Teori APOS
Pengertian Teori Apos
Proses terbentuknya pengetahuan baru (khususnya dalam matematika) diyakini sebagai hasil dari suatu rangkaian proses yang diperkenalkan Dubinsky sebagai Action-Process-Object-Schema atau disingkat dengan APOS. Selanjutnya, istilah-istilah aksi (action), proses (process), objek (object), dan skema (schema) pada hakekatnya merupakan suatu konstruksi mental seseorang dalam upaya memahami sebuah ide matematika (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007). Ed Dubinsky (Ed Dubinsky,2013) sebagai pengembang teori APOS mendasarkan teorinya pada pandangan seperti yang dijelaskan berikut:
“An individual’s mathematical knowledge is her or his tendency to respond to perceived mathematical problem situations and their solutions by reflecting on them in a social context and constructing or reconstructing mathematical actions, processes, and objects and organizing these in schemas to use in dealing with the situations.”
Maksudnya, pengetahuan dan pemahaman seseorang merupakan suatu kecenderungan untuk merespon terhadap suatu situasi dan merefleksikannya pada konteks sosial. Selanjutnya, indiidu tersebut mengkontruksi atau merekontruksi ide-ide matematika melalui aksi, proses, objek matematika yang kemudian diorganisasikan dalam suatu skema untuk dapat dimanfaatkanya dalam menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi.
Tujuan yang ingin dicapai dari teori APOS adalah terbentuknya kontruksi mental siswa seperti yang diungkapkan oleh Dubinsky (Dubinsky dan McDonald, 2013) seperti berikut:
“APOS Theory arose out of an attempt to understand the mechanism of reflective abstraction, introduced by Piaget to describe the development of logical thinking in children, and extend this idea the more advanced mathematical concepts.”
Maksunya, teori APOS muncul dengan tujuan untuk memahami mekanisme abstraksi reflektif yang diperkenalkan oleh Piaget yang menjelaskan perkembagan berpikir logis matematika untuk anak-anak. Kemudian ide tersebut dikembangkan untuk konsep matematika yang lebih luas, terutama untuk membentuk erkembangan berpikir logis bagi siswa. Menurut Tall, abtraksi reflektif yang di maksud adalah suatu konsep yang dikenalkan oleh Piaget untuk menjelaskan kontruksi struktur logika matematika seseorang dalam pengembangan kognitif pada saat mempelajari suatu konsep (Nurlaelah, 2010). Selanjutnya, Ed Dubinsky (Nurlaelah, 2010), mengkontruksikan abstraksi reflektif berupa objek-objek mental dan aksi-aksi mental pada objek-objek ini. Kemudian Dubinsky menampilkan dan menghubungkan teorinya untuk konsep-konsep tertentu dalam matematika, dan menggunakan pengertian skema. Berikut penjelasan masing-masing tahap teori APOS:
A. Aksi
Aksi didefinisikan oleh (Arnon, et. Al.,2014) sebagai berikut:
“An Action is external in the sense that each step of the transformation needs to be performed explicitly and guided by external instructions; additionally, each step prompts the next, that is, the steps of the Action cannot yet be imagined and none can be skipped.”
Teori ini menyatakan bahwa sebuah aksi merupakan transformasi yang dirasakan sebagai bagian eksternal yang perlu dilakukan secara eksplisit dan dipandu oleh petunjuk eksternal. Lebih lanjut, setiap langkah pada tahap aksi belum dapat dibayangkan dan tidak dapat dilewati. Aksi juga didefinisikan oleh Dubinsky (2013) sebagai berikut:
“An action is transformation of objects perceived by the individual as essentially external and as requiring, either explicitly or from memory, step-by-step instructions on how to perform the operation.”
Aksi (action) adalah transformasi dari objek-objek yang dipelajari dan yang dirasakan oleh siswa sebagai bagian eksternal dan sebagai kebutuhan, secara eksplisit dari memori, instruksi tahap demi tahap tentang bagaimana melakukan operasi.
Sedangkan menurut (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007), aksi adalah suatu transformasi objek-objek mental untuk memperoleh objek mental lainnya. Hal tersebut dialami oleh seseorang pada saat menghadapi suatu permasalahan serta berusaha menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Seseorang dikatakan mengalami suatu aksi, apabila orang tersebut memfokuskan proses mentalnya pada upaya untuk memahami konsep yang diberikan. Seseorang yang memiliki pemahaman lebih mendalam tentang suatu konsep, mungkin akan melakukan aksi yang lebih baik atau bisa juga terjadi bahwa fokus perhatiannya keluar dari konsep yang diberikan sehingga aksi yang diharapkan tidak terjadi.
Dengan kata lain, aksi adalah suatu bentuk struktur kognitif yang melibatkan tranformasi mental atau fisik objek melalui tindakan, untuk menstimulus siswa yang merasakan objek sebagai bagian eksternal dan dipandu oleh petunjuk eksternal serta terjadi pengulangan fisik atau manipulasi mental dengan mentransformasikan objek matematika melalui beberapa cara atau aktiitas yang mendasarkan pada beberapa algoritma secara eksplisit. Transformasi dalam hal ini merupakan suatu reaksi eksternal yang diberikan secara rinci pada tahap-tahap yang harus dilakukan. Jadi kinerja pada tahap aksi berupa aktivitas prosedural. Pada tahap ini siswa masih membutuhkan bimbingan untuk melakukan transformasi, baik secara fisik maupun secara mental objek. Berdasarkan uraian di atas, maka indikator pencapaian teori Apos pada tahap aksi sebagai berikut:
- Siswa masih mendasar pada algoritma secara eksplisit
- Siswa hanya mengikuti contoh yang sudah diberikan sebelumnya
- Siswa masih membutuhkan bimbingan untuk melakukan transformasi, baik secara fisik maupun mental objek
- Siswa belu mampu mengidentifikasi suatu pengetahuan dengan baik
- Kinerja subjek berupa kegiatan prosedural
B. Proses
Proses didefinisikan oleh Dubinsky dan Donald (2013) sebagai berikut:
“When an action is repeated and the individual reflects upon it, he or she can make an internal mental construction called a process which the individual can think of as performing the same kind of action, but no longer with the need of external stimuli.”
Ketika suatu aksi diulang, dan kemudian terjadi refleksi atas aksi yang dialakukan, maka selanjutnya akan masuk ke dalam kontruksi mental internal yang disebut fase proses. Individu dapat dianggap melakukan jenis yang sama dari aksi tetapi tidak lagi dengan kebutuhan rangsangan eksternal.
Berdasarkan definisi di atas, dalam kontuksi mental tingkat proses, individu tersebut tidak terlalu banyak memerlukan stimuli dari luar karena merasa bahwa suatu konsep tertentu sudah berada dalam ingatannya. Pada tingkat ini individu dapat menelusuri kebalikan dan mengkomposisikan dengan proses lainnya. Perubahan transformasi dari eksternal ke dalam internal (pikiran) anak disebut ineriorisasi (interiorization). Di samping itu, (Arnon et. Al, 2014) mengemukakan:
“Processes are constructed using one of two mental mechanisms: interiorization or coordination. Each of these mechanisms gives rise to new Processes.”
Ditegaskan Dubinsky (Arnon et.al., 2014) sebagai berikut:
“an action must be interiorized. As we have said, this means that some internal construction is made relating to the action. An interiorized action is a process. Interiorization permits one to be conscious of an action, to reflect on it and to combine it with other actions”.
Maksudnya, proses dibangun menggunakan salah satu dari dua mekanisme mental: interiorisasi atau koordinasi. Tiap mekanisme menimbulkan proses baru. Sebuah aksi pasti diinteriorisasi (direnungkan). Seperti yang telah dikatakan, bahwa beberapa konstruksi internal yang dibuat berkaitan dengan aksi. Sebuah aksi yang diinteriorisasi adalah sebuah proses. Interiorisasi memungkinkan seseorang untuk menjadi sadar pada sebuah aksi, untuk merenungkan dan menggabungkan dengan tindakan lain.
Sejalan dengan yang diungkapkan oleh (Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007), Proses berbeda dengan aksi yang mungkin terjadi melalui batuan manipulasi benda atau suatu yang bersifat kongktit, proses terjadi secara internal dibawah kontrol individu yang melakukannya. Seseorang dikatakan mengalami suatu proses tentang sebuah konsep yang tercakup dalam masalah yang dihadapi, apabila berpikirnya terbatas pada ide matematika yang dihadapi serta ditandai dengan munculnya kemampuan untuk membicarakan (to describe) atau melakukan refleksi atas ide matematika tersebut. Proses-proses baru dapat dikontuksi dari proses lainnya melalui suatu koordinasi serta pengaitan antar proses. Dari pengertian di aats bahwa aksi diulang-ulang kemudian individu merenungkan akan proses pengulangan tersebut, langkah ini berubah menjadi proses. Artinya konstuksi internal yang dibuat denganmelakukan tindakan yang sama. Tetapi belum tentu tindakannya diarahkan oleh rangsangan dari luar (Dubinsky, 2013).
Interiorisasi dari suatu aksi merupakan perubahan aktifitas prosedural menuju kontruksi mental pada proses internal yang relatif untuk sederetan aksi pada objek kognitif yang dapat dilakukan atau dibayangkan untuk dilakukan dalam pikiran tanpa mengerjakan semua tahapan pekerjaan. Contohnya, siswa yang berada dalam tahap proses sudah mampu memahami syarat untuk mencari domain suatu fungsi, sehingga mereka akan menggunakan berbagai prinsip untuk mencari domain berbagai fungsi.
Berdasarkan uraian di atas, maka indikator pencapaian teori APOS pada tahap proses sebagai berikut:
- Untuk melakukan transformasi siswa tidak perlu diarahkan dari tangsangan eksternal sehingga siswa mampu menginteriorisasikan suatu metode atau suatu konsep sudah berada di dalam ingatannya.
- Siswa dapat merefleksikan langkah-langkah transformasi tanpa melakukan langkah-langkah tersebut secara nyata
- Siswa dapat menjelaskan langkah-langkah transformasi tanpa melakukan langkah-langkah tersebut secara nyata
- Siswa mencapai pemahaman prosedural
- Siswa belum paham secara konseptual
C. Objek
Objek didefinisikan oleh (Ed. Dubinsky and Mc Donald, 2013) sebagai berikut: An object is constructed form a process when the individual becomes aware of the process as a totality and realizes that transformations can act on it. Maksudnya, sebuah objek merupakan bentuk konstuksi sebuah proses ketika individu menjadi sadar tentang proses tersebut sebagai suatu totalitas dan menyadari bahwa transformasi-transformasi tertentu dapat berlaku pada proses trsebut, serta mampu untuk melakukan transformasi yang dimaksud, maka dapat dinyatakan bahwa individu tersebut telah melakukan kontruksu proses menjadi sebuah objek kognitif. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa proses-proses yang dilakukan telah terangkum (encapsulatd) menjadi sebauh objek kognitif.
Menurut (Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2013), seseorang dapat dikatakan telah memiliki sebuah konsep objek dari suatu konsep matematika manakala dia telah mampu memperlakukan ide atau konsep tersebut sebagai sebuah objek kognitif yang mencakup kemampuan untuk melakukan aksi atau penjelasan tentang sifat0sifatnya. Selain iu, individu tersebut juga telah mampu melakukan penguraian kembali (de-encapsulate) suatu objek menjadi proses sebagaimana asalnya pada saat sifat-sifat dari objek yang di maksud akan digunakan. Contohnya, siswa mampu untuk menentukan sebuah fungsi dari berbagai grafik fungsi yang disediakan dengan berdasarkan pada sifat atau konsep yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas, maka indikator pencapaian teori APOS pada tahap objek sebagai berikut:
- Siswa mampu memberikan alasan penjelasan tentang sifat-sifat suatu konsep
- Siswa mampu menjelakan langkah-langkah yang telah dikerjakan berdasarkan definisi, sifat, prinsip, dsb
- Siswa mencapai suatu pemahaman konseptual
D. Skema
Skema didefinisikan oleh Dubinsky and Donal (2013) sebagai berikut:
“A schema for a certain mathematical concept in an individual’s collection of actions, processes, objects, and other schemas which are linked by some general principles to form a framewoek in the individual’s mid that may be brought to bear upon a problem situation involving that concept.”
Maksudnya, sebuah skema dari suatu konsep matematika tertentu adalah suatu koleksi aksi, proses, objek, dan mungkin skema lain yang dihubungkan dengan beberapa prnsip umum untuk membentuk kerangka berfikir individu dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan konsep yang dipelajarinya.
Menurut (Nurdin, 2012), pada tahap skema siswa telah dapat mengkoordinasikan aksi, proses, dan objek untuk membentuk suatu skema awal tentang suatu konsep. Kondisi siswa yang dapat membentuk suatu skema terhadap objek matematika tertentu dikatakan siswa tersebut telah mentematisasikan suatu objek ke skema. Contohnya, siswa mampu mencari nilai suatu fungsi aljabar dengan mengintegrasikan berbagai konsep, rumus-rumus yang terlibat, serta pengetahuan tentang konsep aljabar auang telah mereka dapat sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas, maka indikator pencapaian teori APOS pada tahap skema sebagai berikut:
- Siswa dapat memahami berbagai aturan atau rumus yang perlu dilibatkan atau digunakan
- Subjek mampu membentuk pemahaman yang utuh mengenai suatu konsep
- Siswa dapat menyelesiakan soal matematika menggunakan aksi, proses, objek dan skema lain yang telah disiswa miliki.