Diperbarui tanggal 23/05/2022

Perkembangan Sosial Anak Usia Dini

kategori Pendidikan Anak Usia Dini / tanggal diterbitkan 23 Mei 2022 / dikunjungi: 10.06rb kali

Pengertian Perkembangan Sosial

Perkembangan merupakan perubahan yang terus menerus dialami, tetapi ia tetap menjadi kesatuan. Perkembangan berlangsung dengan perlahan-lahan melalui masa demi masa. Kadang-kadang seseorang mengalami masa kritis pada masa kanak-kanak dan masa pubertas. (L. Zulkifli, 2009: 13). Mengutip tulisan Jumaris dalam Sujiono (2010: 20) perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat komulatif, artinya perkembangan terdahulu akan menjadi dasar bagi perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu apabila terjadi hambatan pada perkembangn terdahulu maka perkembangan selanjutnya cenderung akan mendapat hambatan. Menurut schneirla (1957) dalam Sunarto dan Hartono (2008: 38) perkembangan adalah perubahan-perubahan progresif dalam organisasi organisme, dan organisme ini dilihat sebagai sistem fungsional dan adaptif sepanjang hidupnya.

Berdasarkan dari tiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan merupakan perubahan yang bersifat maju dan terus dialami namun berlangsung secara perlahan. Jika perkembangan terdahulu sebelumnya terdapat hambatan maka pada perkembangan selanjutnya juga cenderung akan mendapatkan hambatan. Menurut Hurlock E. dalam Hasnida (2014: 34) perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial dan memerlukan tiga proses yaitu:

  1. Belajar berprilaku yang dapat diterima secara sosial
  2. Memainkan peran sosial yang dapat diterima
  3. Perkembangan sikap sosial

Menurut Sofyan (2014: 28) perkembangan aspek sosial merupakan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial yang mampu bersosialisasi dengan baik, anak-anak harus menyukai orang dan aktivitas sosial, jika mereka berhasil melakukan mereka akan dapat menyesuaikan diri dengan baik dan akan diterima sebagai anggota kelompok. Selanjutnya, menurut Fadlilah (2014: 50) Perkembangan sosial merupakan perkembangan yang melibatkan hubungan atau interaksi dengan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial sehingga tidak akan bisa terlepas dengan orang lain. Demikian halnya dengan seorang anak, pasti membutuhkan bantuan dan pertolongan yang lain pula. Paling tidak bantua dari orang tuanya sendiri. Tanpa adanya orang tua yang merawat, menjaga, dan memenuhi segala kebutuhannya, mustahil anak dapat tumbuh dan berkembang hingga dewasa.

Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial merupakan kemampuan berprilaku yang melibatkan interaksi dengan orang-orang disekitarnya dan dapat membuat seseorang dapat hidup berdampingan dengan masyarakat. perkembangan sosial juga memerlukan tiga proses yaitu belajar berprilaku dengan baik, anak-anak harus menyukai orang dan aktifitas sosial, jika mereka berhasil melakukan mereka akan dapat menyesuaikan diri dengan baik dan akan diterima sebagai anggota kelompok.

Teori Perkembangan Sosial Anak Usia Dini

1. Teori Erikson

Menurut Erik H. Erikson dalam Morrison (2012: 82) mengembangkan teorinya tentang perkembangan psikososial berdasarkan pendapat, bahwa perkembangan sosial dan kognitif terjadi bersamaan dan tidak dapat dipisahkan. Menurut Erikson, kepribadian dan keterampilan sosial anak tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan sebagai respons terhadap permintaan, harapan, nilai dalam masyarakat dan institusi sosial seperti keluarga, sekolah, dan program pendidikan anak.

Pada teori Erikson tersebut kepribadian dan keterampilan sosial anak tumbuh dan berkembang di lingkungan sekitar. Pada fase ini anak juga diharapkan dapat menerima dan menanggapi apa yang keluarga, masyarakat, dan orang disekitar inginkan.

2. Teori Bandura

Dalam Trianto (2011: 77) pemodelan merupakan konsep dasar dan teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut bandura sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Seseorang belajar menurut teori ini dilakukan dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-ulang kembali. Dengan jalan ini memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajarinya.

Berdasarkan Teori bandura tersebut, manusia belajar dengan cara mengamati tingkah laku orang lain kemudian dari apa yang mereka lihat akan menjadi pengalaman baru bagi dirinya sendiri dan kemudian dapat di ekspresikan.

3. Teori Ekologi

Ecological theory dalam Surna & Pandeirot (2014: 115) mengatakan bahwa perkembangan sosial anak pasti berkaitan dengan aspek-aspek perkembangan psikologis lainnya. Tampaknya, urie Bronfenbrenner telah mengajukan acuan untuk lebih secara komprehensif memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak. Brofenbrenner (1917-2005) adalah pengembangan teori ekologi, atau Ecological Theory, yang sebetulnya didasarkan pada upaya memahami kehidupan anak dalam konteks lingkungan sosial dan dengan orang-orang dilingkungannya yang kemudian mempengaruhi perkembangannya.

Berdasarkan teori ekologi ini yaitu dimana lingkungan sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial anak karena dilingkungan lah anak lebih banyak menghabiskan waktu baik dilingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan teman sepermainan. Sebagai orang dewasa yang dekat dengan lingkungan anak harus selalu mengawasi anak ketika sedang bermain karena orang disekitar anak sangat mempengaruhi perkembangannya.

Berdasarkan ketiga teori tersebut, peneliti menggunakan teori erikson. Sebab, teori erikson inilah yang lebih dekat dengan anak-anak, teori ini juga mengatakan kepribadian dan keterampilan sosial anak tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan sebagai respons terhadap permintaan, harapan, nilai dalam masyarakat dan institusi sosial seperti keluarga, sekolah, dan program pendidikan anak.

Tahapan Perkembangan Sosial

Menurut Erikson dalam Sit Masganti (2017: 43-46) tahapan perkembangan psikososial manusia terjadi dalam delapan tahap, yaitu:

  1. Percaya (trust) versus tidak percaya (mistrust). Priode terjadi pada usia 0-1 tahun. Ini adalah tahap paling fundamental dalam kehidupan manusia. Menurut Erikson apakah anak dapat mengembangkan sikap percaya atau tidak percaya tidak sepenuhnya ditentukan faktor bawaan tetapi sangat dipengaruhi faktor-faktor sosial. Kondisi ini sangat bergantung pada kualitas hubungan anak dan ibunya. Cara ibu mengasuh anak akan berdampak terhadap pembentukan dasar identitas diri anak. Seorang ibu yang gagal mengembangkan sikap percaya pada anak akan menghasilkan anak yang penakut dan melihat dunia sebagai suatu yang tidak konsisten dan tidak terduga. Jika dibandingkan dengan tahap perkembangan dalam psikonalisa, tahap ini lebih dipenuhi dengan gerakan dan harapan.
  2. Kemandirian (autonomy) versus malu dan ragu (shame and doubt). Tahap ini terjadi pada usia 1-3 tahun. Pada tahap ini ibu atau orang-orang disekitar anak memperkenalkan konsep kemandirian versus rasa malu dan ragu-ragu. Sepanjang tahap ini anak mencoba menguasai keterampilan menggunakan toilet. Jika dikaitkan dengan tahap perkembangan menurut psikoanalisis, tahap ini seharusnya dipenuhi oleh kontrol diri dan ketekunan.
  3. Inisiatif (initiative) versus rasa bersalah (guile). Tahap ini terjadi pada usia 3-6 tahun. Pada tahap ini anak telah memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu untuk dirinya, mereka telah dapat memakai pakaian sendiri. Namun jika anak merasa disalahkan terhadap keputusan yang dibuatnya, anak-anak akan merasa bersalah. Erikson memiliki pandangan yang positif terhadap tahap ini dengan mengatakan perasaan bersalah akan cepat berganti dengan pemahaman penyelesaian masalah. Jika dikaitkan dengan tahapan perkembangan menurut tahapan psikoanalisis tahap ini seharusnya dipenuhi oleh arahan dan tujuan.
  4. Kerja keras (industry) versus rasa rendah diri (inferiority). Tahap ini berlangsung apada usia 6-11 tahun. Anak-anak pada usia dini mulai mulai membandingkan dirinya dengan orang lain (misalnya dengan teman-teman dikelasnya). Anak sudah dapat mengenal kemampuannya dan lebih antusias. Erikson menekankan kepada guru untuk meyakinkan anak terhadap kemampuannya dan tidak merasa rendah diri. Jika dikaitkan dengan tahap perkembangan menurut psikoanalisis tahap ini seharusnya dipenuhi dengan cara kerja dan kompetensi.
  5. Identitas (identity) versus kebingungan (role confusion). Tahap ini dialami seseorang pada masa remaja. Pada tahap ini individu menemukan dirinya sendiri dan melakukan langkah-langkah dalam hidupnya. Orangtua sebaiknya memberikan kesempatan kepada remaja untuk dapat melakukan penjelajahan dalam rangka menemukan identitas dirinya. Jika orang tua terlalu memaksakan kemauannya, maka remaja akan tumbuh menjadi remaja yang bingung terhadap identitas dirinya. Jika dikaitkan dengan tahap perkembangan menurut psikoanalisis tahap ini seharusnya dipenuhi dengan ketaatan dan kesetiaan terhadap cita-citanya.
  6. Keintiman (intimacy) versus keterasingan (isolation). Tahap ini dialami seseorang pada masa dewasa awal. Pada tahap ini individu mengalami kepedulian menjalin hubungan yang akrab dengan teman sebaya atau dengan orang yang berbeda dengan jenis kelamin. Mereka mungkin membangun keluarga atau memiliki teman akrab. Jika hal itu tidak terjadi, maka mereka akan mengalami isolasi atau keterasingan. Jika dikaitkan dengan tahap perkembangan menurut psikoanalisis tahap ini seharusnya dipenuhi dengan pertalian dengan orang lain dan cinta terhadap diri sendiri dan orang lain.
  7. Generativitas (generativity) versus stagnasi (stagnation). Tahap ini dialami seseorang pada masa dewasa madya. Pada tahap ini individu mengalami kepedulian untuk membantu orang-orang yang lebih muda dan mengarahkan kehidupan mereka kearah yang lebih baik. Jika mereka tidak dapat membantu orang-orang yang lebih muda mereka akan merasa stagnasi. Jika dikaitkan dengan tahap perkembangan menurut psikoanalisis tahap ini seharusnya dipenuhi dengan produksi dan perhatian. Orang-orang yang tidak dapat membantu orang muda pada masa ini akan mengalami gangguan perkembangan sosial, misalnya menarik diri dari lingkungannya karena merasa tidak berguna.
  8. Integritas (ego integrity) versus keputusasaan (despair). Tahap ini dialami seseorang pada masa dewasa akhir. Pada tahap ini seseorang selalu bercermin pada pengalaman masa lalunya. Mereka yang merasa telah berhasil pada masa dewasa awal dan madya akan memiliki integritas kepribadian pada tahap ini, tetapi mereka yang merasa belum memiliki pengalaman baik pada masa dewasa awal dan madya akan mengalami keputusasaan. Jika dikaitkan dengan tahap perkembangan menurut psikoanalisis tahap ini selalu dipenuhi dengan penolakan dan kebijaksanaan

Pada anak usia 5-6 tahun berada pada tahap inisiatif (initiative) versus rasa bersalah (guild). Pada tahap ini, anak-anak belajar dan ingin melakukan banyak aktivitas orang dewasa, dan terkadang mereka melangkahi batas-batas yang telah ditetapkan oleh orang tua dan mereka merasa bersalah. Sebagai pendidik, guru perlu mengamati dan mengikuti apa minat mereka, dorong anak-anak terlibat ke banyak aktivitas, berikan lingkungan yang dapat dieksplorasi anak-anak dan beri tiap-tiap anak peluang untuk sukses.

Kriteria Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosial

Terdapat beberapa pendapat tentang kriteria pencapaian perkembangan sosial anak usia 5-6 tahun, yaitu:

  1. Capaian perkembangan sosial usia 5-6 tahun mempunyai tiga lingkup perkembangan diantaranya yaitu kesadaran diri, rasa tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain dan perilaku sosial.
    Lingkup perkembangan Tingkat pencapaian perkembangan
    Kesadaran Diri Memperlihatkan kehati-hatian kepada orang yang belum dikenal (menumbuhkan kepercayaan pada orang dewasa yang tepat).
    Rasa tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain
    • Tahu akan haknya.
    • Mengatur diri sendiri.
    • Bertanggung jawab atas perilakunya untuk kebaikan diri sendiri.
    Perilaku Prososial
    • Bermain dengan teman sebaya
    • Berbagi dengan orang lain
    • Menghargai hak/ pendapat/ karya orang lain
    • Mengunakan cara yang diterima secara sosial dalam menyelesaikan masalah (menggunakan fikiran untuk menyelesaikan masalah)
    • Bersikap kooperatif dengan teman
    • Menunjukkan sikap toleran
    • Mengenal tata karma dan sopan santun sesuai dengan nilai sosial budaya setempat.
  2. Terdapat beberapa indikator tentang perkembangan sosial menurut beberapa para ahli, dari pendapat diatas terdapat perbedaan. Seperti menurut Sujiono (2013: 66) berikut variabel dan indikator perkembangan sosial anak usia 5-6 tahun.
    Lingkup perkembangan Tingkat pencapaian perkembangan
    Perkembangan sosial
    • Menyatakan gagasan yang kaku tentang peran jenis kelamin
    • Memiliki teman baik, meskipun untuk jangka waktu yang pendek
    • Sering bertengkar tetapi dalam waktu yang singkat
    • Dapat berbagi dan mengambil giliran
    • Ikut ambil bagian dalam setiap kegiatan pengalaman disekolah
    • Mempertimbangkan setiap guru merupakan hal yang sangat penting
    • Ingin menjadi yang nomor satu
    • Menjadi lebih posesif terhadap barang-barang kepunyaannya
  3. Adapun indikator perkembangan sosial Menurut Sofyan (2014: 117) tentang dimensi aspek perkembangan sosial anak di antaranya yaitu:
    • Tenggang rasa terhadap orang lain
    • Bekerja sama dengan teman
    • Mudah berinteraksi dengan orang lain
    • Mengenal dirinya sendiri
    • Mulai dapat berimajinasi
    • Mulai dapat berkomunikasi dengan orang yang sudah dikenalnya
    • Mulai belajar memisahkan diri dari orang tua terutama ibu
    • Aktif bergaul dengan teman
    • Mulai mengikuti aturan permainan
    • Meniru kegiatan orang dewasa
    • Menjadi ekstrim dan keras kepala
    • Mematuhi peraturan yang ada
    • Mulai mengenal konsep benar salah
    • Mau berbagi dengan teman
    • Mau berbagi dengan teman sebaya.

Berdasarkan pendapat diatas tentang capaian perkembangan dapat disimpulkan bahwa capaian perkembangan sosial anak usia 5-6 tahun yaitu terdapat tiga lingkup perkembangan diantaranya kesadaran diri, rasa tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain, dan perilaku prososial. Kemudian pada tingkat pencapaian perkembangan (indikator) yaitu memperlihatkan kehati-hatian kepada orang yang belum dikenal, mampu menyesuaikan diri, tahu akan haknya, mengenal dirinya sendiri, bertanggung jawab atas perilakunya untuk kebaikan sesama, memahami perasaan diri sendiri dan orang lain, bersikap kooperatif, toleran dan berperilaku sopan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan capaian perkembangan yaitu capaian perkembangan sosial usia 5-6 tahun mempunyai tiga lingkup perkembangan diantaranya kesadaran diri, rasa tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain dan perilaku sosial.

Konsep Bagian-Bagian Lingkup Perkembangan Sosial

1. Kesadaran Diri

  1. Pengertian kesadaran diri
    Seorang individu seharusnya mempunyai kesadaran terhadap kebutuhan orang lain sehingga melahirkan tindakan suka rela yang dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun (altruistik). Menurut Bar-Tal (1976) dalam Desmita (2016: 246) kesadaran merupakan kemampuan yang ada pada diri individu untuk memerhatikan orang lain yang membutuhkan bantuan.

    Kesadaran diri adalah kesadaran mengenai proses-proses mental sendiri atau mengenai eksistensi sebagai individu yang unik. Dalam sudut pandang Soemarno, kesadaran diri merupakan upaya pembentukan karakter manusia dan secara lebih spesifik, kesadaran diri menurutnya adalah upaya membentuk pribadi berjati diri kuat dan memiliki kekhasan dalam dirinya. Yang mencakup kesadaran diri pada perkembangan sosial usia 5-6 tahun yaitu memperlihatkan kehati-hatian kepada orang yang belum dikenal (menumbuhkan kepercayaan pada orang dewasa yang tepat).
  2. Komponen kesadaran diri
    Yang termasuk kedalam komponen kesadaran diri yaitu:
    1. Self knowlege (pengetahuan diri) adalah pemahaman tentang informasi jati diri pribadi seseorang, individu akan sadar dengan dirinya sendiri, bahwa individu memiliki kekurangan serta kelebihan, serta dalam kesehariannya individu sadar akan hal tersebut adalah dirinya.
    2. World knowledge (pengetahuan tentang dunia) merupakan individu mengingat sejumlah fakta dari memori jangaka panjang. Kesadaran akan tanggung jawab akan terbentuk dengan mengingat peristiwa-peristiwa diluar dirinya.
    3. Activation of knowledge (aktifitas pengetahuan), seorang individu menyadari tindakan-tindakan orang lain. Kesadaran akan kejujuran individu akan terbentuk dengan melihat orang lain sebagai contoh nyata. Individu akan belajar bagaimana membentuk suatu kesadaran diri dalam dirinya melalui orang lain (Aimdarihim, 2016).

2. Rasa Tanggung Jawab Untuk Diri Sendiri Dan Orang Lain

  1. Pengertian Tanggung Jawab
    Menurut Wikipedia, rasa tanggung jawab adalah suatu pengertian dasar untuk memahami manusia sebagai makhluk Susila, dan tinggi rendahnya akhlak yang dimilikinya. Menurut KBBI Online tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai wujudan kesadaran akan kewajibannya (Dani, 2015). Menurut Desmita (2016: 247) Tanggung jawab pribadi adalah kemampuan seseorang dalam menilai mengapa orang lain membutuhkan bantuan dan menganggap bahwa hal tersebut adalah tanggung jawabnya. Rasa tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain pada tingkat pencapaian perkembangan sosial usia 5-6 tahun yaitu mencakup tahu akan hak nya dan mengatur diri sendiri.
  2. Macam-macam Tanggung Jawab
    Ada beberapa macam tanggung jawab menurut Dani (2015), Diantaranya yaitu:
    1. Tanggung Jawab Manusia Terhadap Diri Sendiri
      Menurut sifatnya manusia adalah makhluk bermoral. Akan tetapi manusia juga seorang pribadi, dan sebagai makhluk pribadi manusia mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri, angan-angan untuk berbuat ataupun bertindak, sudah barang tentu apabila perbuatan dan tindakan tersebut dihadapan orang banyak, bisa jadi mengundang kekeliruan dan juga kesalahan. Untuk itulah agar maanusia itu dalam mengisi kehidupannya memperoleh makna, maka atas diri manusia perlu diberi Tanggung Jawab.
    2. Tanggung Jawab Kepada Keluarga
      Masyarakat kecil ialah keluarga. Keluarga adalah suami-istri, ayah-ibu dan anak-anak, dan juga orang-orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung Jawab ini menyangkut nama baik keluarga. Tetapi Tanggung Jawab juga merupakan kesejahteraan, keselamatan, pendidikan, dan kehidupan
    3. Tanggung Jawab Kepada Masyarakat 
      Satu kenyataan pula, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia merupakan anggota masyarakat. Karena itu, dalam berpikir, bertingkah laku, berbicara, dan sebagainya manusia terikat oleh masyarakat. Wajarlah apabila segala tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. Sejak lahir sampai manusia mati, manusia memerlukan bantuan orang lain. Terlebih lagi pada zaman yang sudah semakin maju ini. Secara langsung maupun tidak langsung manusia membutuhkan hasil karya dan jasa orang lain untuk memenuhi segala kebutuhan hidup. Dalam kondisi inilah manusia membutuhkan dan kerjasama dengan orang lain.
    4. Tanggung Jawab Kepada Bangsa/Negara
      Satu kenyataan lagi, bahwa tiap manusia, tiap individual adalah warga nagara suatu negara. Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia terikat olah norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh negara. Manusia tidak dapat berbuat semau sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada negara.
    5. Tanggung Jawab kepada Tuhan 
      Manusia ada tidak dengan sendirimya, tetapi merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan manusia dapat mengembangkan diri sendiri dengan sarana-sarana pada dirinya yaitu pikiran, perasaan, seluruh anggota tubuhnya, dan alam sekitarnya.

3. Perilaku Prososial

  1. Pengertian Perilaku Prososial
    Perilaku prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menolong orang lain tanpa mempedulikan motif si penolong. Menurut Desmita (2016: 237) tingkah laku prososial menyangkut tujuan, nilai, empati, proses-proses internal dan karakteristik individual yang dapat mengantar suatu tindakan. Perilaku Prososial mencakup kemampuan bermain dengan teman sebaya, memahami perasaan, merespon, berbagi, serta menghargai hak dan pendapat orang lain; bersifat kooperatif, toleran dan berperilaku sopan. Diperkuat oleh pendapat Bar-Tal (1976) dalam Desmita (2016: 236) mendefinisikan perilaku prososial sebagai tingkah laku yang dilakukan secara sukarela, menguntungkan orang lain tanpa antisipasi reward eksternal, dan tingkah laku tersebut dilakukan tidak untuk dirinya sendiri, meliputi: membantu, berbagi, dan sumbangan.
    Perilaku prososial pada tingkat pencapaian perkembangan sosial usia 5-6 tahun yaitu mencakup bermain dengan teman sebaya, berbagi dengan orang lain, menghargai hak/pendapat/karya orang lain, menggunakan cara yang diterima secara sosial dalam menyelesaikan masalah (menggunakan fikiran untuk menyelesaikan masalah), bersikap kooperatif dengan teman, menunjukkan sikap toleran dan mengenal tata krama dan sopan santun sesuai dengan nilai sosial budaya setempat.
  2. Perkembangan Perilaku Prososial
    Tingkah laku selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan manusia. Adapun tahapan perkembangan perilaku prososial menurut Desmita (2016: 240-243) tersebut ada enam tahap, diantaranya:
    1. Compliance & concrete, defind reinforcement. Pada tahap ini individu melakukan tingkah laku menolong karena permintaan atau perintah yang disertai terlebih dahulu dengan reward atau punishment. Pada tahap ini anak-anak mempunyai perspektif egosentris, tidak menyadari bahwa orang lain mempunyai perasaan dan pikiran yang berbeda dengan mereka. Tingkah laku menolong terjadi karena ditunjukkan oleh penghargaan dan hukuman secara nyata. Anak-anak yang membantu meletakkan sesuatu pada tempatnya karena ibunya mengatakan mereka harus melakukan hal tersebut dan memberi mereka permen menunjukkan tingkah laku pada tahap pertama.
    2. Compliance. Pada tingkat ini individu melakukan tingkah laku menolong karena tunduk pada otoritas. Individu tidak berinisiatif melakukan pertolongan, tapi tunduk pada permintaan dan perintah dari orang lain yang lebih berkuasa. Pada tingkatan kedua ini anak menyadari bahwa orang lain mempunyai perasaan dan fikiran yang berbeda. Tindakan menolong pada tahap ini dimotivasi oleh kebutuhan mendapatkan persetujuan dan menghindari hukuman. Pada tingkat ini individu tidak memerlukan penguatan yang konkrit karena mereka menyadari kekuatan otoritas. Bagaimanapun, penguatan mengandung pengertian setuju atau tidak setuju. Misalnya, anak-anak mengatakan bahwa mereka menolong karena ibunya menyuruh melakukan tindakan tersebut.
    3. Internal initiative & concrete reward. Pada tahap ini individu menolong karena tergantung pada penerimaan penghargaan yang diterima. Individu mampu memutuskan kebutuhannya, orientasinya egoistis dan tindakannya dimotivasi oleh keinginan mendapatkan keuntungan atau hadiah untuk memuaskan kebutuhannya.
    4. Normative bahavior. Pada tahap ini individu menolong orang lain untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Individu mengetahui berbagai macam tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma masyarakat yang diikuti sanksi positif, serta pelanggaran norma yang diikuti sanksi negatif. Tingkah laku menolong dilakukan karena diharapkan menjadi orang baik dimata orang lain. Orientasinya mencakup keinginan untuk menerima persetujuan dan menyenangkan orang lain. Harapan reward untuk menolong tidak kongkrit namun berarti.
    5. Generalized reciprocity. Pada tahap ini tingkah laku menolong didasari oleh prinsip-prinsip universal dari pertukaran. Seseorang memberikan pertolongan karena percaya bahwa kelak bila membutuhkan bantuan akan mendapatkan pertolongan. Hal ini sebagai persetujuan timbal balik yang didasarkan pada kontrak abstrak. Pada tahap ini individu menginternalisasi hukum-hukum masyarakat tentang pertolongan, yaitu menghindari perpecahan sistem.
    6. Altruistik behavior. Pada tahap ini individu melakukan tindakan menolong secara sukarela. Tindakannya semata-mata hanya bertujuan menolong dan menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan hadiah dari luar. Tindakan menolong dilakukan karena pilihannya sendiri dan didasarkan pada prinsip-prinsip moral. Sepanjang menyangkut keselamatan orang lain, simpati kepada orang lain yang menderita dan membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan keuntungan timbal balik untuk tindakannya.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak, yaitu menurut Soetarno (1989) berpendapat bahwa ada dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan sosial anak, yaitu faktor lingkungan keluarga dan faktor dari luar rumah atau luar keluarga. Kedua faktor tersebut dilengkapi oleh Hurlock (1978) dengan faktor ketiga, yaitu faktor pengalaman awal yang diterima anak. Penjelasan dari kedua faktor tersebut dapat dicermati pada uraian berikut ini (dalam Nugraha dan Rachmawati, 2010: 4.15-4.24):

  1. Faktor lingkungan keluarga
    Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan sosial anak. Di dalam keluarga yang interaksi sosialnya berdasarkan simpati inilah manusia pertama kali belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain. Pengalaman-pengalaman orang lain, belajar bekerja sama, belajar membantu orang lain. Pengalaman-pengalaman berinteraksi sosial dalam keluarga turut menentukan tingkah lakunya terhadap orang-orang lain dalam kehidupan sosial di luar keluarga. Apabila interaksi sosial nyadi dalam keluarga tidak lancar atau tidak wajar maka interaksinya dengan masyarakat juga berlangsung tidak wajar atau akan mengalami gangguan.

    Di antara faktor yang terkait dengan keluarga dan yang banyak berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak adalah hal-hal yang berkaitan dengan:
    1. Status sosial ekonomi keluarga
      Keadaan sosial ekonomi keluarga ternyata mempunyai pengaruh terhadap perekmbangan anak. Apabila perekonomian keluarga cukup maka lingkungan material anak di dalam keluarga tersebut menjadi lebih luas. Anak mendapat kesempatan yang lebih banyak mengembangkan bermacam-macam kecakapan yang mungkin tidak akan ia dapatkan jika keadaan ekonomi keluarga tidak memadai. Interaksi mendidik antara anak dengan orang tua akan lebih banyak dan lebih mendalam karena orang tua tidak disibukkan oleh urusan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
      Namun demikian, status sosial ekonomi keluarga bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi perkembangan sosila anak. Perkembangan sosial anak juga tergantung pada sikap orang tua dan corak interaksi di dalam keluarga itu. Walaupun keadaan sosial ekonomi orang tua memuaskan jika mereka tidak memperhatikan pendidikan atau seringkali bertengkar, perkembangan sosial anak akan terganggu. Perkembangan sosial anak juga ditentukan pula oleh sikap anak sendiri terhadap keadaan keluarga. Hasil suatu penelitian menunjukkan, bahwa tingkah laku yang tidak wajar paling banyak terdapat pada anak-anak yang status sosial ekonominya sangat tinggi, sedangkan tingkah laku yang tidak wajar hanya sedikit terjadi pada anak dari keluarga berstatus sosial ekonomi menengah.
    2. Keutuhan keluarga
      Keluarga adalah hadirnya ayah, ibu dan anak-anak dalam satu keluarga. Apabila ayah atau ibu atau dua-duanya tidak ada maka struktur keluarga dianggap sudah tidak utuh lagi. Tetapi ayah atau ibu atau kedua-duanya jarang pulang kerumah karena tugas atau hal-hal lain. Hal ini terjadi berulang-ulang atau apabila orang tua bercerai maka dapat dikatakan juga sebagai keluarga yang tidak utuh. Semuanya itu akan mempengaruhi perkembangan sosial anak pra sekolah, bahkan hingga tingkatan tertentu dapat mengganggunya. Misalnya ketika anak hidup dalam pengasuhan keluarga yang bercerai (broken home) maka cara anak menilai hubungan sosial menjadi berbeda dibandingkan dengan anak-anak yang hidup dalam lingkungan keluarga yang normal. Anak dari keluarga broken home secara sosial merasa malu dan akhirnya mempengaruhi kemampuan dan kemauan berinteraksi dengan teman-temannya. Sebaliknya anak dengan kondisi keluarga yang utuh akan memiliki keterampilan sosial lebih standar karena tidak dihinggapi beban psikologis. Jadi, hubungan harmonis keluarga sangat berperan penting dalam perkembangan sosial anak. Cara-cara berinteraksi saudaranya dengan orang tua akan mempengaruhi cara berinteraksi yang akan dilakukan anak. Maka ketidakutuhan keluarga pada umumnya dapat menghambat perkembangan sosial anak.
    3. Sikap dan kebiasaan orang tua
      Tingkah laku orang tua sebagai pemimpin kelompok dalam keluarga sangat mempengaruhi suasana interaksi keluarga dan dapat merangsang perkembangan ciri-ciri tertentu pada pribadi anak. Orang tua yang otoriter dapat mengakibatkan anak tidak taat, takut, pasif, tidak memiliki inisiatif, tak dapat merencanakan sesuatu, serta mudah menyerah. Orang tua yang terlalu melindungi anak dan menjaga anak secara berlebihan akan membuat anak sangat tergantung pada orang tua. Orang tua yang menunjukkan sikap menolak, yang menyesali kehadiran anak akan menyebabkan anak menjadi agresif dan memusuhi, suka berdusta, dan suka mencuri.
      Semua pengaruh diatas akan berdampak pada perilaku sosial selanjutnya sehingga anak menjadi terhambat dalam mereflesikan hubungan sosial dengan pihak lainnya karena pengaruh suasana interaksi keluarga. Untuk itu sangat penting bagi orang tua untuk mampu mengukur prilakunya agar tidak berdampak negatif pada prilaku sosial anaknya.
  2. Faktor dari luar rumah
    Pengalaman sosial awal diluar rumah melengkapi pengalaman didalam rumah dan merupakan penentu yang penting bagi siakap sosial dan pola prilaku anak. Jika hubungan mereka dengan teman sebaya dan orang dewasa di luar rumah menyenangkan, mereka akan menikmati hubungan sosial tersebut dan ingin mengulanginya. Sebaliknya, jika hubungan itu tidak menyenangkan atau menakutkan, anak-anak akan menghindarinya dan kembali kepada anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka.

    Jika anak senang berhubungan dengan orang luar, ia akan terdorong untuk berprilaku dengan cara yang dapat diterima orang luar tersebut. Karena hasrat terhadap pengakuan dan penerimaan sosial sangat kuat pada akhir masa kanak-kanak, pengaruh kelompok teman sebaya lebih kuat dibandingkan dengan sewaktu masa prasekolah, yaitu ketika anak masih kecil dan kurang berminat bermain dengan teman sebaya. Jika anak mempunyai teman bermain yang lebih tua, ia akan berusaha untuk tidak ketinggalan dari temannya sehingga ia akan mengembangkan pola prilaku yang lebih matang dibandingkan dengan teman sebayanya. Akan tetapi, jika teman yang lebih tua suka memerintah sehingga si anak tidak dapat menikmati permainan, Ia mungkin akan memilih bermain dengan anak-anak yang lebih muda dan memerintah temannya itu, seperti yang dilakukan anak yang lebih tua terhadapnya. Hal ini akan menimbulkan pola prilaku yang tidak sosial. Jika anak mempunyai teman bermaindan saudara-saudara yang sejenis, ia akan mengalami kesulitan melakukan penyesuaian sosial yang baik dengan teman bermain dari lawan jenis.
  3. Faktor pengaruh pengalaman sosial awal
    Pengalaman sosial awal sangat menentukan prilaku kepribadian selanjutnya. Banyaknya pengalaman bahagia yang diperoleh sebelumnya akan mendorong anak mencari pengalaman semacam itu lagi pada perkembangan sosial selanjutnya. Sejumlah studi terhadap manusia dari semua tingkatan umur, membuktikan bahwa pengalaman awal tidak hanya penting bagi masa kanak-kanak, tetapi juga penting bagi perkembangan anak di kemudian hari. Dalam penelitian Waldrop dan Halyerson dalam Nugraha dan Rachmawati (2010: 4.19) ditemukan bahwa sosiobilitas pada umur 2,5 tahun dapat digunakan untuk meramalkan sosiobilitas pada umur 7,5 tahun. Oleh karena pola sikap dan perilaku cenderung menetap maka ada keharusan meletakkan dasar yang baik pada tahap awal perilaku sosial pada setiap anak. Yang jelas para guru atau orang tua jangan sampai menggelincirkan anak melalui pilihan sosial yang keliru yang akan mengakibatkan keruakan pada penyesuaian diri dan prilaku dalam kehidupan anak selanjutnya.

Selain sebagai faktor di atas yang bersifat umum, faktor yang dianggap dapat menghambat perkembangan sosial anak prasekolah, menurut Sri Mulyani Deliana (2000) dalam Nugraha dan Rachmawati (2010: 4.22 - 4.24) yaitu sebagai berikut:

  1. Tingkah Laku Ageresif
    Tingkah laku agresif biasanya mulai tampak sejak usia 2 tahun, tetapi sampai usia 4 tahun tingkah laku ini masih sering muncul, terlihat dari seringnya anak TK saling menyerang secara fisik, misalnya mendorong, memukul atau berkelahi. Penyerangan dapat pula mereka lakukan secara verbal, misalnya dengan mencaci, mengejek atau memperolok teman-teman lain. Tingkah laku agresif selain mengganggu hubungan sosial juga melanggar aturan yang diberlakukan disekolah, misalnya suka berkelahi, merusak alat permainan milik teman atau mengganggu anak lain.
  2. Daya Suai Kurang
    Daya suai yang kurang biasanya disebabkan karena cakrawala (dunia) sosial anak yang relatif masih kurang, masih terbatas pada situasi rumah dan sekolah. Di sekolah pun biasanya mereka belum bisa dengan cepat menyesuaikan diri, tetapi makin lama ia disekolah makin bertambah daya suainya. Apabila ada anak yang tidak dapat menyesuaikan diri walaupun sudah relatif lama bersekolah, guru harus dapat mencari faktor penyebabnya. Apabila hal itu tidak dapat diperhatikan, akan menyebabkan anak tersebut terasing dan selanjutnya tidak dapat mengikuti kegiatan (pembelajaran) yang bersifat kelompok.
  3. Pemalu
    Rasa malu biasanya sudah terlihat sejak anak sudah mengenal orang-orang disekitarnya. Rasa malu sebenarnya normal dan wajar, apabila anak sering kali menunjukkan rasa malu maka hal inilah yang dianggap sebagai masalah. Anak biasanya tidak menunjukkan rasa malu pada orang yang belum dikenalnya anak bersikap pemalu. Pada umur 5 tahun perasaan malu yang berlebihan tidak hanya ditunjukkan pada orang yang tidak dikenal, tetapi juga pada orang yang sudah dikenal, yaitu orang yang akan memberikan penilaian terhadap tingkah lakunya. Biasanya hal ini terjadi pada anak yang sering dipermalukan atau dicela didepan orang lain. Kejadian-kejadian semacam ini akan menyebabkan anak dimasa mendatang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
  4. Anak Manja
    Memanjakan anak adalah suatu sikap orang tua yang selalu mengalah pada anaknya, membatalkan perintah atau larangan hanya karena anak menjerit, menentang atau membantah. Contohnya, seorang ayah melarang anaknya pergi. Larangan itu membuat anaknya menangis atau merengek dengan tujuan supaya diperbolehkan pergi. Untuk menghentikan tangis anaknya si ayah mengalah dan memperbolehkannya pergi. Tingkah laku anak seperti itu, disebut manja dan sikap orang tua yang tidak konsisten dengan perintahnya hanya karena anak menangis atau merengek termasuk memanjakan anak.
  5. Perilaku Berkuasa
    Perilaku berkuasa ini muncul sekitar usia 3 tahun dan semakin meningkat dengan bertambahnya kesempatan. Anak perempuan cenderung merasa lebih berkuasa dari pada anak laki-laki. Oleh karena itu, anak harus diberi pengertian bahwa ia mempunyai kedudukan yang sama dengan teman-temannya. Tidak ada yang mempunyai hak yang lebih dibandingkan dengan yang lain agar sikap ingin merajai ini sedikit demi sedikit berkurang.
  6. Perilaku Merusak
    Ledakan amarah yang dilakukan oleh anak sering disertai tindakan merusak benda-benda di sekitarnya, tidak peduli miiknya sendiri atau milik orang lain. Semakin hebat marahnya, semakin luas tindakan merusaknya. Contoh, seorang anak yang tidak diperbolehkan ikut pergi dengan orang tuanya tiba-tiba mengambil barang milik orang tuanya dan merusaknya.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi perkembangan sosial anak yaitu faktor lingkungan keluarga, faktor dari luar rumah dan faktor pengaruh pengalaman sosial awal. Selain faktor yang bersifat umum, faktor yang dianggap menghambat perkeembangan sosial anak prasekolah yaitu tingkah laku agresif, daya suai yang kurang, pemalu, anak manja, perilaku berkuasa, dan perilaku merusak.

Dimensi-Dimensi Perkembangan Sosial

Menurut Danim (2013: 107) manusia merupakan makhluk sosial. Ini bukanlah keunggulan manusia yang utama, karena singapun sering dinilai memiliki spirit “sosial yang tinggi” dalam komunitasnya. Sejak manusia dilahirkan, dia memulai interaksi sosial. Karena memang, tanpa sentuhan manusia sama sekali, bayi yang hebat sekalipun tidak akan bertahan hidup. Karena memang, ketika dilahirkan manusia itu tidak berdaya, meski unsur-unsur fisiknya sudah lengkap. Awalnya, anak mempelajari segala yang terjadi dalam lingkungan keluarga, kemudian dilingkungan masyarakat sekitar, dilingkungan sekolah, atau masyarakat yang lebih luas.

Dari pengalaman itulah dia akan menjadi bahwa dirinya menjadi bagian dari masyarakat dunia dan dituntut berprilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat itu. Proses semacam ini disebut sebagai sosialisasi atau proses pembentukan prilaku sosial. Prilaku sosial itu Nampak dalam peran yang ditampilkan, respon interpersonal yang berkaitan dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain, atau respon yang ekspesif yaitu ciri-ciri respon interpersonal yang berkaitan dengan ekspresi diri, kebiasaan-kebiasaan yang khas, dan sebagainya. Ciri-ciri perkembangan perilaku sosial dikemukakan oleh Buhler seperti berikut ini:

Daftar Pustaka

Apriastuti, Dwi Anita.Vol. 4 No. 1 Edisi Juni 2013. Analisis Tingkat Pendidikan Dan Polaasuh Orang Tua Dengan Perkembangan Anak Usia 48-60 Bulan Tahun 2013. Jurnal Ilmiah Kebidanan.

Danim, Sudarwan. 2013. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Alfabeta. 

Desmita. 2016. Psikologi Perkembangan Peserta Didik Panduan Bagi Orang Tua Dan Guru Dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, Dan SMA. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.

Flurentina, Elia. 2014. Latihan Kesadaran Diri (Self Awareness) Dan Kaitannya Dengan Penumbuhan Karakter. Universitas Negeri Malang. Jurnal. Hasnida. 2014. Analisis Kebutuhan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Luxima Metro Media.

Mayar, Farida. 2013. Perkembangan Sosial Anak Usia Dini Sebagai Bibit Untuk Masa Depan Bangsa Tahun 2013. Universitas Negeri Padang: Penelitian Dosen.

Mursid, 2015. Pengembangan Pembelajaran Paud. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.

Matondang, Sandra Elvrida. 2016. Perilaku Prososial (Prosocial Behavior) Anak Usia Dini Dan Pengelolaan Kelas Melalui Pengelompokkan Usia Rangkap (Multiage Grouping). Jurnal Pendidikan Dasar.

Nugraha, Ali. Dan Rachmawati, Yeni. 2010. Metode Pengembangan Sosial Emosional.Jakara: Universitas Terbuka.

Puspita, Oky Candra., Budiartati, Emmy., Desmawati, Liliek. 2013. Upaya Pendidik Dalam Proses Pengembangan Sosial Emosi Anak Usia Dini Di Kelompok Bermain Mardi Utomo I Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang. Universitas Negeri Semarang: Jornal Of Non Formal Education And Community Empowerment.

Putri, Ayudajati., Laksmiwati, Hermien. Volume 02 Nomor 02 Tahun 2013. Perkembangan Sosial Anak Usia Dini Di Taman Penitipan Anak (TPA) Melati School Ketintang Tengah-Surabaya Tahun 2013. Universitas Negeri Surabaya: Jurnal.