Diperbarui tanggal 7/01/2023

Profitabilitas Perbankan

kategori Ekonomi dan Keuangan / tanggal diterbitkan 7 Januari 2023 / dikunjungi: 1.16rb kali

Pengertian Profitabilitas

Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Menurut Sartono (2010), profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannnya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Para investor tetap tertarik terhadap profitabilitas perusahaan karena profitabilitas mungkin merupakan satu-satunya indikator yang paling baik mengenai kesehatan keuangan perusahaan. Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba selama periode tertentu (Munawir, 2010). Sementara itu Harahap (2009), mengungkapkan bahwa profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan sumber daya yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan sebagainya.

Definisi profitabilitas menurut Brigham dan Houston (2006) menyebutkan bahwa profitabilitas adalah hasil bersih dari serangkaian kebijakan dan keputusan. Profitabilitas dapat ditetapkan dengan menghitung berbagai tolak ukur yang relevan. Salah satu tolak ukur tersebut adalah dengan rasio keuangan sebagai salah satu analisa dalam menganalisa kondisi keuangan, hasil operasi dan tingkat profitabilitas suatu perusahaan.

Pengukuran Profitabilitas Perbankan

Laba yang dicapai sesuai target dapat memberikan kesejahteraan bagi stakeholders, dapat meningkatkan mutu produk, serta dapat digunakan untuk melakukan investasi baru. Oleh karena itu, manajemen perusahaan dalam praktiknya dituntut harus mampu untuk memenuhi target yang telah ditetapkan. Untuk mengukur tingkat keuntungan suatu perusahaan, digunakan rasio profitabilitas (Kasmir, 2014). Menurut Fahmi (2011), rasio profitabilitas rasio yang mengukur efektivitas manajemen secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh besar kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh dalam hubungannya dengan penjualan maupun investasi. Profitabilitas merupakan suatu kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu berdasarkan investasi yang dilakukannya dan modal yang dimilikinya. Profitabilitas perbankan yang tinggi akan menguntungkan bank karena dapat menarik calon investor untuk menanamkan modalnya dan menambah kredibilitas bank dimata nasabahnya.

Kasmir (2014) menjelaskan bahwa hasil pengukuran dapat dijadikan sebagai alat evaluasi kinerja manajemen selama ini, apakah mereka telah bekerja secara efektif atau tidak. Kegagalan atau keberhasilan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk perencanaan laba ke depan, sekaligus kemungkinan untuk menggantikan manajemen yang baru terutama setelah manajemen lama mengalami kegagalan. Oleh karena itu, rasio profitabilitas ini sering disebut sebagai salah satu alat ukur kinerja manajemen. Return on Asset (ROA) menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.13/24/DPNP digunakan sebagai proksi dalam mengukur profitabilitas suatu bank. Return on Asset digunakan karena merupakan rasio profitabilitas yang penting bagi bank dan digunakan untuk mengukur efektivitas bank dalam menghasilkan laba dengan memanfaatkan total aktiva-aktiva yang dimilikinya.

Tingginya tingkat Return on Asset menunjukkan tingkat return yang diterima oleh bank juga tinggi. Return On Asset adalah rasio yang digunakan mengukur kemampuan bank menghasilkan keuntungan secara relatif dibandingkan dengan total asetnya. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat aset yang tertentu. (Hanafi dan Halim, 2009). ROA merupakan rasio perbandingan antara laba sebelum pajak dengan total asset. Apabila ROA meningkat maka profitabilitas perusahaan meningkat sehingga dampak akhirnya adalah peningkatan profitabilitas yang dinikmati oleh pemegang saham. Bank Indonesia menetapkan angka terbaik untuk ROA adalah diatas 1,5%, karena jika ROA kurang dari 1,5% , maka bank tersebut akan mengalami tingkat kesehatan yang tidak bagus dan itu akan menyebabkan terjadinya suatu kebangkrutan.

Rumus untuk menghitung profitabilitas menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/SEOJK.03/2017 yaitu:

rumus ROA

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Profitabilitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi profitabilitas berdasarkan berbagai hasil penelitian yaitu kecukupan modal, suku bunga, dana pihak ketiga, risiko kredit, efisiensi operasi, likuiditas, jumlah kredit yang diberikan yang merupakan faktor internal perusahaan. Selain faktor internal perusahaan, profitabilitas juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Faktor eksternal yang mempengaruhi profitabilitas perbankan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya antara lain yaitu kinerja ekonomi yang dilihat dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan inflasi.

Kecukupan Modal

Modal dalam suatu bisnis merupakan salah satu sumber kekuatan untuk dapat melaksanakan aktivitasnya. Setiap perusahaan dalam melaksanakan kegiatannya selalu berupaya untuk menjaga keseimbangan finansialnya (Riyanto, 2008). Yang dimaksud dengan keseimbangan finansial adalah keseimbangan antara aktiva dengan pasiva dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian untuk mengatasi ketidakseimbangan finansial, maka perusahaan berkewajiban untuk mengatur keuangan perusahaan untuk mengatur pembelanjaan, sehingga tidak terjadi dana menganggur atau tidak terdapat kekurangan modal.

Rasio kecukupan permodalan perbankan di Indonesia berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/SEOJK.03/2017 Tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum diukur menggunakan Capital Adequacy Ratio (CAR). Besarnya CAR diukur dari rasio antara modal sendiri terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum menyebutkan bahwa Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko. Penyediaan modal minimum dihitung dengan menggunakan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM). Penyediaan modal minimum ditetapkan paling rendah sebagai berikut:

  1. 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Bank dengan profil risiko peringkat 1 (satu);
  2. 9% (sembilan persen) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh persen) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 2 (dua);
  3. 10% (sepuluh persen) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas persen) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 3 (tiga); atau
  4. 11% (sebelas persen) sampai dengan 14% (empat belas persen) dari ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 4 (empat) atau peringkat 5 (lima).

Perhitungan penyediaan modal minimum atau kecukupan modal bank (capital adequacy) didasarkan pada rasio atau perbandingan antara modal yang dimiliki bank dan jumlah aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). ATMR merupakan penjumlahan ATMR aktiva neraca (aktiva yang tercantum dalam neraca) dan ATMR aktiva administrative (aktiva yang bersifat administratif) (Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/24/DPNP). Langkah-langkah perhitungan penyediaan modal minimum bank adalah sebagai berikut: (Ali, 2006):

  1. Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) aktiva neraca dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal masing-masing aktiva yang bersangkutan dengan bobot risiko dari masing- masing pos aktiva neraca tersebut.
  2. Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) aktiva administratif dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal rekening administratif yang bersangkutan dengan bobot risiko dari masing-masing pos rekening tersebut.
  3. Total ATMR = ATMR aktiva neraca + ATMR aktiva administrative.
  4. Rasio modal bank dihitung dengan cara membandingkan antara modal bank (modal inti + modal pelengkap) dan total ATMR. Rasio tersebut dapat dirumuskan dengan
    CAR = Modal Sendiri dibagi  ATMR
  5. Hasil perhitungan rasio di atas, kemudian dibandingkan dengan kewajiban penyediaan modal minimum (yakni sebesar 8%). Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, dapatlah diketahui apakah bank yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan CAR (kecukupan modal) atau tidak. Jika hasil perbandingan antara perhitungan rasio modal dan kewajiban penyediaan modal minimum sama dengan 100% atau lebih, modal bank yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan CAR (kecukupan modal). Sebaliknya, bila hasilnya kurang dari 100%, modal bank tersebut tidak memenuhi ketentuan CAR.

Dana Pihak Ketiga

Menurut Kasmir (2014) bahwa dana pihak ketiga adalah dana yang dihimpun oleh bank yang berasal dari masyarakat, yang terdiri dari simpanan giro, simpanan tabungan dan simpanan deposito. Dana pihak ketiga merupakan sumber dana bank yang berasal dari simpanan pihak masyarakat. Dana pihak ketiga ini merupakan sumber dana terpenting bagi kegiatan operasi bank. Dendawijaya (2005:49) mengatakan bahwa dana-dana yang dihimpun dari masyarakat ternyata merupakan sumber dana terbesar yang paling diandalkan oleh bank (bisa mencapai 80% - 90% dari seluruh dana yang dikelola oleh bank).

Dana dari masyarakat yang sering disebut dengan dana pihak ketiga menurut Dendawijaya (2009) antara lain:

  1. Giro
    Giro adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, dan surat perintah pembayaran lainnya atau pemindah bukuan.
  2. Tabungan
    Tabungan adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan melalui syarat-syarat tertentu”. Penarikan tabungan dapat dilakukan dengan selip penarikan atau card atau ATM dan sejenisnya.
  3. Deposito
    Deposito atau simpanan berjangka adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian pihak ketiga dengan bank yang bersangkutan”.

Pengukuran dana pihak ketiga dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

DPK = Ln (Tabungan + Deposito + Giro) (Triandaru, 2008)

Risiko Kredit

Menurut Ali (2006), risiko kredit adalah risiko dari kemungkinan terjadinya kerugian bank sebagai akibat dari tidak dilunasinya kembali kredit yang diberikan bank kepada debitur. Menurut Dendawijaya (2009), kredit bermasalah dapat diukur dari kolektibilitasnya dengan kriteria kurang lancar, diragukan dan macet. Kemacetan fasilitas kredit disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor ekstern, faktor intern dari pihak perbankan dan faktor intern dari pihak nasabah. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, disebutkan bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya, bank perlu mengelola risiko kredit antara lain dengan menjaga kualitas aset dan tetap melakukan penghitungan penyisihan penghapusan asset. Kasmir (2014) mengatakan bahwa asset (Kualitas Asset) dinilai berdasarkan kepada kualitas aktiva yang dimiliki bank. Aset (Aktiva) terdiri atas aktiva produktif dan aktiva non produktif. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, aktiva produktif didefenisikan sebagai penyediaan dana Bank untuk memperoleh penghasilan dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, transaksi rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur risiko kredit dalam penelitian ini adalah Non Performing Loan (NPL). Non Performing Loan adalah perbandingan antara total kredit bermasalah dengan total kredit yang di berikan kepada debitur. Apabila suatu bank mempunyai NPL yang tinggi, maka akan memperbesar biaya, baik biaya pencadangan aktiva produktif maupun biaya lainnya, dengan kata lain semakin tinggi NPL suatu bank, maka hal tersebut akan mengganggu kinerja bank tersebut. Dendawijaya (2009) mengemukakan dampak dari keberadaan NPL yang tidak wajar salah satunya adalah hilangnya kesempatan memperoleh income (pendapatan) dari kredit yang diberikan, sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi profitabilitas bank.

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/SEOJK.03/2017 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum menyebutkan bahwa semakin tinggi nilai NPL (di atas 5%) maka bank tersebut tidak sehat. NPL yang tinggi menyebabkan menurunnya laba yang akan diterima oleh bank. Semakin tinggi NPL maka modal yang tersedia di bank semakin menipis. Karena meningkatnya jumlah kredit yang macet tentu saja akan mempengaruhi jumlah modal yang tersedia untuk membiayai kegiatan operasional bank. Kredit macet membuat berkurangnya pendapatan yang akan diterima oleh bank sehingga bank akan menggunakan modal yang ada untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Semakin sering terjadi kemacetan maka modal bank lama kelamaan akan terkikis
dan habis.

Rumus Non Performing Loan (NPL) untuk mengukur kualitas aset menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/SEOJK.03/2017 yaitu:

Rumus NPL

Suku Bunga

Suku bunga juga berarti penghasilan yang diperoleh oleh orang-orang yang memberikan kelebihan uangnya atau surplus spending unit untuk digunakan sementara waktu oleh orang-orang yang membutuhkan dan menggunakan uang tersebut untuk menutupi kekurangannya atau deficitspending units (Judisseno, 2005). Suku bunga adalah biaya pinjaman atau harga yang dibayarkan untuk dana pinjaman tersebut (biasanya dinyatakan sebagai persentase per tahun) (Mishkin, 2008).

Menurut Ismail (2011) penerapan bunga yang terdapat pada bank konvensional dapat dipisahkan menjadi dua jenis, yaitu:

  1. Bunga simpanan
    Bunga simpanan merupakan tingkat harga tertentu yang dibayarkan oleh bank kepada nasabah atas simpanan yang dilakukannya. Bunga simpanan ini, diberikan oleh bank untuk memberikan rangsangan kepada nasabah penyimpan dana agar menempatkan dananya di bank. Beberapa bank memberikan tambahan bunga kepada nasabah yang menempatkan dananya dalam bentuk deposito sejumlah tertentu. Hal ini dilakukan bank agar nasabah akan selalu meningkatkan simpanan dananya.
  2. Bunga pinjaman
    Bunga pinjaman atau bunga kredit merupakan harga tertentu yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank atas pinjaman yang diperolehnya. Bagi bank, bunga pinjaman merupakan harga jual yang dibebankan kepada nasabah yang membutuhkan dana. Untuk memperoleh keuntungan, maka bank akan menjual dengan harga yang lebih tinggi dibanding dengan harga beli. Artinya, bunga kredit lebih tinggi dibanding bunga simpanan. Bunga pinjaman dan simpanan akan mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Pada kondisi terdapat kenaikan suku bunga simpanan, maka kenaikan suku bunga simpanan akan berpengaruh pada kenaikan suku bunga kredit. Bunga simpanan dan kredit akan saling memengaruhi dalam industri perbankan (Ismail, 2011).

Menurut Kasmir (2014), faktor-faktor utama yang mempengaruhi besar kecilnya penetapan suku bunga adalah sebagai berikut:

  1. Kebutuhan dana
    Apabila bank mengalami kekurangan dana, sementara permohonan pinjaman meningkat, maka yang dilakukan oleh bank agar dana tersebut cepat terpenuhi adalah dengan menaikkan suku bunga simpanan. Dengan naiknya suku bunga simpanan maka akan menarik nasabah untuk menyimpan dana nya di bank dan kebutuhan dana dapat terpenuhi. Namun apabila dana simpanan banyak sementara permohonan pinjaman sedikit maka bank akan menurunkan bunga simpanan sehingga mengurangi minat nasabah untuk menyimpan dana nya, atau dengan cara menurunkan bunga kredit sehingga dapat meningkatkan permohonan kredit.
  2. Persaingan
    Dalam memperebutkan dana simpanan, maka disamping faktor promosi, yang paling utama bagi pihak perbankan harus memperhatikan pesaing. Dalam arti jika untuk bunga simpanan rata-rata 16% pertahun, maka jika hendak membutuhkan dana cepat sebaiknya bunga simpanan dinaikkan diatas bunga pesaing, misalnya 16,5%. Namun untuk bunga pinjaman harus berada di bawah bunga pesaing.
  3. Kebijakan pemerintah
    Dalam kondisi tertentu pemerintah dapat menentukan batas maksimal atau minimal suku bunga, baik bunga simpanan maupun bunga pinjaman. Dengan ketentuan batas minimal atau maksimal tidak boleh melebihi batas yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
  4. Target laba yang diinginkan
    Target laba yang diinginkan merupakan besarnya keuntungan jumlah laba yang diinginkan oleh bank. Jika laba yang diinginkan besar, maka bunga pinjaman ikut besar dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu pihak bank harus hati-hati dalam menentukan persentase laba atau keuntungan yang diinginkan.
  5. Jangka waktu
    Semakin panjang jangka waktu pinjaman maka akan semakin tinggi bunganya, hal ini disebabkan besarnya kemungkinan resiko di masa mendatang dan demikian pula sebaliknya.
  6. Hubungan baik
    Pihak bank biasanya menggolongkan nasabahnya menjadi dua yaitu nasabah utama (primer) dan nasabah biasa (sekunder). Penggolongan ini didasarkan pada keaktifan serta loyalitas nasabah yang bersangkutan terhadap bank. Nasabah utama biasanya mempunyai hubungan yang baik dengan pihak bank, sehingga dalam penentuan suku bunganya pun berbeda dengan nasabah biasa.

Efisiensi Operasi

Menurut Mulyadi (2009) mengemukakan bahwa efisiensi merupakan rasio antara keluaran dengan masukan suatu proses, dengan fokus perhatian pada konsumsi masukan. Efisiensi operasi merupakan suatu hal yang harus dilakukan oleh perusahaan, dimana perusahaan mempunyai tujuan untuk mencari laba semaksimal mungkin. Laba yang maksimal dapat dicapai melalui penggunaan sumber daya yang efisien.

Menurut Dendawijaya (2009) BOPO adalah perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Jika tingkat BOPO yang dihasilkan semakin rendah maka kinerja manajemen dari bank tersebut berarti semakin baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa bank lebih efisien dalam menggunakan sumber daya yang ada untuk kegiatan operasionalnya. Rumus rasio BOPO menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/SEOJK.03/2017 yaitu sebagai berikut:

rumus BOPO