Diperbarui tanggal 3/03/2023

Lahan Gambut

kategori Umum / tanggal diterbitkan 3 Maret 2023 / dikunjungi: 1.43rb kali

Lahan Gambut di Indonesia

Indonesia mempunyai lahan gambut terbesar keempat di dunia setelah Canada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Indonesia sendiri memiliki luas lahan gambut sekitar 21 juta ha (Immirizi dan Maltby, 1992). Lahan gambut Indonesia saat ini berupa lahan pertanian dan perkebunan, hutan campuran, hutan sekunder bekas tebangan, semak belukar dan padang rumput rawa (Istomo, 2008). Telah diketahui bahwa luas lahan gambut berubah seiring waktu. Luas lahan gambut di Indonesia menurut Widjaja dkk., (1992) mencapai 20,9 juta hektar; Radjagukguk (1995) menyebutkan angka 20,1 juta hektar; Notohadiprawiro (1996) menyebutkan luas lahan gambut Indonesia tidak lebih dari 17 juta hektar; Puslittanak (2000) menyatakan bahwa lahan gambut di Indonesia hanya 14,5 juta hektar dan berdasarkan updating data/peta lahan gambut menurut BBSDLP (2011) sekitar 14,9 juta ha.

Ekosistem gambut merupakan ekosistem yang rentan, yang cepat sekali rusak oleh perubahan yang sedikit saja. Hutan gambut dapat dikatakan sekali panen akan hilang sehingga dapat digolongkan menjadi sumber daya alam hayati (Barchia, 2006).

Pembentukan Lahan Gambut

Lahan gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu yang lama. Bahan organik tersebut berasal dari pelapukan vegetasi yang tumbuh di sekitarnya. Proses dekomposisi tanah gambut belum terjadi secara sempurna karena keadaan gambut yang dominan selalu jenuh. Kondisi tersebut menyebabkan tanah gambut memiliki tingkat kesuburan dan pH yang rendah (Nurida dkk., 2011). Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses dekomposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986).

Agus dkk., (2011) menyatakan lahan gambut umumnya terbentuk pada dataran rendah atau cekungan yang terisi bahan-bahan organik dari vegetasi yang telah mati. Timbunan bahan organik ini terus bertambah dan membentuk kubah. Faktor yang mempengaruhi sifat dan pembentukan gambut ialah iklim, topografi, jenis lapisan di bawah gambut, dan jenis vegetasi atau bahan organik pembentuknya (Noor, 2001).

Klasifikasi Gambut

Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm?³ dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm?³ dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff, 2003). Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburandan posisi pembentukannya.

  1. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi :
    1. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.
    2. Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%.
    3. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas > 75% seratnya masih tersisa.
  2. Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:
    1. Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
    2. Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-basa sedang.
    3. Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik. Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai. Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatera relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan.
  3. Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas :
    1. Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air hujan.
    2. Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat pengayaan air pasang, dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.
  4. Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi :
    1. Gambut dangkal (50 – 100 cm),
    2. Gambut sedang (100 – 200 cm),
    3. Gambut dalam (200 – 300 cm), dan
    4. Gambut sangat dalam (> 300 cm).
  5. Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi :
    1. Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat pengayaan mineral dari air laut
    2. Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.

Karakteristik Gambut

Karakteristik fisik

Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density/BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya (Mutalib dkk., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho dkk., 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 (Tie dan Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral.

Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun?¹ tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase.

Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh. Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena memudahkan bagi petani untuk memanen sawit.

Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.

Karakteristik Kimia

Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.

Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3 - 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3 (Hartatik dkk., 2004).

Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor (1974) melaporkan bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).

Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.

Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia gambut.

Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham dkk., 1997; Saragih, 1996).

Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro. Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohonan (Driessen dan Suhardjo, 1976).

Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat (Kononova, 1968). Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Rachim, 1995). Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis (menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam fenolat yang bersifat fitotoksik antara lain adalah asam ferulat, siringat, p-hidroksibenzoat, vanilat, p-kumarat, sinapat, suksinat, propionat, butirat, dan tartrat.

Aspek Lingkungan Lahan Gambut.

lahan gambut mempunyai karakteristik fisik dan kimia yang khas. Karakteristik tersebut berhubungan dengan kontribusi gambut dalam menjaga kestabilan lingkungan apabila lahan gambut berada dalam keadaan alami dan sebaliknya menjadi sumber berbagai masalah lingkungan apabila campur tangan manusia mengganggu kestabilan lahan gambut. Beberapa aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut adalah: (i) lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, (ii) lahan gambut sebagai sumber emisi gas rumah kaca, (iii) lahan gambut sebagai hidrologi dan subsiden.

Lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon

Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfer, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007). Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, serasah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi.

Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral. Residu vegetasi tropis dalam kondisi tertimbun di lahan hutan yang basah merupakan cadangan karbon terestrial. Lahan gambut tropika merupakan cadangan karbon terestrial yang penting untuk diperhitungkan. Lahan gambut menyimpan antara 15 sampai 25% dari karbon dan nitrogen terrestrial yang ada di dunia (Batjes, 1996). Wahyunto dkk., (2005) mengasumsikan jika kedalaman rata-rata gambut di seluruh Indonesia adalah 5 meter, bobot isi 114 kg per m³ dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbonnya adalah 16 giga ton.

Hutan rawa gambut dalam kondisi alami merupakan cadangan karbon terestrial yang penting. Dalam kondisi terganggu hutan rawa gambut akan menjadi sumber emisi karbon dalam jumlah besar baik yang berasal dari vegetasi di atas tanah maupun di tanah yang berupa lahan gambut. Emisi karbon pada lahan gambut sangat dipengaruhi oleh tata guna lahan, kelembaban tanah dan aplikasi pupuk (Hadi dkk., 2000; Hadi dkk., 2001) serta kondisi hidrologis (Hadi dkk., 2005; Furukawa dkk., 2005). Selanjutnya Murdiyarso dan Wasrin (1995) menyatakan bahwa konversi hutan di dataran rendah (termasuk hutan rawa gambut) menjadi lahan pertanian menghasilkan emisi karbon sebesar 0,33 giga ton C per tahun. Kemampuan hutan rawa gambut alami dalam menyimpan cadangan dihadapkan pada konversi untuk kepentingan sektor kehutanan maupun non kehutanan dalam rangka pembangunan.

Emisi Gas Rumah Kaca

Lahan gambut memiliki potensi yang sangat besar dalam peningkatan emisi C atau yang disebut juga emisi GRK yang disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (green houses gases), yaitu karbondioksida (CO?), methane (CH?) dan Nitrogenoksida (N?O). Salah satu penyebab terjadinya peningkatan GRK adalah pemanfaatan hutan dan lahan gambut dengan pembuatan drainase yang kurang bijaksana (Jauhiainen dkk., 2005).

Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara simultan, namun besaran masing-masingnya tergantung keadaan alam dan campur tangan manusia, dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi. Karena itu gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0-3 mm tahun-1 (Parish dkk., 2007). Pada tahun-tahun di mana terjadi kemarau panjang, misalnya tahun El-Niño, kemungkinan besar gambut tumbuh negatif (menipis) disebabkan lapisan permukaannya berada dalam keadaan tidak jenuh (aerob) dalam waktu yang cukup lama sehingga emisi karbon lebih cepat dari penambatan.

Gas rumah kaca (GRK) utama yang keluar dari lahan gambut adalah CO?, CH? dan N?O. Emisi CO? jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH? (walaupun dikalikan dengan global warming potentialnya setinggi 23 kali CO?) (Tabel 2.2) dan emisi N?O. Dengan demikian data emisi CO? sudah cukup kuat untuk merepresentasikan emisi dari lahan gambut, apabila pengukuran GRK lainnya seperti CH? dan N?O sulit dilakukan.

Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari penambat karbon menjadi sumber emisi GRK. Lahan hutan yang terganggu (yang kayunya baru ditebang secara selektif) dan terpengaruh drainase, emisinya meningkat tajam, bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan emisi dari lahan pertanian yang juga didrainase (Tabel 2.2). Hal ini disebabkan oleh banyaknya bahan organik segar yang mudah terdekomposisi pada hutan terganggu.

Emisi CH? cukup signifikan pada lahan hutan gambut yang tergenang atau yang muka air tanahnya dangkal (< 40 cm). Dengan bertambahnya kedalaman muka air tanah, emisi CH? menjadi tidak nyata. Emisi CH? pada lahan pertanian relatif kecil karena rendahnya pasokan bahan organik segar yang siap terdekomposisi secara anaerob (Jauhiainen dkk., 2004). Selain itu, kurangnya vegetasi tanaman yang tumbuh di atas gambut juga menyebabkan CO? yang dihasilkan oleh respirasi tanah langsung dilepas ke atmosfer, tanpa terjadi proses fotosintesis oleh tanaman untuk mengubah CO? menjadi karbonat dan melepaskan oksigen ke atmosfer. Akibat dari kerusakan lahan (degradasi) gambut yang menyebabkan lahan terbuka serta vegetasi tanaman hilang akibat terbakar, akan menyebabkan fungsi hutan di lahan gambut yang sebelumnya sebagai penyerap C, berubah menjadi pelepas C ke atmosfer. Studi emisi CO? akibat kebakaran lahan gambut di Indonesia tahun 1997 (Page dkk., 2002) memberikan angka 810 ? 2.470 juta ton C hilang (yaitu 3000 ? 9000 Mega ton emisi CO?) untuk satu kejadian, atau 15% sampai dengan 40% dari emisi bahan bakar fosil di tahun itu, yang berkontribusi pada peningkatan konsentrasi CO? global tahunan terbesar di atmosfer sejak pencatatannya yang dimulai pada tahun 1957 (Page dkk., 2002).

Selanjutnya perlu diketahui bahwa pelepasan C ke atmosfer dari lahan gambut juga dipengaruhi oleh kondisi fisik tanah, antara lain : berat volume (BV), atau bulk density, yaitu masa fase padat tanah (Ms) dibagi dengan volume total tanah (Vt). Volume total tanah adalah jumlah volume dari fase padat dan pori tanah dalam keadaan utuh seperti di lapangan. Untuk mudahnya berat volume (BV) atau bulk density (BD) dapat diartikan sebagai berat per satuan volume atau g/cm3 (Hanafiah, 2005). Nilai berat volume (BV) atau BD (bulk density) tanah gambut umumnya berkisar antara 0,03 ? 0,3 g/cm3. Namun demikian, dalam suatu profil gambut kadang?kadang ditemukan bagian yang hampir berisi air saja dengan BV < 0,01 g/cm3, kondisi ini terutama terjadi pada tanah hutan. Sebaliknya, nilai berat volume lapisan permukaan tanah gambut yang sudah digunakan untuk pertanian selama bertahun-tahun dapat meningkat mencapai 0,3 ? 0,4 g/cm3 (saprik).

Bentuk intervensi manusia yang sangat mempengaruhi fungsi lingkungan lahan gambut adalah penebangan hutan gambut, pembakaran hutan gambut dan drainase untuk berbagai tujuan; baik untuk pertanian, kehutanan (hutan tanaman industri), maupun untuk pemukiman.

Lahan Gambut Sebagai fungsi Hidrologi.

Gambut tropik umumnya memiliki topografi berbentuk kubah (dome). Dari pinggir ke arah tengah makin mendekati puncak kubah permukaan lahan makin meningkat dengan perbedaan tinggi kurang 1 m pada setiap jarak 1 km. Perbedaan tinggi permukaan gambut berhubungan dangan ketebalan gambut. Menurut Noor (2001), informasi perbedaan tinggi permukaan ini penting dalam perencanaan jaringan tata air atau drainase. Dengan demikian, kekeringan akibat pengaliran air yang berlebihan atau banjir pada musim hujan dapat dihindari. Kubah gambut biasanya dibiarkan sebagai reservoir yang berfungsi menyimpan air pada musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau. Kerusakan atau penyusutan wilayah kubah gambut dapat menyebabkan kelangkaan air di wilayah sekitarnya. Faktor - faktor iklim yang penting di kawasan gambut tropik adalah curah hujan, suhu dan kelembaban.

Gambut terdiri dari sekitar 90% air, oleh karena itu selain menyebabkan pelepasan air yang lebih cepat dan berpotensi meningkatkan risiko banjir di hilir, drainase juga menyebabkan pemadatan gambut, menyebabkan penurunan biasanya antara 1 dan 1,5 m pada tahun?tahun pertama setelah drainase. Selanjutnya, gambut yang dikeringkan akan mengoksidasi, menyebabkan penurunan karena hilangnya bahan organik sebesar 3 sampai 5 cm per tahun (Couwenberg dan Hooijer, 2013 ; Farmer dkk., 2014).

Hutan rawa gambut alami mempunyai peranan penting dalam menjaga kualitas lingkungan hidup melalui kemampuannya dalam menyimpan cadangan karbon. Kerusakan gambut akan menyebabkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Hooijer dkk., (2006) menduga nilai emisi CO? dari lahan gambut yang didrainase dengan menggunakan nilai emisi CO? dari Henk Wosten (Alterra) yaitu setiap 1 meter kedalaman drainase pada lahan gambut akan mengemisikan CO? sebesar 0,91 ton/ha/tahun. Jauhiainen dkk., (2005) menyatakan bahwa hutan rawa gambut yang didrainase di DAS Sebangau, Kalimantan menyebabkan emisi CO? sebesar 35 ton per hektar per tahun.

Kerusakan HRGMK, terutama KGM akan menyebabkan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh emisi karbon. Selain itu juga terjadi gangguan terhadap kemampuan hutan rawa gambut dalam menyimpan air. Mardiana (2006) dan Widodo (2011) menyatakan bahwa keberadaan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut menyebabkan penurunan ketersediaan air wilayah sebesar 13% apabila dibandingkan dengan apabila kawasan tersebut masih berupa hutan rawa gambut.

Penuranan ketersediaan air maupun dampak ikutan dari subsidensi gambut seperti penurunan dan kehilangan produktivitas tanaman pertanian dan kehutanan (Hooijer dkk., 2013). Agus dan Subiksa (2008) menyatakan bahwa kubah gambut yang mengalami penciutan setebal satu meter akan kehilangan kemampuannya dalam menyangga air sampai 90 cm atau ekivalen dengan 9.000 m3 per hektar. Dengan kata lain lahan disekitarnya akan menerima 9.000 m3 air lebih banyak bila terjadi hujan deras. Sebaliknya karena sedikitnya cadangan air yang tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air yang dapat diterima oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah sekitarnya akan rentan kekeringan pada musim kemarau.

Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi segera sesudah lahan gambut didrainase. Pada umumnya subsiden yang berlebihan bersifat tidak dapat balik. Hanya melalui penjenuhan yang sempurna dan dalam waktu yang lama masalah subsiden dapat diatasi secara perlahan. Kecepatan subsiden tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut, kedalaman drainase, iklim, serta penggunaan lahan (Stewart, 1991; Salmah dkk., 1994, Wösten dkk., 1997). Proses subsiden gambut dapat dibagi menjadi empat komponen:

  1. Konsolidasi yaitu pemadatan gambut karena pengaruh drainase. Dengan menurunnya muka air tanah, maka terjadi peningkatan tekanan dari lapisan gambut di atas permukaan air tanah terhadap gambut yang berada di bawah muka air tanah sehingga gambut terkonsolidasi (menjadi padat).
  2. Pengkerutan yaitu pengurangan volume gambut di atas muka air tanah karena proses drainase/pengeringan.
  3. Dekomposisi/oksidasi yaitu menyusutnya massa gambut akibat terjadinya dekomposisi gambut yang berada dalam keadaan aerobik.
  4. Kebakaran yang menyebabkan menurunnya volume gambut.

Kedalaman muka air tanah merupakan faktor utama penentu kecepatan subsiden karena sangat mempengaruhi keempat proses di atas. Faktor lain yang ikut mempengaruhi adalah penggunaan alat-alat berat. dan pemupukan. Proses subsiden berlangsung sangat cepat; bisa mencapai 20-50 cm tahun?¹ pada awal dibangunnya saluran drainase (Welch dan Nor, 1989), terutama disebabkan besarnya komponen konsolidasi dan pengkerutan, dengan berjalannya waktu maka subsiden mengalami kestabilan.

Tingkat subsiden, misalnya 4 cm/tahun, maka dalam 25 tahun (satu siklus tanaman tahunan) permukaan gambut akan turun sekitar 100 cm. Untuk tanah gambut sulfat masam potensial (dengan lapisan pirit dangkal) maka subsiden ini akan menyingkap lapisan pirit sehingga pirit teroksidasi membentuk H?SO? dan menjadikan tanah sangat masam dan tidak bisa ditanami lagi. Penurunan permukaan gambut juga menyebabkan menurunnya kemampuan gambut menahan air. Apabila kubah gambut sudah mengalami penciutan setebal satu meter, maka lahan gambut tersebut akan kehilangan kemampuannya dalam menyangga air sampai 90 cm atau ekuivalen dengan 9.000 m³ ha?¹, dengan kata lain lahan disekitarnya akan menerima 9.000 m³ air lebih banyak bila terjadi hujan deras. Sebaliknya karena sedikitnya cadangan air yang tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air yang dapat diterima oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah sekitarnya akan rentan kekeringan pada musim kemarau.