koherensi
  6. Medium dapat lisan maupun tulis
  7. Sesuai dengan konteks

Dengan demikian, dapat ditemukan bahwa wacana adalah satuan bahasa lisan maupun tulis yang memiliki keterkaitan atau kesinambungan antarbagian (kohesi), keterpaduan (koherensi), dan bermakna yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Berdasarkan pengertian tersebut, persyaratan terbentuknya wacana adalah penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbanagkan prisip-prinsip keutuhan dan kepaduan.

Jenis Wacana

Terdapat beberapa sudut pandang yang dapat digunakan orang untuk mengklasifikasikan jenis-jenis wacana. Melalui sudut pandang tersebut, wacana dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) berdasarkan tertulis atau tidaknya wacana (2) berdasarkan langsung atau tidaknya wacana (3) berdasarkan cara penuturan wacana (Tarigan, 2009:48).

  1. Wacana tulis adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, melalui media tulis. Untuk menerima, memahami, atau menikmatinya maka para penerima
    harus membacanya. Berbicara mengenai wacana tulis, ada orang mengaitkanya dengan written text yang mengimplikasikan non-interactive monolog atau monolog yang tidak interaktif, yaitu monolog yang tidak saling mempengaruhi. Hal ini dapat kita pahami karena apa yang disebut monolog (bicara sendiri) itu memang selalu bersifat satu arah saja.
  2. Wacana lisan atau adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan. Untuk menerima, memahami, atau menikmati wacana lisan ini maka para penerima harus menyimak atau mendengarkanya. Dengan kata lain, penerima adalah penyimak. Wacana lisan ini, sering pula dikaitkan dengan interactive discourse atau wacana interaktif. Wacana lisan ini sangat produktif dalam sastra lisan seluruh tanah air kita ini; juga dalam saran-saran televisi, radio, khotbah, ceramah, pidato, kuliah, deklamasi, dan sebagainya.
  3. Wacana langsung adalah kutipan wacana yang sebenarnya dibatasi oleh intonasi atau pungtuasi.
  4. Wacana tidak langsung adalah pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip harfiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara dengan mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara lain dengan klausa subordinatif, kata bahwa, dan sebagainya.
  5. Wacana pembeberan adalah wacana yang tidak mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian lainya diikat secara logis.
  6. Wacana puisi adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi, baik secara tertulis ataupun lisan.
  7. Wacana drama adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk dialog, baik secara tertulis maupun secara lisan.

Syarat Wacana

Untuk membentuk sebuah wacana yang utuh ada sejumlah syarat. Syarat pertama adalah topik, kedua adanya tuturan pengungkap topik, dan ketiga adanya kohesi dan koherensi.

  1. Topik
    Topik merupakan hal yang di bicarakan dalam sebuah wacana. Topik dapat dinyatakan dengan redaksi, “tentang apa seseorang berbicara?”, “apa yang dikatakan seseorang?”, “apa yang mereka percakapkan?”, dan sebagainya. Hal ini berarti topik menjiwai seluruh bagian wacana. Topiklah yang menyebabkan lahirnya wacana dan berfungsinya wacana dalam proses komunikasi.
  2. Tuturan pengungkap topik
    Syarat wacana yang kedua adalah tuturan pengungkap topik. Perlu dijabarkan sehingga makna yang disusun dari beberapa kalimat menjadi utuh karena wujud konkret tuturan itu adalah hubungan paragraf dengan paragraf yang lain yang membentuk teks. Teks yang dimaksud di dalam wacana tidak selalu berupa tuturan tulis, tetapi juga berupa tuturan lisan. Karena itu, di dalam kajian wacana terdapat teks dan teks lisan.
  3. Kohesi dan koherensi
    Pada umumnya wacana yang baik adalah memiliki kohesi dan koherensi. Kohesi dan koherensi adalah syarat wacana yang ketiga. Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang baik dan koheren. Kohesi merujuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi merujuk pada pertautan makna. Wacana yang baik pada umumnya memiliki keduanya. Kalimat atau frasa yang satu dengan yang lainya bertautan; pengertian yang satu menyambung dengan pengertian lain. Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana (hubungan yang tampak pada bentuk). Kohesi merupakan organisasi sintaksis dan merupakan tempat kalimat-kalimat yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan, 2009:93). Selanjutnya, koherensi (perpaduan yang baik dan kompak) adalah hubungan timbal balik yang baik dan jelas antara unsur-unsur (kata atau kelompok kata) yang membentuk kalimat itu bagaimana hubungan antar subjek dan predikat, hubungan antara predikat dan objek serta keterangan-keterangan lain unsur pokok tadi.

Analisis Wacana

Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Menurut Soenjono Dardjowidjojo (Mulyana, 2005:1) analisis wacana merupakan kajian yang meneliti bahasa baik dalam bentuk lisan maupun tulis. Kajian wacana berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukan bahwa untuk memahami wacana dengan baik dan tepat, diperlukan bekal pengetahuan kebahasaan, dan bukan kebahasaan (umum). Analisis wacana sebagai sebuah kajian bahasa yang berusaha mengiterpretasi makna sebuah ujaran atau tulisan tidak dapat dilepaskan dari konteks yang melatarinya, baik konteks linguistik maupun konteks etnografinya. Konteks linguistik dimaksudkan sebagai rangkaian kata yang mendahului atau yang mengikuti satuan bahasa tertentu, sedangkan konteks etnografi dimaksudkan sebagai serangkaian ciri faktor etnografi yang melingkupinya, misalnya faktor budaya, tradisi, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan (Nurlaksana, 2015:1).

Selanjutnya, analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, penggunaaan bahasa secara alamiah tersebut dimaksudkan sebagai penggunaan bahasa yang terjadi dalam peristiwa komunikasi sehari-hari secara nyata. Analisis wacana menekankan kajian pada penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam interaksi antar penutur yang terjadi di masyarakat pemakai bahasa (Nurlaksana, 2015:4). Sejalan dengan pendapat tersebut, Wahab (Nurlaksana, 2015:5) mengemukakan bahwa analisis wacana adalah analisis bahasa dalam penggunaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, analisis wacana tidak dapat dibatasi hanya pada deskripsi bentuk-bentuk lingustik yang terpisah dari tujuan dan fungsi bahasa dalam proses interaksi antar manusia. Jika para linguis formal memusatkan perhatian pada ciri-ciri formal dari suatu bahasa, para analis wacana berusaha mencari jawaban atas pertanyaan “untuk apa bahasa digunakan oleh manusia”.

Analisis Wacana dengan Pendekatan Formal

Analisis wacana dengan pendekatan formal menekankan analisisnya pada struktur wacana. Struktur wacana berkenaan dengan dua hal, yaitu (1) bagian-bagian atau unsur langsung pembentuk wacana dan (II) hubungan bagian-bagian wacana. Setiap wacana terdiri atas bagian-bagian dan setiap bagian masih bisa dirinco menjadi bagian yang lebih kecil. Nama bagian-bagian itu berbeda-beda tergantung dari jenis wacananya. Untuk menciptakan keutuhan, bagian-bagian wacana harus saling berhubungan. Sejalan dengan pandangan bahwa bahasa itu terdiri atas bentuk dan makna, hubungan antar bagian wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hubungan bentuk yang disebut kohesi dan hubungan makna yang disebut koherensi. Kohesi disebut pula perpautan dan koherensi dinamai pula perpaduan. Berdasarkan perwujudanya, Halliday dan Hasan membedakan dua jenis kohesi, yaitu (i) kohesi gramatikal dan (ii) kohesi leksikal. Kohesi gramatkal adalah keterkaitan gramatikal bagian-bagian wacana. Kohesi leksikal adalah keterkaitan leksikal bagian-bagian wacana.kohesi gramatikal kemudian dapat dirinci lebih lanjut menjadi penunjukkan, pergantian, pelesapan, dan perangkaian.